Neuronal Damage
MALARIA SEREBRAL PENDAHULUAN
Malaria merupakan penyakit parasit yang umum terdapat di daerah endemik.1,2,3
Penyebabnya adalah protozoa genus Plasmodium yang terdiri dari P.vivax, P.falciparum, P. Ovale dan P. malaria.3,4,5
Saat ini malaria mengenai lebih dari 2.400 juta orang melebihi 1,2 40 % penduduk dunia, dan dari 100 negara di daerah tropik 1,2,7. Di Indonesia malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena beberapa daerah masih merupakan daerah endemik terutama di daerah Indonesia Timur8.
Species yang paling banyak ditemukan adalah plasmodium falciparum dan plasmodium vivax. Proporsi malaria falciparum 35 – 45 % mengenai orang dewasa, namun demikian anak mempunyai resiko lebih tinggi. 1
Penyakit malaria dapat mengancam hidup dan melibatkan berbagai organ termasuk sistem saraf pusat maupun tepi. Beberapa komplikasi neurologik berhubungan dengan malaria falciparum, walaupun demikian tidak berarti semua malaria ini mengalami komplikasi neurologik. Selain itu komplikasi dapat juga disebabkan oleh keadaan lain seperti demam tinggi dan bahkan obat antimalaria itu sendiri. Kasus kematian malaria falciparum kira-kira 1% dari 1-3 juta kematian / tahun di seluruh dunia.
Berikut ini akan dibahas mengenai manifestasi dan komplikasi neurologik yang paling umum yaitu malaria serebral 1,2,3,4,5, dan komplikasi neurologik lainnya, seperti sindrom serebelar, kejang, gangguan medula spinalis dan neuropati serta beberapa manifestasi serebral lain.
EPIDEMIOLOGI
Plasmodium falciparum umumnya terdapat di daerah endemik tropik dan subtropik.6 Afrika sub Sahara dan Melanesia (Papua New Guinea, kepulauan Salomon). P. vivax di Amerika Tengah dan Selatan, India, Afrika Utara dan Timur Tengah, sedangkan p. Ovale di Afrika Barat dan P.malariae sporadik di seluruh dunia.2,4
Di Indonesia, Sulawesi Utara khususnya Minahasa merupakan daerah endemik dan di daerah ini ditemukan komplikasi malaria serebral berkisar antara 3,8 – 6,4%. 10
Setiap tahun malaria menyebabkan penyakit pada 300-500 juta orang diseluruh dunia dan lebih dari 1 juta 1,2 meninggal.1,4 Malaria menduduki tempat ketiga teratas di antara penyakit infeksi yang menyebabkan kematian dari data WHO.4,7 Dari 10 % pasien malaria falciparum yang dirawat rumah sakit 80 % kematian akibat komplikasi pada sistem saraf pusat 8,9.
MALARIA SEREBRAL
Beberapa faktor dapat menjadi predisposisi malaria serebral seperti : 1. Usia tua
2. Kehamilan, terutama primigravida dengan kehamilan pada paruh kedua
3. Pasien imunosupresi menggunakan steroid, obat-obat anti kanker,atau obat imunosupresan
4. Pasien dengan imunokompromise disertai tuberkulosis atau kanker stadium lanjut
5. Splenektomi
6. Pernah terpapar malaria sebelumnya (non-imun) atau menurunnya imunitas
Malaria serebral memperlihatkan gejala – gejala ensefalopati yang umumnya disebabkan oleh infeksi Plasmodium falciparum11. Laporan mengenai frekuensi malaria serebral pada infeksi malaria berkisar antara 0,01 % 16 %. Dapat mengenai anak-anak, dewasa muda serta orangtua. Disamping itu juga orang dewasa non imun yang bepergian ke daerah endemik terutama bila pengobatan preventifnya terputus. Wanita hamil beresiko karena menurunnya imunitas selama kehamilan. Diperkirakan bahwa AIDS dapat merupakan salah satu faktor predisposisi di daerah tropik.11
DEFINISI
Untuk menentukan diagnosis dan manajemen segera dan tepat, perlu kesepakatan definisi tentang malaria serebral. Digunakan definisi pragmatik berdasarkan Skor Koma Glasgow (SKG) dan dibagi atas 3 kriteria : 8,12,13
1. Koma dalam, tak dapat dibangunkan; respons motorik atau stimuli nyeri tak dapat dilokalisasi atau tidak ada respons.
2. Ensefalopati penyebab lain telah disingkirkan. Koma harus menetap lebih dari 30 menit – 6 jam setelah kejang umum untuk menyingkirkan koma sesaat setelah kejang. Hipoglokemia, meningoensefalitis, cedera kepala, penyakit serebrovaskuler dan gangguan metabolik harus disingkirkan sebagai penyebab koma.
3. Konfirmasi infeksi P.falciparum : bentuk aseksual dari P.falciparum harus dapat ditunjukkan sedian apus tebal darah tepi atau hapusan sumsum tulang saat masih hidup atau pada hapusan jaringan otak setelah meninggal.
Jika malaria serebral terjadi pada anak – anak, maka digunakan Skala Koma Blantyre sebagai alat bantu untuk menilai kesadaran dan diagnostik.12
Berdasarkan tingkat kesadaran maka Rustama D dan Hoffman, membagi malaria serebral atas 3 tingkatan:14
I. Malaria serebral sedang : penderita malaria dengan delirium dan obtudansi II. Malaria serebral berat : penderita dengan stupor
III. Malaria serebral sangat berat : penderita malaria dengan koma atau penderita malaria sedang/berat yang tidak menunjukkan kemajuan klinis dalam 6 jam setelah dimulai terapi dengan kinin dihidroklorida intravena.
Sesuai dengan perjalanan klinik penderita maka terdapat dua fase pada malaria serebral, yaitu :15,16
1. Fase prodormal : gejala yang timbul tidak spesifik,penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang timbul serta kadang-kadang menggigil dan sakit kepala
2. Fase akut : gejala yang timbul menjadi bertambah berat karena menyebabkan sakit kepala yang hebat, mual, muntah, diare, batuk darah. Setelah itu penderita mengalami gangguan kesadaran, kejang, hemiplegia dan dapat berakhir dengan kematian.
PATOFISIOLOGI
Secara makroskopik berdasarkan hasil otopsi terdapat edema serebral 3,6,16 baik edema vasogenik maupun sitotoksik18 disertai perdarahan petekial difus terutama pada substansia alba 6,11. Secara mikroskopik, perdarahan pitekial ini memperlihatkan gambaran spesifik perdarahan terjadi disekeliling arteriol substansia alba.3,6,11,19
Tampaknya ini disebabkan oleh vaskulopati yang dipengaruhi oleh imunitas sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas endotelial, edema perivaskuler, diapedesis eritrosit dan leukosit, nekrosis dinding pembuluh darah dan mikrotrombosis intravaskuler serta trombosis kapiler11.
Patogenesis malaria serebral sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa hipotesis yang pernah dikemukakan, antara lain :3
1. Hipotesis mekanik : cytoadherence (Miller 1969), rosette (Carlson 1993) 2. Hipotesis permeabilitas (Maegraith dan Fletcher 1972)
3. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (DIC) (Punyagupta dkk 1974) 4. Demielinisasi post-infeksi – vaskulomiopati (Toro dan Roman 1978). 5. Hipotesis Toksin/mediator : endotoksin (Clark 1978), sitokin (Clark dkk
1981), radikal oksigen bebas (Clark dan Hunt 1983), Nitrat oksida (Clark dkk 1992)
6. Kerusakan kompleks imun (Adam dkk 1981)
Dari sekian hipotesis, dewasa ini yang berkembang adalah hipotesis mekanik dan humoral, karena kedua hipotesis ini dapat menjelaskan etiologi malaria serebral.12
1. Hipotesis mekanik.
Penelitian yang dilakukan Machiafava dan Bignami11 hampir seabad lalu mengenai penyumbatan kapiler dan venula serebral oleh sel darah merah berparasit akan memperlihatkan sludging darah pada sirkulasi kapiler akibat infeksi malaria. Sel-sel darah merah yang berparasit ini membentuk tonjolan (knob) 1,2,3,6,17 pada permukaan dan meningkatkan sifat cytoadherent 3,6,12,19,20,21 sehingga cenderung melekat pada endotel kapiler-kapiler dan venulae. Hipotesis ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi spesifik antara protein membran eritrosit P.falciparum (PfEMP-1) dan ligan pada sel endotelial, seperti ICAM-1 3,6,11,12,20,21,22 atau E-selektin, menurunkan aliran darah mikrovaskuler sehingga terjadi hipoksia12. Selanjutnya terjadi sekuestrasi parasit-parasit pada pembuluh darah yang lebih dalam. Juga, pembentukan rosette yaitu cytoadherence selektif dan dari sel darah merah yang berparasit (PRBCs) maupun yang tidak berparasit (non PRBCs). Setelah terjadi deformabilitas sel darah yang terinfeksi dan meningkatnya penyumbatan mikrosirkulasi.23 Ternyata kemampuan adesif lebih besar pada parasit yang matang. Oleh karena obstruksi pada mikrosirkulasi serebral maka timbul hipoksia dan meningkatnya produksi laktat yang menyebabkan ke glikolisis anaerobik yang menghasilkan laktat. 12,24 Pada pasien dengan malaria serebral, level laktat CSS tinggi 3,6
dan semakin meningkat pada kasus-kasus fatal dibandingkan yang hidup. Aderens eritrosit dapat juga dipengaruhi oleh pertukaran gas atau substrat diseluruh otak. Meskipun demikian, obstruksi total terhadap aliran darah tak mungkin terjadi , oleh karena penderita yang hidup jarang memiliki defisit neurologik permanen.12 Jadi, gabungan dari Plasmodium falciparum dengan eritrosit pada venulae otak menjadi faktor penting dalam terjadinya komplikasi serebral.
2. Hipotesis humoral.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa toksin malaria dapat menstimulasi makrofag dan melepaskan TNF-α 25,26 , sitokin seperti IL-112. Sitokin-sitokin tersebut tidak berbahaya, tetapi akan menginduksi Nitrat Oksida (NO)27,28. NO akan berdifusi melalui sawar darah otak dan menyebabkan perubahan pada fungsi sinaps seperti pada anestesi umum dan etanol konsentrasi tinggi, menyebabkan penurunan kesadaran. Peristiwa biokimia dari interaksi ini dapat menjelaskan mengapa terjadi koma reversibel,1,2,23 kejang dan kematian.21,28 Disintegrasi sawar darah otak dan peran sel inflamasi adalah proses kunci dalam patogenesis malaria serebral28. Data terbaru menunjukkan bukti yang jelas bahwa reseptor aktivator plasminogen tipe serin protease urokinase (uPAR) adalah molekul yang menyebabkan adesi sel. Proses akumulasi fokal dari uPAR terjadi pada sel makrofag/mikroglia di granuloma Durck 3,6,11 serta perdarahan dan pitekia disekitar astrosit dan sel endotelial. Sehingga disimpulkan bahwa lesi yang berhubungan dengan uPAR berperan dalam perubahan sawar darah otak dan disfungsi imunologi pasien malaria serebral.29