• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTISERKOSIS Pendahuluan

Dalam dokumen Modul Neuro Infeksi Panduan Peserta (Halaman 155-158)

Kemungkinan letak lokasi dan flora mikroba dari abses serebral berdasarkan sumber infeksi

SISTISERKOSIS Pendahuluan

Infeksi susunan saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh cacing merupakan tantangan besar dalam penanganan kesehatan di komunitas. Hal ini dapat menjadi suatu masalah besar dalam komunitas. Infeksi cacing pada SSP banyak terjadi terutama pada negara-negara berkembang seperti Amerika latin, Asia, dan Afrika. Cacing diklasifikasikan menjadi dua cacing datar (flatworm) dan cacing bulat (roundworm) atau nematoda. Flatworm dibagi lagi menjadi cacing pita (tapeworms) dan trematoda. Cacing merupakan parasit yang memiliki siklus hidup yang kompleks dimana manusia menjadi pejamu intermediat ataupun definitif. Infeksi SSP yang disebabkan oleh cacing menimbulkan beragam bentuk klinis, termasuk subakut atau kronik meningitis, ensefalitis akut atau subakut, lesi otak berupa desak ruang (space-occupying lession), stroke, dan myelopathy.

Sistiserkosis

Sistiserkosis terjadi pada manusia karena menjadi pejamu intermediate dari

Taenia solium, yang masuk ke tubuh manusia melewati makanan yang terkontaminasi

feses yang mengandung telur T.solium. Setelah masuk ke dalam saluran cerna telur tersebut berubah menjadi onkosper. Onkosper kemudian menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah kemudian tersebar ke seluruh organ pejamu, tempat sistiserko tumbuh. Organ target yang terkena diantaranya adalah mata, otot, dan susunan saraf pusat.

Pejamu untuk parasit cestoda dewasa, Taenia solium di dalam usus adalah manusia. Keadaan tersebut terjadi akibat pejamu memakan daging babi yang tidak dimasak tidak matang yang mengandung larva Taenia (sistisersi). Larva kemudian mengevaginati ke dalam usus hingga berubah menjadi cacing dewasa. Cacing ini terdiri dari scolex, yang menempel pada dinding usus, dan beberapa proglotid (segmen). Proglotid dan telur ini keluar bersamaan dengan feses.

Babi yang merupakan pejamu intermediate terinfeksi karena memakan telur parasit atau proglotid yang mengandung telur (porcine cysticercosis). Oncosphere ini keluar dari telur, kemudian masuk kedalam mukosa usus, bermigrasi ke dalam aliran darah, dan berdiam di dalam jaringan. Dalam beberapa minggu dan bulan, kemudian larva membesar dan menjadi matang berubah menjadi sistisersi. Siklus kehidupan ini menjadi lengkap setelah manusia memakan daging babi yang terkontaminasi oleh kista.

Keadaan sistiserkosis pada manusia terjadi setelah memakan makanan yang terkontaminasi dengan telur Taenia yang telah terfertilisasi. Pada manusia, terjadinya infeksi lebih sering diakibatkan memakan telur T solium berasal dari makanan yang terkontaminasi dan sangat jarang terjadi dari jalur autoinfeksi fekal-oral dari pasien yang mengeluarkan feses mengandung parasit di dalam ususnya. Parasit ini di dalam tubuh

manusia memiliki predileksi berada di susunan saraf pusat (SSP), otot skeletal, jaringan subkutaneus, dan mata.

Patologi

Sistiserkos merupakan vesikel yang mengandung skolex. Terdapat pada parenkim otak, rongga subarakhnoid, sistem ventrikel dan atau medula spinalis. Kista pada jaringan otak dapat tumbuh hingga 20 mm dalam diameter, sedangkan kista pada rongga subarakhnoid dan ventrikel dapat tumbuh mencapai 50 mm atau lebih diameternya. Kista pada parenkim otak biasanya tumbuh pada korteks serebri atau daerah basal ganglia. Pada kista rongga subarakhnoid biasanya terdapat pada fisura silvii atau sisterna pada basis otak. Sistiserkos pada ventrikel dapat menempel pada pleksus koroid atau bebas mengapung di rongga ventrikel.

Setelah masuk ke dalam SSP, sistiserkos dapat bertahan hingga bertahun-tahun, menimbulkan inflamasi pada jaringan sekitar. Pada kasus lain, sistiserkos yang masuk ke dalam SSP mendapat serangan imun kompleks dari pejamu, sehingga terjadi proses degenerasi dan kematian atau kalsifikasi parasit. Reaksi inflamasi yang terjadi berupa edema, gliosis reaktif, penebalan leptomening, terjepitnya kiasma optik dan saraf kranial yang lain, angiitis, hidrosefalus dan ependimitis.

Manifestasi Klinis

Gejala klinis neurologis yang sering timbul pada sistiserkosis adalah kejang. Pada daerah endemik, kejadian kejang yang baru terjadi pada usia dewasa lebih diduga penyebabnya adalah neurosistiserkosis. Manifestasi klinis yang terjadi lebih sering subakut sehingga membuat sulit membedakannya dengan suatu keadaan abses atau tumor intrakranial lain. Gejala fokal juga dapat terjadi tiba-tiba yang terjadi akibat infark serebral karena angiitis sistiserkosis. Hidrosefalus dan ensefalitis sistiserkosis merupakan penyebab utama hipertensi intrakranial. Ensefalitis sistiserkosis merupakan bentuk neurosistiserkosis yang berat, yang menimbulkan inflamasi disekitar sistiserkos dan edema difus, yang dikarakteristikkan dengan gejala sakit kepala, muntah, kejang umum, menurunnya tajam penglihatan, dan penurunan kesadaran. Spinal sistiserkosis menimbulkan manifestasi berupa motor dan sensoris defisit yang bervariasi tergantung lokasi level yang terjadi.

Diagnosis

Penegakkan diagnosis neurosistiserkosis yang akurat melalui klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis) bersamaan dengan hasil dari neuroimajing dan hasil dari tes imunologis. Temuan imajing yang khas yaitu lesi kistik (imajing dari skolex) dan kalsifikasi parenkim otak. Lesi lain yang dapat timbul dan tidak spesifik diantaranya lesi cincin dan leptomening yang menyangat kontras, hidrosefalus serta infark serebral.

Cairan serebrospinal (CSS) dapat menunjukkan hasil yang normal pada pasien dengan neurosistiserkosis parenkimal. Pada bentuk neurosistiserkosis di ventrikel dan subarakhnoid hasil CSS menunjukkan pleositosis limfositik, peningkatan konsentrasi protein, dan kadar glukosa yang normal. Hasil tes serologi yang akurat yaitu imunoblot. Namun hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien dengan sistiserkosis diluar SSP dan negatif palsu biasanya pada pasien dengan lesi kista tunggal. Pemeriksaan enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA), yang merupakan pengukuran terhadap kadar antibodi

imunoglobulin G (IgG) terpercaya hasilnya bila diambil sampel dari CSS, dan keakuratannya tergantung dari viabilitas kuman. Tidak adanya bentuk aktif dari kuman menghasilkan ELISA yang negatif.

Terapi

Lokasi lesi dan viabilitas parasit neurosistiserkosis, juga ringan beratnya respon imun dari pejamu menjadi faktor penting dalam merencanakan terapi pada pasien. Pendekatan terapi pada pasien yaitu dengan penggunaan agen sistisid, anti kejang dan obat-obatan simptomatis lain. Sebagai tambahan terapi operatif dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu.

Obat-obatan Sistisid. Praziquantel telah digunakan untuk mengobati sistiserkosis sejak

tahun 1979. Studi yang telah dilakukan pada penggunaan praziquantel dikatakan obat tersebut dapat menghancukan lesi parenkim otak sistiserkosis sekitar 60 – 70 % dengan pemberian selama 15 hari dengan dosis 50 mg/kg per hari. Kemudian dosis ini diperbaharui dengan pemberian praziquantel dosis rentangnya dari 10 hingga 100 mg/kg per hari selama periode 3 hingga 21 hari. Kadar praziquantel yang optimum dan tinggi di dalam darah hingga 6 jam dapat dipertahankan dengan pemberian dosis individual sekitar 25 hingga 35 mg/kg tiap interval 2 jam merupakan dosis yang dianjurkan untuk menghancurkan parasit.

Albendazol juga memiliki efek sistisid. Obat ini diberikan dengan dosis 15 mg/kg per hari selama 1 bulan. Studi terbaru mengatakan pemberian dapat dipersingkat hingga 1 minggu tanpa mengurangi efikasi obat. Albendazol menghancurkan sekitar 75% hingga 90 % kista otak dan lebih superior dibanding praziquantel, termasuk kemampuannya menghancurkan sistiserkosis di meningen dan ventrikel. Pengontrolan kejang akan jadi lebih mudah setelah pemberian obat-obatan sistisid.

Penggunaan obat antisid juga digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien dengan kejang dan penyangatan lesi tunggal pada CT dan MRI. Walaupun hal tersebut terjadi pada daerah endemis, lesi tersebut dapat berupa tuberkuloma, granuloma mikotik, atau glioma.

Pasien dengan ensefalitis sistiserkosis sebaiknya tidak diberikan obat-obatan sistisid karena dapat timbul eksaserbasi gejala. Pada pasien dengan kista serebral dan hidrosefalus, obat sistisid diberikan setelah dilakukan shunting ventrikel untuk menghindari peningkatan tekanan intrakranial akibat efek obat yang diberikan. Pemberian obat-obatan sistisid, hati-hati pada cistiserkosis subarakhnoid yang besar (giant) karena inflamasi yang ditimbulkan akibat respon penghancuran parasit dapat menyumbat pembuluh darah leptomeningeal. Pada kasus tersebut pemberian kortikosteroid dapat membantu. Pada pasien dengan kista ventrikular respon inflamasi dapat terjadi hidrosefalus akut bila lokasinya terlerak pada ventrikel ke-4 atau dekat foramen Monro. Pasien dengan lesi kalsifikasi saja juga sebaiknya tidk diberikan antisistisid, karena kalsifikasi tersebut merupakan parasit yang sudah mati

Obat-obatan simptomatis seperti obat anti kejang diberikan untuk mengontrol kejadian kejang pada neurosistiserkosis dan dibantu dengan pemberian obat sistisid seperti praziquatel atau albendazol yang dapat mengontrol kejang hingga 83 % pasien. Lamanya pemberian obat-obatan anti epilepsi belum ada standar yang baku. Pada 50 %

kasus mengalami relaps kejang setelah dihentikan pemberian obat anti epilepsi setelah pasien bebas kejang selama 2 tahun dan telah diberikan albendazol. Rekurensi kejang berhubungan dengan timbulnya kalsifikasi setelah pemberian albendazol dan terdapatnya kejang rekuren dan kista multipel di otak sebelum pemberian obat sistisid.

Kortikosteroid diberikan pada sistiserkosis dengan bentuk ensefalitis sistiserkosis yang bertujuan untuk mengurangi edema. Kortikosteroid dapat diberikan tunggal atau bersamaan dengan manitol dengan dosis 2 mg/kg per hari. Pemberian kortikosteroid intravena pada kasus angiitis sistiserkosis bermanfaat untuk mencegah terjadinya infark rekuren. Kortikosteroid dilanjutkan dengan pemberian oral prednison (1 mg/kg per hari) untuk mebantu mengurangi inflamasi di rongga subarakhnoid akibat angiitis. Kortikosteroid diberikan sampai inflamasi di subarakhnoid reda yang dapat dievaluasi melalui hasil cairan serebrospinal.

Operatif. Sekunder hidrosefalus akibat arakhnoiditis sistiserkosis membutuhkan

diakukannya shunting. Komplikasi yang terjadi akibat tindakan ini yaitu terjadinya disfungsi dari shunting itu sendiri yang dapat meningkatkan angka kematian hingga 50 %. Sekarang telah dikembangkan alat shunt yang baru yang menghasilkan aliran yang konstan dan CSS dialirkan dengan baik hingga tidak masuk ke sistem ventrikular.

Kasus lain yang membutuhkan tindakan operatif diantaranya kista yang terdapat di ventrikel. Kista ventrikel ini dapat dieksisi melalui operatif atau aspirasi endoskopi.

KEPUSTAKAAN

1. Scheld NW, Whitley JR, Marra CM. Infections of central nervous system 3rd ed. Lippincott William & Wilkins, 2004: 513-19

2. Victor M, Ropper Ah. Infections of the nervous system. In : Adam and Victor’s principles of neurology 7th ed. McGraw-Hill. New York. 2001; 821-74

Dalam dokumen Modul Neuro Infeksi Panduan Peserta (Halaman 155-158)