• Tidak ada hasil yang ditemukan

RABIES Pendahuluan

Dalam dokumen Modul Neuro Infeksi Panduan Peserta (Halaman 134-144)

Rabies adalah suatu penyakit saraf pusat yang disebabkan oleh virus RNA yang tergolong dalam famili Rhabdoviridae. Penyakit ini selalu berakibat fatal yaitu kematian bagi penderita yang terkontak dan tidak di vaksinasi. Tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Negara yang dnyatakan bebas rabies saat ini Australia, Swedia, Selandia Baru, Jepang, Kepulauan Britania dan Antartika. Diperkirakan terjadi 15.000 kasus rabies manusia tiap tahun, terutama negara berkembang seperti India, Asia tenggara, Amerika Selatan.

Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas (termasuk manusia) dan burung. Penularannya ssebagian besar terjadi melalui gigitan dari berbagai hewan reservoir misalnya anjig, kucing, srigala, kelelawar, dan lain-lain. Dan dapat juga secara aerosol tertuma pada berbagai jenis kelelawar di Amerika.

Penatalaksanaan penyakit ini umumnya adalah suportif, karena sampai saat ini terapi yang tepat untuk penyakit ini bila sudah timbul gejalanya adalah belum ada. Tindakan pencegahan berupa pemberian vaksinasi adalah yang terbaik karena terbukti dapat mencegah manifestasi penyakit ini.

Biologi

Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies yang dalam klasifikasi termasuk pada grup V negatif-stranded RNA genom ((-) ss RNA), ordo : mononegalovirales, famili : rhabdoviridae, genus : lyssavirus, spesies : Rabies virus. Virus ini berukuran sekitara 180 nm panjang dan 75 nm lebar yang disusun oleh lima jenis protein yaitu : nukleoprotein (N), fosfoprotein (P), matriks protein (M), glikoprotein (G), dan polimerase (L). Pada umumnya Rhabdoviridae terdiri dari dua komponen dasar : ribonukleoprotein (RNP) di bagian tengah dan diselimuti envelope pada bagian luar. RNP dibentuk oleh nukleoprotein dan dihubungkan dengan fosfoprotein dan polimerase (L-protein). Sedangkan glikoprotein membentuk spike (paku) pada daerah permukaan luar (envelope/membran) dan virus dengan panjang +/- 10 nm. Sedangkan envelope dengan RNP dihubungkan dengan matriks protein (M).

Genom dari virus rabies adalah rantai tunggal, antisense, nonsegmented RNA dengan panjang sekitar 12 kb. Replikasi virus ini dalam sel pejamu diawali dengan fusi dari envelope dengan membran sel pejamu, kemudian terjadi interaksi antara glikoprotein dengan reseptor permukaan sel pejamu yang spesifik (absorbsi) diikuti penetrasi virus kesitoplasma dengan mekanisme pinositosis. Terjadi agregasi virion dengan vesikel pada sitoplasma (endosom) kemudian membran virus akan berfusi dengan mebran endosom yang mengakibatkan RNP virus bebas ke dalam sitoplasma (uncoatinag). Karena virus ini memiliki genom RNA yang tunggal dan linier maka dibutuhkan mRNA (

messenggerRNA) untuk merekam agar virus dapat berreplikasi (transkripsi). Perekaman

ini akan diikuti dengan proses ”pencetakan” protein sesuai ”pesanan” yang sudah direkam tadi di ribosom bebas dalam sitoplasma sel (translasi). Proses ini akan semakin

dilengkapi di retikulum endoplasma dan badan golgi (processing) sesudah itu terjadi proses perbanyakan virus.

Patogenesis

Pada manusia ketika sel saraf terkontak dengan virus rabies maka glikoprotein dari virus akan berikatan dengan reseptor nikotinik (reseptor asetilkolin) pada ermukaan membran sel saraf. Awalnya virus akan memperbanyak diri di tempat inokulasi, kemudian virus akan memasuki sel saraf motorik dan sensorik perifer kemudian akan bermigrasi melalui akson ke sentral dengan kecepatan 50 – 100 mm/hari sampai ke medula spinalis, lalu melanjutkan perjalanan ke atas sampai ke otak dan menginfeksi batang otak, diensefalon dan hipokampus. Bila hal tersebut sudah terjadi maka akan terjadi replikasi besar-besaran dari virus dan imunisasi menjadi tidak efektif. Penyebaran secara luas akan terjadi ke semua susunan saraf somatik dan otonom. Dan replikasi virus yang produktif adalah kelenjar ludah.

Ada beberapa faktor yang dianggap berperan terhadap kerentanan seseorang terhadap rabies. Contohnya adalah : luka gigitan pada kulit terbuka dianggap lebih rentan daripada luka gigitan pada kulit terbungkus pakaian karena sebagian virus diabsorbsi bahan pakaian. Faktor lain adalah spesies resistensi, besarnya tempat inokulasi (luka), konsentrasi dari resptor nikotinik yang terpapar, besarnya persarafan di daerah inokulasi, jarak tempat inokulasi dengan susunan saraf pusat, dan status imunitas dari penderita. Faktor variasi spesies juga berpengaruh, serigala, rubah, kecing lebih mudah terpapar sedangkan opposum lebih resisten. Inokulasi pada daerah yang dekat otak lebih cepat daripada gigitan pada ekstremitas bawah. Masa inkubasi dari penyakit ini umumnya berkisar 3-12 minggu. Laporan lain masa inkubasi penyakit ini dapat terjadi sekitar satu tahun hingga 6 tahun.

Di negara-negara berkembang penularan rabies lebih dari 90% lewat gigitan terutama anjing. Kasus penularan tanpa gigitan pernah dilaporkan di AS terhadap seorang gadis yang tertular rabies dari kelelawar. Laporan lain adanya peularan rabies pada transplantasi kornea.

Manifestasi Klinis

Gejala penyakit ini pada fase awal menyerupai flu berupa malaise, anoreksia, demam, nyeri kepala, mual dan muntah, rasa tidak enak di kerongkongan, kadang-kadang ditemukan adanya parestesia di tempat gigitan. Keluhan ini biasanya berlangsung selama 2-7 hari kemudian akan diikuti dengan timbulnya gejala patognomonik suatu ensefalitis rabies yaitu agitasi, demam tinggi yang persisten, kesadaran fluktuatif, nyeri pada faring, terkadang seperti rasa tercekik (inspiratory spasm), hipersalivasi, kejang, hidrofobia, dan aerofobia. Kadang-kadang ada juga manifestasi non neurogenik berupa aritmia dan miokarditis yang merupakan tanda dari adanya hiperadrenergik dan infeksi langsung pada jantung. Keadaan tersebut akan memberat dan diikuti dengan koma yang akan berlanjut kematian. Selain gejala khas rabies tersebut dapat juga ditemukan gejala yang lebih jarang yaitu adanya kelumpuhan, berupa adanya paresis pada keempat ekstremitas serta gangguan sfingter ani. Gejala yang timbul terkadang mirip suatu sindroma Gullian Barre dan tidak ditemukan bukti adanya keterlibatan seerebral sampai penyakit ini berlanjut.

Fase awal dari penyakit ini terkadang diagnosis agak sulit ditegakkan sehingga perlu diagnosis banding dengan beberapa penyakit lain misalnya infeksi virus lain (arbovirus, enterovirus, dan lain-lain), ataupun dengan sindroma GB.

Pemeriksaan Penunjang

Dalam menegakkan diagnosis dari penyakit ini pada fase awal kadangkala sukar mengingat gejalanya yang mirip dengan penyakit lain. Hal ini semakin sulit bila riwayat kontak gigitan dengan binatang tidak jelas. Untuk membantu penegakkan diagnosis perlu diperiksakan laboratorium.

Pada pemeriksaan darah laboratorium tidak ada gambaran yang khas untuk merujuk suatu keadaaan infeksi rabies, kadang ditemukan leukositosis ringan. Untuk penegakkan diagnosis adalah deteksi rabies pada saliva dengan menggunakan pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT/PCR) dan isolasi virus dalam jaringan kultur.

Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan antibodi terhadap virus rabies dengan menggunakan serum darah dan cairan serebrospinal, namun seringkali hasil positif timbul beberapa saat setelah timbulnya gejala klinis. Pada orang yang belum diimunisasi hasil positif dapat menjadi tanda yang bernilai diagnostik, bila sudah di imunisasi maka penngkatan kadar antibodi beberapa waktu setelah pemeriksaan pertama dapat mempunyai arti diagnostik. Pada cairan serebrospinal (CSS) adanya antibodi terhadap virus rabies menunjukkan adanya infeksi virus rabies.

Pemeriksaan biopsi dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis rabies. Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengambil sepotong kulit di daerah leher bagian belakang pada batas garis rambut diusahakan paling tidak ada 10 folikel rambut yang terambil termasuk saraf kutaneus yang berada pada bagian basal dari folikel, kemudian dilakukan pemeriksaan RT/PCR dan tes imunoflouresence staining pada antigen virus dengan menggunakan teknik Direct Flourescent antibody test(dFA). Tes ini didasarkan pada observasi bahwa seorang yang terinfeksi virus rabies mempunyai antigen rabies dalam jaringan. Karena virus ini berada dalam jaringan saraf maka jaringan yang diambil adalah jaringan saraf terutama yang paling ideal adalah jaringan otak. Antibodi yang berlabel ini diinkubasikan pada jaringan otak yang dicurigai terinfeksi . Hasil positif bila terjadi ikatan antigen antibodi sehingga terlihat gambaran fluoresensi hijau apel pada pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens. Bila tidak terinfeksi maka pemeriksaan tidak terlihat adanya fluoresensi. Pemeriksaan dFA ini biasanya dilakukan post mortem tapi dapat juga ante mortem bahkan pada pemeriksaan sebelum timbul gejala. Di Amerika pemeriksaan ini sudah merupakan standar pemeriksaan untuk rabies dan digunakan sejak 40 tahun untuk evaluasi rabies.

Pemeriksaan lain yang digunakan dalam memastikan penyakit rabies adalah pemeriksaan histopatologis dengan mengambil jaringan otak hewan yang terinfeksi dan diberi pewarnaan. Pada pemeriksaan histopatologis dengan pewarnaan rutin (HE) maka akan terlihat gambaran : infiltrasi mononuklear, adanya cuffing dari limfosit atau polimononuklear, ”Babes nodules”dari sel glia, adanya “Negri bodies” (NB). NB ini merupakan tanda yang patognomonik untuk diagnosis dari rabies yang paling sering ditemukan pada sel berbentuk piramidal dan sel purkinje di serebelum juga pada medula dan ganglia basal. Pemeriksaan ini sekarang dianggap tidak begitu spesifik dalam menegakkan diagnosis rabies sebab dengan pewarnaan rutin hasil positif hanya

ditemukan kurang dari 50 % dari semua kasus terinfeksi juga dibandingkan dengan pemeriksaan dFA yang dapat mencapai 100 %.

Pemeriksaan imunohistokimia dapat dilakukan dalam penentuan diagnosis dari rabies. Pada prinsipnya sama dengan pemeriksaan histopatologi namun menggunakan antibodi spesifik untuk mendeteksi inklusi dari virus rabies, yang idgunakan yaitu antibodi monoklonal.

Diagnosis infeksi rabies ditegakkan melalui gejala klinis dan pemeriksaan laboratorik untuk konfirmasi diagnosis rabies.

Tatalaksana

Manajemen terapi pada kasus infeksi rabies pada manusia belum memuaskan terutama bila penyakit ini sudah menunjukkan gejala. Hingga saat ini belum ada laporan kasus yang dapat bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit ini timbul. Banyak uji terapi yang dilakukan tapi tidak menunjukkan hasil yang menggemberikan. Pemberian antiviral ataupun penggunaan interferon (IFN) secara tunggal ataupun kombinasi belum pernah ada yang sukses. Jackson et.al merekomendasikan penatalaksanaan rabies yang sudah bergejala dengan rejimen sebagai berikut : pemberian vaksin rabies secara intradermal untuk mempercepat respon imun, pemberian serum anti rabies untuk peghentian proses infeksi rabies, pemberian ribavirin dan interferon alfa secara intravena dan intraventrikuler. Pemberian ketamin inravena konsentrasi tinggi terbukti secara invitro dapat menghambat replikasi dari virus rabies. Penelitian ini masih perlu pembentukan lebih lanjut. Penggunaan steroid tidak dianjurkan pada kasus rabies sebab pada beberapa kasus pemberian steroid dapat mempercepat kematian dan memperpendek periode inkubasi.

Perawatan hendaknya dilakukan pada ruangan isolasi dan untuk menghindari kemungkinan penularan dari penderita maka hendaknya dokter dan paramedik memakai sarung tangan, kacamata dan masker saat menangani kasus ini dan pasien sebaiknya di fiksasi di tempat tidur. Mengingat keadaan akhir dari penyakit ini adalah kematian akibat paralisis otot pernafasan maka dipertimbangkan pula penggunaan alat bantu pernafasan.

Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Bila ditemukan adanya kasus gigitan dari binatang tersangka rabies maka dilakukan usaha mematikan/mengurangi virus rabies dengan mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan sabun atau deterjen selama 10-15 menit kemudian diberikan antiseptik. Luka tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila perlu dijahit, luka diinfiltrasi dengan SAR (serum anti rabies). Serta dipertimbangkan pemberian anti tetanus, antibiotik dan pemberian analgetik. Pemberian imunisasi untuk mencegah rabies dilakukan melalui 2 cara : imunisasi sesudah terkontak dan imunisasi sebelum terkontak.

Terapi setelah terpapar virus rabies dapat dilakukan dengan memberikan vaksin anti rabies (VAR) saja atau dengan SAR. VAR diberikan bila ada gigitan dengan luka yang tidak berbahaya (jilatan, eskoriasi, lecet) disekitar tangan atau kaki. Sedangkan pemberian VAR dengan SAR bila luka berbahaya, jilatan atau luka pada mukosa, luka pada tubuh diatas bahu (muka, kepala, leher), luka pada daerah lengan, tungkai, genitalia, luka yang dalam atau luka yang banyak (multipel).

Cara pemberian VAR adalah sebagai berikut :

Merupakan vaksin kering beku, berupa virus rabies (Wistar Rabies PM/WI 38-1503-3 M Strain). Dosis pada dewasa dan anak sama yaitu : hari I kunjungan (hari ke 0) diberikan 2 dosis masing-masing 0,5 ml di deltoid kanan dan deltoid kiri. Hari ke 7 diberikan lagi 0,5 ml secara im di deltoid. Dosis yang sama diulangi lagi pada hari ke 21. Bilaa hendak diberikan bersama dengan serum anti rabies (SAR) maka di ulang lagi 0,5 ml pada hari ke 90

Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)

Merupakan vaksin rabies kering untuk manusia, yang terbuat dari otak bayi mencit yang masih menyusui yang bebas kuman patogen. Dosis dewasa adalah 2 ml setiap hari selama 7 hari berturut-turut disuntikkan secara sub kutan disekitar pusar. Dilanjutkan dengan dosis 0,25 ml pada hari ke 11, 15, 30, dan 90 secara intrakutan di bagian fleksor lengan bawah. Pada anak dosis vaksinasi awal adalah 1 ml dengan cara dan pemberian sama seperti dewasa sedangkan dosis ulangan 0,1 ml. Dosis ini tetap sama bila hendak diberikan bersamaan dengan serum anti rabies (SAR).

Cara pemberian SAR adalah sebagai berikut :

1. Serum heterolog

Berasal dari serum kuda, sebelum penyuntikan dilakukan tes kulit terlebih dahulu. Dilakukan penyuntikan secara infiltasi pada luka sebanyak banyaknya, sisanya disuntikkan secara intramuskular. Dosis pemberian adalah 40 IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari pertama kunjungan (hari ke 0)

2. Serum homolog

Berasal dari serum darah mausia. Dilakukan penyuntikan secara infiltrasi pada luka sebanyak-banyaknya sisanya disuntikkan secara intramuskular. Dosis pemberian adalah 20 IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari pertama kunjungan (hari ke 0)

Bila hendak melakukan pencegahan dari penularan rabies maka kita dapat melakukan vaksinasi dengan PVRV. Dengan cara penyuntikan IM di daerah deltoid 0,5 ml pada kunjungan pertama dilanjutkan 0,5 ml pada hari ke 28 diikuti dengan vaksinasi ulangan 1 tahun setelah pemberian pertama dengan dosis yang sama. Diulangi samapai seterusnya setiap 3 tahun. Untuk penggunaan klinik ada beberapa jenis vaksin ataupun serum anti rabies yang dapat ditemukan tapi jenis yang dikemukakan tadi adalah yang dapat ditemukan di Indonesia.

KEPUSTAKAAN

1. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA : Mikrobiologi kedokteran, alih bahasa Edi Nugroho, RF Maulany; editor Irawati Setiawan -edisi 20-, EGC. Jakarta.1996

2. Smith JS. Rabies infection (serial online) 2003 jan-jun (cited 2006 march 02) Available from : URL : http :// www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/nathist.htm

3. O’ Reilly M, Rupprecht CE. Clinical manifestation, diagnosis, and treatment of rabies. Lancet Inf Dis, 2004 : 6 :243

4. Fishbein DB, Robinson LD; Rabies, N England J Med 1993; 392: 1632

VIII. ABSES SEREBRAL

o Referensi :

 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI

 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww Hill, 2005, 11-13, 541-542.

 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12

 William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999

 Wood. M, Neurological Infection, 1988

Kompetensi

• Menegakkan diagnosis dan tatalaksana abses serebral mencakup epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

KETERAMPILAN

Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:

• Menguasai mekanisme terjadinya abses serebral

• Identifikasi, anamnesis dan diagnosis abses serebral

• Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan abses serebral

• Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada abses serebral

• Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada abses serebral

Gambaran umum

Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya abses serebral, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.

Contoh kasus

Wanita usia 27 tahun, mahasiswa, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kelemahan anggota gerak sesisi. 3 bulan yang lalu pasien mengeluh sakit kepala yang semakin lama semakin berat, terasa seperti berdenyut, keluhan dirasakan bertambah nyeri saat pasien batuk dan mengedan saat buang air besar, keluhan sakit kepala terutama dirasakan malam dan pagi hari. Lebih kurang tiga hari terakhir keluhan sakit kepala

bertambah berat. Sekitar 2 minggu SMRS pasien mengeluh kelemahan anggota gerak sisi kirinya, yang pada awalnya belum pernah dirasakan sebelumnya, keluhan semakin berat seirng bertambahnya sakit kepala. Keluhan juga terkadang disertai muntah-muntah tanpa disertai mual, demam yang tidak terlalu tinggi yang hilang timbul, keluhan demam hilang bila pasien minum obat warung. Sebelumnya pasien mengalami infeksi pada telinganya, yang terkadang mengeluarkan cairan berwarna kekuningan dan berbau busuk.

Diskusi

1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?

2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien abses serebral ? 3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke dalam intrakranial pada pasien

abses serebral ?

4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan abses serebral ?

5. Kapan dan berapa lama pemberian anti biotik empiris pada pasien dengan abses serebral ?

6. Kapan diperlukan terapi operatif pada pasien dengan abses serebral ?

Tujuan pembelajaran

o Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik o Mengetahui kuman penyebab tersering abses serebral

o Mengetahui patogenesis terjadinya abses serebral o Mengetahui komplikasi abses serebral

o Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang

o Melakukan dan menjelaskan tatalaksana abses serebral dan manajemen pasien abses serebral

o Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien abses serebral

Tujuan – 1 : Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik

.

• Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik

pasien dengan kecurigaan abses serebral

Tujuan- 2 : Mengetahui penyebab abses serebral

o Mengetahui jenis kuman, penyebab dan proses

molekular yang terjadi sampai terjadi abses serebral

Tujuan - 3 : Mengetahui patogenesis terjadinya abses serebral

o Mengetahui dan menjelaskan patogenesis terjadinya abses serebal

Tujuan 4 : Mengetahui komplikasi abses serebral

 Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm  Mengetahui cara mengatasi komplikasi

Tujuan 5 : Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang

• Mengetahui interpretasi pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras dan MRI kepala pada penderita abses serbral

Tujuan 6 : Melakukan dan menjelaskan tatalaksana abses serebral dan manajemen

pasien abses serebral

o Mengetahui manajemen dan pengobatan abses serebral

• melakukan tindakan emergensi pada abses serebral

• mengevaluasi hasil terapi

o Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien abses serebral

Kasus untuk pembelajaran

Wanita usia 27 tahun, mahasiswa, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kelemahan anggota gerak sesisi. 3 bulan yang lalu pasien mengeluh sakit kepala yang semakin lama semakin berat, terasa seperti berdenyut, keluhan dirasakan bertambah nyeri saat pasien batuk dan mengedan saat buang air besar, keluhan sakit kepala terutama dirasakan malam dan pagi hari. Lebih kurang tiga hari terakhir keluhan sakit kepala bertambah berat. Sekitar 2 minggu SMRS pasien mengeluh kelemahan anggota gerak sisi kirinya, yang pada awalnya belum pernah dirasakan sebelumnya, keluhan semakin berat seirng bertambahnya sakit kepala. Keluhan juga terkadang disertai muntah-muntah tanpa disertai mual, demam yang tidak terlalu tinggi yang hilang timbul, keluhan demam hilang bila pasien minum obat warung. Sebelumnya pasien mengalami infeksi pada telinganya, yang terkadang mengeluarkan cairan berwarna kekuningan dan berbau busuk.

a. Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :

• kesadaran compos mentis

• Tekanan darah : 110/70 mmHg

• Frekuensi nadi 90 x/ menit

• Suhu 37,3 C

• Respirasi 21 x / menit

• Jantung dan paru dalam batas normal

• Abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba

• Ekstremitas tidak ada edema

• Status neurologis

 Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5  Status mental : dalam batas normal  Tanda rangsangan meningeal negatif

 Pupil isokor, refleks positif/positif, FODS : papil edema

 Nervi kranialis : paresis N VII kiri UMN  Motorik : hemiparese sinistra

 Sensorik: baik

 Refleks fisiologis ++/+++  Refleks patologis -/- Klonus

-/- Saraf otonom : dalam batas normal

b. Hasil pemeriksaan penunjang :

• Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah,

• CT Scan otak / MRI

• Monitoring

• Kesadaran

• Tanda vital

• Defisit fokal

• Ancaman gagal nafas

Diskusi

1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?

2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada abses serebral ? 3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke intrakranial ?

4. Apakah penyebab secara empiris kuman dari penyebab abses serebral ? 5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan abses serebral ?

MATERI BAKU

ABSES SEREBRAL

Dalam dokumen Modul Neuro Infeksi Panduan Peserta (Halaman 134-144)