• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :

1. Sebagai referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta upaya mencari kebenaran ilmiah yang berkaitan dengan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon dan instansi terkait dalam merumuskan konsep dan strategi kemitraan yang mampu mendorong upaya pemberdayaan nelayan khususnya nelayan perikanan tangkap.

2.1 Kelembagaan

Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik oleh anggota masyarakat, yang memberi naungan (liberty) dan meminimalkan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Wiratno dan Tarigan, 2002).

Kelembagaan merupakan phenomena sosial ekonomi berkaitan dengan hubungan antara dua atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi mencakup dinamika aturan-aturan yang berlaku dan disepakati bersama oleh para pelaku interaksi, disertai dengan analisis mengenai hasil akhir yang diperoleh dari interaksi yang terjadi (Hendayana dan Wally, 2003).

Menurut bapak ekonomi kelembagaan (the patron saint) Thorstein Veblen, kelembagaan adalah settled habits ot thought common to the generality of men.

Kelembagaan dianggap sebagi suatu konvensi atau suatu keteraturan dalam tingkah laku manusia yang menghasilkan suatu tingkat kepastian prediksi dalam hubungan antar manusia. Walaupun kelembagaan (sosial) sangat peduli pada pemecahan masalah-masalah koordinasi sosial, kelembagaan tidak mesti mengawasi dirinya sendiri. Kelembagaan mungkin perlu otoritas eksternal, seperti negara, untuk menegakkan konvensi dan kebiasaan di atas, karena seseorang dapat saja mempunyai insentif untuk mencari hak-hak orang lain.

Wiratno dan Tarigan (2002) mendefinisikan kelembagaan adalah collective action in restraint, liberation, and expansion of individual action. Kelembagaan adalah kerangka acuan atau hak-hak yang dimiliki individu-individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Setiap perilaku ekonomis juga sering disebut kelembagaan, sehingga setiap yang dinamis atau tidak statis, yang terproses atau tidak semata komoditas, yang beraktivitas atau tidak semata perasaan dan kepekaan, yang berupa manajemen atau tidak sekedar keseimbangan, semuanya tercakup dalam ekonomi kelembagaan. Dengan demikian kelembagan itu dianggap sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk kelangsungan sekelompok (a set of working rules of going concerns). Jadi kelembagaan itu adalah kegiatan

kolektif dalam suatu kontrol atau yuridiksi, pembebasan atau liberasi dan perluasan atau ekspansi kegiatan individu, seperti disebutkan di atas.

Uraian defenisi dari kelembagaan di atas, dimaksudkan bahwa kelembagaan menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus dan tidak harus mengerjakan sesuatu (kewajiban) lain (kebolehan atau liberty) bagaimana mereka mampu mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan

kolektif, dan bagaimana mereka tidak dapat memperoleh kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas nama ketidakmampuan atau exposure.

Wiratno dan Tarigan (2002) secara tegas mengatakan kelembagaan itu adalah serangkaian hubungan keteraturan (order relationship) antara beberapa orang yang menentukan hak, kewajiban atau tepatnya kewajiban menghargai orang lain, privilis dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat atau kelembagaan tersebut. Kelembagaan dicirikan oleh tiga hal yaitu :

(1) Property Right : Mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi serta konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Dalam bentuk formal property right merupakan produk dari sistem hukum formal. Dalam bentuk lainnya merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat mengatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat di mana ia berada. Implikasi dari hal ini adalah : (1). hak seseorang adalah kewajiban orang lain, (2) hak seperti dicerminkan oleh kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap hak miliknya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti memberi, pembelian atau hadiah dan melalui pengaturan administrasi, misalnya pemerintah memberikan subsidi kepada sekelompok masyarakat. Memilki property right berarti memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penggunaan sumberdaya untuk menciptakan ongkos bagi orang lain apabila menginginkan sumberdaya yang dimiliki tersebut. (2) Batas Yuridiksi. Menetukan sikap dan apa yang tercakup dalam

kelembagaan suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu kelembagaan. Sehingga terkandung makna batas yuridiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya alam. Faktor-faktor yang mempengaruhi perfoma apabila terjadi perubahan atas yuridiksi antara lain :

♦ Perasaan sebagai suatu masyarakat. Menentukan siapa yang termasuk kita dan siapa yang termasuk mereka. Hal ini erat kaitannya dengan konsep jarak sosial yang akan menentukan kadar komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan.

Eksternalitas. Suatu analisis dalam mempelajari kelembagaan adalah transaksi yang mencakup transaksi melalui mekanisme pasar, administrasi atau hibah. Dalam setiap transaksi selalu terjadi transfer sesuatu yang dapat berupa manfaat, ongkos, informasi, hak-hak istimewa, kewajiban dan lain- lain. Sesuatu yang ditransaksikan apakah bersifat internal atau eksternal

ditentukan oleh batas yuridiksi. Perubahan batas yuridiksi akan mengubah srtuktur eksternalitas yang akhirnya mengubah siapa mengganggu apa.

Homogenitas. Homogenitas preferensi dan kepekaaan politik ekonomi terhadap perubahan preferensi merupakan hal yang penting dalam menentukan batas yuridiksi, terutama dalam hal merefleksikan permintaan terhadao barang jasa harus dikonsumsi secara kolektif, maka isu batas

yuridiksi menjadi penting dalam merefleksi preferensi konsumen dalam aturan pengambilan keputusan. Homogenitas preferensi dan distribusi individu masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda dalam mempengaruhi jawaban atas pertanyaan siapa yang memutuskan.

♦ Skala ekonomi. Konsep ini memegang peranan yang sangat penting dalam menelaah permasalahan batas yuridiksi. Dalam pengertian ekonomi, skala ekonomi menunjukan situasi di mana ongkos persatuan terus menurun apabila output ditingkatkan. Batas yuridiksi yang sesuai sudah tentu menghasilkan ongkos persatuan lebih rendah dibandingkan alternatif batas

yuridiksi yang lainnya.

(3) Aturan Representasi. Mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumberdaya yang dibicarakan. Keputusan apa yang akan diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, oleh karena itu berperan penting dalam menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka. Hal ini memberi pemahaman bahwa aturan representasi merupakan subjek analisis ekonomi.

Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan panutan oleh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan Tjondronegoro (1999) yang mengatakan bahwa lembaga adalah suatu tata aturan yang dibentuk oleh masyarakat sehingga memiliki ciri tradisional dan non formal.

Dahuri et al. (2001) mengatakan kelembagaan sebagai institusi, terdiri dari tiga aspek yaitu : 1) aparatur yang bekerja di lembaga tersebut, 2) fasilitas ruang, peralatan dan bahan, serta fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga, dan 3) dana operasional untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut. Sedangkan pelembagaan nilai-nilai adalah memasyarakatkan hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut kepada masyarakat atau pengguna jasa lembaga tersebut. NIlai-nilai yang dilembagakan dapat berupa peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, tataruang wilayah pesisir dan lautan, pedoman perencanaan dan bentuk-bentuk lainnya.

Pengelompokkan kelembagaan di dunia sosial berdasarkan pada kesatuan aktivitas-aktivitas karena pada dasarnya pembentukan kelembagaan memiliki tujuan khusus yang dilaksanakan oleh orang-orang tertentu yang perlu didukung dengan norma dan struktur yang khusus pula (Syahyuti, 2003). Berdasarkan tugas tanggung jawab pengelolaan, maka lembaga pemerintah yang memiliki wewenang dapat dibedakan dalam kategori lembaga fungsional (sektoral) dan lembaga koordinasi. Lembaga fungsional (sektoral) adalah lembaga yang memiliki peran mengelola, mengembangkan dan mengatur secara teknis kegiatan-kegiatan pembangunan yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan lembaga koordinasi memiliki peranan dalam mengkoordinasikan segenap kegiatan pengelolaan pembangunan sesuai dengan fungsi dan manajeman yang menjadi tanggung jawabnya. Di samping lembaga pemerintah maka dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya beberapa kelembagaan secara formal maupun informal berperan penting dalam pemanfaatan dan pengelolaan antara lain : lembaga adat, keagamaan, LSM dan organisasi lainnya.

Pranadji (2003) mengatakan bahwa dalam kenyataan penganalisaan kelembagaan belum banyak menyentuh subtansi yang berimplikasi besar terhadap kemajuan masyarakat di pedesaan. Aspek kelembagaan, misalnya menyangkut pengembangan tata nilai, kepemimpinan dan perubahan struktur

sosial masih jarang diteliti secara mendalam. Akibatnya implikasi penelitian kelembagaan yang selama ini diusulkan tidak lebih dari sekedar sebagai embel- embel atau pemanis untuk pembelaan diri terhadap kegagalan penyelenggaraan pembangunan pedesaan. Selanjutnya dikatakan bahwa penelitian kelembagaan dengan basis pengetahuan sosiologi, hendaknya mulai dikembangkan lebih serius. Pilihan strategi yang digunakan dalam pembangunan itu sendiri sarat dengan aspek kelembagaan, misalnya dalam kaitan dengan aspek tata nilai, kepemimpinan, manajemen sosial dan interdepedensi antara pelaku pembangunan pedesaan.

Kelembagaan merupakan proses melembaganya nilai-nilai kemanusiaan

(humanity), kebenaran (righteousness), kesopanan (civility), kearifan (wisdom), kepercayaan (trust), dan perdamaian (peace). Kelembagaan diadakan untuk menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan mengubah kehidupan yang senantiasa lebih baik dari hari ke hari (Purwaka, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa kelembagaan menghasilkan learning civilzation : bangsa yg senangtiasa belajar, membuka diri, mau mengubah diri, berkomunikasi, berdialog/mengakui keberadaan pihak lain. Pengurus kelembagaan mengutamakan keutaman hidup dalam kesederhanaan, bukan mengutamakan hidup pribadi yang sekarang banyak dikerjasamakan.

Akselerasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya pemanfaatan dalam bidang perikanan tangkap membutuhkan tata kelembagaan yang “kuat” sebagai jawaban atas pola manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut. Karena penataan pola manajemen itu sendiri diarahkan bukan kepada sumberdaya ikan sebagai tujuan pemanfaatan tetapi kepada pelaku pemanfaatan itu sendiri, yaitu sumberdaya manusia, sehingga dibutuhkan berbagai aturan main yang konprehensif tentang apa itu manajemen pemanfaatan sumberdaya ikan. Jawaban yang paling tepat adalah tata kelembangaan yang didalamnya sudah termasuk perangkat hukum, ekonomi, hubungan antara pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, sehingga akselerasi yang dimaksudkan dapat menguntungkan semua pihak terhasuk sumberdaya perikanan yang harus dalam tatanan pemanfaatan yang berkelanjutan (Purwaka, 2006).

Teori principal-agent berusaha untuk mengetahui masalah-masalah yang muncul dalam keterhubungan (interrelationship) antara dua atau lebih individu atau kelompok, dan membantu menerangkan bagaimana keterikatan pihak yang

berhubungan dapat dilaksanakan secara kompatibel dengan upaya meminimalisasi biaya transaksi. Dalam bentuk paling sederhana, teori “principal- agent” menyangkut hubungan antara dua orang, yang satu dinamakan prinsipal dan lainnya dinamakan agen.

Anwar (1995) menyatakan bahwa teori principal-agent menekankan perhatiannya terhadap suatu rancangan struktur insentif untuk suatu tujuan efisiensi pada keadaan yang asimetrik (asimetrik information). Tatanan kontraktual (contractual arrangement) merupakan solusi dari hubungan ini yang membawa agen kedalam suatu bentuk kerjasama dengan prinsipal. Prinsipal setuju memberikan suatu insentif tertentu kepada agen, di lain pihak agen setuju melakukan tindakan atas nama dan yang menjadi kepentingan prinsipal. Teori ini membantu dalam mendekati masalah yang dihadapi oleh petani/nelayan dalam hubungannya dengan kelembagaan yang dipilihnya. Yang menjadi permasalahan utama dalam teori “principal-agent” ini adalah bagaimana prinsipal dapat meyakinkan agen untuk menerima rencana/program yang akan dilaksanakan dan bertanggung jawab secara penuh terhadap kesepakatan yang telah disetujui bersama.

Perlunya suatu persetujuan di antara kedua belah pihak dalam suatu hubungan principal-agent ini didasarkan atas fakta bahwa prinsipal dan agen sebenarnya memiliki kepentingan yang berbeda. Keadaan demikian selanjutnya akan mengakibatkan suatu konflik oleh karena setiap individu akan memaksimumkan kepuasannya, yang selanjutnya agen akan cenderung bertindak menurut kepentingannya daripada mempertimbangkan kepentingan prinsipalnya. Sejalan dengan pendapat ini, Williamson (1985) menyatakan bahwa perilaku individu pada dasarnya bersifat opportunis dan cenderung dengan berbagai tipu muslihat mengejar kepentingannya sendiri. Dalam hal demikian, tidak adanya aturan main yang bisa membatasi, misalnya melalui kontrak yang dinyatakan secara eksplisit, maka agen akan cenderung mengejar keuntungan secara individu dan tidak akan mempertimbangkan kepentingan prinsipalnya dan demikian juga berlaku sebaliknya. Bentuk kelembagaan hubungan “principal agent” muncul sebagai respon terhadap keadaan informasi yang asimetri, sehingga dalam hal ini bisa timbul masalah agensi (agency problem) yang selanjutnya menimbulkan biaya agensi (agency cost).