• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Menyeluruh : Perumusan Implikasi Kebijakan

Kerjasama Inti Plasma

7.5 Pembahasan Menyeluruh : Perumusan Implikasi Kebijakan

Kemitraan yang selama ini berjalan di Indonesia menurut banyak pengamat pada umumnya masih berlangsung karena himbauan pemerintah. Himbauan itu pun berjalan tidak sebagaimana mestinya, karena dorongan untuk bermitra, umumnya didasarkan atas konsep belaskasihan dan bukan atas dasar kerjasama yang saling menguntungkan. Kalaupun ada kemitraan yang terjadi umumnya didasarkan atas rasa takut akan mendapat hambatan dari pemerintah. Jadi kebutuhan untuk bermitra di Indonesia belum built in dengan strategi usaha dari itu sendiri. Kemitraan usaha yang benar-benar didasarkan pada adanya kebutuhan dan dilandasi motivasi ekonomi relatif masih sedikit. Padahal dalam praktik bisnis internasional dewasa ini, kemitraan usaha telah menjadi bagian strategi internalisasi aktivitas usaha melalui akuisisi dan merger/penggabungan dalam rangka integrasi vertikal dan horisontal.

Dalam program kemitraan sering mengedepankan aspek sosial (kesejahteraan nelayan), tetapi pertimbangan keuntungan ekonomi jauh lebih dominan. Sebab misi utamanya adalah meraih keuntungan dari setiap hubungan bisnis yang tercipta, tidak terkecuali pada nelayan kecil. Dengan demikian syarat utama untuk menjamin kelanggenan kemitraan usaha adalah nelayan harus memiliki kemampuan yang memadai guna memenuhi harapan pihak industri perikanan atau pihak perusahaan lainnya. Sementara itu kondisi objektif masyarakat nelayan sangat sulit untuk dapat memenuhi tuntutan industri perikanan atau perusahaan besar yang menerapkan kriteria-kriteria bisnis modern. Kondisi sosial ekonomi nelayan sangat rendah. Hampir semua potensi sumberdaya yang dimiliki (teknologi, sumberdaya manusia dan finansial) tidak mampu untuk mendukung terciptnya suasana saling membutuhkan dan menguntungkan. Berkaitan dengan situasi ini, maka sepatutnya nelayan dibantu dan didukung oleh berbagai pihak terkait.

Meskipun telah ada dukungan pembinaan dari instansi terkait, tetapi nelayan nampaknya masih sulit untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Sebab perilaku instansi pemerintah sebagai pelaksana proyek cenderung menonjolkan pendekatan “proyek” (sukses administrasi) ketimbang kesuksesan program secara berkelanjutan. Mekanisme kontrol dan sistem pertanggungjawaban terhadap pelaksana kemitraan usaha tidak diciptakan secara baik. Akibatnya, bantuan dan pembinaan kepada nelayan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Perilaku seperti ini sekaligus membuka peluang kepada industri perikanan atau perusahaan sebagai pihak yang lebih kuat dan memiliki kecenderungan eksploitatif untuk mengingkari berbagi aturan main demi meraih keuntungan yang lebih besar. Bila ada pengaduan dari nelayan, maka jarang ditanggapi dengan serius, karena komitmen pelaksana proyek relatif rendah dan tidak ada sanksi tegas yang dihadapkan kepada mereka bila tidak mengindahkannya.

Kemitraan usaha yang selama ini terlaksana pada dasarnya terbangun atas prakarsa dari pemerintah bersama industri perikanan atau antara nelayan bersama industri perikanan. Program kemitraan usaha yang terbangun cederung bersifat top down. Implikasinya adalah aturan main dan perangkat organisasi pelaksannya lebih berdasarkan pada nilai-nilai yang dianut pemrakarsanya (pemerintah, industri perikanan dan perusahaan besar). Pada tahap operasionalnya, nelayan dimobilisasi melalui kelompok untuk ikut serta dalam

program kemitraan. Situasi demikian menyebabkan konsep dan pelaksanaan kemitraan tidak sesuai dengan aspirasi atau kebutuhan masyarakat nelayan. Kalaupun ikut terlibat di dalamnya bukan karena atas dasar kesadaran sendiri, tetapi lebih dipersuasi oleh pemerintah, industri perikanan dan perusahaan besar. Keikutsertaaan dalam konteks seperti ini menyebabkan nelayan tidak memiliki kemandirian dalam mengembangkan usahanya (Bachriadi,1995).

Sikap pemerintah, industri perikanan dan perusahaan besar yang memaksakan pola kemitraan tertentu dengan tanpa mempertimbangkan secara mendasar mengenai kesiapan nelayan hanya akan menimbulkan kekecewaan. Pada aspek kualitas, nelayan masih berhadapan dengan rendahnya kemampuan teknis dan manajemen usaha termasuk pengelolaan kelompok.

Meskipun secara umum aturan main tentang kemitraan usaha harus bermuara terwujudnya suasana saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan, namun dalam operasionalnya seringkali tidak jelas kriteria- kriteria pencapainya. Pada umumnya pihak-pihak penyelenggara hanya mengandalkan peraturan pemerintah pusat yang sifatnya masih sangat umum. Situasi seperti ini terlihat pada kemitraan usaha nelayan selama ini termasuk kondisi di kota Ambon. Pihak-pihak terkait tidak memiliki target yang jelas untuk jangka waktu tertentu. Kegiatan yang dilakukan lebih didasarkan pada selera masing-masing dan terkadang bermasa bodoh dengan masalah-masalah yang terjadi dalam program kemitraan usaha. Jadi dalam kemitraan tidak tercipta suatu mekanisme pemaksa atau kontrol bagi pelaksananya.

Berbagai bentuk aturan main baik yang bersifat formal maupun informal yang mengatur hubungan atau kemitraan antara masyarakat nelayan dapat dijumpai di desa pantai di seluruh Indonesia. Dari bentuk tersebut ada 4 sistem kelembagaan ekonomi yang sering ditemui yakni ; 1) kelembagaan bagi hasil, 2) kelembagaan hubungan kerja, 3) kelembagaan pemasaran dan 4) kelembagaan perkreditan. Fakta menunjukkan bahwa keempat kelembagaan ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Pada umumnya masyarakat nelayan sering terlibat dalam hubungan ganda. Scott (1994) menyatakan bahwa masyarakat pantai termasuk nelayan mempunyai hubungan paternalistik yang telah beralngsung sejak zaman dahulu. Seseorang menjadi pengikuti (client) dari lapisan atasnya dan sekaligus menjadi pemimpin (patron) lapisan bawahnya. Sebagai patron adalah orang yang berada dalam posisi membantu client.

Praktek kelembagaan berdasarkan tradisi lokal sangat dihormati oleh masyarakatnya, tetapi kemudian kelembagaan lokal ditingkat desa ini terhegomoni oleh pemerintah melalui peran kepala desanya melaksanakan campuran kekuasaan. Kekausaaan ini merupakan perwakilan sebagai kepala desa yang mana tugas-tugas yang diemban sering tidak konsisten dan bahkan selalu berseberangan dengan peranan institusi lokal yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya guna peningkatan kesejahteraan anggota masyarakatnya sebagai upaya menuju pembangunan berkelanjutan.

Dalam proses pengembangan masyarakat, maka unsur pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Pengembangan sumberdaya manusia dalam masyarakat baik secara teoritis, konsepsional, dan praktis operasional merupakan realita yang telah teruji dalam sejarah pembangunan baik di tingkat regional, nasional bahkan internasional. Hal ini berarti bahwa sebagai suatu paradigma pembangunan, maka pengembangan masyarakat dibangun atas dasar realita-realita kehidupan masyarakat yang dapat menjamin terwujudnya pemberdayaan masyarakat itu sendiri, peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat berkembang dan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi dan untuk meningkatkan ikatan dan jalinan masyarakat sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, maka pemberdayaan masyarakat itu sendiri berintikan premis bahwa masyarakat yang menjadi intended beneficieries memiliki potensi untuk berkembang dan mandiri di dalam menghadapi berbagai tantangan dan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupannya. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah merupakan suatu proses peningkatan kapasitas masyarakat melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan (baik secara formal maupun informal), dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk dapat menghadapi kehidupan sehari-hari.

Menurut Winoto (2000), pemberdayaan masyarakat harus dibangun atas premis kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang meliputi :

(1) Premis mengenai sifat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat, di dalam proses interaksi sosial, manusia umumnya berusaha untuk bisa memperoleh manfaat bagi kehidupannya dan sekaligus mengurangi ketidakmenentuan dan resiko kehidupan yang dihadapi walaupun juga banyak anggota masyarakat yang bersifat phylantropic.

(2) Premis tentang kehidupan organisasi

Pengelompokan sosial pada umumnya dilakukan untuk mengurangi ketidakmenentuan dan resiko kehidupan serta di dalam proses untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya masyarakat.

(3) Premis tentang kebutuhan manusia dan masyarakat

Manusia mencari dan berinteraksi dengan manusia lainnya melalui sistem masyarakat (community sistem), oleh karena didorong sifat alamiahnya. Pengelompokan yang bersifat alamiah dan interaktif ini akan lebih penting dari pada pengelompokan berdasarkan batasan geografis. Atas dasar ini masyarakat dipahami sebagai suatu sistem yang terjalin oleh karena adanya ikatan-ikatan nilai dan kepentingan akan kebutuhan ekspresi diri dalam masyarakat dan kebutuhuan akan pemenuhan aspirasi-aspirasi kehidupannya.

(4) Premis dalam partisipasi pengambilan keputusan tentang perubahan.

Pengembangan masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dibangun di atas premis bahwa setiap anggota masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupannya.

(5) Premis tentang keberhasilan dan kegagalan program dan proyek pemberdayaan masyarkat. Kegagalan dan keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh kemampuan semua pihak yang terlibat dalam proses pengembangan masyarakat untuk memahami realitas dan lingkungannya, sistem nilai masyarakat tentang arti penting perubahan dan arti penting dari masa depan, dan mindscape masyarakat dalam bersikap dan berprilaku serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan budaya masyarakat dalam bersikap dan berprilaku akan menentukan keberhasilan suatu program atau proyek pengembangan pemberdayaan masyarakat.

Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan agar usaha pemberdayaan tersebut dapat berhasil yaitu :

1. Prinsip pendekatan kelompok

Bimbingan dan pelatihan dilakukan melalui pendekatan kelompok sehingga dapat menumbuhkan kekuatan gerak dari masyarakat. Kelompok

ditumbuhkan dari dan oleh serta untuk kepentingan masyarakat itu sendiri bukan untuk kepentingan pembina atau pihak lainya.

2. Prinsip keserasian

Anggota kelompok haruslah berasal dari orang-orang yang saling mengenal satu dengan lainnya, sehingga saling percaya dan mempunyai kepentingan yang sama dan akan menumbuhkan kerjasama yang kompak dan serasi. 3. Prinsip pendekatan kemitraan

Memperlakukan masyarakat kecil sebagai mitra kerja pembangunan yang berperan aktif dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini masyarakat tidak hanya dijadikan objek dari pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunan itu sendiri.

4. Prinsip Kepemimpinan masyarakat itu sendiri

Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengembangkan kepemimpinan dari kalangan mereka sendiri.

5. Prinsip swadaya

Bimbingan dan dukungan kemudahan yang diberikan haruslah yang mampu untuk menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian. Disamping itu pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat semakin tergantung pada berbagai program, karena apa yang dinikmati harus dihasilkan dari usaha sendiri.

6. Prinsip belajar sambil bekerja

Masyarakat dibimbing dan dibina melalui proses bekerja sendiri dan mengalami serta menemukan sendiri tujuan yang ingin dicapainya. Dengan kata lain bahwa masyarakat yang dibina mampu belajar dari pengalaman yang pernah dilaluinya (learning by doing).

7. Prinsip pendekatan keluarga

Bimbingan yang dilakukan harus melibatkan seluruh komponen keluarga. Pemberdayaan masyarakat terutama kelompok masyarakat kecil menengah, sebagai bagian terbesar dari populasi masyarakat di Indonesia, dengan demikian merupakan kegiatan strategis yang perlu diposisikan agar dapat memberdayakan dan melepaskan masyarakat kecil dari perangkap ketergantungan. Melalui masyarakat yang berdaya dengan demikian dapat diharapkan terwujudnya suatu komunitas yang mampu dan terampil membuat rencana, melaksanakan, memproduksi, mengolah dan memasarkan, menikmati hasil usaha, serta memperoleh pendapatan yang layak untuk hidup dan

menyejahterakan keluarga dan lingkungannya. Keinginan ini akan menjadi lebih mudah dicapai jika kelembagaan masyarakat benar-benar diberdayakan untuk dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama dan unit usaha antar pengusaha kecil menengah untuk mengelola dan memasarkan produksi yang dihasilkannya agar dapat memiliki nilai tambah yang ekonomis dan menguntungkan. Kondisi ini akan terfasilitasi dengan lancar, jika pemerintah atau swasta memposisikan dirinya secara bulat sebagai fasilitator pembangunan dan dengan sepenuh hati maksud pemberdayaan masyarakat sebagai langkah strategis menjadikan komunitas masyarakat kecil menengah sebagai pelaku ekonomi yang berdaulat terhadap hak dan kewajibannya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan pemerintah selama ini belum sepenuh hati menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pembangunan dengan baik dan benar. Hal ini terbukti dari tidak berperannya pemerintah baik dari tingkat kota, kecamatan maupun desa dalam program kemitraan yang terbangun melalui program PEMP di Kota Ambon. Sementara pihak LEPP-M3 mengharapkan adanya perhatian pemerintah desa (mitra desa) dalam aspek pembinaan terhadap masyarakat desanya yang tentunya bertujuan terhadap keberlanjutan kemitraan tersebut.

Berkaitan dengan hal ini maka sebenarnya kemitraan yang terbangun melalui program PEMP di Kota Ambon sesungguhnya masih menghadapi berbagai macam persoalan. Bila didekati dari kaidah sebab akibat, maka persoalan-persoalan yang melingkupi program kemitraan usaha pada dasarnya bersumber dari dua komponen utama, yakni struktur sumberdaya partisipan serta proses pelaksanaannya.

Dari segi kesiapan sumberdaya, maka seharusnya diantara nelayan peserta dan LEPP-M3 Kota Ambon ada “keseimbangan”. Artinya, apabila satu pihak mengorbankan suatu sumberdaya, pihak lainnya harus mampu mengelolanya dengan baik berkat dukungan potensi sumberdaya yang dimilikinya. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan suasana saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan. Namun kenyataan yang terjadi dalam kemitraan yang terbangun melalui program PEMP di Kota Ambon terjadi ketimpangan. Beberapa jenis sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas belum mampu menopang keberlanjutan kemitraan. Kondisi sumberdaya yang dimiliki oleh nelayan perikanan tangkap khususnya kelompok masyarakat pemanfaat (nelayan purse seine) di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 47.

Tabel 47. Identifikasi persoalan sumberdaya KMP peserta kemitraan

No. Potensi sumberdaya Persoalan pada nelayan purse seine

1 Manusia Pendidikan sangat rendah ada yang tidak memiliki latar belakang sebagai nelayan

2 Teknologi / peralatan Belum tersedianya rumpon secara menyeluruh dan alat penangkapan yang digunakan sangat belum memadai 3 Finansial Belum dapat disediakannya secara mandiri oleh kelompok

dan dana untuk pengadaan peralatan penangkapan tidak tersedia

4 Informasi Kurang transparan karena hanya dikuasai oleh ketua kelompok

5 Kelembagaan Wadah komunikasi antar partisipan tidak ada dan ikatan kelompok nelayan relatif lemah

6 perikanan Jenis ikan campuran, yang tekadang tidak dibutuhkan oleh industri perikanan

Sumber : Data primer diolah (2008)

Berdasarkan gambaran pada Tabel 47, maka kondisi sumberdaya yang dimiliki nelayan purse seine tersebut belum mendukung terciptanya suasana yang saling menguntungkan. Walaupun pada awalnya, pihak LEEP-M3 dan pihak KMP saling membutuhkan, tetapi karena daya dukung sumberdaya nelayan tidak memadai, akhirnya menimbulkan kerugian bagi LEPP-M3. Kelemahan yang melekat pada sumberdaya KMP peserta kemitraan, ternyata diperparah juga dengan proses pelaksanaan kemitraan yang belum sepenuhnya mampu mengatasi berbagai persoalan yang terjadi (Tabel 48)

Berdasarkan gambaran pada Tabel 48, secara umum pelaksanaan kemitraan belum sepenuhnya mengarah pada upaya pemberdayaan nelayan. Hal ini terlihat dari konsepsi kemitraan yang bersifat top down dan upaya untuk mengatasi berbagai kelemahan mendasar pada sumberdaya nelayan tidak dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, serta sistem kelembagaan belum tertata dengan baik, sehingga kurang berfungsi. Pada sisi lain masyarakat belum sepenuhnya memahami hak dan kewajibannya selaku pelaku ekonomi yang berdaulat karena tidak didukung oleh kemampuan manajerial dan ketersediaan informasi yang dapat membantu mereka melaksanakan fungsinya sebagai unit usaha yang mandiri dan otonom.

Gap inilah yang selama ini mengakibatkan nelayan perikanan tangkap seakan-akan bergantung pada uluran tangan pemerintah yang bahkan cenderung menjadi campur tangan birokrat. Untuk mengatasi gap ini diperlukan personel yang mampu berperan sebagai komunikator, motivator, dinamisator, korektor serta soluter yang dapat merekatkan kesenjangan antara masyarakat kecil dan pemerintah.

Beberapa pendekatan dan strategi dalam pemberdayaan masyarakat, dapat ditempuh dengan berbagai upaya sebagai berikut :

1. Memulai dengan tindakan mikro. Proses pembelajaran rakyat harus dimulai dengan tindakan mikro, namun memiliki konteks makro dan global. Dialog mikro-makro harus terus menjadi bagian pembelajaran masyarakat agar berbagai pengalaman mikro dapat menjadi policy input dan policy reform.

Tabel 48. Identifikasi persoalan pelaksanaan kemitraan

No Pelaksanaan Kemitraan Persoalan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kelompok Nelayan Peserta

Pembentukan Kemitraan Usaha

Aturan Main Organisasi Pelaksana Sosialisasi Program Operasional Kegiatan - Proses Produksi - Pemasaran Pembinaan Monitoring/Evaluasi Pendapatan KMP

Dibentuk oleh KMK dominasi ketua kelompok terlalu kuat

Diprakarsai oleh DKP, nelayan dimobilisasi untuk ikut kemitraan

Tertulis tapi tidak dimiliki oleh anggota kelompok, hanya ada pada ketua kelompok, presepsi diantara nelayan peserta berbeda dan aspirasi nelayan belum terakomodasi

Tidak ada struktur yang disepakati bersama, hanya diperankan oleh ketua kelompok, pembinaan tidak terwadahkan secara baik Lebih bersifat penerangan dan dilakukan hanya sekali serta nelayan dijadikan sebagai objek

Belum didasarkan pada perencanaan yang sistimatis, sumberdaya manusia belum dipersiapkan secara baik

Pemberian bantuan dalam bentuk dana DEP kepada KMP hanya di ketahui oleh ketua kelompok,

Penanganan hasil penangkapan tidak menggunakan es sementara hasil perikanan bersifat mudah busuk

Tidak ada jaringan pasar yang tersedia sesuai dengan perjanjian

Tidak dari pemerintah desa maupun kecamatan serta instansi terkait. Pihak LEPP-M3 tidak melaksanakan fungsinya.

Belum dilaksanakan secara teratur

Rata-rata belum mampu menutupi kredit dari dana DEP

Sumber : Data primer diolah (2008)

2. Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan kondsi lokal (daerah). Yang dimaksud produk strategis (unggulan) tidak hanya produksi yang ada di masyarakat seperti laku di pasaran, tetapi unggul dalam hal bahan baku dan teknis produksinya, serta memiliki keterkaitan sektoral tinggi.

3. Mengganti pendekatan kewilayahan administrasi dengan pendekatan kawasan. Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin didasarkan atas kewilayahan administratif. Pendekatan kewilayahan administratif adalah pendekatan birokrasi atau kekuasaan. Pendekatan kawasan berarti lebih menekankan kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan tertentu. Dengan pendekatan ini akan memungkinkan terjadinya pemberdayaan masyarakat dalam skala besar disamping keragaman model yang didasarkan atas keunggulan antara kawasan satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut akan memungkinkan terjadinya kerjasama antar kawasan yang lebih produktif.

4. Membangun kembali kelembagaan masyarakat. Peran serta masyarakat menjadi keniscayaan bagi semua upaya pemberdayaan masyarakat, jika tidak dibarengi munculnya kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang benar-benar diciptakan oleh masyarakat sendiri.

5. Mengembangkan penguasaan pengetahuan teknis. Perlu dipahami bersama bahwa desakan modernisasi telah menggusur ilmu pengetahuan dan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan pada input luar serta hilangnya kepercayaan diri yang sangat serius terhadap pengembangan kesadaran. Karena peristiwa ekonomi juga merupakan peristiwa politik atau lebih dikenal dengan politik ekonomi, maka tindakan yang hanya berorientasi memberikan bantuan teknis jelas tidak memadai. Yang diperlukan tindakan berbasis pada kesadaran masyarakat untuk membebaskan diri dari belenggu kekuatan ekonomi dan politik yang menghambat proses demokratisasi ekonomi.

6. Membangun jaringan ekonomi srategis. Jaringan strategis akan berfungsi untuk mengembangkan kerjasama dalam mengatasi keterbatasan- keterbatasan yang dimiliki kelompok ekonomi satu dengan yang lainnya baik dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. Disamping itu juga jaringan strategis juga akan berfungsi sebagai media pembelajaran.

7. Kontrol kebijakan. Agar kebijakan pemerintah benar-benar mendukung upaya pemberdayaan masyarakat, maka kekuasaan pemerintah harus dikontrol. Sebagai contoh keikutsertaan kelompok nelayan dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan perikanan.

8. Menerapkan model pembangunan berkelanjutan. Setiap peristiwa pembangunan harus mampu secara terus menerus mengkonservasi daya dukung lingkungan. Dengan demikian daya dukung lingkungan akan dapat dipertahankan untuk mendukung pembangunan.

Seperti telah diuraikan diatas sasaran strategi pemberdayaan masyarakat bukanlah sekedar peningkatan pendapatan semata melainkan sebagai upaya membangun basis-basis ekonomi yang bertumpu pada kebutuhan masyarakat dan sumberdaya lokal yang handal. Di samping itu pemberdayaan ekonomi masyarakat harus pula diarahkan pada upaya-upaya menciptakan proses-proses ekonomi yang lebih demokratis dan berkeadilan serta menjamin bagi terciptanya kemandirian dan keberlanjutan.

Mencermati kelembagaan kemitraaan melalui program PEMP yang di laksanakan di Kota Ambon, dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, masih terdapat berbagai kelemahan baik dari segi konsep kemitraan yang di bangun maupun implementasinya. Sementara kondisi masyarakat nelayan di Kota Ambon melalui kelembagaan kemitraaan ini diharapkan memberikan solusi bagi melepaskan mereka dari perangkap keterbelakangan yang membelenggu mereka.

Dipahami bahwa peranan utama kelembagaan dalam suatu masyarakat adalah untuk mengurangi ketidaktentuan (uncertainty) dengan menetapkan suatu struktur yang stabil bagi interaksi manusia. Stabilitas kelembagaan dapat saja berubah menurut waktu dan proses yang rumit sebagai konsekwensi dari adanya perubahan aturan. Karena kelembagaan dapat berubah, maka berarti secara terus menerus akan terjadi perubahan pilihan yang tersedia bagi manusia dalam masyarakat.

Perkembangan kelembagaan berarti suatu proses menuju kearah perbaikan hubungan antara orang atau kelompok orang dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat membentuk kelembagaan yag dikehendaki. Karena proses tersebut melibatkan unsur norma dan tingkah laku manusia, maka proses tersebut memerlukan waktu.

Dalam prakteknya, pengembangan kelembagaan dicapai melalui program-program yang dirancang dan diimplementasikan dalam suatu proyek, dengan susunan staf, rincian tugas dan tanggung jawab, tahapan-tahapan yang harus dilakukan, pendanaan dan lain sebagainya. Namun demikian segala sesuatu yang telah dirancang tersebut seyogyanya tidak merupakan suatu rancangan yang kaku (blueprint) namun dapat saja berubah sesuai kondisi yang dihadapi di lapangan. Pengembangan kelembagaan memerlukan perencanaan, namum seyogyanya bersifat fleksibel sebagai suatu adaftasi terhadap perubahan lingkungan.

Pendekatan learning process mungkin dapat memberikan sumbangan dalam menciptakan kapasitas lokal untuk memobolisasi dan mengelola sumberdaya guna mencapai kelembagaan yang diharapkan. Dalam konteks ini, ada tiga alternatif dalam mendukung upaya-upaya pengembangan kelembagaan lokal meliputi bantuan teknis, fasilitas dan promosi. Ketiga altenatif tersebut mempersentasikan tingkat keterlibatan (degree of involvement) pihak luar yang berbeda-beda terhadap masalah yang berkaitan dengan kelembagaan lokal. Cara yang paling tepat dalam upaya untuk penguatan (strengthen) kemampuan kelembagaan lokal yang demokratis sangat tergantung pada (1) kemampuan atas kapasitas yang telah ada sebelumnya, (2) sumber inisyatif perubahan.

Kontribusi Kelembagaan kemitraan dalam pengembangan ekonomi lokal diharapkan bahwa nantinya kompetensi ekonomi lokal dapat diidentifikasi dengan baik untuk kemudian dikembangkan menjadi usaha yang berbasis pada