• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions) dengan metode Worked Examples dapat memberikan kontribusi dalam menanamkan HOTS pada siswa secara optimal kedepannya. Adapun beberapa manfaatnya sebagai berikut : 1. Manfaat bagi Siswa

a. Melalui pembelajaran dengan model pembelajaran STAD dan metode worked examples, diharapkan dapat menanamkan HOTS pada siswa.

b. Siswa dapat memperoleh pengalaman baru dalam pembelajaran matematika.

2. Manfaat bagi Guru

a. Menciptakan pembelajaran yang mengarahkan siswa pada HOTS dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan metode worked examples.

b. Mengenal pembelajaran yang bervariasi sebagai salah acuan meningkatkan kualitas siswa.

3. Manfaat bagi Sekolah

a. Dengan adanya pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan metode worked examples, diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi sekolah untuk digunakan sebagai salah satu

strategi menanamkan HOTS pada siswa dalam meningkatkan kualitas lulusan.

4. Manfaat bagi Peneliti

a. Sebagai pembelajaran bagi peneliti untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan maupun diluar perkuliahan.

b. Menambah pengalaman peneliti dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan metode worked examples untuk menanamkan HOTS pada siswa, sehingga dapat dijadikan bekal sebagai calon guru

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran berbeda dengan pendekatan maupun strategi pembelajaran. Model – model pembelajaran biasanya disusun berdasarkan berbagai prinsip atau teori pengetahuan. Para ahli menyusun model pembelajaran berdasarkan prinsip – prinsip pembelajaran, teori – teori psikologis, sosiologis, analisis sistem, atau teori – teori lain yang mendukung (Joyce and Weil dalam Rusman, 2010:132). Joice and Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan – bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain (Joice and Weil dalam Rusman, 2010:133). Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya.

Menurut Rusman (2010:133), Model pembelajaran memiliki ciri – ciri sebagai berikut:

1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.

2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif.

3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas.

4. Memiliki bagian – bagian model yang dinamakan: (a) urutan langkah – langkah pembelajaran; (b) adanya prinsip – prinsip reaksi; (c) sistem sosial; dan (d) sistem pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.

5. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi: (a) Dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur; (b) Dampak pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.

Salah satu dari jenis model pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif. Teori yang melandasi pembelajaran kooperatif adalah teori kontruktivisme. Menurut Slavin dalam Rusman (2010:201), pembelajaran kooperatif menggalakkan siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Ini membolehkan pertukaran ide sendiri dalam suasana yang tidak terancam, sesuai falsafah kontruktivisme. Dalam model pembelajaran kooperatif, guru lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung kearah pemahaman yang tinggi, dengan catatan siswa sendiri. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada siswa, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam menerapkan ide – ide mereka.

Pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi (Nurul Hayati, 2002:25). Dalam sistem belajar yang kooperatif siswa belajar bekerjasama dengan anggota lainnya sehingga siswa memiliki dua tanggung jawab, yaitu

mereka belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar.

Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakan dengan pembelajaran kelompk yang dilakukan asal – asalan. Pelaksanaan prinsip dasar dengan pokok sistem pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas dengan lebih efektif. Dalam pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak harus belajar dari guru kepada siswa. Siswa dapat saling membelajarkan sesama siswa lainnya. Pembelajaran oleh rekan sebaya lebih efektif dari pada pembelajaran oleh guru. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin (1995) dinyatakan bahwa (a) penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain, (b) pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan alasan tersebut, strategi pembelajaran kooperatif diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.

Pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain.

Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan pada proses kerjasama dalam kelompok. Adanya kerjasama inilah yang menjadi ciri khas dari model pembelajaran kooperatif. Berikut akan dijelaskan karakteristik atau ciri – ciri pembelajaran kooperatif.

1. Pembelajaran secara tim.

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dilakukan secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap siswa belajar. Setiap anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran.

2. Didasarkan pada manajemen kooperatif

Mengacu pada tiga fungsi manajemen, yaitu: (a) fungsi manajemen sebagai perencanaan pelaksanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, dan langkah – langkah pembelajaran yang telah ditentukan. (b) Fungsi manajemen sebagai organisasi, menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran berjalan dengan efektif.

(c) Fungsi manajemen sebagai kontrol, menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui bentuk tes maupun nontes.

3. Keterampilan bekerjasama

Kemampuan bekerjasama itu dipraktikkan melalui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran secara berkelompok. Dengan demikian siswa perlu didorong utnuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota kelompok lain dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Selain karakteristik, dalam model pembelajaran kooperatif juga mempunyai langkah – langkah pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Langkah –

langkah pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu sebagai berikut.

1. Penjelasan Materi

Tahap ini merupakan tahapan penyampaian pokok – pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama tahapan ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran.

2. Belajar kelompok

Tahapan ini dilakukan setelah guru memberikan penjelasan materi, siswa bekerja dalam kelompok yang telah dibentuk sebelumnya.

3. Penilaian

Penilaian dalam pembelajaran kooperatif bisa dilakukan melalui tes atau kuis, yang dilakukan secara individu atau kelompok. Tes secara individu akan memberikan penilaian kemampuan individu, sedangkan kelompok akan memberikan penilaian pada kemampuan kelompoknya.

4. Pengakuan tim

Penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah, dengan harapan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi lebih baik.

B. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions)

Student Teams Achivement Divisions (STAD) merupakan sebuah strategi pembelajaran kooperatif yang memberi tim berkemampuan majemuk latihan untuk mempelajari konsep dan keahlian, bersama dengan siswa (Slavin dalam

Paul Eggen & Don Kauchak 2012:144) . STAD mengarahkan siswa untuk berlatih secara kelompok. Dalam kelompok diberikan kesempatan untuk berlatih dan memberikan umpan balik terkait dengan pelajaran.

Terdapat empat langkah dalam merencanakan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif STAD antara lain:

1. Melakukan perencanaan untuk mengajar kelas-utuh

Saat menggunakan STAD, merancang rencana untuk mempresentasikan materi yang akan dipraktikan siswa di dalam kelompok dengan cara yang sama. Sebagaimana semua strategi dan model, memiliki tujuan belajar yang jelas di dalam pikiran, menyiapkan contoh – contoh, dan mendorong interaksi sangatlah penting.

2. Membentuk kelompok

Sebagaimana pembelajaran kooperatif lainnya, untuk menerapkan STAD secara efektif harus mengatur tim terlebih dahulu. Tujuannya adalah menciptakan tim yang memiliki campuran kemampuan, gender, dan etnisitas.

Bob Slavin (1995), yang menciptakan STAD, menyimpulkan bahwa empat anak per kelompok adalah angka ideal, tetapi lima juga bisa digunakan.

Dalam pembentukan kelompok, dipastikan bahwa masing – masing kelompok mencakup siswa prestasi tinggi dan rendah, anak laki-laki dan perempuan, siswa dengan dan tanpa kesulitan belajar.

3. Merencanakan studi tim

Keberhasilan pembelajaran STAD tergantung pada adanya sumber – sumber belajar yang lengkap untuk memandu interaksi di dalam kelompok. Di sinilah

tujuan belajar yang jelas menjadi penting. Tujuan itu memastikan bahwa pengajaran kelompok dan studi tim selaras dengan tujuan belajar. Berbagai bahan studi tim bisa digunakan. Dalam matematika, bahan – bahan itu bisa berupa soal yang harus dipecahkan.

4. Menghitung skor dasar dan nilai perbaikan kesempatan

Keberhasilan bersama menjadi penting ketika menggunakan STAD.

Kesempatan untuk berhasil bersama berarti bahwa semua siswa, terlepas dari kemampuan atau latar belakang, bisa berharap untuk diakui upayanya. Ini dicapai dengan memberi siswa nilai perbaikan jika skor mereka di dalam satu tes atau kuis lebih tinggi daripada skor dasar mereka. Skor dasar ini, diperoleh dari nilai kuis atau tes sebelumnya dan ditentukan sebelum menggunakan diperkenalkan STAD kepada siswa. Nilai perbaikan diberikan berdasarkan kinerja siswa di dalam tes atau kuis setelah diperkenalkan STAD.

Dalam menerapkan pembelajaran menggunakan STAD, akan seperti menerapkan pengajaran kelas utuh yang berfokus pada konsep atau keterampilan.

Memperkenalkan pelajaran, menjelaskan dan mencontohkan materi, dan meminta siswa untuk berlatih dengan dibimbing guru. Kemudian, studi tim menggantikan latihan mandiri. Akan tetapi, pengajaran dalam kadar tertentu kerap dibutuhkan untuk memastikan transisi yang baik dari kelompok utuh ke studi tim. Menurut Paul Eggen & Don Kauchak ( 2012: 151), fase dalam menerapkan pembelajaran STAD, antara lain,

1. Fase pengajaran

Saat menggunakan STAD, pengajarannya serupa dengan pengajaran kelompok utuh standar yang berfokus pada konsep dan keterampilan.

2. Fase transisi ke tim

Sebagaimana semua bentuk kerja kelompok dan pembelajaran kooperatif, siswa harus belajar untuk bekerja secara efektif di dalam kelompok. Di dalam STAD, strategi kerja kelompok dan pembelajaran kooperatif lebih sederhana.

Sebab, siswa akan mengerjakan tugas yang sudah jelas.

3. Fase Studi tim

Studi tim memberikan kesempatan bagi siswa melatih materi baru dan mendapatkan umpan balik dari anggota kelompok. Memonitor siswa sangat penting dalam fase ini, untuk mendorong keterampilan sosial yang menjadi tujuan dari semua kegiatan kerja kelompok dan pembelajaran kooperatif. Jika melihat siswa tidak bekerja sama, ada siswa yang mendominasi kelompok, atau ada siswa yang tidak berpartisipasi, guru harus bertindak untuk memberikan bimbingan.

4. Fase mengakui prestasi

Saat menggunakan STAD, guru akan melakukan asesmen terhadap siswa dengan cara yang sama sebagaimana dilakukan. Dalam fase ini, juga sangat penting karena diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar.

C. Metode Worked Examples

Dasar dari worked examples adalah Cognitive Load Theory (CLT). CLT merupakan teori yang dikembangkan berdasarkan sistem kognitif manusia. CLT

meminimalkan beban kognitif pada working memory yang kapasitasnya menjadi terbatas ketika mengolah materi pembelajaran yang baru, sehingga sistem kognitif mampu bekerja secara optimal ( Sweller, 2011: 57-68). Teori ini dikembangkan dengan asumsi bahwa working memori memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengolah informasi baru yang kompleks, memori jangka panjang memiliki kapasitas yang tidak terbatas dan belajar adalah membangun pengetahuan schema acqusition ( melatih pengetahuan baru) dan schema automation (melatih pengetahuan yang telah dipelajari) (Retnowati, 2015:15). Siswa membangun pemahaman dengan mengaitkan, mengorganisasikan atau mengoneksikan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya (Sweller, Ayres dan Kalyuga, 2011: 4-11). Oleh karena itu, pengetahuan awal adalah komponen penting dalam pembelajaran. Apabila siswa tidak mempunyai pengetahuan awal yang relevan, siswa akan kesulitan dalam memahami materi baru (Retnowati, 2016:55).

Menurut CLT, worked examples memfasilitasi siswa dengan contoh cara menyelesaikan masalah yang masih baru untuk siswa. Karena materi masih baru, maka siswa belum memiliki pengetahuan awal yang relevan dan cukup kuat.

Adanya contoh membantu siswa untuk membangun pengetahuan awal (schema acquisition), sehingga dapat memfasilitasi siswa untuk memahami problem solving dengan lebih efektif. Kemudian, CLT menjelaskan bahwa siswa perlu difasilitasi dengan problem solving setelah worked example. Problem solving ini dikerjakan oleh siswa tanpa melihat contoh yang diberikan. Dengan ini siswa melakukan schema automation, untuk melatih pemahaman awal yang

diperolehnya melalui worked example sebelumnya. Worked example dirasa efektif untuk mengurangi beban muatan kognitif pada siswa menengah kerena lebih berfokus pada bagaimana membantu siswa untuk mampu menyelesaikan permasalahan dibanding menantang siswa untuk menentukan jalannya sendiri.

Hal ini diungkap peneliti Sweller (1999) bahwa worked example mampu mengurangi beban kognitif yang tinggi dibandingkan dengan problem solving bagi pemula.

Dalam mengembangkan Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan worked example, Globe dan Renkl (2007:613) menyatakan bahwa dalam penyusunannya, LKS harus berisi permasalahan, langkah – langkah pengerjaannya dan solusi penyelesaian. Indikator dari pendekatan worked example adalah contoh yang relevan dan penyelesaiannya dengan persoalan yang ada. Dalam contoh tersebut dtunjukkan langkah – langkah secara rinci untuk menyelesaikan masalah serupa.

Oleh karenanya, Globe dan Renkl (2007) dan Sweller, Ayres dan Kalyuga (2011) mengungkapkan bahwa worked example mampu

1. Mengelola intrinsic cognitive load (beban kognitif intrinsik) dari kekompleksan materi dengan efisien. Kekompleksan materi yang dimaksud adalah terkait dengan materi yang pernah dipelajari sebelumnya atau dapat dicek melalui apersepsi yang diberikan di awal pembelajaran untuk memunculkan kembali prior knowledge siswa.

2. Memotivasi siswa untuk mempelajari suatu materi. Disusun dalam pasangan worked example yang keduanya mirip. Materi yang dijadikan contoh dengan

setipenya disajikan dalam pasangan kanan-kiri, atau atas-bawah sesuai dengan penyajian lembar kerja yang akan dikembangkan.

3. Mengelola extraneous cognitive load (beban kognitif tambahan) dengan efisien, antara lain dengan menghindari split attention effect, redundancy effect dan expertise reversai effect.

Adapun contoh penyajian worked example dan permasalahan pada materi aljabar disajikan pada tabel dibawah ini.

Worked example / contoh kerja

Permasalahan Sederhanakan:

4𝑥 − 7 − 5𝑥 + 9 Solusi

Langkah 1

Kelompokkan suku sejenis 4𝑥 − 5𝑥 − 7 + 9

Langkah 2

Operasikan koefisien suku sejenis (4 − 5)𝑥 + (9 + 7) = −1𝑥 + 2 Langkah 3

−1𝑥 ditulis – 𝑥 Sehingga −1𝑥 + 2 = −𝑥 + 2 Maka bentuk sederhana dari

4𝑥 − 7 − 5𝑥 + 9 adalah −𝑥 + 2

D. HOTS ( Higher Order Thingking Skill )

HOTS ( Higher Order Thinking Skill ) merupakan suatu proses berpikir siswa dalam level kognitif yang lebih tinggi dari hanya sekedar menghafal dan memahami. HOTS dikembangkan dari berbagai konsep dan metode kognitif dan taksonomi pembelajaran seperti metode problem solving klurik dan Rudnick (1998), taksonomi Bloom (1956), dan taksonomi pembelajaran, pengajaran,dan penilaian dari Anderson dan Krathwohl dalam Saputra Hatta (2016 : 67).

Tujuan utama dari HOTS adalah bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir siswa pada level yang lebih tinggi, terutama berkaitan dengan kemampuan untuk berpikir secara kritis dalam berbagai jenis informasi, berpikir secara kritis dalam memecahkan suatu masalah menggunakan pengetahuan yang dimiliki serta membuat keputusan dalam situasi – situasi yang kompleks (Saputra, 2016:91-92).

Tabel 2.1 Dasar Konsep Higher Order Thinking Skills ( Menurut : Saputra Hatta, 2016 : 91 )

Dari tabel di atas, Bloom membagi domain kognitif menjadi enam level berpikir. Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali dirancang oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Tujuan pendidikan dibagi kedalam tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Namun ketiga ranah dalam taksonomi Bloom tersebut lebih bersifat linier,sehingga seringkali menimbulkan kesukaran bagi guru dalam menempatkan isi pembelajaran. Akhirnya tahun 1990 seorang murid Benjamin Bloom yang bernama Lorin W. Anderson melakukan penelitian dan menghasilkan perbaikan terhadap taksonomi Bloom, revisinya diterbitkan tahun 2001. Perbaikan yang dilakukan adalah dari kata benda (noun) menjadi kata kerja (verb). Ini penting dilakukan karena taksonomi Bloom sesungguhnya adalah penggambaran proses berfikir. Selain itu juga dilakukan pergeseran urutan taksonomi yang menggambarkan dari proses berfikir tingkat rendah ( low order thinking) ke proses berpikir tingkat tinggi ( high order thinking).

Dalam revisi taksonomi Bloom, Anderson dan Krathwohl menambahkan satu istilah untuk kompetensi kognitif tertinggi yaitu creation. Anderson dan Krathwohl berasumsi bahwa kemampuan mensintesis pada taksonomi Bloom lama merupakan kompetensi tertinggi karena merupakan akumulasi dari kelima kompetensi lainnya. Dengan alasan itu dipindahkan di puncak piramida domain kognitif tetapi mengubah menjadi creation (penciptaan).

Gambar 1. Tingkatan Berpikir Taksonomi Bloom Revisi

( Anderson & Krathwohl, 2015:42)

Dari piramida tersebut diklasifikasikan proses berpikir yang termasuk kedalam HOTS menurut taksonomi Bloom revisi. Merujuk revisi dari taksonomi bloom, HOTS merupakan aktivitas berpikir siswa yang melibatkan level kognitif tingkat tinggi dari taksonomi berpikir bloom meliputi menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta ( Anderson & Krathwohl, 2015:43).

Thomas dan Thorne (2009, hal. 1) menjelaskan HOTS merupakan keterampilan berpikir yang lebih daripada sekedar menghafalkan fakta atau konsep. HOTS mengharuskan siswa melakukan sesuatu atas fakta – fakta tersebut.

HOTS dapat ditingkatkan secara rutin ketika guru melakukan kegiatan pembelajaran yang melatih siswa untuk menganalisis, mengevaluasi dan mencipta dalam proses pembelajaran. Pada akhirnya HOTS akan memudahkan siswa untuk

mengingat, memahami, dan mengaplikasikan dalam proses pembelajaran (Anderson &Krathwohl, 2015:354).

Selain dari taksonomi Bloom lama maupun baru, HOTS juga dapat mengacu pada PISA (Program for International Student Assessment). Dalam studinya, PISA disajikan dengan tes yang menuntut kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Siswa yang berkemampuan tinggi mampu mengidentifikasi masalah dengan menyebutkan informasi yang diketahui dari masalah PISA yang diberikan (Putra & Novita, 2015).

Kemampuan matematika siswa dalam PISA dibagi menjadi enam level (tingkatan), level 6 sebagai tingkat pencapaian paling tinggi dan level 1 yang paling rendah. Setiap level tersebut menunjukkan tingkat kompetensi matematika yang dicapai siswa. Secara lebih rinci level-level yang dimaksud dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 2. 2 Level Pada PISA ( Rahmah Johar 2012 : 36 ).

Level Kompetensi Matematika

6

Siswa pada tingkatan ini telah mampu berpikir dan bernalar secara matematika. Mereka dapat menerapkan pemahamannya secara mendalam disertai dengan penguasaan teknis operasi matematika, mengembangkan strategi dan pendekatan baru untuk menghadapi situasi baru. Mereka dapat merumuskan dan mengkomunikasikan apa yang telah mereka temukan. Mereka melakukan penafsiran dan berargumentasi secara dewasa.

5

Siswa pada tingkatan ini dapat bekerja dengan menggunakan pemikiran dan penalaran yang luas, serta secara tepat menghubungkan pengetahuan dan keterampilan matematikanya

dengan situasi yang dihadapi. Siswa dapat melakukan refleksi dari apa yang dikerjakan dan mengkomunikasikannya.

4

Siswa pada tingkatan ini dapat menggunakan keterampilannya dengan baik dan mengemukakan alasan dan pandangan yang fleksibel sesuai dengan konteks. Siswa dapat memberikan penjelasan dan mengkomunikasikannya disertai argumentasi berdasar pada intepretasi dan tindakan siswa.

3

Siswa pada tingkatan ini dapat menginterpretasikan dan menggunakan representasi berdasarkan sumber informasi yang berbeda dan mengemukakan alasannya. Siswa dapat mengkomunikasikan hasil interpretasi dan alasannya.

2

Siswa pada tingkatan ini dapat mengerjakan algoritma dasar, menggunakan rumus, melaksanakan prosedur atau konversi sederhana. Siswa mampu memberikan alasan secara langsung .

1

Siswa pada tingkatan ini dapat menjawab pertanyaan yang konteksnya umum dan dikenal serta semua informasi yang relevan tersedia dengan pertanyaan yang jelas.

Menurut analisis oleh Setiawan (2014) antara tingkatan kognitif menurut taksonomi Bloom yang telah direvisi dengan tingkatan kognitif pada PISA, didapatkan bahwa level 4-6 soal pada PISA tergolong sebagai Higher Order Thingking. Sedangkan level 1-3 pada PISA tergolong sebagai Lower Order Thinking. Hal ini berarti bahwa dalam menyelesaikan soal PISA pada level 4-6 diperlukan kemampuan berpikir tinggi. Selain itu, soal – soal untuk mengukur HOTS juga dapat mengacu pada soal PISA pada level 4-6.

Dari beberapa pendapat yang mengacu pada HOTS, maka dapat disimpulkan bahwa HOTS bukan hanya belajar untuk menghafal atau memahami

saja, tetapi juga mengajak untuk berpikir kritis ( pada taksonomi Bloom revisi dan PISA pada level 4 ), berpikir kreatif ( pada taksonomi Bloom revisi dan PISA pada level 5), sampai dengan dapat membuat keputusan sendiri ( pada taksonomi Bloom dan PISA pada level 6 ).

Dalam mengukur HOTS siswa, dapat dilakukan dengan memberikan tes dengan soal- soal yang mengacu pada HOTS. Berikut akan diberikan contoh soal yang digunakan dalam mengukur kemampuan HOTS.

1. Dibawah ini adalah 3 tower yang memiliki tinggi berbeda dan tersusun dari dua bentuk yaitu bentuk segi-enam dan persegi panjang.

( Sumber : Rista Oktaviana 2017 : 8 ) Berapakah tinggi tower yang paling pendek tersebut?

2. Kebun Pak Budi ditanami 4 jenis pohon mangga : golek, indramayu, manalagi, dan harumanis. Pohon mangga golek mempunyai batang yang kokoh dan buah yang masam, sedangkan pohon mangga harumanis mempunyai batang yang tidak kokoh dan buah yang manis. Diagram lingkaran berikut menggambarkan mangga yang dihasilkan dari kebun Pak Budi.

( Sumber : Yudom Rudianto 2017 : 71 )

Bila mangga golek hasil panen ada 150 buah, berapakah jumlah seluruh mangga yang diperoleh pak Budi ?

3. Perhatikan gambar berikut!

Grafik di bawah ini memberikan informasi tentang ekspor dari Zedland, sebuah negeri yang menggunakan satuan mata uang zed.

Ekspor tahunan total dari Zedland dalam juta zed, 1996-2000

Sebaran ekspor dari Zedland di tahun 2000

(Sumber : Yudom Rudianto 2017 :76)

Berapakah harga jus buah yang diekspor dari zedland pada tahun 2000?

Jelaskan jawaban anda!

4. Ani memiliki dua tabung dengan volume 1500π 𝑐𝑚3 dan tinggi 15 cm serta tabung yang satunya memilki luas permukaan 1500π 𝑐𝑚2 dan jari – jarinya 10 cm. Apakah kedua tabung tersebut merupakan tabung dengan ukuran yang sama? Jelaskan jawabanmu!

Contoh soal diatas, soal nomor 1 dan 2 merupakan contoh soal pada tingkat 4, soal 3 dan 4 merupakan soal pada tingkat 5. Maka dari itu, ke empat soal tersebut sudah termasuk dalam HOTS.

E. Materi Pembelajaran

1. Bentuk Aljabar dan Unsur-unsurnya

Bentuk aljabar adalah suatu bentuk matematika yang dalam penyajiannya

Bentuk aljabar adalah suatu bentuk matematika yang dalam penyajiannya