• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENEMUKAN CINTA

Dalam dokumen Sebelas Senyuman untuk Kosambi (Halaman 189-197)

“Kunci kesuksesan adalah kesabaran dan berusaha”

MENEMUKAN CINTA

Belda Eldrit Janitra

Prihatin

Barangkali yang memperkeruh segala persoalan manusia adalah persepsi buruk di awal. Hal itu pula yang saya alami dan yakini bahwa, kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah sesuatu yang useless dan kurang berimbas pada keberhasilan studi tiap pribadi mahasiswa. Bagaimana tidak? Pengabdian mahasiswa hanya diukur dengan tinggal selama sebulan di desa orang yang ke depannya tak akan ada yang tahu bagaimana kelanjutan program yang mahasiswa buat tersebut untuk ke depannya. Dengan pemilihan tempat KKN yang kali ini ditentukan oleh kampus, saya lebih-lebih sudah underestimate karena bukan kelompok kami sendiri yang mencari.

Terlintas di benak saya, tanah orang yang akan saya tinggali selama sebulan dengan teman-teman yang baru saya kenal beberapa bulan belakangan adalah tempat yang panas (mengingat ketika saya cek di

Google Maps, Desa Kosambi tidak jauh dari garis pantai), jauh dari

keramaian, belum lagi masyarakatnya yang keras dan tak acuh hingga segala persepsi buruk mengenai lokasi tempat KKN yang menumpuk di dalam otak saya makin membuat Desa Kosambi terasa tanpa harapan atau hopeless place bagi saya. Sesungguhnya kendala terbesar yang saya bayangkan adalah bagaimana cara bisa berinteraksi dan membaur dengan masyarakat sekitar.

Terlebih, kendala yang saya bayangkan takkan bisa saya atasi adalah masalah hati saya sendiri yang harus memintal jarak sekian kilometer dengan suami saya. Maklum, ketika proses pembentukan kelompok KKN ini bertepatan dengan proses persiapan pernikahan saya. Bayangkan saja, bila nanti saya harus jauh dengan imam saya, padahal kami baru saja bersatu. Ah, itu bayangan kendala pribadi saya saja yang banyak melibatkan masalah hati.

170 | K e l o m p o k K K N A K S I

Manusia Setipe

Bersyukurnya saya ketika dijadikan bagian dari kelompok 219 yang di kemudian hari kami namai kelompok ini dengan nama AKSI (Aktif, Komunikatif, Solutif, Inovatif), adalah sebelas manusia setipe dengan saya yang tak mau ambil pusing dengan berbagai kemelut yang kami hadapi. Setelah saya pelajari karakter-karakter teman-teman saya merupakan akumulasi dari perpecahan sifat-sifat saya. Kami memiliki ketua kelompok bernama Fadli yang penuh tanggung jawab, tetapi tidak

sok kuasa apalagi otoriter. Lelaki ini merupakan sosok ketua yang

menampung segala aspirasi anggotanya yang tak jarang pula celetukan-nya yang humoris memecahkan suasana tegang di kala kami rapat.

Kami memiliki Fatimah sebagai sekretaris yang loyalitas serta tanggung jawabnya tinggi, dengan segala macam ujian hidup yang ia alami seperti kehilangan ayahandanya tercinta saat proses persiapan menuju kegiatan KKN, ia tetap tak melepas kewajiban untuk menyelesaikan segala macam surat menyurat tanpa harus merepotkan anggota yang lain. Jujur saya salut, dengan kekuatan seorang perempuan yang ada dalam dirinya.

Saya juga kenal dengan Aini, perempuan mungil yang mengelola keuangan kami. Jauh dari kesan gahar seorang bendahara pada umumnya, tetapi tetap tegas untuk masalah pemasukan dan pengeluaran.

Ada Dzul, orang di belakang terciptanya karya logo kelompok kami dan segala macam desain sertifikat dan banner. Idenya tak pernah habis dan selalu tepat waktu untuk urusan menyelesaikan tugas-tugas KKN.

Ada pula, Fikri komandan besar pembangunan fisik berupa tempat wudhu di RW tertinggal binaan kami. Perhitungannya yang matang dan berpengalaman, membuat saya diam-diam berdecak kagum dengan kemampuan yang ia miliki. Lelaki ini juga mampu berbaur dengan cepat degan masyarakat sekitar, sehingga proses negosiasi dalam pembangunan fisik bisa kami lakukan dengan cepat.

Saya juga mengenal Faris, lelaki yang terkesan santai dan easy going. Namun, siapa sangka dibalik penampilannya yang terkesan tak peduli itu ia menaruh tanggung jawab dan fokus besar terhadap isu-isu kemasyarakatan yang kami hadapi di lapangan. Ia selalu bisa melihat

S e b e l a s S e n y u m a n U n t u k K o s a m b i | 171

segala sesuatu dengan berbagai perspektif positif dan pastinya disikapi dengan kepala dingin.

Saya pun mengenal lelaki bernama Ismail, idola para gadis pesantren tempat kami mengajar SMP dan SMK. Sikapnya yang ramah dan terkadang konyol membuat para gadis yang masih bau kencur di Kosambi jatuh hati padanya. Ia tak pernah ambil pusing dengan sikap murid-muridnya yang kerap berkunjung datang ke basecamp kami untuk sekadar mengantar cemilan. Mail sangat menguasai bahasa Arab dan ilmu tajwid, tak jarang saya sering berguru darinya.

Saya pun mengenal Bela, gadis yang kuat sekali begadang untuk belajar mempersiapkan Olimpiade Hukum yang saat itu akan dia ikuti. Tekadnya yang kuat bisa membuat gadis ini tidak tidur sehari semalam. Benar-benar gadis yang luar biasa, pikir saya.

Ada juga Sarah, seorang enterpreneur yang meski banyaknya kegiatan kami ia tetap dengan profesional mengurus bisnisnya via ponsel. Sering kali saya berdiskusi masalah sirkulasi bisnis dengannya. Bagi saya, seorang mahasiswa yang bisa mandiri finansial dan memberdayakan masyarakat untuk bersinergi mencari rizki adalah sebuah prestasi yang hebat. Saya seringkali dibuat kagum dengan tingkah Sarah yang sudah seperti seorang profesional.

Seseorang terakhir di kelompok kami yang saya kenal adalah Nita. Seorang melankolis individualis yang menyimpan potensi luar biasa. Di balik ketenangan dan sikap diamnya, rupanya Nita adalah sosok analis masalah. Saya sering tak habis pikir dengan segala penilaiannya dalam meneropong masalah. Di sinilah saya menemukan manusia setipe yang merupakan akumulasi semua karakter saya. Tak jarang kami terpercik api emosi ketika merumuskan sesuatu. Namun, seringkali kami tak berlama-lama membiarkan perbedaan pendapat di forum kami. Kami musyawarahkan semua dengan kepala dingin untuk menentukan hasil yang terbaik.

Bagi saya, tak ada pelajaran yang tak berharga ketika kami hidup bersama selama satu bulan. Saya yang statusnya baru menikah saat itu merasa jauh dengan cinta saya, tetapi manusia-manusia setipe ini mampu menghadirkan cinta yang membuat saya selalu merasa hangat ketika berada bersama mereka. Bagi mereka, saya adalah sosok ibu, kakak dan

172 | K e l o m p o k K K N A K S I

teman yang mengayomi mereka. Hal ini saya ketahui ketika kami

muhasabah di hari akhir kebersamaan kami di tepi pantai Pulau Pari.

Segala amarah, kesal, sedih, senang, bangga dan haru kami bagi bersama selama satu bulan. Mengajar, mengaji, bermasyarakat, bersinergi dengan satu sama lain, hingga menghasilkan sebuah karya adalah pengalaman dan nilai hidup yang sangat patut terus diingat.

Bagi saya, sebuah kisah tak terlupakan hadir di suatu malam saat hujan deras turun mengguyur desa kami. Hari itu kami lelah sekali dengan segala macam kegiatan yang telah kami lewati seharian. Baik saya maupun yang lain pasti ingin langsung membenamkan diri ke alam mimpi untuk beristirahat. Namun, apalah daya air yang tumpah dari langit malam itu memaksa kami untuk menahan lelah karena rumah kami bocor dan kebanjiran. Sontak rasa lelah tergantikan dengan rasa panik warga serumah karena saluran pembuangan kamar mandi meluap, ruang tengah bocor, hingga kasur di kamar kami pun juga kebasahan. Seharusnya malam itu kami sudah lelap, akhirnya digantikan dengan kegiatan kerja bakti menguras rumah yang bocor. Lucu sekali jika saya ingat ekspresi tiap orang malam itu yang memaksa matanya tetap sadar padahal nyawa sudah setengah hidup. Bagi saya, kebersamaan kami malam itu adalah momen terbaik yang akan selalu saya ingat. Dengan tanpa persiapan dan berangkat dari kesadaran masing-masing, kami bahu membahu membersihkan rumah agar dapat terwujud istirahat yang nyaman. Malam itu kami tidur dengan pulas meski masih terselip rasa

was-was bila hujan tak reda hingga esok pagi. Cintanya di Sini We found love in a hopeless place...

We found love in a hopeless place... We found love in a hopeless place...

Potongan syair lagu Rihanna berjudul We Found Love tersebut terngiang di alam bawah sadar saya. Seakan-akan diksi-diksi lirik ini mewakili perasaan saya yang setiba menemukan cinta di tempat yang saya anggap tanpa harapan pada awalnya. Rupanya, persepsi saya tersebut salah besar. Semua memang tak seperti yang saya bayangkan sebelumnya.

S e b e l a s S e n y u m a n U n t u k K o s a m b i | 173

Saat kegiatan KKN berlangsung kami membina tiga RW, yakni RW 4, RW 5 dan RW 6. Di antara semua RW tersebut RW 6 lah yang teritorialnya jauh dari kantor Desa Kosambi. Ditambah dengan lingkungan tempat tinggal mereka yang dekat dengan bendungan pembuangan limbah pabrik yang kotor membuat kondisi masyarakat di RW tersebut tertinggal secara kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan. Di tempat seperti itulah, saya, Fatimah dan Fadli mendapat tugas untuk mengajar taman baca yang notabene belum resmi. Taman baca yang didirikan oleh mahasiswa KKN dari Universitas lain sebelumnya yang datang di tempat tersebut, sebagai bentuk keprihatinan mereka terhadap kondisi pendidikan anak usia dini di sana.

Kondisi awal yang dihadapkan pada kami adalah tidak adanya fasilitas belajar mengajar yang memadai dan tak adanya pengajar tetap yang dapat kami tanyai mengenai progress taman baca tersebut. Hanya seorang anak lelaki yang baru masuk SMA, yang tak lain anak pak RT yang dulu menyambi mengajar sepulang ia sekolah. Kini, ia telah menjadi siswa SMA dengan segudang kegiatan barunya yang artinya tak ada lagi pengajar dan proses belajar di Taman Baca BEDAS (Bendungan Cerdas) tersebut. Kami dibuat miris dengan kondisi saat itu.

Alhasil, kami bertiga memutuskan untuk membeli perangkat belajar mengajar awal yang seadanya, seperti buku bacaan, buku gambar, spidol, pensil, rautan, crayon dan lain-lain. Kami mengusahakan adanya kembali kegiatan belajar di Taman Baca BEDAS tersebut dan mengusahakan adanya sertifikasi lembaga agar selalu tersedia pengajar dan terus berjalan proses belajar anak-anak. Rupanya, usaha kami dalam kurun sebulan ini membuahkan hasil. Anak-anak sekitar ingin kembali berkumpul di serambi mushalla untuk belajar di tiap sorenya. Rona-rona keceriaan mereka terpancar dari senyum sumringah di wajah mereka dan

celetukan-celetukan polos ala anak-anak yang terucap. Dari sinilah,

pehatian masyarakat di RW tersebut mulai bermunculan. Tak jarang, kami sering diminta untuk mampir ke rumah masyarakat sekitar sepulang mengajar untuk makan sore bersama mereka. Bila salah satu dari kami absen mengajar, pasti ada saja cinta yang tersirat dari para warga. Kami ditanya, mengapa tidak masuk? Apakah sakit? Apa perlu menginap di rumah mereka agar mengajarnya tidak jauh? Banyak sekali

174 | K e l o m p o k K K N A K S I

simbol cinta yang kami dapat di sini. Lagi-lagi hal ini membuat saya merasa bersyukur berkali-kali ditempatkan untuk berkegiatan dan mengabdi di sini karena saya bisa merasakan letupan-letupan cinta tulus dari anak-anak dan para warga yang notabene baru saya kenal. Sungguh, adakah hal yang lebih baik daripada menerima ketulusan cinta warga desa yang belum terkontaminasi berbagai macam kepentingan?

Tak Ada Kata Terakhir

Hari-hari terakhir kami di Kosambi berjalan terasa sangat lambat. Bagaikan bekicot yang tak bisa lagi menambah speed melatanya. Mungkin, kami mulai merasa jenuh karena kegiatan dari seluruh program kerja sudah hampir selesai. Kami mulai merindukan rumah dan orang-orang tercinta masing-masing. Namun, itu terjadi hanya untuk beberapa waktu. Di suatu siang yang terik, sembari makan bakso cuanki yang biasa dijinjing seorang lelaki muda yang biasa kami panggil ‘abang’ hari itu kami berpikir, “Kira-kira setelah semua kegiatan ini berakhir, bagaimana kelanjutan dari program-program jangka panjang yang kami buat di sini seperti sertifikasi lembaga agar Taman Baca Bendungan Cerdas tetap eksis?”

Saya pribadi memiliki keinginan untuk terus menggalakkan semangat pendidikan di Taman Baca Bendungan Cerdas. Sudah terlalu prihatin saya dibuat dengan keadaan taraf pendidikan di Kampung Bendungan. Bayangkan, anak-anak yang bisa duduk di bangku SMP di kampung ini bisa dihitung jari. Itupun, jika mereka beruntung tidak putus karena himpitan ekonomi. Maka dari itu, saya berkeinginan, lewat Taman Baca Bendungan Cerdas, untuk menanamkan pentingnya pendidikan kepada anak-anak didik saya. Langkah selanjutnya, menarik hati para pemangku jabatan untuk sekedar memberi perhatian agar pendidikan di Kampung Bendungan tidak dianaktirikan. Saya sepenuhnya yakin anak-anak kampung ini memiliki otak-otak cerdas dan tinggi kemauan. Akhirnya, dengan bantuan berbagai pihak yang melihat effort dari masyarakat, pendidikan dapat berkembang dengan cara-cara tersendiri, pemberian beasiswa misalnya.

S e b e l a s S e n y u m a n U n t u k K o s a m b i | 175

Di samping itu, kami juga mulai memikirkan bagaimana tindak lanjut dan perawatan tempat wudhu program kerja pembangunan fisik kami yang menghabiskan dana tidak sedikit.

Kami pun berinisiatif untuk pergi ke rumah sekretaris desa untuk melaporkan hasil akhir proker kami. Kami juga menitipkan beberapa pesan berupa monitoring fasilitas fisik yang telah kami adakan serta tindak lanjut sertifikasi untuk didirikanya Taman Baca BEDAS. Kami juga menyampaikan pada sekretaris desa, bila tidak berhalangan kami akan bergantian monitoring ke desa ini dalam beberapa bulan sekali. Meskipun usaha yang kami bisa lakukan hanya sebatas ini, tetapi kami tahu tak ada kata “ini yang terakhir” untuk masalah pengabdian. Mungkin, di Kosambi ini awal kami menancap tombak pengabdian. Tapi, saya pribadi yakin pengabdian yang sebenarnya akan terus berlanjut bila kami bermanfaat bagi sesama. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallah ‘Alayhi wa

Sallam, “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain.”

Selagi masih ada manfaat dalam diri ini yang bisa kami bagi dengan orang lain, maka tak ada kata terakhir untuk menebar manfaat.

176 | K e l o m p o k K K N A K S I

“Let all that you do be done in love.”

-Bela Awaliyah Agustina-

177

Dalam dokumen Sebelas Senyuman untuk Kosambi (Halaman 189-197)