• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengupayakan Penyelamatan Public Goods

Pemerintah mutlak diperlukan di dalam setiap bentuk atau sistem perekonomian yaitu tidak hanya untuk menyediakan public goods (barang-barang publik), melainkan juga untuk mengalokasikan (barang-barang-(barang-barang produksi maupun barang konsumsi, memperbaiki distribusi penghasilan, memelihara stabilitas nasional termasuk stabilitas ekonomi serta mempercepat pertumbuhan ekonomi.Terlebih-lebih bagi Negara yang sedang berkembang, kegiatan pemerintah pada umumnya selalu meningkat karena pemerintah bertindak sebagai pelopor dan pengendali pembangunan.

Menurut kaum Klasik, terutama Adam Smith, pemerintah memiliki 3 fungsi, yaitu dalam bidang pertahanan nasional, keadilan social dan pekerjaan umum (Harold Groves, 1951;438-441). Kegiatan-kegiatan macam ini tidak pernah menarik perhatian para individu baik secara bersama ataupun secara sendirian untuk mengusahakannya.Hal ini disebabkan oleh tidak adanya keuntungan yang tercipta dari usaha tersebut dan bahkan seringkali pengeluaran-pengeluarannya jauh lebih besar daripada penerimaan-penerimaannya sehingga justru menciptakan kerugian. Pada sisi lain, kaum sosialis menyatakan bahwa sistem kapitalis membawa kehidupan manusia ke arah kehancuran karena kebebasan mutlak dari para individu akan menimbulkan banyak pertentangan kepentingan di antara para individu itu sendiri. Akibatnya golongan ekonomi kuat akan terus-menerus mendesak golongan ekonomi lemah, sehingga sosialisme dalam bentuknya yang murni menghendaki dihapuskannya kebebasan individu dan pengaturan kehidupan ekonomi harus dipegang oleh pemerintah sebagai organisasi yang mewakili para individu. Pemerintahlah yang mengatur perencanaan dan penggunaan semua faktor produksi, melaksanakan kegiatan produksi dan mengatur distribusi barang konsumsi, bahkan mengatur pendidikan serta memperbaiki kesehatan dan sebagainya.

Sebaliknya ada kritikan yang diberikan terhadap sistem sosialis oleh kaum kapitalis, yaitu bahwa dengan dihapuskannya kebebasan individu akan mengurangi hak-hak azasi manusia dan juga mengurangi inisiatif individu. Bahkan seringkali kebijakan-kebijakan pemerintah itu akan merupakan kebijakan yang dipaksakan sehingga dapat menimbulkan kegagalan pemerintah.

Di Indonesia, sistem perekonomian yang dianut didasarkan pada keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara individu dan masyarakat yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Jadi bukannya menggabungkan hal-hal yang baik dari sistem kapitalis dengan hal-hal yang baik dari sistem sosialis, walaupun dalam bentuknya yang nyata sistem perekonomian Indonesia mirip dengan sistem ekonomi campuran. Untuk itu, timbul pertanyaan bagi penulis, bagaimanakah implikasi public goods diupayakan dalam keselarasan, keserasian dan keseimbangan tanpa merugikan hubungan antara individu dan masyarakat di Indonesia?

Pengertian Public Goods

Dalam kehidupan sehari-hari istilah “publik” di Indonesia dipahami sebagai “Negara” atau “umum”.Misalnya, dalam menerjemahkan public transportation diartikan sebagai kendaraan umum atau public administrationdimaknai sebagai administrasi negara.Secara etimologis public berasal dari bahasa Yunani yang artinya ―pubes‖, yaitu kedewasaan secara fisik, emosional maupun intelektual. Dalam perspektif sosiologi dan psikologi istilah ―pubes‖ seringkali dimaknai dengan istilah lain, yakni

―puber‖ yang diinterpretasikan sebagai tahapan kehidupan sosial dalam masa transisi dimana yang mulanya berorientasi pada diri sendiri menjadi memikirkan orang lain di luar dirinya.

Dalam bahasa Yunani istilah public seringkali dipadankan dengan kata Koinon atau dalam bahasa Inggris disebut common yang berarti hubungan antar individu. Dengan demikian, public sering dikonsepsikan sebagai sebuah ruang yang berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial atau setidaknya oleh tindakan bersama. Timbullah barang kolektif (collective goods) atau disebut pula sebagai barang publik (public goods) yaitu barang dan jasa yang secara sederhana tidak dapat disediakan melalui jual beli di pasar. Barang dan jasa ini tidak boleh tidak harus disediakan untuk orang-orang sebagai individu. Menurut M.Suparmoko (2012:9), ini adalah prinsip

“non-rivalry” (tidak bersaing). Konsumsi seseorang tidak akan mengurangi tersedianya barang atau jasa tersebut bagi seseorang atau sekelompok orang lain yang ingin mengkonsumsikannya. Artinya penyediaan barang public bagi individu atau konsumen lain tidak menciptakan biaya tambahan sama sekali (Adam Gilford and Gary T.Santani, 1979;31).

Ciri lain dari barang publik adalah penyediaannya tidak dapat dibatasi pada orang-orang yang bersedia membayarnya saja (non-exclusion). Menurut Suparmoko (2012;12), barang dan jasa yang demikian itu tidak dapat ditarik dari konsumsi apabila ada sebagian orang atau individu yang menolak untuk membayarnya.Sebagai contoh, penggunaan jalan raya, traffic light, marka jalan, toilet di Bandara Udara, siaran media

televisi, ilmu pengetahuan, kelestarian lingkungan hidup, dan sebagainya.Barang publik berarti barang atau jasa yang tersedia untuk semua orang. Barang publik sempurna (pure public goods) adalah barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat. Barang publik hampir sama dengan barang kolektif. Bedanya, barang publik adalah untuk masyarakat secara umum (keseluruhan), sedangkan barang kolektif (collective goods) dimiliki oleh satu bagian dari masyarakat (satu komunitas yang lebih kecil), dan hanya berhak digunakan secara umum oleh komunitas tersebut, misalnya tempat duduk dalam bus TransJakarta khusus untuk penyandang cacat, gerbong khusus wanita pada kereta api, sebuah bendungan irigasi areal pertanian, dan sebagainya.

Samuelson (dalam K.W. Wicaksono, 2006;32) mengatakan bahwa karakteristik utama barang publik adalah barang tersebut dapat dibagikan, artinya barang tersebut tersedia untuk semua orang dan bersifat non-eksklusif. Barang-barang publik dibayar dengan pajak dan pinjaman, selain itu harganya bisa dinyatakan dalam tingkat pajak (taxation)yang diperlukan untuk membiayai produksi barang-barang tersebut.Sedangkan barang privat dibayar melalui sistem harga yang berlaku di pasar. Musgrave (dalam K.W.

Wicaksono, 2006;32) menyatakan bahwa apa yang dinamakan barang-barang “yang bermanfaat” bisa jadi sebagian tidak masuk kategori publik karena barang tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau standar tertentu.

Dengan kata lain, sektor publik dan sektor privat bisa dipandang dari sudut teori barang, nampak sebagai sektor yang saling overlapping atau saling berinteraksi ketimbang sebagai sebuah kategorisasi yang didefinisikan secara tegas. Sektor publik merupakan campuran dari barang-barang publik dan privat serta barang-barang publik yang didistribusikan dengan dikenakan biaya atau didasarkan pada kriteria manfaat, misalnya jasa pendidikan.

Eksternalitas Dan Barang Publik

Dalam hal suatu pihak (swasta atau pemerintah) memproduksi, mendistribusikan ataupun mengkonsumsi suatu barang, akibat sampingan yang berupa manfaat atau kerugian dapat terjadi pada pihak lain yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan tersebut. Akibat seperti ini disebut eksternalitas (externalities) selama tidak menciptakan pembayaran atas dampak tersebut. Eksternalitas dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis :

“external benefit”, yaitu kalau ada manfaat, dan “external cost”, yaitu kalau timbul kerugian (Suparmoko, 2012;22). Immunisasi yang dilakukan terhadap suatu penyakit akan menimbulkan external benefit, yaitu kemungkinan terjangkitnya penyakit tersebut dalam masyarakat menjadi kecil. Eksploitasi hutan oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia menunjukkan angka kerusakan hutan per tahun 300.000 hektar

(2012), 2.000.000 hektar (2006 -2010) 3.500.000 hektar (1997 – 2006)[http://www.blogspot.com/2013/hutan yang rusak di Indonesia 14-05-2013]. Kerusakan hutan ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan kerugian bagi orang lain, yang merupakanexternal cost bagi mereka yang tidak terlibat dalam pengelolaan hutan tersebut.

Berdasarkan kedua contoh public goods yang dikemukakan di atas, dapat ditarik persamaan antara eksternalitas dengan barang publik.Pada pelayanan publik untuk immunisasi terhadap penyakit, terdapat “non-rival benefit”.Dalam hal ini sulit untuk menentukan siapa yang memperoleh manfaat tidak langsung dari immunisasi tersebut.Artinya, terdapat kesamaan antara barang publik dan eksternalitas. Dalam hal pengusahaan hutan, akan timbul ―non-rival cost‖, yaitu sejumlah besar orang akan menderita akibat kerusakan lingkungan hidup tersebut karena kerusakan lingkungan hidup tersebut dapat menimbulkan erosi, punahnya spesies hewan tertentu atau hilangnya keanekaragaman hayati, lepasnya gas karbon dan emisi gas rumah kaca ke atmosfer, banjir, dan sebagainya, yang sulit untuk menentukan bahwa kerusakan lingkungan hidup (hutan) tersebut hanya diderita oleh orang tertentu.

Perbedaan antara barang publik dengan eksternalitas adalah bahwa akibat dari eksternalitas tidak dengan sengaja diharapkan. Perbedaan ini juga terletak pada distribusi manfaat, di mana eksternalitas akan menimbulkan manfaat tidak langsung yang berbeda antara yang diterima oleh orang yang tidak terlibat dalam kegiatan dan mereka yang terlibat dalam kegiatan. Sedangkan untuk barang publik, ada kecenderungan yang sama dalam memperoleh manfaat bagi siapa saja baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.

Ekspansi Pasar Dan Krisis Ruang Publik

Barang publik dapat digunakan untuk menganalisis sektor publik.Sektor publik ini termasuk lokus ruang publik. Ada dua kecenderungan yang dapat ditarik dari pemahaman tentang ruang publik (B.Herry Priyono, 2010;374-375). Pertama, operasionalisasi konsep, gagasan “ruang publik” biasanya direduksi menjadi urusan yang menyangkut bidang seperti “barang/jasa umum” (public goods)atau

“bidang layanan public” (public services) seperti yang ditempuh dalam kajian-kajian ekonomi meanstream ataupun ilmu-ilmu kebijakan. Kedua, refleksi filsafat yang biasanya merumuskan gagasan “ruang publik” dengan sedemikian longgar sehingga mencakup semakin banyak unsur ke dalam konsepsinya. Dari uraian ringkas ini, setidaknya dapat dikatakan bahwa ruang publik bukanlah sesuatu yang mengacu pada apa yang oleh khalayak dimengerti sebagai sektor publik dalam rupa instansi Negara, pemeerintah, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibedakan dengan sektor privat. Ruang publik juga bukan ranah yang para pelakunya adalah pejabat

atau pegawai pemerintah, melainkan pelakunya semua warga masyarakat, baik pejabat pemerintah maupun pelaku bisnis ataupun pelajar biasa.

Jelasnya, B. Herry Priyono (2010;376) merumuskan ruang publik sebagai ranah maupun aset, barang, jasa, ruang atau gugus infrastruktur lain yang kinerjanya menjadi penyangga watak sosial suatu masyarakat sehingga masyarakat tersebut berevolusi dari sekedar kerumunan (crowd) menjadi komunitas (community). Ruang publik bukan hak prerogatif pemerintah, dan keberadaannya pertama-tama tidak untuk diperjual-belikan melalui mekanisme pasar bebas.Sama halnya seperti jasa pendidikan, dapat dikelola oleh pemerintah dan oleh swasta.Demikian juga hal tentang public goods lingkungan hidup (hutan) setelah dikelola oleh HPH menimbulkan dampak eksternalitas. Hal ini membuktikan bahwa eksistensi public goods (ruang publik) berhubungan timbal balik dengan pertumbuhan kapitalisme (Hannah Arendt, 2010;193-194). Dengan perkataan lain, depolitisasi massa yang mengiringi hegemoni pasar (seperti pengusahaan hutan oleh HPH) membuat ruang publik raib dari landskap sejarah. Itulah terjadinya masyarakat massa pada abad ke-20 yang menyediakan diri untuk dimobilisasi oleh rezim-rezim totaliter sebagai pengikut atau untuk dimanipulasi oleh kekuatan-kekuatan investasi sebagai konsumen.

Kapitalisme dan totalitarianisme hidup dari sumber yang sama, yaitu kehancuran ruang publik.

Dalam tata ekonomi-politik dewasa ini, apa yang disebut lingkungan hidup diperlakukan bukan sebagai public goods yang perlu dikejar secara sengaja, melainkan hanya sebagai kondisi hasil sampingan dari corak kinerja ekonomi-politik yang semakin privat. Fakta menunjukkan bahwa instansi pemerintah (Kementerian Kehutanan) dan perusahaan HPH menuliskan tema “lingkungan hidup yang sehat”,

“lingkungan hidup yang lestari” dalam visi dan misi mereka tetapi kerusakan hutan terus berlanjut setiap tahunnnya di atas 300.000 hektar.

Kesimpulan

Pure public goods cepat atau lambat akan digeser oleh kapitalisme melalui hegemoni pasar yang dapat menimbulkan external cost, yaitu akibat sampingan berupa kerugian yang dapat terjadi pada pihak lain yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan penyediaan, distribusi atau mengkonsumsi public goods itu sendiri. Solusinya sebenarnya adalah mengurangi atau meniadakan external cost dimaksud. Strategi yang dapat dilakukan adalah merevitalisasi ruang publik dengan mengandalkan kebijakan publik.Tak ada ruang publik (public goods)yang tidak mengandalkan kebijakan publik yang akhirnya sudah tentu tetap membutuhkan badan publik (public agency) yang menjadi penggerak (steering) revitalisasi. Selanjutnya, berkaitan dengan kerusakan public goods lingkungan hidup solusinya dapat dilakukan dengan me-“reedukasi

selera pasar” dan yang terakhir adalah me-reedukasi para pelaku dalam bidang-bidang yang dianggap sebagai pilar ruang publik. Public goods atau ruang publik bukanlah hasil sampingan, melainkan public goods yang perlu diraih secara sengaja.

Daftar Pustaka

Buchanan, James, M.(1999).Pure and Impure Public Goods, The Collected Works of James M. Buchanan, Vol. 5. Liberty Fund: Indianapolis.

Groves, Harold, M.(1951).Financing Government, Henry Hold and Company, Inc.: New York.

Hardiman, Budi, F.(2010).Ruang Publik, Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace, Kanisius: Yogyakarta.

Suparmoko, M.(2012).Keuangan Negara, Dalam Teori dan Praktek. BPFE:

Yogyakarta.

Wicaksono, Widya, Kristian. (2006). Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, Graha Ilmu, Yogyakarta.

http://www.blogspot.com/2013/hutan yang rusak di indonesia mencapai 300.000 hektar per tahun[07-03-2013]

ISBN 979-458-882-2