Pendahuluan
Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar untuk pembangunan bangsa. Maju tidaknya suatu bangsa tergantung pada kualitas pendidikan yang adap ada bangsa tersebut. Jika pendidikan berkualitas baik, maka sangat besar kemungkinan bahwa Negara tersebut akan mengalami kemajuan. Begitu pula sebaliknya. Untuk bias memajukan suatu bangsa diperlukan para generasi penerus bangsa yang mampu dan siap untuk bersaing di era globalisasiini, tentunya hal itu bias tercapai dengan dukungan mutu pendidikan yang baik. Maka sudah barang tentu pendidikan menjadi modal dasar pembangunan dalam suatu bangsa.
Saat ini, di Indonesia, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat mahal dan terkesan eksklusif, yaitu hanya diperuntukan kepada orang-orang yang menduduki stratifikasi sosial menengah ke atas.Walaupun kondisi demikian hanya dirasakan oleh orang yang berada di bawah garis kemiskinan, tapi berimbas juga pada pembangunan secara keseluruhan karena mayoritas penduduk negara kita berada pada starata sosial menengah ke bawah.Padahal, dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (1-5) menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.
Oleh karena itu, pemerintah membuat suatu kebijakan dibidang pendidikan dengan diberlakukannya program Kartu Indonesia Pintar.Program KIP ini merupakan iktikad baik oleh pemerintah untuk membangun sebuah peradaban yang kompetitif yang kearah negara berkembang. Karena untuk menjadi negara yang berkembang, diperlukan wawasan, skill dan moral yang cukup untuk membuka wawasan sebagai modal persaingandengan bangsa-bangsa lain.Program Kartu Indonesia Pintar merupakan bantuan pendidikan yang dikhususkan kepada masyarakat kurang mampu.Selain untuk memberi bantuan pendidikan terhadap masyarakat kurang mampu, kebijakan ini juga dibuat guna menekan dan mengurangi jumlah buta huruf dan anak putus sekolah. Juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kurang mampu serta
mendorong keberlanjutan pendidikan anak-anak mereka. Sehingga tercapai salah satu tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari sini kami tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai Kartu Indonesia Pintar terutama bagaimana pengimplementasian kebijakan dan dampak dari Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar tersebut di daerah Starban, Kecamatan Polonia, Medan. Apakah kebijakan ini sudah dapat menjawab permasalahan kebutuhan pendidikan bagi masyarakat khususnya masyarakat kurang mampu sehingga tercapai pemerataanpendidikan dan keadilan bagi masyarakat, sertaapakah dampaknyabagipembangunan pendidikan.
Implementasi Kartu Indonesia Pintar
Ripley dan Franklin(dalam Winarno, 2014:148) menyatakan bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit) , atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Di Indonesia, salah satu bentuk kebijakan pemerintah yang telah diimplementasikan dalam pembangunan pendidikan adalah Kartu Indonesia Pintar.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No 12 tahun 2015 Pasal 1 ayat 1. Program Indonesia Pintar (PIP) adalah bantuan berupa uang tunai dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang orangtuanya tidak dan / kurang mampu membiayai pendidikan, sebagai kelanjutan dan perluasan sasaran dari Program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Tujuan KIP (dalamPasal 2) adalah meningkatkan akses bagi anak usia 6 sampai 21 tahun untuk mendapatkan pelayanan pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah untuk mendukung pelaksanaan pendidikan menengah universal/rintisan wajib belajar 12 tahun.
KIP diberikan sebagai penanda/identitas untuk menjamin dan memastikan agar anak mendapat bantuan Program Indonesia Pintar apabilaanak mendaftarkan diri ke lembaga pendidikan Formal (sekolah/madrasah) atau lembaga pendidikan Non Formal (Pondok Pesantren, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, Lembaga Pelatihan/Kursus dan lembaga pendidikan non formal lainnya dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama).
Pada akhir tahun 2014, pemerintah telah membagikan KIP kepada 161.840 siswa, yang merupakan anggota keluarga dari 1 juta penerima Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Secara bertahap, KIP akan dibagikan kepada seluruh anak usia sekolah yang berasal dari 15,5 juta keluarga kurang mampu, atau 25% dari keluarga Indonesia, yang memiliki status sosial ekonomi terendah. 48
48http://intelresos.kemsos.go.id/?module=Program+Kip
Penyaluran manfaat program KIP dilaksanakan dua kali di dalam satu tahun anggaran, yaitu periode Januari - Juni 2015 untuk semester II Tahun pelajaran 2014/2015 yang dapat dicairkan mulai bulan Januari, dan periode Juli – Desember tahun 2015 untuk semester I tahun pelajaran 2015/2016 yang dapat dicairkan mulai bulan Juli. Dengan penyaluran manfaat dua kali dalam setahun diharapkan dapat membantu mengurangi kemungkinan siswa tidak dapat melanjutkan sekolah ( drop-out) karena ketidaktersediaan biaya. Disampin itu juga memastikan agar siswa miskin yang berada pada periode transisi dapat terus melanjutkan sekolahnya kejenjang pendidikan yang lebih tinggi.
ANGGARAN DAN PAGU/KUOTA PENERIMAAN KIP 2015/2016
Jenjang Pendidikan 2015 2016
Sasaran Anggaran Sasaran Anggaran Kemendikbud
SD 10,470,610 4,711,774,500,000 10,360,614 4,299,010,725,000 SMP 4,249,607 3,187,205,250,000 4,369,968 3,325,099,770,000 SMA 1,353,515 1,353,515,000,000 1,367,559 1,391,564,000,000 SMK 1,846,538 1,846,538,000,000 1,829,167 1,408,665,662,000 Jumlah Kemedikbud 17,920,270 11,099,032,750,000 17,927,308 10,424,340,157,000 Kemenag
MI/Ula/Sederajat 877,992 395,096,400,000 567962 255,607,900,000 MTs/Wustha/Sederajat 1,020,616 765,462,000,000 671862 503,787,000,000 MA/Ulya/Sederajat 552,964 552,965,000,000 380378 380,980,000,000 Jumlah Kemenag 2,451,572 1,713,523,400,000 1,620,202 1,140,374,900,000 Total 20,371,842 12,812,556,150,000 19,547,510 11,564,715,057,000
Sumber: www.tnp2k.go.id
Data diatas merupakan jumlah target penerima KIP seluruh Indonesia yang telah didata oleh pemerintah pusat dan siap di realisasikan.Namun, tidak dilampirkan data secara rinci per provinsi penerima KIP.
Untuk melihat lebih jauh dari dampak pengimplementasian program ini, kami melakukan penelitian di daerah Starban, Kecematan Polonia, Medan.Starban adalah sebuah tempat, perkampungan ditengah pusat Kota Medan.Yang unik dari tempat ini adalah akses untuk tiba disana harus menggunakan sampan kecil atau rakit.Masyarakat sekitar menyebut rakit yang mampu menampung penumpang sekitar 4 orang ini dengan sebutan getek. Sebenarnya tidak terlalu jauh, manyebrang ke Starban dengan rakit hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit dan membayar seribu rupiah sekali jalan. Tidak ada jembatan atau apaun sebagai akses alternative kecuali bila memaksa ingin jalan darat maka harus memutar keliling dan bertemu dengan kemacetan kota Medan dan hal ini merupakan pilihan mustahil bagi yang tidak memiliki kendaraan.
Alasan kami memilih daerah ini sebagai lokasi penelitian adalah karena daerah ini merupakan daerah yang mayoritas masyarakatnya adalah masyarakat kurang mampu, juga daerah ini terkenal dengan tingkat kriminalitas tinggi dan pendidikan yang rendah. Kurangnya perhatian pemerintah akan pembangunan di daerah Starban ini juga merupakan faktor penting untuk dikaji lebih dalam. Padahal, jika dikelola dengn baik, bukan tidak mungkin daerah ini juga memiliki potensi yang luar biasa untuk dikembangkan.
Di daerah Starban, masyarakat umumnya hidup miskin dan bahkan sangat miskin.Jika digambarkan dari segi pekerjaan, secara garis besar mereka bekerja sebagai pemulung. Selain memulung, ada juga sebagian sebagai tukang becak dan bagi mereka yang punya sedikit modal adalah membuka warung kecil-kecilan. Hanya ada beberapa warga saja yang berprofesi sebagai guru.Tetapi itu tidak banyak, hanya beberapa warga saja.
Sehingga untuk mengenyam bangku pendidikan bagi anak-anaknya sangatlah susah .Kalaupun bisa menikmati bangku pendidikan, itu hanya karena mendapatkan bantuan, dari pemerintah misalnya.
Berdasarkan hasil survey lapangan di daerah tersebut, data masyarakat yang memproleh KIP adalah data yang sesuai dengan masyarakat yang menerima PKH (Program Keluarga Harapan) dan BSM (Bantuan Siswa Miskin) sebelumnya, antara lain; 245 KK di kelurahan Polonia, 11 KK di kelurahan Suka Damai, 145 KK di kelurahan Sukarejo, 4 KK di kelurahan Anggrung dan 19 KK di kelurahan Madras Hulu dengan total 424 KK. Namun, belum semua dari masyarakat terdaftar tersebutmendapatkan KIP karena pembagiannya masih dilakukan secara bertahap dan di bagikan langsung oleh pemerintah pusat dengan cara dikirimkan langsung melalui kantor pos kepada penerima KIP. Jadi, yang membagi bukan kelurahan ataupun kecamatan setempat.Mereka hanya sebagai fasilitator yang menginput data masyarakat kurang mampu dan kemudian diserahkan kepusat.Sehingga, belum dapat dipastikan dengan jelas berapa masyarakat yang sudah menerima kartu tersebut.Hal ini diungkapkan oleh ibu Saprida selaku petugas yang membidangi masalah bantuan kepada masyarakatkurang mampu di kelurahan Polonia.Artinya, implementasi dari KIP di daerah ini masih „setengah berjalan‟.Karena belum semua dari masyarakat terdaftar menerima dan merasakan manfaat dari program ini.
Dari jumlah keselurahan masyarakat terdaftar yang akan menerima bantuan KIP yakni 424 KK, ternyata masih ada masyarakat kurang mampu yang sama sekali belum tersentuh oleh program ini. Hasil dari survey lapangan yang kami lakukan menunjukan beberapa masyarakat miskin yang kami pilih secara acak menjadi sampel penelitian mengaku sama sekali belum mendapatkan bantuan tersebut. Keluarga yang tidak mendapatkan KIP memiliki kriteria; tidak terdaftar dalam bantuan
sebelumnya yaitu BSM dan PKH, tidak memiliki kelengkapan berkas seperti kartu keluarga, akte lahir anak dan lain sebagainya.Kesimpulan yang kami dapat adalah masih ada masyarakat yang sebenarnya kurang mampu namun belum menerima bantuan KIP.
Masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan Kartu Indonesia Pintar ini kami sebut dengan kaum marjinal.Kalau kita perhatikan, kaum marjinal ini bisa juga terjadi karena tidak tercapainya keadilan sosial.Menurut Teori Keadilan oleh Socrates49, Keadilan tercipta bilamana warga Negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.Tetapi fakta di lapangan, UUD 1945 pasal 31 belum dapat terlaksana, yaitu „„Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Sebenarnya pemerintah sudah berusaha untuk memberikan bantuan pendidikan melalui program Kartu Indonesia Pintar.
Namun dalam pengimplementasiannya yang belum merata inilah salah satu factor yang menyebabkan adanya kaum marjinal dalam pendidikan.
Dari pemaparan diatas mengenai teori keadilan sosial dapat dikaitkan dengan keadaan yang saat ini terjadi di Indonesia dimana sebagian besar pembangunan belum dapat dirasakan seutuhnya oleh masyarakat Starban,karena terjadinya ketidakadilan serta ketidakmerataan dalam pembangunan, baik dalam memberikan bantuan ataupun kebijakan pemeritah yang fokus untuk kesejahteraan masyarakat namun masih belum sesuai dengan harapan.Maka Teori Keadilan menurut Socrates tidak sesuai dengan keadilan yang terjadi pada realitanya.Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan di daerah Starban, Kecamatan Polonia, Medan, yaitukeadilan tidak tercapai diantara kaum marginalitas.
Dampak KIP
Pendidikan menurut Paulo Freire50merupakan proses bagi seorang anak manusia untuk menemukan hal yang paling penting dalam kehidupannya, yakni terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan.
Pendidikan sebagai suatu proses terus-menerus bagi pembebasan manusia.Pendidikan sebagai praktik pembebasan bukanlah pengalihan, atau penyebaran pengetahuan atau kebudayaan.Pendidikan bukan juga ekstensi pengetahuan teknis.Ia bukan pula tindakan menanam laporan atau fakta kedalam terdidik. Dalam proses pendidikan bagi pembebasan, pendidik-terdidik dan pendidik-terdidik-pendidik sama-sama menjadi subjek-kognitif dihadapan objek-pengetahuan yang menjembatani mereka. Konsep pendidikan yang dianjurkan oleh Freire adalah problem-content, berpusat
49 Diakses melalui https://rudyansyah08.blogspot.co.id/2012/06/manusia-dan-keadilan.html
50 Paulo Freie, 1984, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta: Gramedia, hlm.121
pada problematisasi manusia dari dunia, bukan juga dunia yang terlepas dari manusia.Dalam hal ini, kaum marjinal itu merasa bahwa mereka tidak akan mungkin lepas dari kemiskinan dan kebodohan.
Di era globalisasi ini, pendidikan juga merupakan salah satu aspek yang sangat diperhitungkan.Anggota masyarakat dibedakan berdasarkan tingkat pendidikannya, atau stratifikasi pendidikan (educational stratification), hak dan kewajiban warga masyarakat pun sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka raih.Namun, pada pendidikan formal dalam masyarakat kita sering menjumpai kesenjangan besar antara mereka yang berpendidikan dasar dan menengah dengan mereka yang berpendidikan tinggi.Hal inilah yang melahirkan marjinalisasi dalam masyarkat.51
Tidak bisa dipungkiri, akses masyarakat terhadap pendidikan memang masih jauh dari harapan. Dari data Kemendikbud tahun 2011/2012 tercatat sekitar 300 ribu anak putus sekolah dari 30 juta murid SD/MI . Selanjutnya, 180 ribu anak dari 12 juta murid putus sekolah di SMP/MTs.
Penyebab tingginya angka putus sekolah tersebut sebgian besar (60%) karena persoalan ekonomi.
Laporan BPS tahun 2013 mengenai Angka Partisipasi Kasar (APK) juga memprihatinkan. Dari jenjang SD hingga Perguruan Tinggi, hanya tingkat SD/MI yang memiliki APK lebih dari 100%, sedangkan untuk SMP/MTs adalah 85,69%, SMA/MA : 66,27% dan Perguruan Tinggi 23,06%.
Direktur Eksekutif Indonesia Mendidik Muhammad Yusuf, mengatakan berdasarkan analisis terhadap rentang waktu 25 tahun, IPM Indonesia memang mengalami peningkatan, dari 0,474 tahun 1980 menjadi 0,684 tahun ini. Pada 2011 Indonesia berada dalam urutan 124, tahun ini urutan 110. Ini artinya, kebijakan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun telah memberikan dampak yang positif walaupun tidak optimal karena kompleksnya permasalahan membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat melihat hasilnya.52
Dengan adanya KIP, target pemerintah yakni anak-anak usia sekolah yang putus sekolah diharapkan dapat kembali bersekolah. Selain itu, KIP juga memiliki daya jangkau yang lebih baik dari pada BSM (Bantuan Siswa Miskin).Selama ini pemerintah hanya memberikan bantuan pada yang miskin saja.Padahal, yang rentan miskin kenyataannya miskin juga.Untuk itu klasifikasi rentan miskin juga harus dimasukkan sebagai penerima bantuan KIP.Sehingga lebih banyak masyarakat yang terbantu biaya pendidikannya dan jangkauan terhadap masyarakat miskin lebih luas.
51 Kamanto Sunarto, 2004, Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi), Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hlm. 89
52Diakses melalui https://M.harnas.co/2016/01/07/dampak-kartu-indonesia-pintar-belum-terlihat
Berdasarkan hasil survei lapangan di daerah Starban didapati bahwa dampak KIP juga sudah bisa dirasakan walaupun belum semua dari target dapat menerima bantuan tersebut.Dampak yang terlihat dari pemberian KIP ini adalah berubahnya mindset atau pola pikir orang tua yang tadinya tidak terlalu memperhatikan pendidikan anaknya dengan alasan ekonomi kini malah memotivasi anak-anaknya untuk mau bersekolah.Semangat orang tua yang ingin memajukan anaknya melalui pendidikan juga berimbas pada bertambahnya semangat anak-anaknya untuk bersekolah.Sehingga anak-anak mulai rajin untuk pergi kesekolah.
Selain itu, daerah Starban yang terkenal dengan tingginya tingkat kriminalitas, anak-anak yang tidak sekolah dan pernikahan usia dini diharapkan dapat terminimalisir. Anak-anak kurang mampu yang dibantu untuk bisa bersekolah akan menghabiskan sebagian waktunya disekolah sehingga lebih mudah terhindar dari pernikahan dini. Pendidikan yang mereka dapat disekolah juga dapat mengubah pola pikir mereka dan menjauhkan mereka untuk melakukan tidak kriminalitas. Diharapkan juga dengan kebijakan ini akan lebih banyak anak yang terbantu memiliki kesempatan dan masa depan yang lebih baik. Juga diharapkan dapat memutus mata rantai tingkat buta huruf karena kebanyakan orang tua mereka tidak tamat sekolah dan buta huruf.
Kesimpulan
Dalam pembukaan UUD 1945, pemerintah Indonesia berupaya
„mencerdaskan kehidupan bangsa‟. Dan proses mencerdaskan bangsa ini dapat dicapai dengan pendidikan yang berkualitas dan merata. Pada dasarnya, setiap penduduk Indonesia tentunya mengaharapkan dapat merasakan pendidikan yang baik yaitu pendidikan yang berkualitas tinggi dan merata.Dengan demikian, dampak dari pembangunan negara dapat dirasakan oleh seluruh elemen bangsa.
Kartu Indonesia Pintar merupakan salah satu program pendidikan yang dibuat oleh pemerintah sebagai bentuk dari tanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.Implementasi dari Program Kartu Indonesia Pintar ini dikhususkan kepada masyarakat kurang mampu agar seluruh golongan masyarakat dapat memiliki akses yang sama kepada pendidikan.
Namun, implementasi dari program KIP ini ternyata belum berjalan secara optimal.Dari hasil penelitian di daerah Starban, Kecamatan Polonia, Medan, implementasi program Kartu Indonesia Pintar didaerah tersebut belum merata karena pendataannya tidak transparan dan ketidakjelasan prosedurnya.Juga kurangnya sosialisasi pada masyarakat dan karena program ini tumpang tindih dengan program lainnya yang telah ada sebelumnya.
Daftar Pustaka:
Freire,Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta:
Gramedia.
Republik Indonesia, PERMENDIKBUD No 12 Tahun 2015 Tentang Program Indonesia Pintar.
Republik Indonesia, Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan.
Ripley, Randall B. & Grace A. Franklin. 1986. Policy Implementation and Bureaucracy. Chicago, Illinois :The DorseyPress,.
Sunarto,Kamanto 2004.Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta:
Lembaga Penerbit FakultasEkonomi Universitas Indonesia.
Website :
“Pendidikan sebagai modal dasar kemajuan bangsa”, http://jogjakartanews.com/baca/2015/
03/07/2727/ (diakses2 Juni 2016)
“Module Program Kip”, http:/ /intelresos.kemsos.go.id/(diakses 2 Juni 2016)
_____https://www.tnp2k.go.id
“Manusia dankeadilan”, https:/ / rudyansyah08.blogspot.co.id/ 2012/ 06/
html (diakses 14 Juni 2016)
”Dampak kartu Indonesia pintar belum terlihat”, https://M.harnas.co/2016/01/07/ (diakses pada 14 Juni 2014)