• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merangkai Kekuatan Pasca Gerakan 30 September

Dalam dokumen Politik Layar Terkembang (Halaman 46-48)

Pemuda Pancasila selaku organisasi massa dengan mudah dapat terimbas oleh perubahan-perubahan tatanan sosial politik yang terbentuk. Sifat rentan yang dimilikinya itu terkait erat dengan kedudukannya sebagai salah satu orderbouw IPKI sebagai partai politik. Sehingga jika kesehatan “induk”-nya terganggu maka terganggu pula kesehatan “anak”-nya. Dengan kata lain permasalahan yang dialami IPKI akan sekaligus menjadi masalah Pemuda Pancasila.

Pada puncak kejayaannya, usai masa penumpasan sisa-sisa Gerakan 30

September 1965 yang dilakukan PKI, Pemuda Pancasila mengadakan

Kongres/Musyawarah Besar yang pertama tahun 1968 di Medan. Beberapa wilayah Pemuda Pancasila yang sudah terbentuk hadir pada acara musyawarah itu. Sulit diabaikan bahwa keadaannya yang jaya pada masa itu telah ikut mendorong keberaniannya menjadi tuan rumah penyelenggaraan kongres pertama. Sementara Pemuda Pancasila di daerah-daerah lain, termasuk Jakarta, belum tentu memiliki kejayaan yang sama seperti kejayaan yang telah didapat Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Salah satu agenda kongres yaitu citra Effendi Nasution sebagai tokoh Pemuda Pancasila yang sedang sangat tenar namanya ketika itu. Effendi Nasution menjadi seorang tokoh, yang hampir dalam semua kegiatan aksi ikut terlibat dan malang melintang dalam hampir semua gerakan aksi itu sebagai pemimpin.

Popularitas Effendi Nasution sebagai tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara membawanya dipilih sebagai anggota DPRGR/MPRS/BP-MPRS pada tahun 1968 mewakili unsur pemuda. Namun popularitas dan penyandang status sebagai anggota legislatif itu pula yang menjadi beban pekerjaannya semakin bertambah. Sebagai Ketua DPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara dan anggota legislatif, keputusan Effendi pasti memiliki beban resiko pribadi dan organisasi terutama bagi perkembangan institusi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Ketika Effendi dituntut aktif menjalankan jabatannya sebagai anggota legislatif pada saat itu pula Walikota Medan, Aminurrasyid, yang tersangkut peristiwa G 30/S tidak mungkin lepas dari perhatiannya. Effendi pun terlibat dalam kompetisi dan permainan politik lokal di Kota Medan ketika itu. Akhirnya tanpa diduga, setelah Effendi terlibat

dalam permainan politik lokal di Kota Medan itu, menyebabkan tugas-tugasnya di Jakarta tidak dapat diselesaikan sesuai periode yang ditentukan.

Bila seorang tokoh seperti Effendi memiliki prinsip dalam kegiatan politik praktis, tentu saja tidak berdiri sendiri. Sejumlah anggota Pemuda Pancasila pasti ada di belakangnya. Pertanyaannya kemudian adalah kalaulah sang tokoh sempat tersandung, apakah mungkin orang-orang disekitarnya tidak ikut tersandung? Kasus yang dikenal dengan kasus Syurkani inilah yang menjadi pemicu kekisruhan di tubuh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Medan yang memihak kepada calon Walikota Medan yang dikalahkan Syurkani adalah tokoh yang tidak dijagokan ketua pimpinan wilayah. Pemimpin cabang dan pemimpin wilayah berbeda kepentingan dan latar belakang etnis dalam memilih calon walikota yang didukung. Mereka terseret dalam pertikaian etnis itu karena persaingan dalam pemilihan Walikota Medan yang pada dasarnya berlatar belakang etnis. Dewan Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Kota Medan sempat dibekukan dan ketuanya dikenai sanksi administratif berupa skorsing hingga pemecatan.

Perselisihan yang terjadi di internal Pemuda Pancasila tersebut tidak dapat dilokalisir agar tidak meluas ke luar. Sumber pemicu pertikaian itu bukan berasal dari internal organisasi, tetapi suasana perpecahan yang bersumber dari luar organisasi yang memacu pertikaian itu. Oleh karena adanya konflik internal Pemuda Pancasila yang tidak diketahui dengan jelas alasannya menyebabkan pemerintah daerah tidak memberi izin pelaksanaan musyawarah wilayah hingga tertunda beberapa tahun lamanya.

Kondisi internal Pemuda Pancasila tersebut diduga memiliki keterkaitan dengan situasi politik nasional masa itu. Pada tahun 1968 isu politik nasional masih membahas masalah-masalah pemilihan umum yang belum dapat dilaksanakan. MPRS mengadakan sidang dengan agenda menanggapi laporan tertulis Pejabat Presiden Soeharto yang berisi perihal rencana pelaksanaan Pemilu 6 Juli 1968. Akan tetapi dalam persidangan, dengan berbagai pertimbangan, sidang memutuskan agar Soeharto diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia secara definitif dan juga memutuskan untuk menunda pemilihan umum, selambat-lambatnya sampai tanggal 5 Juli 1971.49

       

49

Rentang waktu selama 1968 hingga 1971 aktivitas Pemuda Pancasila mengalami penurunan di seluruh wilayah Indonesia. Penurunan kegiatan itu terjadi karena pihak Angkatan Bersenjata tidak melibatkan IPKI dalam pengambilan keputusan dan kegiatan yang terkait dengan isu-isu politik. Sebelumnya IPKI dan Pemuda Pancasila selalu berada di belakang petinggi Angkatan Bersenjata. Aktivitas politik yang dilakukan Angkatan Darat adalah mendekati partai politik, golongan Islam, mensahkan Rencana Undang-Undang Pemilihan Umum 1969 yang antara lain menjamin posisi ABRI menjadi anggota DPR tanpa dipilih, mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 (Permen 12) tentang pelarangan pegawai negeri menjadi anggota partai politik, dan terakhir membesarkan Golongan Karya. Serangkaian kerja-kerja politik yang dilakukan itu, terlihat bahwa IPKI tidak termasuk dalam perhitungan Angkatan Bersenjata lagi. Kelemahan IPKI dan Pemuda Pancasila sebagai organisasi yang didukung oleh Angkatan Bersenjata, terlihat jelas ketika kalah dalam Pemilu 1971. IPKI dan beberapa partai lainnya seperti Partai Murba tidak mendapat kursi di DPR, meskipun organisasinya pernah didukung oleh aparat militer yang berada di balik Pemerintah Orde Baru.

Para tokoh Pemuda Pancasila menyatakan bahwa kekalahan IPKI dalam Pemilu 1971 seharusnya tidak menyebabkan menurunnya kegiatan Pemuda Pancasila jika organisasi pemuda itu berani melepaskan keterkaitannya dari IPKI. Pemikiran untuk melepas ketergantungan dari IPKI telah lama menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Gagasan tersebut ternyata menjadi tema diskusi yang secara rutin menjadi pembahasan terkait keburukan dan kebaikannya untuk pengembangan organisasi. Topik diskusi itu semakin menarik di kalangan tokoh Pemuda Pancasila, apalagi setelah tahun 1973, ketika IPKI bersepakat memfusikan organisasi ke Partai Demokrasi Indonesia. Diskusi itu kemudian menjadi sebuah gerakan yang dilakukan seluruh aktivis Pemuda Pancasila di Sumatera Utara untuk melepaskan keterikatan organisasi dari IPKI.

Dalam dokumen Politik Layar Terkembang (Halaman 46-48)