• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemuda Pancasila Kota Medan

Dalam dokumen Politik Layar Terkembang (Halaman 33-44)

Ketua DPD IPKI Sumatera Utara, Kerani Bukit, melantik Effendi Nasution sebagai Ketua dan Yansen Hasibuan sebagai Sekretaris pengurus organisasi Pemuda Pancasila di Medan pada 28 Oktober 1960. Effendi Nasution, selaku orang yang dilantik ketika itu, tidak tahu-menahu apakah pada saat yang sama dan di tempat lain juga, ada organisasi Pemuda Pancasila. Effendi Nasution ingat dan mengetahui bahwa nama organisasi Pemuda Pancasila saat itu diberikan oleh alm. Kerani Bukit, Ketua Umum IPKI Sumatera Utara. Nama tersebut diketahui Effendi Nasution beberapa hari sebelum pelantikan, pada saat dia bertemu dengan Kerani Bukit di kantor IPKI Jalan Sutomo Medan, di depan Medan Bioskop. Pertemuan itu, menurut Effendi, dilakukan setelah Rosiman (teman Johan Bukit, putra Ketua IPKI) mengajaknya bergabung dengan IPKI yang akan mendirikan organisasi Pemuda Pancasila di Medan.

Penentuan pilihan kepada Effendi Nasution sebagai pimpinan Pemuda Pancasila bisa diduga sebagai satu keputusan dari diskusi dan pengamatan yang panjang di kalangan pucuk pimpinan IPKI Sumatera Utara ketika itu. Pilihan itu diputuskan karena pertimbangan dua hal. Pertama, Effendi Nasution adalah simbol dari pemuda jalanan, “anak bioskop”, yang selama ini belum sempat tergarap oleh organisasi-organisasi kekuatan politik. Pada saat itu jumlah anak jalanan di Kota Medan cenderung meningkat bersamaan dengan proses rasionalisasi dan sentralisasi ekonomi sejak Kabinet Wilopo. Kedua adalah bahwa pada saat yang bersamaan Effendi Nasution dan Rosiman telah menjadi anggota perkumpulan P2KM (Persatuan Pemuda Kotamadya Medan), yang bertugas sebagai penjaga malam (hermandat) di pusat kota.

Organisasi P2KM telah menjadi arena sosial bagi para preman dan cross-boys untuk bekerjasama, membangun saling pengertian, baik dalam pergaulan maupun

      

Sumatera Utara, Kerani Bukit, dianggap sebagai pemimpin induk Pemuda Pancasila yang memiliki kemampuan berpidato yang baik dan sangat membenci PKI.

dalam aktivitas dan dinamika kehidupan Kota Medan. Secara taktis tidak salah Efendi Nasution dipilih sebagai pimpinan organisasi yang sudah mulai berkibar sebagai penjaga malam menyusul pengumuman Presiden tentang darurat perang 1957. Kolonel Sukardi dari Kodam II Bukit Barisan, Ketua Umum Jaga Malam ketika itu dan yang diduga kuat mempunyai hubungan baik dengan Kerani Bukit

selaku purnawirawan angkatan bersenjata, berkemungkinan besar ikut

mempengaruhi pilihan IPKI untuk menunjuk Effendi Nasution sebagai ketua Pemuda Pancasila di Medan.

Penghunjukan Effendi Nasution sebagai Ketua Pemuda Pancasila Medan menyebabkan P2KM semakin kehilangan eksistensi. Aktivitasnya terus-menerus menurun karena organisasi yang identik dengan Pasukan Djibaku Irian Barat itu sudah lebih terkonsentrasi pada kegiatan jaga malam. Namun P2KM dianggap sebagai wadah yang pertama kali dapat mempersatukan “preman-preman” di perkampungan seputar Medan yang sebelumnya masih selalu terlibat perkelahian antar sesamanya.

Ketika Effendi beserta para pengikutnya dari P2KM lebih memilih untuk aktif di Pemuda Pancasila, suasana bersatu di kalangan pemuda preman sudah terbentuk. Sebagian besar perkelahian preman antar kampung sudah dapat dihindari. Para preman yang pada mulanya hanya terikat menurut kesamaan teritori sudah mulai menerima pemuda lain dan bergaul di luar dari batas wilayah kampungnya. Oleh karena itu, kehadiran Pemuda Pancasila sudah lebih mudah diterima di kalangan preman bahkan diharapkan akan memberi sentuhan organisasi pemuda yang lebih sistematis dan memiliki perencanaan program kegiatan. Pertumbuhan anggota Pemuda Pancasila sejak didirikan berjalan sangat cepat. Indikator pertumbuhan itu disebutkan oleh seorang Jenderal Angkatan Darat, ketika ia datang ke Medan tahun 1962 dalam rangka menyelesaikan pertikaian antara Pemuda Pancasila/IPKI dan Pemuda Rakyat/PKI, ribuan anggota Pemuda Pancasila datang menjemput di Bandara Polonia di bawah pimpinan Effendi Nasution.

Pada masa-masa awal pembentukan Pemuda Pancasila, sistem organisasinya belum sebaik sekarang. Upaya organisasi pertama sekali masih dilakukan untuk membentuk organisasi di seluruh wilayah Kota Medan. Cara membentuk organisasi tersebut tidak terbatas hanya oleh pengurus Pemuda Pancasila yang sudah ada sebelumnya. Pengurus IPKI masih sangat berperan dalam pembentukan itu. Jika di

suatu pemukiman ada kemungkinan Pemuda Pancasila dibentuk, maka disanalah organisasi itu dibentuk. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila pada saat yang sama, terjadi dua peristiwa pelantikan pengurus di dua pemukiman yang berbeda. Tentang hubungan organisatoris atau hirarkis antara Pemuda Pancasila di tempat yang satu dan di tempat yang lain pada dasarnya tidak begitu jelas. Hubungan antara mereka hanya karena sama-sama berinduk kepada organisasi IPKI. Kegiatan nyata yang dikelola oleh organisasi Pemuda Pancasila sangat boleh jadi tidak ada, tetapi kegiatan itu dilakukan bersamaan dengan kegiatan yang dilakukan oleh partai IPKI.

Pada tanggal 14 April 1961, IPKI dinyatakan lulus seleksi dan diakui keberadaannya sebagai sebuah partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam Keppres No. 128 Tahun 1961. Bagi IPKI peningkatan statusnya menjadi sebuah partai politik disambut dengan kegembiraan karena mencerminkan prestasi IPKI yang sangat besar di masa itu. Peningkatan status menjadi partai politik sama artinya pada saat yang sama, IPKI telah memiliki cabang di beberapa daerah di seluruh nusantara. Padahal pada masa itu tantangan yang datang dari partai-partai lain, terutama PNI dengan Pemuda Marhaennya dan PKI dengan Pemuda Rakyatnya, sangat besar.

Ketika Kongres ke-3 IPKI yang berlangsung tanggal 7–11 Juli 1961 di Surabaya, Pemuda Pancasila yang sudah mulai terbentuk di beberapa kota di nusantara, diresmikan dalam forum kongres sebagai “karyawan” (onderbouw) IPKI. Sejak itu struktur organisasi mulai dipikirkan, di samping melanjutkan upaya perluasan dan pemekaran organisasi ke seluruh tanah air. Partai IPKI berperan sangat penting dalam proses konsolidasi Pemuda Pancasila. Peran penting itu terlihat pada tanggal 20 Agustus 1962, tanpa melalui rapat umum Pemuda Pancasila se-Indonesia, Ketua Umum IPKI melantik Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pemuda Pancasila di bawah pimpinan Ketua Umum Spego Goni SP dan Sekretaris Umum Arief Zen.

Selain membentuk Pemuda Pancasila, Kongres IPKI ke-3 di Surabaya juga membentuk “karyawan” IPKI lainnya yaitu Mahasiswa Pancasila, Ikatan Sarjana Pancasila, Karyawan Wanita Pancasila, Gerakan Pelajar Pancasila, Karyawan Tani Pancasila, Karyawan Nelayan Pancasila, Karyawan Guru Pancasila, Lembaga Kebudayaan Pancasila, dan Kubu Pancasila. Secara bertahap dan berkesinambungan,

karyawan-karyawan IPKI terus didirikan dan hingga menjelang Gestapu 1965, keseluruhan karyawan tersebut telah berdiri di Medan, Sumatera Utara.

Pada bulan Juli 1963 pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara dibentuk. Effendi Nasution ditunjuk sebagai Ketua dan dilantik di Gedung Selecta, Jalan Listrik Medan, oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah IPKI Sumatera Utara. Setelah itu, di rumah Kusen Tjokrosentono, Ketua IPKI Sumatera Utara, seorang anak muda bernama Yan Paruhum Lubis alias Ucok Majestik, diserahi surat penugasan atau penunjukan sebagai koordinator Pemuda Pancasila Kotamadya Medan. Kusen Tjokrosentono, yang pada saat itu juga menjabat Kepala Jawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara, tampaknya ingin mempersiapkan pembentukan Dewan Pimpinan Cabang Kota Medan. Oleh karena pada masa itu, Pemuda Pancasila Ranting Pulau Brayan sudah berdiri dengan ketuanya Suaibun Usman. Begitu juga Anak Cabang Pemuda Pancasila Kecamatan Medan Barat, dengan ketua Nico Pulungan, pada masa itu sudah berdiri. Baik pengurus Pemuda Pancasila di tingkat ranting atau di tingkat anak cabang seluruhnya dilantik oleh Pengurus IPKI, bukan oleh pengurus Pemuda Pancasila dari instansi yang lebih tinggi.

Effendi Nasution, selaku ketua Pemuda Pancasila wilayah Sumatera Utara, dan Amran Ys mulai membentuk Pemuda Pancasila tingkat kelurahan di sekitar Jalan Medan Area Selatan tahun 1964. Saat itu, di jalan tersebut, sudah ada kelompok pemuda dengan nama Seri-Boys. Anggotanya terdiri dari anak-anak sekitar Jalan Medan Area Selatan, yang sering nongkrong atau duduk di bawah pohon seri dan dikenal dengan sebutan “Pemuda Roman”. Sebagian mereka sudah tidak bersekolah dan sebagian lagi masih bersekolah. Umumnya belum memiliki pekerjaan tetap, kecuali membantu pekerjaan orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari misalnya berjualan. Seperti umumnya anak muda masa itu, mereka bermusuhan dengan anak-anak muda di lingkungan yang lain diantaranya anak-anak Jalan Puri. Berkelahi secara keroyokan dengan anak-anak Puri, adu jotos dan lempar batu pun sering terjadi. Walaupun sebab perkelahian itu hanya karena soal plotot-plototan mata secara pribadi saat berpapasan.

Pertumbuhan organisasi yang cepat tak dapat dilepaskan dari keadaan sosial, budaya dan politik ketika itu. Semangat revolusi yang dihembuskan oleh para pejuang bekas tentara dan lasykar rakyat berkobar di bawah panji IPKI dan ormas-

ormasnya. Semangat anak muda yang mengidolakan para jagoan pun menemukan salurannya di dalam organisasi. Wadah para jagoan yang selama ini menjadi perhatian anak muda berkumpul dan bekerjasama dalam satu organisasi Pemuda Pancasila memiliki arti tersendiri. Keberanian dan kesetiaan kelompok menjadi simbol Pemuda Pancasila dalam menantang musuh-musuhnya.

Pemuda Pancasila yang berbasis para anak jalanan mulai bangkit merekrut pemuda-pemuda di kampung-kampung bumiputera sekitar Kota Medan. Hal ini menjadi perhatian pihak lawan, terutama dari para pemuda yang mendukung partai politik besar ketika itu yakni Pemuda Rakyat. Apalagi pada waktu itu, kata-kata Pancasila mulai hilang dari telinga dan ada ketakutan untuk menyebutkan itu. Orang takut menyebutnya karena tidak bersesuaian dengan ideologi Nasakom yang telah meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Tetapi bagi anak jalanan, kata Pancasila bukan saja sekedar disebut dan ditanamkan dalam hati, melainkan ditabalkan pada nama organisasinya Pemuda Pancasila.

Pemuda Rakyat paling tidak suka melihat orang mengagung-agungkan Pancasila. Dengan segala cara mereka tempuh agar lawan jatuh dan terpuruk. Mereka tebar intrik dan berbagai ejekan untuk mengecilkan marwah lawan. Mereka sebar benih permusuhan, bersembunyi di balik kata revolusi untuk menghabisi lawan. Dengan jumlah massa ribuan mereka gelar demonstrasi-demonstrasi, intimidasi, dan propaganda menjatuhkan lawan. Mereka teriakkan NASAKOM yang menyudutkan agama. Mereka ciptakan idiom-idiom politik untuk menistakan lawan. Lewat spanduk mereka tuliskan dan lewat koran mereka sebarluaskan seperti HMI “kaum sarungan”; SOKSI “kapitalis birokrat” alias “kabir”; Pemuda Pancasila “perampok kota”; “Bubarkan HMI, Bubarkan SOKSI, Ganyang Pemuda Pancasila”. Intimidasi dan intrik-intrik yang disebar Pemuda Rakyat42/PKI tidak pula membuat Pemuda Pancasila takut. Dengan semboyan “Kamput43 di Kiri Tombak di

       

42

Pemuda Rakyat adalah sayap pemuda dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi ini mula-mula dibentuk dengan nama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Pertama kali organisasi ini diciptakan atas inisiatif Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin, sebagai sayap pemuda dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kongres yang diadakan pada 10-11 November 1945, mempersatukan tujuh organisasi setempat. Keanggotaannya dengan cepat berkembang menjadi sekitar 25.000 orang. Organisasi ini ikut serta dalam perjuangan bersenjata untuk merebut kemerdekaan dalam revolusi nasional Indonesia. Satuan-satuan Pesindo terlibat dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Britania. Bersama-sama dengan PKI dan FDR ikut serta di dalam Peristiwa Madiun 1948. Pada 1950, organisasi ini menjalin hubungan dengan PKI dan mengubah namanya menjadi Pemuda Rakyat. Pada kongres bulan November 1950 Francisca C. Fanggidaej diangkat menjadi ketuanya, sementara Sukatno menjadi sekretaris jenderalnya. Pada 1965 keanggotaannya mencapai sekitar 3 juta orang. Organisasi ini ditindas secara brutal bersama- sama dengan PKI pada 1965-1966. Lihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Pemuda_Rakyat

Kanan” dan “Nyawa dibalas Nyawa, Darah dibalas Darah”, Pemuda Pancasila dengan berani melawan musuhnya. Esprite de corps, setia kawan, “Tangan Kanan Kuburan, Tangan Kiri Rumah Sakit” menjadi semboyan Pemuda Pancasila maju menentang Pemuda Rakyat dan PKI.

Sering sekali perkelahian terjadi di antara Pemuda Pancasila dan Pemuda Rakyat di wilayah Sumatera Utara. Satu peristiwa terjadi antara tahun 1964–1965, seorang anggota Pemuda Pancasila, Yan Paruhum Lubis atau Ucok Majestik, diculik Pemuda Rakyat. Sebagai gantinya Pemuda Pancasila mengambil Ketua Pemuda Rakyat wilayah Medan Barat. Di hari yang lain, ketika sebuah upacara nasional digelar di lapangan Benteng, Pemuda Rakyat yang berjumlah ribuan ingin menyingkirkan barisan Pemuda Pancasila yang hanya berjumlah 40 orang. Melihat sikap Pemuda Rakyat yang arogan seperti itu, muncul emosi anggota Pemuda Pancasila di bawah pimpinan Ucok Majestik dan langsung melakukan aksinya. Menggunakan kayu, batu dan tiang bendera yang ada di tangan, Ucok Majestik dan anggota Pemuda Pancasila menghajar barisan Pemuda Rakyat hingga kocar-kacir.

Akibat dari tindakan Ucok Majestik terhadap Pemuda Rakyat/PKI, lewat Surat Kabar “Gotong-Royong”, peristiwa tersebut ditulis beberapa hari berturut- turut dalam bentuk karikatur. Isi tulisan tersebut yang bercerita tentang Gatot Subroto dan A.H. Nasution masing-masing duduk di kursi, dihadapannya terlihat seorang pemuda tampak punggung, sedang berlutut, sambil merapatkan kedua telapak tangan diwajahnya seraya menundukkan kepala. Pada punggung pemuda itu tertulis kata-kata “YAN PARUHUM LUBIS ALIAS UCOK MAJESTIK PERAMPOK KOTA”. Di hari yang lain terdapat gambar seorang anggota Pemuda Pancasila yang sedang duduk terkulai di lantai sambil menghisap ganja sedang disampingnya tertera sebuah botol minuman keras. 44

Pemuda Pancasila tidak diam dengan intrik-intrik yang disebar oleh PKI, emosi di dada mereka semakin bergemuruh. Lalu pada sebuah kesempatan, Pemuda Pancasila menyerang dan membakar kantor redaksi Surat Kabar Gotong-Royong di Jalan Kumango. Beberapa tokoh Pemuda Pancasila terlibat di dalamnya. Mereka ditahan, tetapi tak lama kemudian dibebaskan atas bantuan Kusen Tjokrosentono.

      

43

Kamput singkatan dari Kambing Putih merupakan merek minuman keras yang bisa memabukkan, dengan harga yang relatif murah menjadi minuman sehari-hari para anak muda jalanan di kota Medan dan sekitarnya.

44

Wawancara dengan Yan Paruhuman Lubis atau Ucok Majestik (Pini Sepuh Pemuda Pancasila), 5 November 2011, pukul 15.05 Wib di rumah pribadinya, Perumnas Helvetia Medan.

Kekuatan PKI yang sudah demikian besar dapat menerobos jajaran pemerintah, angkatan bersenjata, perusahaan-perusahaan dan lain sebagainya, dapat menggilas dan menerjang semua orang.

Atas desakan PKI, pada tanggal 24 Februari 1965, semua surat kabar pro- Pancasila yang tergabung dalam wadah BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) diberangus.45 Surat kabar yang tersisa adalah corong PKI yang terdiri dari “Harian Harapan”, “Harian Bendera Revolusi”, “Gotong-Royong” dan “Obor Revolusi”. Masyarakat pro-Pancasila semakin haus informasi, hingga akhirnya dengan dukungan ABRI terbit lagi beberapa koran melawan suara PKI, antara lain “Harian Tjahaja” pimpinan Arsyad Noh yang membawa suara IPKI. Harian ini dibeli Ibrahim Sinik dari Kerani Bukit untuk dilanjutkan penerbitannya.

Penerbitan pertama harian ini pada pertengahan Juli sangatlah sulit karena tidak ada percetakan yang bersedia mencetaknya akibat ancaman PKI. Satu-satunya percetakan yang berani adalah Percetakan Mestika pimpinan Tengku Yafizham, SH. Akibat dari putusan untuk membantu mencetak surat kabar tersebut, pada malam harinya, anggota Pemuda Rakyat mendatangi percetakan itu untuk merusak dan memutuskan kabel listrik. Perlawanan diberikan oleh Pemuda Pancasila, dan penerbitan selanjutnya Tjahaja pindah ke percetakan Deli pimpinan Drs. Amir Husin.46

Situasi yang terus semakin menggejolak pada masa 1964–1965 itu membuat Pemuda Pancasila terseret dalam suasana pertikaian. Situasi saat itu tidak memungkinkan mereka untuk melakukan konsolidasi organisasi dan melakukan kegiatan-kegiatan bagi anggota organisasi. Gejolak politik akibat teror PKI dan ormas-ormasnya membuat Pemuda Pancasila tidak pernah tenang melakukan konsolidasi. Selesai peristiwa yang satu, muncul peristiwa yang lain. Semuanya atas tindakan penuh intrik yang dilakukan PKI.

Suasana mencekam dan mengkawatirkan mulai timbul setelah PKI/BTI membunuh seorang anggota ABRI yang kemudian diketahui bernama Letda Soedjono di Perkebunan Bandar Betsy, Simalungun, 14 Mei 1965. Hiruk pikuk dan kekacauan terus-terusan memuncak setelah itu. Demonstrasi, agitasi, dan propaganda semakin banyak terjadi. Rakyat di kota ataupun di pedesaan semakin

       

45

Muhammad TWH. 1996. Perlawanan Pers Sumatera Utara Terhadap Gerakan PKI. Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI. hal. 213.

46

ditakut-takuti. Mereka merasa semakin kuat, apalagi beberapa pejabat teras, sipil dan militer Sumatera Utara telah berhasil dirangkulnya. Kehidupan rakyat makin mencekam, siapa kawan dan siapa lawan semakin tidak jelas, saling curiga di antara sesama warga melengkapi suasana suramnya kehidupan di kota Medan.

Saat kunjungan Jenderal A. Yani di Medan untuk menyerahkan bantuan rumah dan masjid kepada keluarga Letda Soedjono, wakil-wakil Pemuda Pancasila berkesempatan hadir diantaranya Effendi Nasution. Ketika itu Jenderal A. Yani sempat menggambarkan situasi politik nasional seraya menyampaikan dengan cara berbisik kepada Effendi Nasution tentang gejala di Jakarta yang menunjukkan PKI akan melakukan pemberontakan. Informasi yang disampaikan Jenderal A. Yani diteruskan Effendi kepada pengurus Pemuda Pancasila dalam sebuah pertemuan khusus yang digelar untuk mendiskusikan sikap yang akan diputuskan. Hasil pertemuan memutuskan diantaranya menghimbau kepada seluruh anggota Pemuda Pancasila agar siap dan cepat tanggap pada perkembangan situasi yang ada terutama terkait dengan gerak langkah yang dilakukan PKI di Sumatera Utara.

Tidak berselang lama dari keputusan rapat itu, RRI menyiarkan berita tentang terbunuhnya para Jenderal di Jakarta pada malam hari di tanggal 2 Oktober 1965. Ketika itu sebagian anggota Pemuda Pancasila sedang berkumpul di Medan Bioskop. Setelah mendengar berita dari RRI tentang telah terbunuh satu perwira, lima jenderal dan seorang bocah oleh satu gerakan tertentu. Tanpa pikir panjang, apalagi setelah ada peringatan sebelumnya, anggota Pemuda Pancasila yang berkumpul di tempat itu menafsirkan bahwa gerakan yang dimaksud dilakukan oleh PKI. Pada malam itu juga, anggota Pemuda Pancasila tanpa berkonsultasi dengan pihak manapun langsung bergerak menyerang kantor dan rumah-rumah anggota PKI. Kegiatan ini terus dilaksanakan pada hari-hari berikutnya.

Sebelum peristiwa tersebut, kemarahan Pemuda Pancasila atas sikap dan prilaku anggota-anggota PKI membuat mereka sempat menyerang rumah kediaman Jalaluddin Yusuf Nasution, Ketua Komisaris Besar PKI Medan. Serangan ini tidak menangkap ataupun membunuh, hanya ingin menunjukkan sikap dan cara Pemuda Pancasila yang tegas dan berani menghadapi PKI. Pemuda Pancasila mengenang penyerangan ini sebagai peristiwa Sei Mati. Setelah peristiwa itu Pemuda Pancasila datang berdemonstrasi ke kantor KOANDA (Komando Antar Daerah), yang ketika itu dipimpin oleh Letjend. Mokoginta. Tuntutan demonstrasi terkait dengan tiga hal

yakni (1) PKI adalah dalang peristiwa Lubang Buaya dan mereka harus bertanggung jawab; (2) Bubarkan PKI; dan (3) Pemuda agar dipersenjatai sehingga memiliki kelengkapan untuk menghancurkan PKI.

Sehari setelah peristiwa 5 Oktober 1965 atau pada tanggal 6 Oktober 1965, beberapa pemuda yang berasal dari berbagai organisasi mengadakan rapat di Jalan Mahkamah (di rumah A. Manaf Lubis). Rapat membahas tentang pembentukan Komando Aksi dalam rangka penumpasan PKI dan ormas-ormasnya. Rapat dilanjutkan beberapa hari kemudian untuk membentuk pengurus di Gedung Alwashliyah, Jl. Sisingamangaraja Medan. Berhubung sebagian para tokoh pemuda Sumatera Utara pada saat itu tidak hadir, maka rapat dilanjutkan pada hari-hari berikutnya, di Kantor IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong), Jalan Amaliun Medan. Rapat kedua tersebut juga tidak dihadiri oleh tokoh pemuda yang diharapkan hadir. Akhirnya kepengurusan Komando Aksi dibentuk dan menunjuk Saat Gurning di barisan Presidium sebagai wakil dari Pemuda Pancasila. Padahal dia sendiri telah duduk sebagai Ketua Keamanan Komando Aksi.

Susunan pengurus Komando Aksi waktu itu adalah presidium terdiri dari ketua-ketua organisasi. Kepemimpinan presidium dilaksanakan secara bergilir. Saat Gurning mewakili Pemuda Pancasila, S. Sinambela mewakili SOKSI, M. Sutarjo mewakili MKGR, G. Marpaung mewakili PNI-Osa, Derajat Hasibuan mewakili P3I SOKSI, Syufri Helmi Tanjung mewakili HMI, dan lainnya. Sekretaris terdiri dari, Bustami mewakili P3I SOKSI, Zainal mewakili PNI-Osa, Yansen Hasibuan mewakili Pemuda Pancasila, R.A. Effendi mewakili SOKSI/PERKAPEN. Seksi- seksinya adalah Ketua Keamanan, M. Saat Gurning mewakili Pemuda Pancasila, Ketua Pasukan Lapangan, Rosiman mewakili Pemuda Pancasila dengan Sekretariat Balai Prajurit (Wisma Bukit Barisan).

Gerakan pembentukan Komando Aksi ini diprakarsai oleh Pemuda Pancasila yang dibentuk pada 29 Oktober 1965 dengan ormas-ormas pemuda, mahasiswa dan pelajar membentuk Komando Aksi yang juga bermaksud untuk menumpas PKI. Gerakan pembentukan Komando Aksi ini diprakarsai oleh Pemuda Pancasila. Mereka yang terlibat dalam Komando Aksi ini antara lain A. Manaf Lubis, Kusen Tjokrosentono, Sukardi, Effendi Nasution, Rosiman, Amril YS, Amran YS, Sinambela, dan Nur Nikmat. Komando aksi ini didirikan hanya bersifat regional Sumatera Utara. Keterlibatan Pemuda Pancasila dalam setiap aksi yang dibentuk

sebetulnya telah menunjukkan kebesarannya di tengah-tengah ormas yang ada ketika itu. Kelompok pemuda semakin mengagumi organisasi Pemuda Pancasila, sehingga pada masa itu banyak sekali tumbuh pengurus-pengurus Pemuda Pancasila mulai dari lingkungan, kelurahan, kecamatan, serta kabupaten/kota di Sumatera Utara.

Komando Aksi mengadakan rapat umum di Gedung Olahraga Medan, dengan membahas isu masuknya senjata sebanyak 1.000 pucuk dari RRT (Republik Rakyat Cina). Usai rapat seluruh peserta berdemonstrasi ke kantor Konsulat RRT yang dipimpin Pemuda Pancasila. Massa demonstran menurunkan bendera RRT dan mendesak pihak konsulat untuk menjelaskan perihal kebenaran isu tersebut di atas.

Dalam dokumen Politik Layar Terkembang (Halaman 33-44)