Melalui dukungan militer, birokrasi, dan sistem politik yang dirancang oleh rezim Orde Baru, Pemuda Pancasila membangun kelembagaan organisasi yang berjalan dalam dinamika internalnya. Posisi Pemuda Pancasila dalam konstelasi politik nasional sangat dipengaruhi oleh komitmen organisasi yang diperankan tokohnya di Sumatera Utara. Perkembangan kelembagaan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Berawal dari ide pembentukannya, tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara memiliki kontribusi bagi pengembangan organisasi. Meskipun, karakter “preman dan prilaku kekerasan” sulit dilepaskan dari anggota organisasi, tetapi kontribusi para pengurus organisasi memberikan catatan sejarah tersendiri di Sumatera Utara.
Pada kenyataannya – sejak Orde Lama, Orde Baru, dan masa reformasi – Pemuda Pancasila turut berperan dalam nuansa perkembangan organisasi masyarakat di Indonesia. Catatan sejarah itu menjadi cerminan terkait sulitnya menegakkan independensi organisasi dalam mengambil keputusan yang bersifat strategis. Demi meraih dan mempertahankan kekuasaan untuk menunjukkan eksistensi organisasi maka adaptasi dan kemampuan politik para tokoh Pemuda Pancasila menjadi penting. Menjadi lebih baik atau justru tetap memiliki kesan sebagai organisasi yang penuh dengan kekerasan merupakan tantangan yang harus dijawab oleh para anggota, kader, senior, dan terutama pengelola organisasi.
POLITIK LAYAR TERKEMBANG
(LINTASAN SEJARAH PEMUDA PANCASILA SUMATERA UTARADALAM KEKUASAAN)
MURYANTO AMIN
Muryanto Amin
Politik Layar Terkembang (Lintasan Sejarah Pemuda Pancasila Sumatera Utara Dalam Kekuasaan), Medan: Vote Institute, 2013. iii+ 73 hlm.
ISBN 978-602-17785-0-0
Cetakan Pertama, Agustus 2013 Penerbit Vote Institute, Medan.
Sei Serayu Mansion B1, Jl. Sei Serayu Medan 20122 Hak Cipta © Muryanto Amin, 2013
Dicetak oleh ………
Disain sampul oleh Ferhat Desaign Grafika
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari Penerbit, kecuali kutipan singkat untuk resensi
Buku tipis yang hadir di hadapan pembaca ini, berawal dari penjelasan ringkas
tentang sejarah Sumatera Utara masa Kesutanan Deli terutama saat tumbuh suburnya
industri perkebunan masa penjajahan Belanda dan Jepang bersamaan dengan
persemaian bibit terbentuknya Pemuda Pancasila di Medan. Sejarah industri
perkebunan menjadi awal munculnya aktivitas ekonomi di sektor lainnya seperti
permintaan jumlah tenaga kerja, tumbuhnya sektor informal, penyediaan jasa
keamanan, serta kebutuhan lainnya yang dapat menunjang industri itu.
Pesatnya pertumbuhan industri perkebunan juga mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan masyarakat di sekitar perkebunan dan mengubah cara hidup masyarakat
dari sebelumnya. Relasi etnis, suku, pengelolaan pemerintahan hingga gaya hidup
mengalami perubahan drastis dan memunculkan kesenjangan antara pemilik tanah
dan para migran yang bekerja atau hidup di sekitar wilayah perkebunan. Situasi itu
bermula saat Pemerintah Belanda menawarkan sistem ekonomi yang sangat
menguntungkan bagi para Sultan. Namun, tidak menggembirakan bagi kelompok
migran yang kebanyakan masih berusia muda hingga memunculkan perlawanan
terhadap Pemerintah Belanda dan keluarga Sultan.
Pada masa pra kemerdekaan, banyak kalangan anak-anak muda tidak
mendapatkan kesempatan bekerja pada sektor perkebunan maupun sektor lainnya
yang tumbuh. Jumlah anak-anak muda yang tidak mendapatkan pekerjaan semakin
hari semakin bertambah dan menimbulkan persoalan sosial lainnya seperti pencurian
dan perampokan hasil perkebunan yang menimbulkan kerugian perusahaan
perkebunan Belanda. Untuk memperkecil akibat yang tidak baik secara sosial itu,
maka pihak perusahaan perkebunan menggunakan jasa para anak muda tersebut
sebagai penjaga keamanan lokasi kebun. Tetapi perlakuan tersebut tidak berjalan
dengan baik. Pekerja muda yang menjajakan jasanya untuk keamanan justru memilih
melakukan perlawanan terhadap pengelola perkebunan Belanda hingga kemerdekaan
Republik Indonesia.
Suasana politik nasional sejak pasca kemerdekaan hingga Orde Lama
menyebabkan banyak kelompok organisasi yang berada di Jakarta dan daerah
membutuhkan dukungan massa yang besar. Ketidakstabilan politik pada masa
Utara, kelompok anak-anak jalanan dan preman yang berpendidikan rendah selalu
dilupakan. Atas alasan keamanan maka kekuatan militer memanfaatkan mereka untuk
membantu menjaga keamanan, yang pada saat itu, sering menjadi ancaman akibat
pemberontakan yang muncul di daerah. Salah satu organisasi yang dibentuk untuk
memobilisasi para pemuda itu adalah Pemuda Pancasila melalui IPKI.
Suasana heroik untuk menuntaskan gerakan kudeta yang dilakukan oleh PKI
yang dikenal sebagai Gerakan 30 September PKI sangat kentara terjadi di Sumatera
Utara. Perkelahian fisik antara anggota Pemuda Pancasila dan PKI beserta organisasi
massanya terjadi berbagai tempat di Provinsi Sumatera Utara. Pada masa itu, peran
Pemuda Pancasila yang didukung kalangan militer, menunjukkan kekuatan fisiknya
berhadapan dengan kekuatan massa PKI di Sumatera Utara. Kontribusi Pemuda
Pancasila melawan PKI di Sumatera Utara menjadi salah satu pertimbangan penting
para pengambil keputusan ketika itu untuk melibatkan tokoh Pemuda Pancasila dalam
mendukung Pemerintah Orde Baru. Dalam perkembangannya Pemuda Pancasila
Sumatera Utara menjadi salah satu organisasi yang banyak membantu pemerintah dan
khususnya militer yang melancarkan agenda politiknya pada masa Orde Baru di
Sumatera Utara.
Pasca jatuhnya Pemerintah Orde Baru, Pemuda Pancasila harus beradaptasi
dengan sistem politik yang telah berubah. Tidak ada kekuatan mayoritas sejak
reformasi digulirkan dan tokoh-tokoh lokal mendapat peran tersendiri di daerahnya
masing-masing sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Pada saat itulah, Pemuda
Pancasila mengandalkan instrumen kekuatannya sendiri dengan cara memberikan
pengaruhnya kepada otoritas politik lokal seperti partai politik, DPRD, pemerintah
daerah, media massa, dan lembaga masyarakat yang ada di Sumatera Utara.
Penulis,
PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB 1 JELAJAH HISTORIS KEPEMUDAAN SUMATERA UTARA
1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Dinamika Sosial Sumatera Utara 1
1.2. Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara 6
BAB 2 PEMUDA PANCASILA & AWAL MULA LAYAR TERKEMBANG
2.1. Situasi Politik Nasional 12
2.2. Pembentukan Pemuda Pancasila 18
2.3. Pemuda Pancasila Kota Medan 25
BAB 3 PEMUDA PANCASILA MASA ORDE BARU
3.1. Masa Peralihan Kekuasaan 36
3.2. Merangkai Kekuatan Pasca Gerakan 30 September 1965 38
3.3. Konsolidasi Pemuda Pancasila di Medan 41
3.4. Kekuatan yang Terbelah 48
3.5. Revitalisasi Pemuda Pancasila 50
BAB 4 PEMUDA PANCASILA SUMATERA UTARA
PASCA ORDE BARU
4.1. Adaptasi Kelembagaan 57
4.2. Perselisihan Internal Pemuda Pancasila 60
4.3. Pengaruh Politik Pemuda Pancasila di Provinsi Sumatera Utara 63
DAFTAR PUSTAKA 70
BAB 1
J E L A J A H H I S T O R I S K E P E M U D A A N
S U M A T E R A U T A R A
1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Dinamika Sosial Sumatera Utara
umatera Timur adalah daerah dataran rendah yang sangat luas. Menurut Karl J.
Pelzer luas seluruh daerah Sumatera Timur mencapai 31.715 km2. Di daerah
ini terdapat hutan-hutan Payau (Mangrove) yang ditumbuhi oleh pohon bakau dan
nipah. Banyak sekali ditemukan sungai-sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Di
sepanjang sungai-sungai itu, tertutama di muara sungai, tumbuh dengan lebat pohon
nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di Dataran Tinggi Karo dan Simalungun itu
membawa sisa-sisa debu halus, pasir, tanah gembur dan endapan lumpur.1 Akibatnya
daerah Pantai Timur bertambah luas masuk ke Selat Malaka. Tanah-tanah di sepanjang
Pantai Timur Sumatera ini menjadi lahan subur untuk pertanian, terutama untuk
mendukung industri perkebunan. Dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga
telah mengubah komposisi demografis. Mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum
pendatang lainnya ke ”Het Dollar Land” Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan
penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang
terbesar, sedangkan orang Cina menempati urutan ketiga.
Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari
lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat
gubernemen, bukan rakyat kerajaan.2 Komunikasi di antara mereka semakin lancar
dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1928.
Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat nasional
di kota Medan. Hamka dalam ”Merantau ke Deli” mendeskripsikan, bahwa Anak Deli
adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli
adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan budaya
1
Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 34.
2
Orang Cina, Keling, dan orang asing lainnya yang tinggal di wilayah kerajaan menjadi rakyat gubernemen. Mededeelingen van den Burgerlijken. Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie (MBGD), 1912-1925. hal. 34, 96, dan 162; Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), Bandung: Alumni, 1978. hal. 76.
tradisional.3 Kaum pendatang sebagian besar tinggal di kota-kota besar. Mereka bekerja
sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, dan sebagainya.
Penduduk asli Sumatera Timur adalah kelompok etnis Melayu, Batak Karo dan
Batak Simalungun.4 Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai
Timur Sumatera. Etnis Melayu yang dimaksud adalah golongan bangsa yang
menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta memakai adat
budaya dan Melayu serta mayoritas beragama Islam. Keahlian khas raja-raja Melayu
adalah kemampuannya menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan
penduduk dari suku-suku lainnya tanpa mengorbankan identitas mereka. Keahlian inilah
yang memungkinkan Kerajaan Melayu berkuasa di bandar-bandar Pantai Timur
Sumatera, menggantikan pengaruh Aceh yang pernah memperkenalkan gagasan
kerajaan di kalangan suku-suku Batak Karo dan Simalungun.5
Hubungan raja-raja Melayu dengan Pemerintah Belanda mulai intensif ketika
Pemerintah Belanda melancarkan politik ekspansionismenya ke Sumatera pada
pertengahan abad ke-19. Pengaruh Belanda semakin kuat setelah Sultan Serdang
(Basyaruddin) menandatangani perjanjian dengan Pemerintah Belanda pada tanggal 16
Agustus 1862. Perjanjian yang dikenal dengan Acte van Erkenning yang menyatakan
tentang pengakuan Sultan Serdang beserta daerah taklukkannya Padang Bedagai, Denai,
Pertjoet, Perbaungan termasuk daerah kekuasaan Siak Sri Indrapura. Pada 1873,
Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai, dan Bilah dijadikan
menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang berkedudukan di Bengkalis.6
Mengingat perkembangan ekonomi yang begitu pesat di Sumatera Timur, maka pada
tahun 1887 ibukota Residensi Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Pada saat itu
Residensi Sumatera Timur dibagi dalam lima Afdeling yakni Asahan, Labuhan Batu,
Bengkalis, Deli, dan Batubara.7
Medan sebagai ibukota Residensi Sumatera Timur, menjadi tempat tinggal kaum
elit kolonial yang terdiri dari orang-orang Eropa sebagai elit pemerintahan kolonial
(European Wijk). Mereka bangga menyebut dirinya sebagai Deliaan (Belanda Deli),
3
Hamka. 1966. Merantau ke Deli. cet. ke-3. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. hal. 56.
4
Anthony Reid menyebut Sumatera Timur sebagai kampung halamannya penduduk melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun yang bekerja sebagai petani. Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 87.
5
Ibid. hal. 24.
6
T. Luckman Sinar. 1986. Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. Medan: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. hal. 154.
7
dengan ciri-ciri Presiden Deli Mij dan dianggap lebih pantas untuk dihormati dari pada
Gubernur Jendral Hindia-Belanda. Kota Medan dibangun dari susunan tata ruang
(spatial arrangement) yang menampilkan wajah ganda yaitu pemukiman di pusat kota
dihuni elit pemerintahan kolonial (European Wijk), khas, kasar, pemabuk, kurang adat,
benci pada birokrasi yang menghambat penumpukan harta. Kemudian pusat
perdagangan yang dihuni oleh Orang Cina dan “Timur Asing” lainnya seperti Arab dan
India. Sedangkan kawasan pinggiran yang melingkari pemukiman elit politis dan bisnis
ini dihuni oleh Bumiputera.
Memasuki awal abad ke-20 Pemerintah Belanda mulai melakukan penaklukan
ke wilayah Simalungun, Tanah Karo, Toba, dan Pak-Pak Dairi.8 Di antara tahun
1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41 kerajaan di Sumatera Timur telah
digabungkan ke dalam kekuasaan Hindia-Belanda. Semua kontrak politik yang telah
ditandatangani antara kedua belah pihak, akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu
menjadi 34 kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu dan
secara bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada tahun
1915, Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Provinsi Sumatera Timur
yang membawahi lima Afdeling, yaitu Deli en Serdang, ibukotanya Medan. Langkat
ibukotanya Binjai, Simalungun en Karolanden ibukotanya Siantar, Asahan ibukotanya
Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis.
Masyarakat Sumatera Timur telah dijamin oleh penguasa Belanda sebagai
penduduk asli dengan hak-hak istimewa atas tanah sesuai dengan hukum adat.9 Hak
istimewa inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan
masyarakat pendatang (migran). Dengan adanya penyusunan kembali wilayah kerajaan
di Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis telah memasukkan daerah Sumatera
Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang terpusat di Batavia. Ini bermakna
bahwa Belanda telah berhasil menyatukan wilayah kerajaan yang belum pernah
memiliki kesatuan politik dan administratif. Di samping itu, Belanda juga telah
menghubungkan Sumatera Timur dengan Jawa. Dengan cara demikian Sumatera Timur
telah memiliki identitas baru.
8
T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: tanpa penerbit, tanpa tahun terbit. hal. 33-50, dan Mededeelingen. Op. Cit. hal. 549-564.
9
Sampai pertengahan abad ke-20 ekonomi perkebunan dan Pemerintah Belanda
bersama-sama melakukan perubahan drastis10 dari kehidupan masyarakat Sumatera
Timur, khususnya kaum aristokrat Melayu. Secara nyata kekuasaan kolonial Belanda
dengan sistem ekonomi perkebunannya telah meningkatkan kesejahteraan hampir
semua raja-raja di Sumatera Timur. Di antara raja-raja yang paling banyak mendapat
keuntungan adalah Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan.
Perjanjian politik kontraknya dengan Pemerintah Belanda, masih membolehkan mereka
menjalankan kekuasaan hukum adat mereka antara lain yang terpenting adalah tanah.
Imbalan honorarium dari perubahaan perkebunan, terus menerus mengalir ke kantong
pribadi para Sultan dan Datuk yang berkuasa di Sumatera Timur. Pajak-pajak ini masuk
ke kantong pribadi para Sultan dan Datuk-Datuknya. Keuntungan dari pajak itu masih
ditambah lagi dengan gaji resmi dan honorarium.
Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa ini muncullah perubahan gaya hidup
sebagian Sultan dan Bangsawan Sumatera Timur khususnya Melayu. Kaum bangsawan
Melayu termasuk sultan-sultannya, sebelum datangnya Belanda, berada dalam keadaan
yang melarat.11 Setelah hadirnya sistem ekonomi perkebunan mereka telah mampu
membangun istana-istana megah, membeli mobil mewah, dan pesiar ke Eropa.12 Gaya
hidup kemewahan akhirnya menjadi prilaku keseharian para sultan tersebut. Para Sultan
Melayu kerap kali mengadakan pesta-pesta untuk menyambut tamu-tamu penting
(orang-orang Eropa). Untuk mununjukkan kebesaran dinastinya, mereka membentuk
pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan yang berasal dari kelompoknya.
Pengaruh penting lainnya dari perkembangan ekonomi perkebunan adalah
terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit Eropa dan orang Cina dengan
masyarakat Jawa yang menjadi buruh-buruh perkebunan. Dalam konteks yang sama
juga terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit kerajaan dengan kaum petani di
pedesaan. Susunan golongan di Sumatera Timur pada masa kolonial benar-benar
kompleks dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Langenberg
menggambarkan sebagai berikut. Pada lapisan atas terdapat kaum elite penguasa
kolo-
10
Mengenai perubahan itu, baca Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur. Jakarta: Sinar Harapan. 1987. hal. 77-126i; Mohammad Said. 1977 ‘Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Antara Derita dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada; Karl J. Pelzeer, Op. Cit., him. 51-90.
11
Tentang keadaan istana dan kehidupan kesultanan Melayu. pada masa itu lihat, Karl J. Pelzer. Op. Cit. hal. 168-169 dan John Anderson. 1971. Mission to East Coast of Sumatra in 1823. Kuala Lumpur, London: Oxford University Press.
12
nial yang terdiri dari beberapa lapisan. Pertama, orang-orang Eropa, yaitu
pejabat-pejabat kolonial, administratur perkebunan, dan para pengusaha. Kedua,
keluarga 6 kesultanan Melayu, Langkat, Deli, Serdang dan Asahan, Kota Pinang dan
Siak. Ketiga adalah para bangsawan Melayu dari kesultanan yang kecil, raja-raja Karo
dan Simalungun, kaum intelektual Indonesia berpendidikan Barat (dokter, pengacara,
pejabat sipil kolonial senior), dan para pedagang kaya Cina, India, dan Indonesia.13
Sebagian besar penduduk Sumatera Timur tinggal di pedesaan. Mereka adalah
para buruh perkebunan yang hidupnya sangat tertekan dan menderita. Kehidupan
buruh-buruh perkebunan ini sangatlah menyedihkan, lingkungan kumuh, terancam
kelaparan, dan kekurangan gizi. Para buruh perkebunan yang hidupnya miskin ini terus
semakin bertambah setiap tahun. Pada tahun 1883 jumlah penduduk miskin mencapai
31.454 jiwa dan pada tahun 1932 meningkat lagi menjadi 336.000 jiwa. Mereka adalah
para buruh perkebunan yang sering mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para
majikan perkebunan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa para pendatang yang sebagian besar adalah
kelompok usia muda inilah yang memainkan peranan penting dalam pergerakan politik
dan sosial di Sumatera Timur. Merekalah yang kemudian melancarkan kritik tajam
terhadap kepincangan sosial, penindasan para buruh kebun dan kemapanan sistem
feodalisme. Kritikan tajam, perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah
kolonial Belanda melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang menyebarkan isu-isu
perlawanan, penolakan (negasi) terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dan
sistem feodal yang dijalankan para penguasa saat itu.14 Tokoh-tokoh pemuda di
Sumatera Timur tampil di depan untuk melawan penguasaan dan pengelolaan tanah
yang dilakukan para Sultan dengan pemerintah kolonial Belanda.
1.2. Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara
Di Sumatera Utara kita akan menemukan pemuda-pemuda dengan nama-nama
besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia yang pernah mengunjungi Sumatera
13
Diterjemahkan dari Michael van Langenberg dalam Auderey R. Kahin. 1985. (ed.) Regional Dynamica of The Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu: University of Hawaii. hal. 115. Penduduk Sumatera Timur pada masa itu dibagi dalam empat lapisan orang Eropa, Timur Asing, Pribumi, dan kuli-kuli kebon. Staatsblad van Nederlandsch-Indie. 1939. No. 146.
14
Utara serta tinggal bersama-sama kuli di perkebunan-perkebunan Sumatera Utara. Sebut
saja, Dr. Sutomo pernah tinggal di Pakam dan Tanjung Morawa, Tan Malaka, Dr.
Pirngadi15, dan lain-lainnya. Ditambah lagi dengan kebijakan exorbitante rechten (hak
istimewa) pemerintah Kolonial Belanda menjalankan praktek ”pengasingan” atau
“pembuangan” para pejuang dari daerahnya ke berbagai tempat lainnya di Nusantara.
Bung Karno dan Hatta beserta beberapa tokoh pejuang lainnya pernah diasingkan atau
dibuang ke Sumatera Utara. Demikian beberapa peristiwa penting yang menumbuhkan
kesadaran nasionalisme pemuda di Sumatera Utara hingga memasuki masa
kemerdekaan Republik Indonesia.16
Di Sumatera Utara Proklamasi Kemerdekaan RI resmi diumumkan oleh Mr.
Teuku Muhammad Hasan pada tanggal 30 September 1945. Sedangkan Pemerintahan
Republik Indonesia baru berjalan di Kota Medan tanggal 3 Oktober 1945. Itupun secara
diam-diam karena masih takut pada pemerintah dan tentara Jepang. Lalu sepuluh hari
kemudian, 13 Oktober 1945, terjadi pertempuran di hotel “Pension Wilhelmina” di
Jalan Bali, Medan, antara rakyat dengan tentara Belanda yang disusupkan
sekutu/Inggris (NICA). Pertempuran serupa juga terjadi di Pematang Siantar 15
Oktober 1945, Berastagi 25 Oktober 1945, dan Tebing Tinggi 13 Desember 1945.17
Wujud lain kehidupan segregatif (terpisah-pisah) masyarakat Kota Medan
terefleksi dalam organisasi keagamaan beserta kepemudaannya. Keanggotaan
kelompok ini melintasi ikatan-ikatan teritori, namun masih menyiratkan etnisitas.
Ada organisasi Muhammadiyah yang didominasi warga etnis Minangkabau;
Alwashliyah yang didominasi etnis Mandailing dan Melayu; Huria Kristen Batak
Protestan; Gereja Batak Karo Protestan; Gereja Kristen Protestan Simalungun;
Gereja Kristen Protestan Angkola; Gereja Methodist Indonesia (Cina); dan
seterusnya. Hal yang sama terjadi pada kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih
jelas unsur etnisitasnya. Misalnya HIKMA (Himpunan Keluarga Mandailing);
15
Saat ini nama Dr. Pirngadi sebagai nama Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota Medan.
16
Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) yang memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948, pemerintah menetapkan Sumatera menjadi 3 provinsi masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan dan pada tanggal 15 April itulah ditetapkan menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, pada tanggal 7 Desember 1956 ditetapkan UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang terbentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Aceh.
17
Minang Saiyo (Minangkabau); IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong Aceh);
Persatuan Warga Sunda (PWS); PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera);
dan lain-lain. Sementara di tingkat pelajar/mahasiswa terdapat IMA-Tapsel (Ikatan
Mahasiswa Tapanuli Selatan); Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol (Minangkabau),
HIMAH (Himpunan Mahasiswa Amir Hamzah) dari etnis Melayu; dan sebagainya.
Organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang tersebut di atas umumnya
memiliki ciri-ciri resmi (formal). Besar kemungkinannya kelompok etnis tersebut
mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tertulis, disertai sistem
administrasi yang jelas.
Namun, di pihak lain terdapat kelompok-kelompok yang sering disebut
preman atau cross-boys, aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka pada
umumnya tidak tertulis. Organisasi itu tidak memenuhi syarat untuk didaftarkan
sebagai organisasi resmi kepada pemerintah, partai politik, maupun organisasi
kemasyarakatan dan lain-lain. Bahkan di mata pihak keamanan kota,
kelompok-kelompok preman itulah yang seharusnya diberantas atau “didekati” karena ada
anggapan bahwa banyak kerusuhan yang terjadi di kota, didalangi oleh preman.
Tetapi apapun alasannya sepanjang daya serap sektor formal masih sangat terbatas,
serta tingkat putus sekolah masih tinggi, maka fenomena preman masih akan sulit
ditiadakan. Lebih-lebih dalam keadaan dimana kepastian hukum tidak berjalan, atau
keadaan kurang aman, maka kehadiran preman justru menjadi sentral. Mereka yang
tidak memiliki pekerjaan tetap akan menawarkan dirinya untuk dijadikan tenaga
“pengaman” bayaran.
Dalam masa-masa awal kemerdekaan, belum banyak ditemukan perubahan
menyangkut sifat segregatif pemukiman. Daerah tapal batas pemukiman masih tetap
sebagai daerah rawan kerusuhan. Senggolan fisik dan kesalahpahaman saja dapat
melahirkan perkelahian antar individu yang justru sering menjadi perkelahian antar
kelompok kampung yang berlarut-larut. Peristiwa perkelahian seperti itu tetap sulit
diredam terkait dengan belum berkurangnya jumlah pengangguran di setiap
kampung. Daya serap lapangan pekerjaan di sektor formal sangat kecil, sementara
angka drop out sekolah di kalangan pemuda tetap tinggi. Di satu sisi sektor formal
semakin mengutamakan pendidikan, sedangkan di sisi lain kesempatan memasuki
berat. Tidak banyak anak muda yang dapat menyelesaikan sekolahnya hingga
akhir.18
Gaya hidup di pusat Kota Medan merepresentasikan gaya hidup urban atau
perkotaan, sedang yang lainnya merepresentasikan gaya hidup rural atau pedesaan.
Sementara pada kawasan pinggir Kota Medan banyak para pendatang baru datang
dan tinggal menetap dari berbagai etnis lainnya di Indonesia. Sehingga kawasan
pinggiran tersebut tumbuh menjadi kantong-kantong pemukiman kelompok etnis. Di
sekitar pusat kota lama (daerah Kesawan dan Polonia) dihuni oleh para elit
pemerintahan serta orang Cina dan Timur Asing yang bergerak di bidang
perdagangan. Sementara itu di kawasan pinggiran Kota Medan bermukim
kelompok-kelompok etnis Bumiputera yang juga hidup secara segregatif. Di pinggiran Kota
Medan tersebut banyak terjadi kerawanan sosial seperti perampokan, penjambretan,
perkelahian, berdirinya pondok-pondok prostitusi liar, dan tempat perjudian.
Penyebab dari kerawanan sosial itu menurut Pelly berpangkal pada segregasi
kehidupan pemukiman antar etnis, antar strata sosial, dan okupasi.19
Dalam situasi sosial segregatif itu kebudayaan masing-masing kelompok etnis
mengalami proses retribalisme. Kebudayaan leluhur dari masing-masing kelompok
etnis tidak mengalami pengikisan, melainkan justru menguat kembali. Identitas etnis
semakin terpelihara dan loyalitas kepadanya pun semakin dipertinggi oleh warga
masing-masing kelompok etnis. Oleh sebab itu, persaingan antar kelompok etnis yang
identik dengan persaingan antar kampung (teritori) di Kota Medan tersebut memiliki
potensi konflik (latentconflict) dalam kehidupan sehari-hari. Daerah-daerah perbatasan
teritori antar kelompok etnis termasuk wilayah yang paling mudah dijangkiti oleh
kerusuhan berupa “perang massal” antar kampung. “Perang massal” ini biasanya
dipelopori oleh para pemuda yang senantiasa siap tempur sekalipun berawal dari hal-hal
yang sepele dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena pengangguran pemuda di setiap kampung atau di kantong-kantong
pemukiman kelompok etnis, menjadi salah satu penyebab munculnya perkelahian antar
kampung. Anak-anak muda di tiap kampung/pemukiman kelompok etnis di pinggiran
Kota Medan, pada waktu itu, membentuk satuan-satuan pemuda dengan dasar
18
Kemiskinan menjadi persoalan utama di masyarakat Kota Medan. Banyak keluarga yang tidak dapat memberikan pendidikan sekolah secara formal kepada anak-anaknya karena tidak memiliki uang untuk membayar sekolah dan membeli peralatan belajar. Sementara program pemerintah untuk sektor pendidikan sangat kecil dan tidak memungkinkan untuk dinikmati oleh banyak kalangan warga miskin di Kota Medan.
19
solidaritas teritorial/etnis. Sebut saja seperti di beberapa kampung terdapat
satuan-satuan pemuda dengan nama: Cross-Boys Medan Baru, Jati Boys di Jalan Jati, Seri
Boys, Viking Boys, Mongol Boys, Tar Tar Boys di Sukarame, dan lain-lain.
Satuan-satuan pemuda kampung itu juga merekrut pemuda pelajar yang pada dasarnya terikat
oleh kesadaran etnis dan teritorialnya. Akan tetapi walaupun bersatu dalam satu
kesatuan “pemuda kampung”, namun antara pemuda menganggur dan pemuda sekolah
tetap terdapat perbedaan. Pemuda bersekolah tetap melakukan kegiatan sehari-hari
seperti pemuda pengangguran, duduk-duduk selepas sekolah di persimpangan jalan,
mereka itu dinamakan cross-boys (anak-anak simpang) atau biasa juga disebut “pemuda
roman”. Sedangkan pemuda kampung yang betul-betul menganggur dan hidup
selamanya di jalanan, dinamakan “preman”.
Pemuda-pemuda yang disebut dengan istilah cross-boys yang merupakan bagian
integral dari “pemuda kampung” tumbuh pada dasawarsa 1950-an hingga awal
1960-an.20 Di waktu itu sebagian anak-anak muda pelajar memperlihatkan gaya dan tingkah
polanya yang “nakal” seperti kumpul-kumpul di persimpangan jalan, lepas dari kontrol
orang tua, merokok, cari uang tidak bisa, suka iseng menggoda perempuan dan juga
mengganggu orang-orang yang sedang lewat. Tidak jarang kelakuan mereka
memancing marah orang lain sehingga menimbulkan perkelahian, seperti gaya
“mejeng” anak muda dewasa ini. Berkelahi keroyokan di bawah seorang pemimpinnya
yang disebut chips. Begitupun, yang namanya perkelahian, selalu dapat menimbulkan
keresahan. Anak-anak “nakal” seperti ini sering juga dijuluki sebagai “preman lontong”.
Lain halnya dengan pemuda yang bernama “preman”. Mereka terdiri dari
orang-orang pengangguran yang hidup di jalanan sambil “mencari makan” untuk kebutuhan sendiri, terutama di bioskop-bioskop terdekat. Mereka mengelola penjualan tiket
melalui “sistem catut” atau black market. Kegiatan ini pada dasarnya “direstui” oleh
pengelola bioskop, entah dengan terpaksa atau tidak. Namun dengan adanya
kesempatan bagi preman itu untuk mengelola karcis “catut” maka kerusuhan di bioskop
tidak terjadi. Orang lain tidak akan berani membuat kerusuhan di bioskop itu kalau
tidak mau ambil resiko berkelahi dengan preman bioskop tersebut. Oleh sebab itu,
menurut anggota-anggota preman itu sendiri, kehadiran mereka di salah satu bioskop itu
20
dipandangnya sebagai satuan pengaman bagi bioskop itu sendiri. Keamanan di bioskop
tersebut menjadi keuntungan bagi pemilik atau pengelola bioskop itu sendiri.
Selain berfungsi mengamankan bioskop terdekat, kelompok preman ini juga
merasa difungsikan mengamankan kampungnya sendiri. Atas dasar itulah, menurut
beberapa preman era 1950-an dan 1960-an21, para orang tua kampung setempat selalu
simpati pada preman ketika itu. Mereka tidak membuat kerusuhan di kampungnya dan
sebaliknya karena mereka pula, orang dari kampung lain tidak berani membuat
kerusuhan di kampung tersebut. Itu sebabnya anak-anak cross-boys yang tidak berhasil
meneruskan sekolahnya, sebagian terjun ke dunia preman. Jarang pulang ke rumah, cari
makan dan pakaian sendiri-sendiri di jalanan. Sedangkan yang mampu meneruskan
sekolah, memperoleh manfaat, ada sebagian di antara mereka berhasil menduduki
jabatan strategis di pemerintahan, militer atau perusahaan.
Oleh karena klain mereka disebut sebagai kelompok pengamanan, maka tidak
jarang anggota preman itu membekali diri mereka dengan seperangkat keahlian “bela
diri” (silat, karate, dan lain-lain). Bahkan menurut sebagian preman era 1950-an itu,
tidak jarang di antara mereka juga harus memiliki ilmu batin, yang berarti “ilmu kebal”.
Orang-orang yang memiliki “keahlian lebih” itulah yang muncul sebagai kapala bagi
kelompoknya. Seorang yang menjadi kapala harus berani, kuat, disegani lawan dan
kawan, bersifat setia dan melindungi anggota, serta mampu menjaga keutuhan persatuan
dan kesatuan kelompoknya.
Kesatuan dan persatuan yang solid dari suatu kelompok adalah satu kesatuan
yang tak ternilai harganya bagi para “preman”. Dengan persatuan dan kesatuan yang
kuat, mereka dapat mempertahankan atau mengembangkan sumber-sumber
penghidupannya di bioskop-bioskop maupun di tempat-tempat yang lain. Hal ini
menjadi suatu keharusan karena biaya penghidupan untuk menopang gaya hidup
mereka kian hari kian bertambah besar. Tidak berbeda seperti kehidupan para ambtenar
umumnya, para preman tampil dengan pakaian necis, rambut klimis, sepatu mengkilap
ditambah wewangian. Mengisap rokok kelas menengah dan meminum minuman keras,
menikah dan berketurunan, membina rumah tangga dengan satu atau lebih perempuan.
Oleh karenanya, keinginan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber daya yang
21
lebih banyak tak dapat dihindari. Akibatnya perkelahian dengan kelompok preman lain
di bioskop yang terletak di kampung etnis lain juga tidak bisa dihindari.
Perkelahian antar kelompok preman pada dasarnya merupakan perkelahian antar
kelompok warga etnis kampung tertentu. Preman kelompok etnis dari satu kampung
tertentu menyerang dan merebut bioskop yang telah dikuasai preman kelompok etnis
kampung yang lain. Demikian misalnya, pada era 1960-an awal, terjadi penguasaan
bioskop-bioskop Kota Medan secara etnis. Bioskop Rex atau Mega Ria dikuasai oleh
preman etnis Aceh, Astana Ria dikuasai oleh preman etnis Karo, Bioskop Morning
dikuasai preman etnis Minangkabau, Bioskop Olimpia dikuasai preman etnis Toba,
Bioskop Majestic dikuasai oleh preman etnis Mandailing, serta bioskop-bioskop yang
B A B 2
P E M U D A P A N C A S I L A &
A W A L M U L A L A Y A R T E R K E M B A N G
2.1. Situasi Politik Nasional
umbuh kembangnya berbagai perkumpulan atau organisasi, baik yang bersifat
kedaerahan, keagamaan, kepemudaan, kemahasiswaan, kepartaian dan lain-lain
tidak dapat dilepaskan dari situasi politik pada masanya. Masa awal kemerdekaan,
terutama antara 1950–1960, sering disebut masa Demokrasi Liberal. Bermacam-macam
organisasi atau perkumpulan tumbuh di mana-mana. Gejala ini tentu tidak dapat
dilepaskan dari dorongan pemerintah, sebagaimana termuat dalam “MAKLUMAT
PEMERINTAH” yang ditandatangani pada 3 November 1945 oleh Wakil Presiden
Mohammad Hatta, bahwa:
1. Pemerintah menjukai timbulnja partai politik karena dengan adanja
partai-partai itulah dapat dipimpin ke djalan jang teratur segala aliran paham jang ada
dalam masjarakat;
2. Pemerintah berharap supaja partai-partai politik itu telah tersusun sebelumnja
dilangsungkan pemilihan anggauta Badan-badan Perwakilan Rakjat pada bulan
Djanuari 1946.22
Maklumat tersebut di atas dengan tegas memberi dorongan dan dengan jelas
membenarkan semua bentuk aliran organisasi partai, sepanjang – demikian kalimat
sebelumnya – partai-partai itu “hendaknja memperkuat perdjuangan kita
mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan”. Di Sumatera Utara
umumnya dan Kota Medan khususnya, berbagai cabang organisasi yang antara lain
bertugas merekrut anggota sebanyak-banyaknya di daerah tumbuh bagai jamur di
musim hujan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memenangkan pemilihan umum
nasional yang sejak 5 Oktober 1945 sudah dijanjikan akan dilaksanakan pemerintah
pada Januari tahun 1946.23
22
Anonimous, Kepartaian di Indonesia. 1951. Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Pepora 8. Lihat juga Daniel Dhakidae. 1981. “Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia” dalam Jurnal PRISMA, Desember 1981. hal. 18.
23
Rencana Pemilu Nasional 1946 dalam kenyataannya tidak dapat
dilaksanakan, walaupun di Keresidenan Kediri dan Surakarta sempat diadakan
pemilihan. Suasana revolusi saat itu agaknya tidak mengizinkan. Susunan Kabinet
Presidential yang dibentuk pada 19 Agustus 1945 hanya bertahan kurang dari tiga
bulan, diganti dengan Kabinet Parlementer yang dibentuk pada 14 November 1945.
Pergantian susunan kabinet ini saja sudah cukup memberi isyarat bahwa pemilihan
umum tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan persiapan sesingkat itu. Belum lagi
persoalan dengan pihak Belanda yang masih terus dibahas, sehingga tidak dapat
dihindari bahwa konsentrasi para pemimpin saat itu menjadi terpecah-pecah.
Keadaan Kota Medan semakin rumit dan tidak menentu setelah timbulnya
gerakan, yang sering disebut sebagai revolusi sosial, di Sumatera Timur pada bulan
April 1946. Sebagian besar anggota keluarga Sultan Melayu ditangkap, dibunuh dan
hartanya dirampok. Revolusi sosial ini diumumkan oleh Wakil Gubernur Sumatera,
Dr. Amir, yang mendapat tekanan dari kelompok kiri atau komunis. Kelompok kiri
berusaha meyakinkan massa rakyat bahwa Kesultanan Melayu berkhianat pada
Revolusi Indonesia, karena beberapa hari setelah Sekutu mendarat pihak Kesultanan
mengundang seorang pejabat tinggi Belanda untuk menghadiri upacara penobatan
Sultan Osman Sani dan pemakaman almarhum ayahnya yang digantikannya.24
Revolusi sosial yang belakangan diketahui diatur dan disusupi oleh unsur-unsur PKI
(Partai Komunis Indonesia) ini, walaupun singkat sempat mengakibatkan berlakunya
“keadaan darurat” di seluruh Sumatera Timur.25
Di akhir tahun 1946 hingga pertengahan pertama 1947, tembak-menembak
antara tentara Republik yang dibantu Lasykar Rakyat dengan tentara sekutu
meningkat frekuensinya. Pusat-pusat perkotaan menjadi arena perang (front),
sementara wilayah pinggiran kota menjadi arena gerilya. Penyebab terjadinya
pertempuran tersebut tidak lain karena tentara sekutu tidak menjalankan tugas
pokoknya, yakni mengawasi tentara Jepang dan mengurus kepulangannya. Tentara
sekutu malahan menyusupkan tentara Belanda (termasuk pejabat sipil Belanda) ke
Kota Medan. Buktinya tanggal 7 November 1946, satu batalyon tentara Belanda
pimpinan Kolonel P. Scholten mendarat di Belawan. Belanda memang berkeinginan
24
Usman Pelly dan Darmono. 1981. Pandangan Tentang Makna Hidup Transisionalitas Masyarakat: Studi Kasus Sumatera Utara. hal. 202-203.
25
untuk kembali menjajah negeri nusantara ini. Sedangkan tentara sekutu/Inggris
secara terang-terangan ikut membantu proses tersebut.26
Pada bulan Oktober 1946 telah disetujui gencatan senjata yang dimediasi
oleh sekutu/Inggris. Gencatan senjata dimaksudkan untuk memberi kesempatan
melakukan perundingan-perundingan guna mengakhiri perselisihan antara Indonesia
dengan Belanda. Tetapi karena perundingan sangat alot, maka tanggal 25 Maret
1947 keluar lagi perjanjian Gencatan Senjata baru, yang dikenal dengan Perjanjian
Linggarjati. Belanda kemudian menggunakan kesempatan gencatan senjata itu untuk
mengkosolidasikan pasukannya. Pihak Republik Indonesia terpaksa menggunakan
kesempatan itu untuk melakukan konsolidasi seluruh pasukan yang tersebar di
berbagai front.
Situasi keamanan di pusat Kota Medan dapat dikatakan tidak stabil. Siang
hari kelihatan aman-aman saja, tetapi pada malam hari terdengar tembak-menembak.
Suasana psikologis warga kota begitu mencekam. Rasa was-was kelak akan terjadi
pertikaian dengan Belanda, tidak dapat dihindari. Tiga bulan setelah
ditandatanganinya perjanjian Linggarjati, suasana Kota Medan semakin genting.
Suasana lingkungan menuju ke arah perang sudah terasa akan terjadi. Kedua belah
pihak, Belanda dan Indonesia, masing-masing telah memperkuat pertahanannya.
Tanggal 21 Juli 1947 Agresi Militer I terjadi. Secara serentak pasukan
Belanda menyerang front-front pertahanan pasukan Republik. Berturut-turut
serangan itu dilakukan dan sesekali diadakan pembalasan. Suasana kehidupan
diliputi peperangan. Paling tidak hingga akhir tahun 1949, kecuali sebentar mereda,
yaitu pada saat gencatan senjata (persetujuan Renville kurang lebih 10 bulan) yang
terjadi setelah dan sebelum agresi militer II (19 Desember 1948) yang disambut
dengan perang gerilya. Praktis keadaan menjadi lebih genting kembali, sekalipun
ibukota negara telah dipindahkan ke Yogyakarta.
Era revolusi kemerdekaan hingga tahun 1950, seperti telah dideskripsikan di
atas, cukup kuat memberi alasan betapa keadaan saat itu dikatakan sangat tidak
aman. Masyarakat Sumatera Utara umumnya, khususnya Medan, merasakan situasi
yang demikian mencekam itu. Sehingga begitu memasuki era 1950-an, sekalipun
disana-sini masih terjadi berbagai pergolakan, namun secara historis masyarakat
mengenalnya sebagai “masa aman”. Pada era inilah implementasi Maklumat
26
Pemerintah 3 November 1945 mendapat momentum baru. Organisasi masa,
perkumpulan-perkumpulan, serta organisasi partai tumbuh dan berkembang
menjalankan misi dan program-program politiknya. Pertarungan antar partai untuk
merebut pusat-pusat kekuasaan dan penentuan kebijakan negara berlangsung secara
terbuka. Seluruh pergolakan yang terjadi di seluruh Indonesia itu, bukan lagi dalam
rangka menghadapi musuh dari luar. Akan tetapi pergolakan itu lebih disebabkan
oleh perbedaan pendapat dan kepentingan antar partai politik yang berpengaruh dan
memiliki massa yang cukup besar di dalam negeri.
Pertikaian antar partai politik yang begitu kuat, dipicu oleh tema yang selalu
menjadi pembahasan yaitu politik sebagai panglima. Demikian besarnya pengaruh
partai ketika itu, sehingga hampir tidak pernah dapat dicapai sebuah konsensus
nasional. Kasus penundaan pelaksanaan pemilu nasional misalnya, merupakan bukti
kuatnya pertikaian antar kepentingan partai masa itu. Jika kasus itu dikaji, maka
akan terlihat empat faktor penyebabnya.27Pertama, anggota parlemen pada masa itu
banyak yang beranggapan bahwa dengan pemilu kursinya akan copot karena mereka
bukan berasal dari kader partai-partai besar. Mereka terpilih menjadi anggota
parlemen lebih disebabkan karena kondisi politik dan pembangunan ekonomi yang
relatif belum stabil.
Kedua adalah kekhawatiran, terutama dari Partai Nasional Indonesia, bahwa
pemilihan umum akan menguatkan partai-partai Islam menguasai infrastruktur
negara. Ketiga kekhawatiran bahwa sistem pemilihan umum yang konsisten dengan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 akan menghasilkan perwakilan yang lemah
bagi daerah-daerah luar Jawa. Keempat adalah kekhawatiran akan munculnya partai
politik dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, pelaksanaan Pemilu 1955
menjadi catatan prestasi yang dicapai dalam masa Kabinet ketika itu. Seluruh partai
politik yang ada dan yang akan tampil sebagai kontestan, termasuk organisasi
kemasyarakatan, dapat turut serta dalam pesta demokrasi itu. Pemilu 1955 yang
diselenggarakan pertama kali menghasilkan lembaga konstituante (parlemen).28
Di tengah-tengah ketidakpastian pelaksanaan pemilihan umum, serta keadaan
ekonomi yang semakin sangat suram, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 di Jakarta.
Peristiwa ini terjadi pada masa Kabinet Wilopo (1952-1953), yaitu setelah
27
Daniel Dhakidae. Op. Cit. hal. 20.
28
mempensiunkan 80.000 dari 200.000 tentara yang ada, menyusul diterimanya mosi
Manai Sofian oleh parlemen pada tanggal 16 Oktober 1952. Para tentara (Angkatan
Darat) dan kalangan PETA yang bermodalkan semangat 45 merasa disudutkan, dan
menganggap campur tangan parlemen yang terlalu jauh di tubuh tentara. Akibatnya
pada tanggal 17 Oktober 1952, terjadi demonstrasi sekitar 5.000 orang yang
menuntut pembubaran parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, dan
mendesak pemerintah supaya segera menyelenggarakan pemilihan umum. Mereka
masuk dan mengobrak-abrik gedung parlemen, lalu mampir ke Kementrian Luar
Negeri, rumah kediaman Wakil Presiden, Komisaris Agung Belanda, serta istana
Presiden.29 Akibatnya pemerintah mengambil tindakan membebaskan jabatan
sejumlah perwira yang tersangkut peristiwa tersebut, seperti Kolonel A.H. Nasution
(Kasad), Letkol S. Parman (CPM), dan Letkol Sutoko (Mabad).30
Banyak pengamat yang menghubungkan peristiwa 17 Oktober 1952 ini
dengan lahirnya ide di kalangan perwira tentara yang mendukung peristiwa tersebut
untuk membentuk sebuah ikatan. A.H. Nasution disebut-sebut sebagai salah seorang
tokoh penting yang memprakarsainya. Ikatan yang dimaksud itu adalah Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), yang anggotanya terdiri dari para
pejuang kemerdekaan baik yang berasal dari militer maupun masyarakat umum.
Setelah didirikan pada tanggal 5 Oktober 1954, IPKI, kemudian menjadi salah satu
peserta pemilihan umum yang akan digelar pada tahun 1955.
Penyebab lain dari timbulnya peristiwa 17 Oktober 1952 adalah rasionalisasi
Kabinet Wilopo. Kabinet ini bermaksud menjalankan politik ekonomi secara lugas
dalam bentuk penghematan. Sebagai contoh di Sumatera Utara, lahan sebagian
petani diambil alih untuk membangun kebun percobaan dan petaninya sendiri
diungsikan ke tempat lain. Namun petani menolak upaya itu, sehingga akhirnya pada
17 Maret 1953 terjadi Peristiwa Tanjung Morawa. Petani Indonesia dan Tionghoa
menghadang traktor Jawatan Pertanian yang menyebabkan perkelahian. Peristiwa ini
menelan korban 5 orang mati dan 16 orang mendapat luka-luka parah. Menurut
29
Ibid.
30
catatan, peristiwa ini menjadi bahan agitasi politik beberapa partai dan menjadi
salah satu sebab bubarnya Kabinet Wilopo.31
Di antara partai-partai politik yang banyak jumlahnya di masa itu, pertikaian
ideologi dan kompetisi untuk menghimpun kekuatan dengan mengumpulkan anggota
sebanyak-banyaknya dari masyarakat menjadi isu sentral. Setiap organisasi atau
partai politik selalu berebut untuk tampil di panggung politik, menentukan format
dan arah kebijakan Republik Indonesia yang baru merdeka. Ada yang muncul
sebagai partai dengan ideologi agama, ideologi kebangsaan, dan ada pula dengan
ideologi yang berasal dari luar. Sebagian berbasis umat, sebagian lagi berbasis
okupasi dan kelas sosial. Seluruhnya tampil dengan mengklaim perjuangan politik
yang secara umum selalu menjadi tema yang disampaikan ke rakyat yaitu untuk
mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.
Perbedaan-perbedaan di antara partai politik dan organisasi-organisasi itu,
masih sangat sulit dijembatani. Perbedaan-perbedaan itu masih selalu bermuara pada
pertikaian yang berlarut-larut. Penundaan pemilu sampai 10 tahun dari janji yang
telah disampaikan adalah bukti dari ketidaksepakastan yang selalu terjadi dalam
perundingan antar partai politik. Setiap partai politik tidak peduli dengan masalah
yang timbul akibat ketidaksepakatan di antara elit partai. Mereka hanya peduli pada
upaya memperkuat basis-basis sosial partainya di kalangan masyarakat.
Bermacam-macam instrumen digunakan untuk merekrut anggota partai sebanyak-banyaknya
dengan cara apapun. Salah satu diantara instrumen yang paling populer adalah
semua partai mendirikan berbagai macam organisasi yang memiliki afiliasi ke partai
politik tersebut agar dapat menjangkau massa yang lebih luas. Implikasi yang
muncul bersamaan dengan perluasan massa pendukung partai politik di semua
lapisan masyarakat, tersebar pula benih-benih pertikaian di masyarakat. Pertikaian
tidak lagi hanya terbatas di dalam parlemen tetapi terjadi di antara kelompok
masyarakat pendukung masing-masing partai politik.
Mahasiswa, pelajar, pekerja/karyawan (buruh), petani, nelayan, seniman, pers
dan lain-lain adalah “langganan” dari upaya partai politik memperluas massa
pendukungnya. Sasarannya tidak terbatas pada masyarakat yang tinggal di perkotaan
31
tetapi juga pada masyarakat yang tinggal di pedesaan. Sehingga tidak ada lagi satu
kelompok sosial pun dalam masyarakat yang tidak disentuh oleh dinamika
permainan partai politik yang dilakukan oleh para elit partai politik, kecuali
kelompok sosial yang pada masa itu dipandang sangat tidak dihitung memiliki
kekuatan untuk merekrut massa, yakni anak jalanan.
2.2. Pembentukan Pemuda Pancasila
Kelompok anak jalanan di Kota Medan terdiri dari para preman dan
anak-anak cross-boys yang berpusat di seputar kota. Kelompok ini nampaknya tidak
tergarap oleh kekuatan-kekuatan politik, untuk masuk menjadi bagian
pendukungnya, yang saat itu mendekati seluruh satuan sosial di masyarakat. Para
anak jalanan atau preman yang berlainan kampung ini sering terlibat perkelahian
antar sesamanya. Suasana itu menyebabkan, sejak tahun 1957 ketika proses
nasionalisasi seluruh perusahaan asing terjadi, pusat Kota Medan dianggap rawan.
Kerawanan pusat Kota Medan ketika itu juga dapat dikatakan berkaitan dengan
proses pembangunan berbagai fasilitas-fasilitas umum antara lain bioskop sebagai
pusat keramaian.
Anak-anak jalanan yang menghuni perkampungan di seputar pusat kota,
menyerbu daerah pusat, untuk mendapatkan pekerjaan dan uang di bioskop dan
pusat-pusat pertokoan. Situasi itu mendorong pihak keamanan untuk mengantisipasi
berbagai kemungkinan perkelahian yang dapat menimbulkan kerusakan di pusat
kota. Selain karena alasan tersebut, adanya jaga malam ini secara resmi, karena
disebabkan oleh pengumuman darurat perang di Sumatera Utara akibat keputusan
yang dilakukan oleh Panglima Daerah Militer I, Kolonel Simbolon, pada 22
Desember 1956 yang memutuskan hubungan Sumatera Utara dengan Kabinet Ali
Sastroamidjoyo.
Adapun isi dari Undang-Undang Darurat Perang No. 1 Tahun 1956
sebagaimana juga tertulis dalam Undang-Undang Darurat Perang No. 8 Tahun 1945
adalah sebagai berikut:
1) Februari 1957, “Konsep Presiden” yang menghendaki PKI didudukkan dalam
2) 7 November 1957 “Menyatakan jika hasil pembubaran mengenai Irian di PBB
tidak memuaskan Indonesia akan lakukan tindakan yang “Menggemparkan
dunia”.
3) 1 Desember 1957 “Meletus aksi-aksi ambil alih perusahaan-perusahaan
Belanda”.
Pada malam hari daerah kota terpaksa diawasi oleh petugas jaga malam dari
anggota militer. Pasukan jaga malam ini dipimpin Kolonel Sukardi dari Kodam II
Bukit Barisan. Sebagai pelaksana, pihak militer merekrut anak-anak jalanan untuk
ditugaskan sebagai penjaga malam (hermandat). Hal ini dimungkinkan karena pada
masa itu telah terdapat suatu perkumpulan yang menamakan dirinya Perkumpulan
Pemuda Kotamadya Medan (P2KM). Perkumpulan ini melibatkan banyak anggota
kelompok anak jalanan yang tersebar di perkampungan sekeliling kota. Kelompok
ini dibentuk di Jalan Amaliun, di rumah salah seorang anggota, dan diketuai oleh
Effendi Nasution dan sekretaris bernama Anwar. Oleh karena pada masa itu, isu
mengenai pembebasan Irian Barat juga telah meluas dan setiap kabinet
mencantumkan masalah Irian Barat sebagai salah satu programnya, maka P2KM
juga dinamakan PDIB (Pasukan Djibaku Irian Barat). Pada saat inilah, sentuhan
politik yang sedang berlangsung di kalangan masyarakat, mulai masuk dalam
kehidupan para anak jalanan alias preman Kota Medan.
Begitu kuatnya hasrat dan animo orang untuk berpolitik, dalam arti merebut
pengaruh dan kekuasaan dalam negara, menyebabkan perhatian pada ekonomi nyaris
terabaikan. Strategi-strategi untuk mengembangkan sumber daya ekonomi negara
kurang mendapat tempat dalam arus pemikiran umum elit politik pada masa itu.
Aktivitas-aktivitas ekonomi tidak mendapatkan sentuhan progresif yang berarti.
Potensi ekonomi dibiarkan berkembang begitu saja seperti sediakala, meniru dan
mengikuti keadaan yang ada di masa-masa sebelumnya. Tetapi dalam keadaan itu
sentralisasi ekonomi oleh negara justru terus berlangsung sehingga ketimpangan
ekonomi antara pusat dan daerah menjadi begitu terasa. Akibatnya kekuatan
ekonomi di masing-masing daerah kian melemah untuk memberi sumber mata
pencarian penduduk yang hidup di daerah tersebut. Jumlah pemuda yang tidak
memiliki pekerjaan tetap makin bertambah, baik karena kehilangan pekerjaan
maupun karena tidak memiliki pendidikan formal akibat kemiskinan atau tiadanya
Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) tahun
1959 di Sumatera Barat, adalah salah satu pemberontakan yang menuntut
desentralisasi kebijakan ekspor. Begitu pula pemberontakan PERMESTA Sulawesi
Selatan yang disebabkan oleh penolakan kebijakan sentralisasi ekonomi oleh
pemerintah pusat.32 Munculnya pemberontakan-pemberontakan tersebut dipandang
sebagai titik kulminasi dari pertikaian politik yang bukan saja telah menghalangi
adanya konsensus di parlemen, tetapi juga menyebabkan terabaikannya aspek
ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, atas prakarsa dan dukungan
Angkatan Darat, Presiden menunjukkan kekuasaannya lewat Dekrit Presiden 5 Juli
1959 dan sekaligus mengakhiri era Demokrasi Liberal.
Setelah kurang lebih tiga tahun bersidang, dan tidak berhasil untuk sepakat
memutuskan konstitusi negara, akhirnya Presiden mengeluarkan Dekrit untuk
kembali ke UUD 1945 dan Pancasila.33 Pada masa ini menjadi masa peralihan
yang konsisten pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Namun bersamaan
dengan peralihan dimaksud maka beralih pula cara-cara pengambilan keputusan
dalam pemerintahan negara. Dominasi partai politik merosot, kekuasaan berada di
luar parlemen, terutama Soekarno dan sebagian oleh militer.35
Deliar Noer menyatakan bahwa,
“….masa ini memperlihatkan hilangnya demokrasi. Hanya “terpimpin”-nya yang tinggal hanya keinginan Soekarno benar-benar ia laksanakan. Dia membubarkan konstituante dan membentuk DPR baru yang semua anggotanya diangkat. Tidak ada pemilihan umum dilakukan selama itu. Dia bentuk Dewan Nasional, kemudian membubarkannya. Indoktrinasi pun dilakukan. Malah forum NASAKOM dia buka dimanapun dari pemerintah sampai organisasi semi pemerintah seperti Front Nasional, sehingga PKI memperoleh pijakan, termasuk di tempat yang tidak ada ranting dan cabang
32
Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia. hal. 24.
33
Mengenai sidang secara utuh Dewan Konstituante lihat Adnan Buyung Nasution. 1998. The Transition to Democracy Lessons from the Tragedy of Konstituante. Center for Political and Regional Studies, Indonesian Institute of Science: Ford Foundation.
34
Ahmad Syafi'i Ma'arif. 1988. Islam dan Politik di Indonesia: Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. hal. 32.
35
PKI. Dia putar haluan politik bebas aktif menjadi politik luar negeri berporos ke Peking. Dia bawa Indonesia mundur dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semuanya di tengah kepahitan hidup disebabkan ekonomi yang merosot”.36
Penurunan dominasi partai politik dalam percaturan politik nasional, juga
tampak ketika Presiden Soekarno mengangkat Ir. Djuanda menjadi Perdana Menteri.
Susunan kabinet dibentuk tidak lagi berdasarkan kekuatan-kekuatan partai politik
melainkan diangkat berdasarkan pribadi-pribadinya masing-masing. Hubungan
kedekatan dengan presiden jauh lebih menentukan karena peranan parlemen sudah
lumpuh sama sekali. Tetapi anehnya konflik antar partai bukannya mereda.
Beberapa partai yang “dekat” dengan presiden makin berkibar dan menggilas
partai-partai lain di sekitarnya. Termasuk bekas partai-partai besar Masyumi yang turut
dibubarkan tahun 1960 karena alasan keterlibatan beberapa tokohnya dalam
pemberontakan.
Lain halnya dengan IPKI yang kecil – karena kalah dalam Pemilu 1955 – di
masa ini justru dapat membangun kekuatan. Akibat dari kekalahan IPKI, kalangan
Angkatan Darat pada Pemilu 1955 itu, memberi dukungan bagi para elit partai IPKI.
Konsolidasi partai dalam kongresnya di Lembang (Jawa Barat) mencetuskan
gagasan untuk merekrut pemuda sebagai salah satu pilar pendukungnya. Atas dasar
putusan itu, maka pada bulan Oktober 1959 bersamaan dalam kongresnya itu,
dikeluarkan mandat kepada fungsionaris partai di seluruh Indonesia untuk
membentuk organisasi massa pendukung partai (onderbouw), yang dinamakan
“karyawan IPKI”. Partai yang diresmikan menjadi partai politik pada tahun 1961
inilah yang kemudian menjadi bukti bahwa hanya angkatan bersenjata sajalah yang
bisa lebih leluasa bergerak menandingi kekuatan PNI dan PKI yang dekat dengan
Bung Karno pada era Demokrasi Terpimpin.
Menurut Spego Goni, dalam kapasitasnya sebagai fungsionaris IPKI, ia telah
merintis pembentukan Pemuda Pancasila sejak dini.37 Nama “Pemuda Pancasila” itu
sudah pernah dicantumkannya dalam buku tamu di sebuah acara resmi, yakni pada
Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1959 di Gedung LAN Jl. Veteran
Jakarta. Kehadiran Spego Goni dalam acara tersebut sebetulnya mewakili IPKI
Jakarta Raya. Atas dasar itu, menurut Spego Goni, dialah orang yang pertama
mencetuskan nama Pemuda Pancasila dan dia pula orang yang membawa delegasi
36
Deliar Noer. 2000. Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Penerbit PT. Mizan. hal. 31.
37
Pemuda Pancasila (Mei 1961) pertama menjadi onderbouw IPKI ke hadapan Ny.
Ratu Aminah Hidayat (Ketua Umum DPP IPKI) ketika itu.38
Sampai tanggal 28 Oktober 1960 embrio organisasi Pemuda Pancasila versi
Spego Goni belum diizinkan mengikuti Kongres Pemuda di Bandung karena
Pemuda Pancasila belum terdaftar sebagai organisasi pemuda. Tetapi pada tanggal
27 April 1961, kira-kira enam bulan kemudian, Pemuda Pancasila diterima sebagai
anggota “Front Pemuda”. Namun Spego Goni tidak menjelaskan alasan yang
menyebabkan Pemuda Pancasila pada saat itu dapat diterima, jika pada tahun 1960
masih ditolak mengikuti Kongres Pemuda.
Diterimanya Pemuda Pancasila ke dalam Front Pemuda terkait dengan
keberadaan Ny. Ratu Aminah Hidayat (Ketua Umum IPKI).39 Sehingga tidak
mengherankan kalau organisasi pemuda yang bernaung di bawah bendera partainya
itu diterima menjadi anggota Front Pemuda. Anggota organisasi Front Nasional itu
sendiri masih terdapat unsur PKI yang diketahui sangat anti kepada Pancasila. Tentu
saja unsur PKI tersebut dengan sangat berat hati menerima keanggotaan Pemuda
Pancasila. Tetapi dengan konsep NASAKOM yang digulirkan Presiden Soekarno
serta didukung oleh PKI maka secara formal, unsur komunis di Front Nasional tidak
berdaya menolaknya.
Sampai saat ini sejarah tentang penggunaan nama Pemuda Pancasila versi
lain, selain dari yang sudah dibuat Spego Goni, secara tertulis belum dapat
ditemukan. Oleh karena itu, berbagai pendapat yang menggugat kebenarannya,
seperti banyak beredar di kalangan anggota Pemuda Pancasila, sulit diyakini
kekuatannya. Memang kemungkinan adanya kekeliruan tentang hal itu sebetulnya
masih sangat terbuka. Intensitas komunikasi antar daerah pada masa itu dapat
dibayangkan masih sangat terbatas. Sehingga informasi tentang perkembangan dari
pelaksanaan mandat kongres IPKI Lembang (1959) guna mendirikan organisasi
pemuda IPKI di daerah-daerah di luar Jawa umumnya atau Jakarta khususnya, tidak
dapat diketahui seluruhnya. Inilah alasan yang umum dikemukakan untuk
38
Ny. Ratu Aminah saat itu adalah istri dari Kolonel Hidayat Martaatmadja (Kepala Staf Komandemen). Ia aktif di bidang politik dan salah seorang pengagum ajaran-ajaran dan pemikiran Soekarno. Kedudukan Ratu Aminah sebagai Ketua IPKI, yang sangat dekat dengan para perwira ketika itu, membuat Pemuda Pancasila menjadi organisasi pemuda yang baru lahir namun diperhitungkan dalam konstelasi politik nasional. Lihat H. Rosihan Anwar. Mengenang Jendral Hidayat Martaatmadja. dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/02/opini/2256766.htm. Diakses tanggal 10 Mei 2012.
39
menggugat peristiwa sejarah Pemuda Pancasila yang diajukan Spego Goni. Apalagi
jika dalam kongres Lembang sendiri sebetulnya sudah ada dibicarakan nama dari
wadah pemuda IPKI yang akan didirikan adalah Pemuda Pancasila, maka klaim
Spego Goni patut diragukan. Ada kemungkinan bahwa di daerah lain telah didirikan
Pemuda Pancasila menyusul mandat yang dikeluarkan kongres. Semua kemungkinan
itu sulit untuk dibuktikan karena dokumen kongres IPKI Lembang tidak tersimpan
di tangan para anggota, kader, dan fungsionaris Pemuda Pancasila yang ingin
menggugat hingga saat ini.
Pemuda Pancasila lahir tak lama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
ditetapkan. Kesepakatan tentang hal itu di antara anggota Pemuda Pancasila dapat
diyakini bahwa Pemuda Pancasila lahir pada saat situasi politik nasional yang tidak
demokratis. Kelompok yang tidak setuju terhadap Nasakom dan Komunis, dapat
diduga akan mengalami kesulitan untuk berkembang. Tantangan yang dihadapi oleh
“bayi” Pemuda Pancasila tentu tidak kecil. Sebut saja seperti Partai Komunis
Indonesia yang diketahui sangat dekat hubungannya dengan Bung Karno. Sejarah
membuktikan tidak sedikit aparat pemerintahan, sipil maupun militer, pada masa itu
bersimpati kepada Partai Komunis Indonesia. Mereka bahkan terlibat langsung
dalam usaha PKI untuk menggantikan Pancasila dengan Komunisme sebagai Dasar
Negara Republik Indonesia.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
yang isinya kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan menetapkan Pancasila
sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Keadaan ini terjadi karena Dewan
Konstituante hasil Pemilu 1955 mengalami kebuntuan (deadlock) dalam
persidangannya untuk menentukan Dasar Negara Republik Indonesia. Setelah itu,
pemerintah mengeluarkan kebijakan menyederhanakan partai politik yang ada
melalui Penpres 7 Tahun 1959 dan Penpres 13 Tahun 1959. Seluruh partai politik
diwajibkan menerima Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) dan USDEK
(Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia) disamping ideologi masing-masing
partai. Semua partai politik diwajibkan melaporkan kembali partainya kepada
pemerintah. Setiap partai politik harus mendaftar kembali sesuai persyaratan yang
ditentukan oleh pemerintah. Syarat-syaratnya antara lain harus mempunyai cabang
di daerah tingkat I tersebut minimal sebanyak seperempat daerah tingkat II, jumlah
anggota seluruhnya minimal 150.000 orang, lengkap dengan catatan nama, umur dan
pekerjaan anggota dari setiap cabang disertai pengesahan polisi.40
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) sebagai organisasi yang
dibentuk oleh TNI sangat menyambut keputusan itu. Tekad mereka mengabadikan
Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita kemerdekaan, sebagaimana keputusan
kongresnya yang ke-2 di Lembang (Jawa Barat) 17-21 Maret 1959, mendapat
sambutan dari Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Menghadapi
kebijakan pemerintah yang baru ini, internal IPKI mengalami perpecahan. Pihak
pertama menyatakan IPKI tidak perlu dipertahankan dan karena itu sebaiknya
dibubarkan lalu bergabung dengan Angkatan 45 dan Legiun Veteran. Alasan pihak
pertama karena secara ideologis Republik Indonesia telah kembali kepada Pancasila
dan UUD 1945. Sementara, pihak kedua merasa IPKI masih perlu dipertahankan
untuk mengawal pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Atas dasar inilah IPKI mendaftar sebagai partai politik dan dinyatakan lulus dalam
Keppres No. 128/1961.
Perpecahan ini menyebabkan pusat kegiatan atau sekretariat IPKI terbelah
dua. Sebagian berkegiatan di Jalan Menteng Raya No. 60 dan sebagian lagi
berkegiatan di Jalan Kebon Sirih No. 39. Di Menteng Raya berkantor kelompok
Achmad Sukarmadijaya yang menginginkan IPKI menjadi partai politik sedangkan
di Kebon Sirih berkantor Sugirman dan kelompoknya, yang tidak ingin IPKI
menjadi partai politik. Generasi muda IPKI yang berinduk di Menteng Raya
melahirkan organisasi massa Pemuda Pancasila sedangkan dari Kebon Sirih lahir
organisasi pemuda bernama Pemuda Patriotik.
Dualisme generasi muda IPKI ini sempat menyebar ke seluruh wilayah IPKI
di daerah-daerah. Tidak terkecuali di kalangan generasi muda IPKI Sumatera Utara.
Namun beberapa pertanyaan masih belum terjawab secara tuntas mengenai
hubungan pembentukan organisasi Pemuda Pancasila di Medan dengan Pemuda
Pancasila bentukan Spego Goni di Jakarta. Kerani Bukit barangkali tidak sempat
menuturkan hal itu kepada para penerusnya.41 Tidak ada dokumen ataupun
catatan-
40
Spego Goni. 1964. Op. Cit.
41