• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Pemuda Pancasila

Dalam dokumen Politik Layar Terkembang (Halaman 58-65)

Persepsi masyarakat tentang kiprah organisasi pemuda lambat laun mengalami pergeseran. Banyak masyarakat yang merasa dirugikan karena terganggu aktivitas ekonomi dan keamanannya oleh ulah sebagian besar anggota organisasi pemuda termasuk Pemuda Pancasila. Bagi pengurus Pemuda Pancasila sendiri, persepsi itu akan banyak menimbulkan persoalan untuk pengembangan organisasi, sehingga perlu ada evaluasi, redefinisi serta reaktualisasi peran dan fungsi organisasi di masyarakat. Sejak dibentuknya hingga saat ini, di dalam organisasi Pemuda Pancasila banyak melibatkan masyarakat, terlihat dari program dalam peningkatan aspek kualitas massa. Itulah sebabnya komposisi pengurus hasil musyawarah wilayah tidak lagi seluruhnya berasal dari anak jalanan dan preman, melainkan kalangan intelektual 20%, pengusaha 30%, dan massa atau kalangan umum sebesar 50%.

Musyawarah Wilayah ke VIII Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara kembali digelar tahun 1984. Muswil kali ini memilih Marzuki sebagai ketua dan Ir. Usran Majid sebagai sekretaris untuk periode 1984–1989. Secara umum kegiatan organisasi Pemuda Pancasila pasca muswil berjalan menurut kebijakan yang telah digariskan sejak periode kepengurusan sebelumnya. Namun

       

58

Lihat Lihat Vedi R. Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES. Jakarta.

59

Lihat Loren Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New Order?” Indonesia, 66, Oktober.

pada era ini gebrakan-gebrakan baru, dalam arti sama sekali baru, digelar dalam beberapa bentuk. Orientasi kegiatan periode ini lebih diarahkan pada pemantapan independensi organisasi, penyaluran aspirasi politik Pemuda Pancasila kepada Golongan Karya, konsolidasi, dan pengembangan wawasan anggota.

Kegiatan-kegiatan organisasi yang pada mulanya digerakkan oleh pengurus wilayah sudah mulai diambil alih oleh satuan-satuan pengurus yang lebih kecil di bawahnya. Kenyataan ini tentu dapat ditafsirkan sebagai hasil/akibat dari upaya- upaya konstruktif pembangunan internal organisasi yang dilaksanakan sebelumnya. Tetapi perlu pula ditambahkan bahwa dengan semakin meratanya distribusi kemampuan selama era pembangunan, maka kesadaran berorganisasi di kalangan generasi muda pun meningkat. Oleh sebab itu, pengurus wilayah hanya berfungsi lebih sebagai konseptor dan tugas-tugas koordinatif. Basis-basis kegiatan berada pada satuan-satuan pengurus yang terkecil, tempat di mana anggota organisasi berada. Mungkin tak berlebihan bila dikatakan bahwa saat itu kebanyakan anggota pengurus wilayah jadi “menganggur” tanpa kegiatan.

Pemuda Pancasila mulai kelihatan beraktifitas kembali ketika menjelang diselenggarakannya Pemilu 1987. Bukan hanya kebulatan tekad untuk setia mendukung Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang menjadi kegiatan utama, juga mulai mencoba merintis perangkulan unsur kampus dan rakyat luas. Pendekatan kepada unsur kampus terutama dari kalangan mahasiswa dengan membentuk Bidang Satuan Mahasiswa Pemuda Pancasila (SATMA PP), dan kepada rakyat luas melalui Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Pemuda Pancasila (BKBH PP). Keduanya dididirikan pada tahun 1986.

Akan tetapi, pada saat yang bersamaan friksi-friksi di kepengurusan semakin terbuka. Potensi konflik benar-benar terjadi, namun dapat dilokalisir sehingga tidak menyebarluas. Konflik dapat dibatasi sebatas konflik pribadi antar tokoh yang bersangkutan saja. Sungguh pun demikian, secara psikologis, konflik laten sekalipun selalu akan mengganggu jalannya program-program organisasi. Pemikiran pemimpin terbelah-belah, amarah, kecewa dan sebagainya sering muncul di antara tokoh organisasi.

Para tokoh pendiri yang memiliki pengalaman dalam dinamika politik pada tahun 1960-an, perlahan-lahan mulai meninggalkan aktivitas keorganisasian dan jabatan di kepengurusan. Prestasi mereka ketika mengembangkan organisasi

membuat banyak para anggota dan kader organisasi menghormati jasa-jasanya. Mereka diajak dan ditarik untuk mengelola berbagai macam kegiatan ekonomi, politik, dan tak terkecuali olahraga. Oleh sebab itu struktur organisasi harus disesuaikan agar mereka tidak sama sekali meninggalkan organisasi, begitu juga tenaga dan pikiran mereka sangat diperlukan.

Faktor pribadi, antara lain keluarga, usia dan urusan ekonomi mulai mempengaruhi berbagai aktivitas organisasi. Kesibukan-kesibukan pribadi telah menyita banyak waktu para pengurus organisasi. Lebih-lebih setelah tokoh bersangkutan mulai bergabung dengan mendirikan atau memasuki organisasi lain di luar Pemuda Pancasila. Keterlibatannya dalam organisasi lain itu, berawal dari prestasi yang mereka lakukan selama menjadi pengurus Pemuda Pancasila. Namun apa pun alasannya rangkap jabatan sama artinya dengan rangkap kegiatan. Banyak waktu dan tenaga mereka tersita untuk kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, perkembangan organisasi Pemuda Pancasila lebih menjadi sekedar rutinitas saja yaitu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah ada. Bentuk baru atau inovasi kegiatan yang baru sudah tidak muncul disebabkan oleh kejenuhan lamanya mengurus organisasi.

Konsolidasi organisasi yang berjalan di tempat, menunjukkan tidak adanya aktivitas Pemuda Pancasila yang dilakukan pengurus organisasi pada akhir 1980 dan awal tahun 1990. Bagaimanakah keadaan organisasi Pemuda Pancasila bergerak di atas latar yang demikian? Bagaimana kepengurusan Pemuda Pancasila pada tahun- tahun 1990-an dalam mengemban mandat yang telah digariskan oleh musyawarah sebelumnya?

Pertama, Pemuda Pancasila harus tetap menjaga kepribadian dan karakter yang telah terbentuk sejak masa sebelumnya. Berani bertindak atas dasar keyakinan yang benar karena komitmennya yang kuat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, harus adaptif terhadap perkembangan zaman. Mengerti akan konstelasi politik yang berkembang, memahami tentang adanya pertumbuhan kesadaran generasi muda, akomodatif pada isu-isu kekinian, serta tanggap pada keinginan masyarakat untuk menegakkan kebenaran berdasarkan hukum yang berlaku.

Selama tahun 1990-an, adaptasi Pemuda Pancasila terlihat jelas dari struktur organisasi dan personalia kepengurusannya. Ciri-ciri yang segera tampak adalah

adanya diferensiasi (perbedaan) peran yang semakin beragam dan ditegaskan kepada unsur pengurus. Diferensiasi struktur organisasi ini menunjukkan bahwa organisasi Pemuda Pancasila telah menyiapkan dirinya untuk berkiprah dalam banyak bidang yang diperlukan masyarakat. Dengan sendirinya diferensiasi itu sekaligus merekrut jumlah tenaga dan personalia yang lebih besar dalam kepengurusan. Peningkatan kuantitas personalia seiring dan sejalan dengan pengembangan jaringan organisasi ke dalam satuan-satuan kepengurusan yang lebih kecil tetapi jumlahnya banyak. Pada tahun 1990-an terlihat perkembangan organisasi berjalan sangat pesat. Organisasi Pemuda Pancasila telah berdiri di 264 kecamatan dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Ciri berikutnya terefleksi dari jenis-jenis tugas yang ditampilkan dalam struktur kepengurusan organisasi. Bidang Hubungan Lembaga Negara/Litbang merefleksikan ada dan semakin banyaknya tugas-tugas organisasi yang terkait dengan lembaga-lembaga negara. Secara nasional gejala itu bersifat faktual sesuai dengan perkembangan lingkungan. Sistem negara yang dijalankan saat itu memang mengutamakan kepentingan masyarakat sesuai dengan konsep pembangunan nasional yang berjalan di atas stabilitas pertahanan dan keamanan yang dinamis. Sementara bidang penelitian dan pengembangan adalah refleksi dari gerak progresif organisasi dalam menggali, mengumpul, dan menyusun konsep atau pemikiran guna memajukan organisasi ke luar (eksternal) atau pun ke dalam (internal).

Peranan wanita muncul dalam terminologi pemerintahan negara yang harus direspon oleh organisasi. Tugas bidang ini adalah meningkatkan peran atau partisipasi wanita dalam pembangunan di segala bidang. Bidang ini juga secara fungsional bermaksud melibatkan peran wanita untuk aktif dalam seluruh segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Program pemberdayaan wanita menjadi bagian dari gerakan hak azasi manusia dan demokratisasi. Selaku organisasi modern yang dinamis, maka Pemuda Pancasila Sumatera Utara harus merespon adanya perubahan dan pembaruan kultur hidup manusia dalam kebijakan organisasi.

Ciri selanjutnya terlihat dari personalia kepengurusan yang semakin kondusif dengan tuntutan profesionalisasi penanganan tugas. Profesionalisasi tentu tidak berarti sama dengan pendidikan tinggi. Profesionalisasi itu lebih menjurus pada keahlian yang mungkin sekali dapat diperoleh dari pengalaman yang lama dalam menjalankan satu urusan atau tugas organisasi. Tetapi bukan berarti pendidikan

formal menjadi kurang berarti. Kedua jalur tersebut, pengalaman dan pendidikan, mempunyai kontribusi bagi peningkatan keahlian anggota organisasi. Pemuda Pancasila memperlihatkan transformasi yang cukup berarti dalam hal ini, diantaranya terlihat dari gelar-gelar kesarjanaan yang disandang oleh sebagian personalia kepengurusannya.

Perubahan kultur dan pranata kehidupan akan menimbulkan berbagai persoalan. Benturan-benturan hukum tak dapat dihindarkan. Pemuda Pancasila Sumatera Utara mengantisipasi kemungkinan itu dengan mendirikan satu biro yang khusus menangani hukum dan pembelaan anggota organisasi dan masyarakat. Fungsi internal biro ini jelas untuk menjaga agar organisasi tetap berjalan dalam koridor hukum yang berlaku. Sementara fungsi eksternal biro hukum ini, dapat membantu masyarakat dalam mencari keadilan ketika suatu kejadian menimpa dirinya.

Ciri-ciri tersebut di atas, dan masih banyak yang lainnya, ikut memacu proses proliferasi (pengembangan jaringan) organisasi Pemuda Pancasila di wilayah Sumatera Utara. Pada akhir 1990-an, kepengurusan Pemuda Pancasila Sumatera Utara bukan saja sekedar memenuhi mandat mempertahankan dan mengembangkan organisasi, tetapi juga memberi teladan kepada anggota Pemuda Pancasila untuk menyambut kehidupan yang lebih baik. Artinya, berbagai perubahan yang terjadi itu, tentu saja tidak terlepas dari visi kepengurusan yang bukan saja adaptif melainkan juga antisipatif terhadap perubahan sosial di lingkungan mereka. Visi mendasarkan gerakan organisasi kepada otak (wawasan), bukan sekedar otot dan omong semakin terlihat terutama pada era 1990-an.

Tahun 1987 Rapat Kerja Wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara digelar kembali. Saat itu terjadi pergantian kepengurusan. Muncul tokoh baru untuk menduduki jabatan Sekretaris DPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara, Sakhyan Asmara, yang kadar keintelektualannya cukup baik sebagai sarjana dari Universitas Gajah Mada dan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU. Masuknya Sakhyan Asmara, menambah kekuatan untuk melakukan konsolidasi wawasan di lingkungan organisasi. Marzuki sebagai ketua DPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara menjadi semakin kuat untuk mengembangkan ide-idenya sebab memiliki pandangan yang sama dengan Sakhyan Asmara, sebagai sekretaris, dalam memajukan organisasi. Kedua pimpinan DPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara

itu, memiliki latar belakang kehidupan kampus. Modal tersebut membawa Pemuda Pancasila Sumatera Utara menerima berbagai gagasan-gagasan baru dengan pihak di luar organisasi melalui forum-forum diskusi. Berbagai ide kegiatan yang bersumber dari Pemuda Pancasila Sumatera Utara, kemudian diberlakukan secara nasional, mulai bermunculan. Situasi tersebut sangat diwarnai dengan gagasan dan kegiatan yang lazim berkembang di universitas.

Unsur organisasi yang pertama disentuh kepengurusan DPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara, pasca Rakerwil 1987, adalah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. Beberapa catatan korektif yang diberikan DPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara dalam upaya menyempurnakan AD/ART Pemuda Pancasila akhirnya diterima secara nasional dalam Musyawarah Besar V tahun 1990 di Jakarta. Tahun berikutnya Pemuda Pancasila Sumatera Utara mulai memperhatikan masalah pengembangan kader pimpinan yang handal bagi organisasi. Berbagai bentuk dan jenjang pelatihan kepemimpinan diadakan. Ide pokok pengembangan kaderisasi ini tentu berasal dari Sumatera Utara yang kemudian diputuskan dan dilaksanakan secara nasional.

Pada Mubes VI tahun 1994 di Jakarta, Pemuda Pancasila Sumatera Utara menunjukkan diri sebagai wilayah yang selalu menjadi pelapor bagi pengembangan Pemuda Pancasila di Indonesia. Pada Mubes ini mereka berhasil mengajukan tawaran bahwa Pemuda Pancasila harus memiliki Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Satu konsepsi pengembangan organisasi yang tidak pernah terpikirkan oleh para pengurus organisasi baik di tingkat pusat maupun wilayah. Pengembangan organisasi yang mengandalkan pemikiran menjadi salah satu nuansa lain dalam kepengurusan organisasi pada tahun 1990-an.

Penataan organisasi berlangsung pada Musyawarah Wilayah (Muswil) IX yang berlangsung sejak 5-7 Desember 1996 di Wisma Haji Pangkalan Mansyur Medan. Sebelum Muswil IX, kepemimpinan Pemuda Pancasila memakai sebutan Ketua Umum Wilayah Pemuda Pancasila, setelah itu berganti dengan sebutan Ketua Presidium. Presidium mengangkat Ketua Badan Pelaksana Harian dalam menjalankan roda-roda organisasi yang akan bertanggung jawab kepada Presidium. Perubahan struktur organisasi dilakukan agar Presidium bertindak dalam ranah kebijakan untuk menegaskan arti pentingnya kehadiran Pemuda Pancasila di

lingkungan masyarakat. Sementara Ketua Harian bertugas melaksanakan program dari kebijakan Ketua Presidium dengan kegiatan-kegiatan nyata di lapangan.

Hasil musyawarah memutuskan formatur yang terdiri dari (1) Yapto (DPP PP); (2) Drs. Sakhyan Asmara (DPW Sumut); (3) H. Ajib Shah (DPC Medan); (4) Syafri Chap (DPC Tebing Tinggi); (5) Syafrizal Epit (Sibolga); (6) Usman Napitupulu (Tapsel); dan (7) Victor Daci (Nias). Terpilih sebagai Ketua Dewan Presidium DPW Sumut Periode 1996–2001 H. Ajib Shah, SK No. 001/Formatur/Muswil-Sumut-XII-1996, Ketua DPW adalah Drs. Sakhyan Asmara.

B A B 4

P e m u d a P a n c a s i l a S u m a t e r a U t a r a

P a s c a O r d e B a r u

Dalam dokumen Politik Layar Terkembang (Halaman 58-65)