• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teoretis

2.1.2 Metafungsi Multimodal

Penelitian ini berobjekkan multimodal yang berdatakan iklan Indomie versi Arab, sebagaimana teks iklan tersebut tergolong pada teks multimodal, semua interaksi yang menggabungkan dua sarana yang dapat memberikan makna kombinasi pada bahasa yaitu verbal dan non-verbal dinamakan multimodal (Sinar, 2012:30).

Iklan yang terdiri dari teks verbal dan non-verbal memiliki hubungan-hubungan logis dalam menyampaikan suatu makna. Hubungan-hubungan tersebut dapat diketahui melalui adanya keterkaitan antara komponen metafungsi dalam teks verbal dan teks non-verbal. Teks dibatasi pada makna fungsionalnya dalam konteks sosial yang menegaskan bahwa teks dapat berupa satu naskah, paragraph, klausa kompleks, klausa, frasa, grup atau bunyi. Teks yang merupakan unit bahasa memiliki arti dalam konteks sosial itu terjadi akibat adanya interaksi komunikasi. Semua interaksi komunikasi tersebut disebut dengan multimodal

“All interactions are multimodal” (Noris, 2004).

Penelitian ini menggunakan analisis multimodal yang dikemukakan Kress dan Van Leeuwen (2006), analisis Anstey dan Bull (2010) dan unsur generik (Cheong, 2004) dalam menganalisis teks multimodal.

Kajian mengenai multimodal teks merupakan salah satu kajian dalam semiotik yang didefinisikan oleh Saussure sebagai suatu studi tentang tanda-tanda yang terdapat di dalam masyarakat (Saussure, 1959: 16). Secara lebih rinci, Daniel Chandler menyatakan semiotik melibatkan suatu kajian yang tidak hanya merujuk kepada kajian tentang "tanda-tanda" dalam percakapan sehari-hari, tetapi semiotik

juga mengkaji tentang segala sesuatu yang merujuk ke sesuatu yang lain (Chandler, 2007: 2). Dalam pengartian semiotik, tanda berupa kata-kata, gambar, bunyi, gestor, dan objek (Chandler, 2007: 2). Sementara itu, Bateman dan Schmidt (2012: 28) mengusung istilah bahasa (lisan dan tulisan), visual, akustik, dan tempat sebagai tanda-tanda yang dikaji dalam semiotik.

Iklan (Advertisement) merupakan sebuah objek semiotika. Hal ini tidak terlepas dari fungsi iklan yaitu komunikasi langsung (Direct Communication Function) sebagaimana yang terdapat pada media komunikasi masa. Oleh sebab itu komunikasi dalam iklan seperti penyampaian pesan (message) merupakan unsur utama dalam iklan. Iklan pada umumnya memiliki teks verbal dan visual sebagai alat penyampai pesan produsen kepada konsumen. Hal itu dapat direpresentasikan dengan dengan kerangka teoretis „semoitik sesial‟. Kress dan Van Leeuwen (2006:23) menyatakan bahwa representasi visual dalam kontek semiotika social.

Our work on visual representation is set within the theoretical framework of „sosial semiotics‟ it is important therefore to place it in the context of the way „semiotics‟ has developed during, roughly, the past 75 years (Kress and Van Leeuwen, 2006:23).

Pernyataan di atas memberikan pemahaman dasar bahwa pada kajian multimodal yang merupakan visual tidak dapat dipisah dari ilmu semiotik. Representasi visual dalam tataran semiotika sosial sudah dilakukan sekitar 75 tahun terahir ini.

Semiotika telah mengidentifikasi kebutuhan untuk mengembangkan teori dan deskripsi semiosis yang holistik dan sadar sosial, berlaku untuk semua tanda dan sistem tanda tetapi juga mampu mempertimbangkan karakteristik spesifik dari fenomena semiotik yang berbeda. O‟Halloran et.al. (2011:2) menyatakan:

“The study of multimodal discourse - discourse involving the interaction of multiple semiotic resources such as (spoken and written) language, gesture, dress, architecture, proximity (and in film for example)

lighting, movement, gaze, camera angle, etc - received three major impetuses during the twentieth century” (O‟Halloran et.al., 2011: 2).

Semiotika sosial mampu mengatakan sesuatu tentang fungsi masing-masing mode dalam teks multimodal (gambar, angka, warna, tulisan, dan ekspresi wajah), tentang hubungan mode-mode ini satu sama lain, dan tentang entitas utama dalam teks (Kress, 2010:59). Analisis wacana multimodal adalah studi tentang persimpangan dan saling ketergantungan dari berbagai modalitas komunikasi dalam konteks yang diberikan seperti yang dinyatakan Snyder (2009: 1).

Berbagai tanda-tanda ini disebut juga dengan multimodal sebagaimana yang dikatakan Anstey dan Bull (2010), suatu teks dikatan sebagai multimodal ketika teks tersebut meiliki dua atau lebih sistem semiotik. Secara keseluruhan terdapat lima jenis sistem semiotik, yaitu:

A text may be defined as multimodal when it combines two or more semiotic systems. There are five semiotic systems in total:

4. Linguistic: comprising aspects such as vocabulary, generic structure and the grammar of oral and written language

5. Visual: comprising aspects such as colour, vectors and viewpoint in still and moving images

6. Audio: comprising aspects such as volume, pitch and rhythm of music and sound effects

7. Gestural: comprising aspects such as movement, speed and stillness in facial expression and body language

8. Spatial: comprising aspects such as proximity, direction, position of layout and organisation of objects in space (Anstey dan Bull, 2010).

Penjelasan di atas merupakan lima unsur semiotik yang digagas oleh Anstey dan Bull (2010) yaitu sebagai berikut:

1) Linguistik: berisikan aspek-aspek seperti kosa kata, struktur generik, dan gramatika bahasa tulis dan lisan,

2) Visual: berisikan aspek-aspek seperti warna, vektor, sudut pandang, gambar, patung, dan ekspresi,

3) Audio: memuat aspek-aspek seperti bunyi atau volume, pitch, ritme musik, efek suara,

4) Gestural: berisikan aspek-aspek gerakan, kecepatan, kediaman, keheningan, ekspresi bahasa dan bahasa verbal,

5) Spatial (lokasi): berisikan aspek-aspek proksemik, arah, posisi tata letak, organisasi jarak benda-benda, dll.

Istilah multimodal digunakan untuk merujuk pada cara orang berkomunikasi dengan menggunakan sarana yang berbeda pada saat bersamaan atau dikatakan sebagai peristiwa semiotik secara bersamaan dalam suatu teks, dengan cara tertentu, sarana ini digabungkan untuk memperkuat, melengkapi, atau berada dalam susunan tertentu (Kress dan Van Leeuwen, 2001:21).

Tiga (3) komponen metafungsi Halliday dikembangkan oleh Kress dan Van Leeuwen (2006) dalam multimodal. Ia mengatakan teks multimodal berarti berhubungan dengan bahasa sebagai semiotik, tetapi terdapat juga sistem lain yaitu visual. Metafungsi tersebut dijelaskan sebagai beikut:

a. Komponen Ideasional

Setiap sistem semiotik memiliki kemampuan untuk merepresentasikan aspek-aspek pengalaman dunia di luar sistem tanda baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, sistem semiotik harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya dengan dengan dunia di luar sistem representasi tersebut.

Dunia ini seringkali sistem tanda yang lain. Hal ini sistem semiotik memberikan plihan-pilihan untuk merepresentasikan objek dengan cara yang berbeda, dimana cara-cara ini dapat saling berhubungan satu sama lain.

b. Komponen Interpersonal/ Struktur Interaksi

Fungsi Interpersonal atau struktur Interaksi terdiri atas dua bagian yaitu makna interaktif dan modalitas. Makna interaktif mrupakan kemampuan sistem semiotik untuk memproyeksikan hubungan-hubungan sosial di atantara produser yang menciptakan tanda tersebut atau dengan pemirsa (yang menerima tanda), dan objek yang direpresentasikan oleh tanda tersebut. Makna ini direalisasikan oleh ekspresi fasial, panah-panah, tanda-tanda pungtuasi, dan lain-lain yang selaras dengan fungsi ujar di dalam metafungsi interpersonal yang dikodekan melalui pernyataan, pertanyaan, penawaran dan perimintaan (Statement, Question, Offer, Demand) (Sinar, 2018:47). Kedua bagian fungsi interpersonal atau struktur interaksi adalah sebagai berikut:

1. Makna Interaktif

Tahapan ini Kress dan Leeuwen (2006) melihat secara kritis visualitas cara hubungan tercipta diantara produser, pemirsa yang melihat, dan objek yang ada dalam gambar. Objek direalisasikan melalui tatapan (gaze), dan arah tatapan ukuran bingkai (frame, shot) dan perspektif (angle). Aspek-aspek penting dalam interaksi adalah A) kontak menjelaskan „permintaan‟, atau „penaaran‟, tatapan, dan arah tatapan. B) jarak sosial menjelaskan jarak dekat (yang bermakna intimasi/persona), jarak medium (bermakna sosial). C) sikap atau kuasa menjelaskan sisi horizontal (tingkat ikatan dan pemisahan), sudut vertikal (tingkat kekuasaan sisi pemandang, kepada partisipan terwakili atau hubungan kesetaraan) yang dimiliki oleh objek terhadap pemirsa yang melihat (viewer) dan sebaliknya (Sinar, 2018:47).

(a) Kontak

Selain pilihan yang berkaitan dengan tindakan dan tatapan visual imaji, hubungan interaktif didefinisikan berdasarkan jarak dan sikap sosial (keterlibatan dan kekuatan).

(b) Jarak

Sistem jarak sosial berkaitan dengan tingkat keakraban yang ditetapkan antara penampil dan Representasi Partisipan (RP) yang digambarkan dalam sebuah komposisi, yang ditentukan oleh pemirsa dalam sebuah imaji visual. Skala dalam gambar yang menghasilkan perasaan keintiman atau jarak, bervariasi atara pengambilan close up, yang menciptakan keintiman antara khalayak dan RP, karena gambar itu berada di dekat penampil, dan pengambilan jarak jauh mengekpresikan jarak, dan jarak menengah (medium) direalisasikan sebagai tingkat keintiman.

(c) Sikap

Pilihan sikap ditentukan oleh teknik perspektif, yakni dengan cara penampil dan RP diposisikan dalam secara vertikdeal dan horizontal. Pilihan sudut pandang tertentu sangat mempengaruhi cara kita memahami situasi yang digambarkan.

Sementara sudut horizontal menentukan keterlibatan emosional kita dengan RP (sudut depan), atau detasemen (sudut miring) dari sudut vertikal, sudut vertikal mencerminkan hubungan kekuatan dan kerentanan, tergntung pada apakah RP masing-masing dipandang dari sudut rendah atau tinggi.

Pilihan visual yang tersedia untuk menganalisis makna interpersonal adalah keadaan atau ketiadaan ekspresi wajah terhadap penampil, garak tubuh yang membuat perintah, dan penawaran informasi atau penawaran barang dan jasa kepada pemirsa. Perbedaan bahasa verbal yang diwujudkan dengan cara

mengkonfigurasi kata benda dan verbal sementara itu bahasa visual dibuat oleh hubungan vektorial dan volum.

2. Modalitas

Menurut Kress dan Leeuwen (2006) fungsi interpersonal tidak hanya mencakup interaksi, tetapi juga berarti makna evaluatif. Dalam bahasa, makna evaluatif diwujudkan melalui sistem polaritas (positif dan negatif) dan intinya melalui sistem modalitas, yang mencerminkan sikap pembicara atau penulis terhadap isi komunikasi, dan mengenalkan unsur keraguan (tingkat kepastian dan probabilitas dan derajat normalis dan frekuensi). Seperti dalam bahasa, gambar visual juga memiliki tingkat modalitas mulai dari tingkat kredibilitas tinggi hingga rendah (Sinar 2018:50).

Modalitas dalam teks visual dapat menjadi rendah atau tinggi misalnya foto objek yang natural diimajinasikan tingkat modalitasnya cendrung lebih tinggi, sedangkan sketsa memiliki modalitas lebih rendah. Tinggi dan rendah terjadi karena citra yang terbentuk dari segi kemiripannya dengan kenyataan, dan standar budaya tentang apa yang nyata dan tidak nyata dalam kelompok sosial tertentu.

Halliday (2004) memandang modalitas adalah aspek tatabahasa sekaligus cara komunikasi sikap, pemosisian, misalnya, „mungkin‟, „munasabah‟, „barangkali‟,

„sering‟, „biasanya‟, „selalu‟, „diharapkan‟, „dibutuhkan‟, „dipersoalkan‟,

„diinginkan‟, „ditentukan‟, sementara itu dalam pendekatan analisis multimodal, Krees dan Leeuwen menjelaskan modalitas juga merupakan aspek linguistik sebagai fungsi komunikatif untuk mengekpresikan nilai kebenaran proposisi dan usulan mewujudkan sistem modalitas pada sarana semiotik warna, desain gambar, tipografi, latar belakang, latar dpan, rasa, sikap, suara atau pidato,

grafem/huruf/tulisan/karakter, kaligrafi, musik, cahaya, penerangan dan lain-lain (Sinar, 2018:51).

3. Komponen Tekstual

Setiap sistem semiotik harus memiliki kemampuan untuk membentuk teks kompleks, tanda yang saling melekat satu dengan yang lain, baik secara internal maaupun dengan konteks di dalamnya dan untuk apa tanda-tanda teersebut diproduksi. Tatabahasa visual juga menciptakan suatu jarak dalam hal: pengaturan komposisi yang berbeda untuk merealisasikan makna tekstual yang berbeda pula.

Penjelasan di atas menjelaskan bahwa pada penelitian ini juga menggunakan analisis metafungsi multimodal. Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan analisis komponen interpersonal atau struktur interaksi, sedangkan komponen ideasional dan tekstual tidak dilakukan. Lebih lanjut, Cheong (2004: 165-174) mengusulkan struktur generik iklan seperti yang terdapat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Strutur Generik Iklan (diadaptasi oleh Cheong, 2004:165-174) IKLAN

Komponen Verbal Komponen Visual

Pengumuman Utama,

Informasi Kontak (Call-and-visit information) Penyajian (Display. Explicit, Implicit) Sepadan (Congruent), Metaforis Tidak Sepadan (Incongruent metaphorical) Lambang Visual (Visual Emblem) Tabel di atas menampilkan struktur generik iklan dalam komponen verbal dan komponen visual, penelitian ini membahas komponen verbal dan komponen visual pada iklan. Cheong (2004: 165) mengklasifikasikan komponen, pedoman (lead): rujukan perhatian (LoA) dan pelengkap rujukan perhatian (complement to

the LoA) sebagai menjadi inti pesan iklan, dimunculkan dalam ukuran dan warna dengan kualitas destingtif dibandingkan dengan komponen visual lainnya.

Sedangkan Camp. LoA memiliki fungsi sebagai penghubung dan untuk memfokuskan perhatian khalayak terhadap bagian-bagian khusus dalam LoA.

Komponen visual penyajian (display) berfungsi untuk menggambarkan produk secara nyata dan eksplisit. Komponen lambang visual (visual emblem) secara visual direalisasikan melalui logo produk yang diiklankan yang secara linguistik wujud melalui brandname atau merek dagang fungsi lambang memberikan identitas atau status bagi produk yang mempunyai posiisi letak di sisi mana saja menyesuaikan poporsi teks iklan (Sinar, 2018:57-58).

Seterusnya mengikuti analisis (Cheong, 2004:173) maka unsur-unsur linguistik yang mengungkap dan memberikan esensi makna pesan iklan dalam sebuah teks iklan adalah Announcement (pengumuman), Enhancer (penambahan), Emblem (lambang verbal), Taq (pesan), dan Call and-visit information (informasi kontak).

2.1.3 Pengertian Merek a. Merek

Merek didefenisikan sebagai nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari semua ini yang dimaksudkan untuk mengenali produk atau jasa dari seseorang atau penjual dan membedakannya dari produk pesaing (Kolter dan Armstrong, 2007:70). Oleh karena itu merek mengidentifikasi pembuat atau penjual dari suatu produk. Merek juga merupakan janji penjual untuk menyampaikan kesimpulan sifat, manfaat dan jasa spesifik secara konsisten kepada pembeli. Merek dapat menyampaikan empat (4) tingkat arti, yakni: (1)

Atribut, merek akan mengingatkan orang pada atribut tertentu. Misalnya keutamaan dan sebagainya sehingga hal ini memberikan suatu landasan pemosisian bagi atribut lain dari produk tersebut. (2) Manfaat, pelanggan tidak membeli atribut, tetapi mereka membeli manfaat dari produk tersebut. oleh sebab itu atribut harus diterjemahkan menjadi manfaat fungdional dan emosional. (3) Nilai, merek juga mencerminkan sesuatu mengenai nilai-nilai pembeli. Misalnya saja menilai prestasi, keamana, kehigienisan suatu produk. (4) Kepribadian, merek menggambarkan kepribadian. Merek akan menarik orang dengan gambaran sebenarnya dan citra dirinya cocok dengan citra merek.

b. Citra Merek

Bagian ini menceritakan bahwa keterkaitan konsumen pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman atau penampakkan untuk mengkomunikasiannya sehingga akan terbentuk citra merek (brand image). Citra merek yang baik akan mendorong untuk meningkatkan volume penjualan dan citra perusahaan. Citra merek dapat dianggap sebagai salah satu jenis asosiasi yang muncul dalam benak konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu.

Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran atau cerita tertentu yang dikaitkan pada merek tertentu, sama halnya ketika kita berfikir mengenai orang lain (Syahputra, 2017:28).

Prihal ini Kotler dan Armstrong (2007:80) berpendapat bahwa “Brand Image adalah himpunan keyakinan konsumen mengenai berbagai merek”. Intinya Brand Image atau Brand Description, yakni deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek tertentu. Sebuah produk dapat melahirkan sebuah brand jika produk tersebut menurut persepsi konsumen mempunyai keunggulan

fungsi (functional brand), menimbulkan asosiasi dan citra yang diinginkan konsumen (image brand), dan membangkitkan pengalaman tertentu saat konsumen berinteraksi dengan (experiental brand).

Citra produk dan makna asosiasi brand dikomunikasikan oleh iklan dan media promosi lainnya, termasuk public relation dan event sponsorship. Iklan dianggap memiliki peran terbesar dalam mengkomunikasikan citra sebuah brand dan sebuah emage brand juga dapat dibagun hanya menggunakan iklan yang menggunakan asosiasi dan makna simbolik yang bukan merupakan ekstensi dan fitur produk. Penting untuk dicatat bahwa membangun sebuah brand tidak hanya melibatkan penciptaan perceived difference melalui iklan. Sering terjadi kesalahpahaman bahwa sebuah brand dibangun semata-mata menggunakan strategi periklanan yang jitu untuk menciptakan citra dan asosiasi produk yang diinginkan. Iklan berperan penting dalam membangun banyak merek terutama yang memang dideferensiasikan atas dasar citra produk. Akan tetapi, sebuah image brand sekalipun harus didukung oleh produk yang berkualitas, strategi penetapan harga yang tepat untuk mendukung citra yang dikomunikasikan melalui iklan produk tersebut.