MANUFAKTUR OLEH PEKERJA INDONESIA
2. METODE PENELITIAN a) Desain Studi Empiris
Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Monitor dengan ukuran 28 inci untuk menampilkan urutan pekerjaan perakitan.
2. Personal Computer/PC atau laptop untuk mengoperasikan program yang menampilkan urutan
103 3. Produk yang digunakan dalam pekerjaan perakitan: brik builderific dan pulley release sebanyak.
Gambar produk yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1. berikut ini.
(a) (b) Gambar 1 (a) Brik Builderific (b) pulley release
4. Meja untuk penempatan produk yang dirakit dan bagian produk yang akan dirakit. Desain meja ini bertujuan agar jarak yang ditempuh oleh operator saat menjangkau bagian produk yang dirakit dan kembali ke area perakitan terkontrol dengan baik dan data performansi yang didapatkan valid.
Alat-alat yang digunakan dan desain lingkungan aktivitas prediksi perakitan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2. Peralatan dalam Penelitian (Sumber: Dokumentasi Peneliti)
Gambar 3. Desain Lingkungan Kerja Aktivitas Prediksi Perakitan (Sumber: Dokumentasi Peneliti)
104 Ukuran meja yang digunakan dalam penelitian ini adalah meja kerja dengan ukuran 120 cm x 60 cm. Jarak antara operator dengan pallet part adalah sejauh 35 cm, ukuran ini disesuaikan dengan area jangkauan kerja normal untuk operator wanita. Ukuran area perakitan disesuaikan dengan ukuran maksimum produk brik Builderific karena memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan Pulley.
Sedangkan ukuran untuk posis tangan operator menggunakan ukuran antropometri lebar telapak tangan 95% Pria (11 cm) dan panjang tangan 95% Pria (19 cm).
Terdapat 60 responden yang terbagi dalam 2 kelompok usia yaitu usia muda (16-34 tahun) dan usia tua (> 34 tahun).
b) Variabel Penelitian
Variabel dependen yang diharapkan pada hasil studi ini adalah pengenalan strategi perakitan robot oleh manusia operator. Variabel independen yang termasuk dalam penelitian ini adalah model perilaku robot berdasarkan aturan produksi yang digunakan, jenis produk yang berbeda (brik builderific
dan pulley release), dan kelompok usia partisipan.
1. Terdapat tiga model perilaku robot yang dikembangkan oleh Mayer, dkk (2012) yaitu Reference model, Kombinasi, dan Human Behavior dalam merakit LEGO. Pada Reference Model urutan
perakitan dilakukan secara bebas dan acak, pada model Kombinasi merupakan gabungan antara model perakitan berlapis (Layer) dan berdampingan (Neighborhood), sedangkan pada model Human Behavior I urutan perakitan berdasarkan perilaku manusia oleh Mayer dkk (2012). Untuk model Human Behavior II berdasarkan hasil pengamatan skala kecil peneliti terhadap perilaku lima orang
responden yang merepresentasikan pekerja Indonesia dalam melakukan perakitan Pulley Release
dan Builderific (Perahu).
2. Terdapat 2 produk yang digunakan pada penelitian ini yaitu brik builderific dan pulley release.
Untuk setiap produk akan didesain masing-masing 2 status interim produk sebagai posisi akhir perakitan dan menilai hasil prediksi yang dilakukan oleh partisipan.
3. Kelompok usia partisipan akan dibedakan dalam 2 kelompok usia: muda (16-34 tahun) dan tua (>34 tahun).
Prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data pribadi partisipan secara anonim meliputi usia, level kemampuan merakit, dan sebagainya). Setelah data terisi, partisipan diperkenalkan dengan peralatan dan lingkungan penelitian.
2. Pengumpulan data
Pada tahap ini, partisipan diperlihatkan serangkaian urutan proses perakitan yang dilakukan oleh robot secara virtual. Partisipan diharapkan dapat mengingat urutan perakitan dan memahami pola kerja robot untuk dapat menentukan perilaku robot saat merakit. Setelah itu, partisipan harus memprediksi letak brik builderific atau bagian produk berikutnya serta merakitnya ke produk secara
langsung.
Hipotesis yang diformulasikan untuk penelitian ini adalah: Model perilaku robot (H01), jenis produk (H02), dan kelompok usia (H03) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap evaluasi strategi perakitan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a) Model Kognitif Strategi Perakitan oleh Pekerja Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan model strategi perakitan untuk tiap interim state dan model perilaku robot seperti terlihat pada Gambar 4 dan 5.
b) Evaluasi Strategi Perakitan
Strategi perakitan dievaluasi dengan penilaian subjektif responden penelitian terhadap model perilaku robot yang divisualisasikan melalui layar monitor. Evaluasi dibedakan menjadi 2 pilihan strategik atau stokastik.
Uji non-parametrik dilakukan untuk menilai pengalaman responden dalam pengenalan strategi perakitan yang dilakukan. Tes Cochran’s Q dan Mc Nemar dilakukan untuk menguji strategi perakitan berdasarkan varian model perilaku robot. Responden diminta mengenali apakah perilaku robot yang disimulasikan menunjukkan mode stokastik atau strategik.
Berdasarkan uji statistik dengan Cochran’s Q ditemukan perbedaan signifikan strategi perakitan pada model perilaku robot yang disimulasikan (χ2(3) = 24.464, p < 0.05). Dengan demikian, hipotesis
105 yang diberikan ditolak. Untuk membandingkan pola pengenalan strategi untuk masing-masing model perilaku robot, tes McNemar dilakukan dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 1
Pulley Release (Reference A)
Pulley Release (Reference
B)
Pulley Release (Kombinasi A)
Pulley Release (Kombinasi
B)
Pulley Release (Human 1 A)
Pulley Release (Human 1
B)
Pulley Release (Human 2 A)
Pulley Release (Human 2
B)
106
Builderific (Reference A)
Builderific (Reference B)
Builderific (Kombinasi A)
Builderific (Kombinasi B)
Builderific (Human 1 A)
Builderific (Human 1 B)
Builderific (Human 2 A)
Builderific (Human 2 B)
107 Tabel 1. Perbandingan berpasangan antar model perilaku robot
ef R ombi K uman1 H uman2 H R ef 036 0. 261 0. 028 0. K ombi 036 0. 001 0. 000 0. H uman1 261 0. 036 0. 312 0. H uman2 0. 028 0. 000 0. 312
Analisis statistik untuk pengaruh usia terhadap pengenalan strategi dengan mempertimbangkan model perilaku robot tidak mengindikasikan perbedaan yang signifikan (χ2(7) = 10.576, p = 0.158).
c) Rekapitulasi Keakuratan Prediksi
Dalam aktivitas prediksi perakitan, operator bertugas untuk memprediksi urutan perakitan keenam. Untuk setiap model perakitan kecuali model Reference, setiap aktivitas prediksi yang sesuai mendapat nilai 100 dan apabila tidak sesuai maka mendapat nilai 0. Pada model reference operator bebas
menentukan apapun aktivitas perakitan keenam dari sebuah produk sehingga nilainya mutlak 100. Untuk mengukur proporsi keakuratan prediksi operator terhadap empat model perilaku robot yang diterapkan pada penelitian ini maka dapat dilihat perbedaan antara posisi yang diharapkan (Expected) dan hasil observasi (Observed). Dari hasil perngukuran proporsi prediksi tersebut maka dapat
diukur nilai akurasi prediksinya. Nilai Akurasi Prediksi didapatkan dari hasil pengolahan data keakuratan prediksi menggunakan rumus Akurasi Prediksi sebagai berikut:
(3.1)
Berikut adalah diagram hasil pengukuran Distribusi posisi (Gambar 6 dan Gambar 7) dan nilai akurasi prediksi berdasarkan model perilaku robot (Gambar 8 dan Gambar 9) untuk masing-masing jenis produk:
108 Gambar 7 Akurasi Prediksi Berdasarkan Model Perilaku Robot (Builderific)
Gambar 8 Distribusi Posisi Berdasarkan Model Perilaku Robot (Pulley)
109 Pada penelitian ini kemampuan prediksi seorang operator diukur berdasarkan keakuratannya dalam melakukan aktivitas prediksi urutan perakitan pada suatu produk, dalam penelitian ini adalah produk Builderific dan Pulley. Untuk menyelesaikan urutan perakitan produk dibutuhkan 5 urutan
perakitan, dan tugas operator hanya untuk memprediksi urutan langkah kerja yang keenam, karena lima langkah awal perakitan telah dilakukan oleh robot (dalam penelitian ini adalah robot virtual). Jadi dalam penelitian ini seorang operator dikatan berhasil memprediksi ketika mampu memprediksi urutan langkah kerja keenam dan memperoleh hasil 100 untuk keakuratannya dan jika salah mendapat nilai 0. Namun untuk model Reference tidak mengenal kesalahan prediksi, semua urutan kerja dianggap benar, sehingga nilai keakuratannya tetap 100 meskipun ternyata operator tidak melakukan urutan keenam.
Berdasarkan model perilaku robot, terdapat tiga kemungkinan dalam memprediksi posisi perakitan. Hasil masing-masing model perilaku robot memungkinkan posisi yang berbeda. Misalnya, model Reference, tidak berpola, jadi operator bebas mengisi posisi yang mana saja karena setiap posisi memiliki kesempatan yang sama. Sementara model Human Behavior 1, sebagai model berorientasi manusia, mengharapkan hanya satu posisi dari urutan kerja yang diprediksi. Dengan demikian dalam penelitian ini dapat dilihat model mana yang mampu direspon dengan baik oleh operator sehingga dapat memprediksi urutan kerja model tersebut secara akurat.
Untuk mengukur proporsi keakuratan prediksi operator terhadap empat model perilaku robot yang diterapkan pada penelitian ini maka dapat dilihat perbedaan antara posisi yang diharapkan (Expected) dan
hasil observasi (Observed). Pada model Reference setiap posisi memiliki probabilitas yang sama, oleh
karena itu nilai proporsi expected untuk model ini adalah 0.33 untuk setiap posisinya. Sedangkan untuk
model lainnya nilai proporsi expected untuk posisi keenam adalah 1 dan posisi ketujuh dan kedelapan
adalah 0, hal ini karena posisi yang yang diharapkan adalah hanya satu posisi berdasarkan aturan pola yaitu posisi keenam.
Setelah mengetahui perbedaan proporsi prediksi yang diharapkan dengan hasil observasi maka maka dapat diukur nilai akurasi prediksinya. Berdasarkan Gambar 7 model yang memiliki tingkat keakurasian paling tinggi untuk produk Builderific adalah Human Behavior 2 yaitu sebesar 0.76 atau 76%. Hal ini dikarenakan model Human Behavior 2 dibuat berdasarkan hasil small scale experiments
terhadap tujuh orang untuk mengetahui gambaran pola perakitan manusia (pekerja Indonesia) dalam merakit produk Pulley dan Builderific ini. Sedangkan untuk produk Pulley model yang memiliki tingkat keakurasian paling tinggi adalah model Human Behavior 1 yaitu sebesar 0,85 atau 85% (Gambar 9). Untuk model Reference meskipun tingkat keakurasiannya paling tinggi namun dalam hal ini tidak berlaku karena dalam model reference semua posisi bernilai benar.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengkodean tahapan kerja diaplikasikan pada robot virtual berdasarkan 4 model perakitan, yaitu model Reference, Kombinasi, Human Behavior 1, dan Human Behavior 2. Operator dibagi menjadi dua klasifikasi usia yaitu Muda (16-34 Tahun) dan Tua (> 34 Tahun) yang bertugas untuk memprediksi urutan atau langkah kerja keenam dari perakitan benda tersebut.
2. Evaluasi strategi perakitan dilakukan melalui penilaian subjektif responden terhadap model perilaku perakitan robot virtual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model manusia Indonesia memiliki mode perakitan yang lebih strategik dibanding model-model lainnya. Pengukuran kemampuan prediksi operator dalam melakukan aktivitas prediksi perakitan ini ditunjukan dari data keakuratan prediksi posisi perakitan, dimana untuk setiap model perakitan kecuali model Reference, setiap aktivitas prediksi yang sesuai mendapat nilai 100 dan apabila tidak sesuai maka mendapat nilai 0. Pada model Reference operator bebas menentukan apapun aktivitas perakitan keenam dari sebuah produk sehingga nilainya mutlak 100.
3. Variabel model perilaku robot memiliki pengaruh signifikan terhadap evaluasi strategi perakitan dan kemampuan prediksi. Dari segi kemampuan prediksi produk yang memiliki tingkat keakuratan paling tinggi adalah Pulley A dan produk Builderific A memiliki tingkat keakuratan paling rendah. Variabel usia berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan prediksi. Usia mud serta tingkat beban mental yang lebih rendah dibanding dengan operator yang termasuk dalam usia tua.
Topik studi mendatang terkait penelitian ini adalah penambahan variabel jenis kelamin, sehingga dapat diketahui perbedaan tingkat beban mental, performansi, dan kemampuan prediksi untuk pria dan wanita.
110 DAFTAR PUSTAKA
Gazzola, V., Rizzolatti, G., Wicker, B., dan Keysers, C. (2007). The anthropomorphic brain: the mirror neuron system responds to human and robotic actions. NeuroImage 35, pp. 1674–1684.
Herjanto, E. (2008). Manajemen Operasi. Edisi ketiga. Jakarta: Grasindo.
Klocke, F. (2009). Production Technology in High‐Wage Countries – From Ideas of Today to Product of Tomorrow. In: C. Schlick (Ed), Industrial Engineering and Ergonomics in Engineering Design, Manufacturing and Service – trend, visions and perspectives. Springer, Berlin.
Mayer, M., Odenthal, B., Faber, M., Winkelholz, C., dan Schlick, C. (2012). Cognitive Engineering of Automated Assembly Processes, Human Factors and Ergonomics in Manufacturing and Service Industries. pp 1‐21 (online) Wiley Periodical, Inc.
Mayer, M.P., dan Schlick, C. (2012). Improving operator’s conformity with expectations in a cognitively automated assembly cell using human heuristics. In: Conference Proceeding of the 4th International Conference on Applied Human Factors and Ergonomics (AHFE), USA Publishing, pp.1263‐1272.
Mayer, M.P. (2012). Entwicklung eines kognitions‐ergonomischen Konzeptes und eines Simulationssystems für die robotergestützte Montage. Dissertation (in German). Shaker Verlag. Aachen.
Reid,Y., Johnson, S., Morant, N., Kuipers, E., Szmukler,G., Thornicroft, G.,Bebbington,P. & Prosser, D.(1999). Explanations for stress and satisfaction in mental health professionals: A qualitative study.Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology,34, 301–308.
Susanto,N., Mayer, M., Djaloeis, R, Bützler, J, dan Schlick, C. (2014). Human-oriented Design of a Cognitive Control Unit for Self-Optimizing Robotic Assembly Cells. Proceedings of the 5th International Conference on Applied Human Factors and Ergonomics AHFE 2014, Kraków, Poland 19-23 July 2014. Edited by T. Ahram, W. Karwowski and T. Marek.
111
PENYUSUNAN STRATEGI UNTUK TERWUJUDNYA GREEN
MANUFACTURING ATAS DASAR FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI
PRIORITAS
Aries Susanty, Susatyo Nugroho WP, Wenny Dwi Hapsari
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedarto, SH. Semarang 50239
Telp. (024) 7460052
E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Perwujudan green manufacturing (GM) melalui adopsi teknologi bersih tidak mudah bagi UKM karena adanya isu-isu yang tekait keterbatasan finansial dan sumber daya, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Berdasarkan kondisi ini, dalam rangka mewujudkan GM melalui adopsi teknologi bersih di UKM batik (khususnya di UKM batik Pekalongan), penelitian ini memiliki dua tujuan. Tujuan pertama, menyusun priortasisasi dari faktor-faktor yang merupakan pendorong untuk memfasilitasi terwujudnya GM di UKM batik Pekalongan melalui adopsi teknologi bersih dengan menggunakan metoda Fuzzy AHP; sedangkan, tujuan kedua adalah menyusun strategi dari pemerintah (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah) untuk mengoptimalkan terwujudnya GM di UKM batik Pekalongan atas dasar faktor yang menjadi prioritas dengan menggunaan metoda Delphi. Hasil pembobotan dengan menggunakan Fuzzy AHP menunjukkan bahwa faktor yang menjadi prioritas utama untuk terwujudnya GM di UKM batik Pekalongan adalah faktor kebutuhan rantai pasok. Selanjutnya, hasil penyusunan stategi dengan menggunakan Metoda Delphi menunjukkan bahwa terdapat sejumlah sejumlah strategi yang terkait dengan prioritas utama tersebut, antara lain: melakukan pendataan industri konveksi atau industri rumah tangga yang membutuhkan bahan atau kain perca dari industri batik, melakukan sosialisasi terhadap industri batik dan industri konveksi yang bertemakan rantai pasok; membantu UKM dalam menjalin kemitraan antara industri batik dan industri konveksi; serta melakukan pemetaan industri konveksi dan industri batik sehingga rantai pasok antara keduanya dapat berjalan secara optimal
Kata Kunci: teknologi bersih; UKM batik Pekalongan; Fuzzy AHP; Metoda Delphi
1. PENDAHULUAN
Batik merupakan wujud hasil cipta karya seni yang diekspresikan pada motif kain untuk pakaian, sarung, kain panjang dan kain dekoratif lainnya. Sejalan dengan perkembangan nilai sosial dan budaya bangsa Indonesia, batik hasil karya seni tumbuh dan berkembang menjadi kekayaan nasional yang bernilai tinggi. Wilayah Indonesia yang terkenal akan sebutan pusat kebudayaan batik adalah Pulau Jawa, khususnya di Kota Solo, Yogyakarta dan Pekalongan (Wulandari, 2011). Dalam hal ini, 60% persebaran UKM Batik di Jawa Tengah berada di Kota Pekalongan. Di Kota Pekalongan, industri batik memberikan sumbangan yang besar terhadap kemajuan perekonomian di kota tersebut, dengan mayoritas berasal dari home industri. Pada tahun 2011, Kota Pekalongan memiliki 634 industri batik yang tersebar di 17 kelurahan sentra batik (dari 47 kelurahan) dengan daya serap sebanyak 9.944 tenaga kerja dari total 276.158 penduduk. Data-data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Pekalongan berpangku pada batik untuk pemenuhan kebutuhannya dibandingkan dengan jenis industri yang lainnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh para UKM di industri batik Kota Pekalongan saat ini dapat dikatakan sama dengan permasalahan yang dihadapi oleh UKM di industri lainnya di Indonesia. Permasalahan tersebut antara lain, harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga jual produk serupa yang dihasilkan negara lain, padahal kualitas produk yang dihasilkan negara pesaing lebih baik dibanding produk pengusaha Indonesia. Namun demikian, jika mengacu kepada pengertian ‘batik’ yang sebenarnya, produk serupa yang dihasilkan oleh negara lain belum tentu dapat dinyatakan sebagai batik; karena, batik merupakan hasil dari pelukisan kain oleh malam dengan menggunakan bahan canting. Permasalahan lainnya yang dihadapai oleh para UKM di industri batik adalah masalah pencemaran lingkungan dan ketidakefisienan dalam penggunaan bahan baku.Pencemaran lingkungan yang terjadi disebabkan oleh limbah cair yang berasal dari proses perwarnaan, dimana kandungan zat warna dan bahan-bahan sintetik yang sukar larut atau sukar diuraikan, setelah proses pewarnaan selesai akan
112 dihasilkan limbah cair yang berwarna keruh dan pekat. Selanjutnya, terkait dengan permasalahan ketidak- efisiensian bahan baku, hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Nurdalia (2006) di tiga perusahaan batik di Pekalongan menunjukkan bahwa inefisiensi penggunaan malam relatif sama pada masing-masing perusahaan, yakni sekitar 60%. Adapun inefisiensi penggunaan zat warna berkisar antara 0,07% per tahun sampai dengan 54,58% per tahun. Inefisiensi penggunaan air diperkirakan antara 10% per tahun sampai dengan 30% per tahun. Inefisiensi tersebut akan memperberat kinerja lingkungan akibat tingginya limbah yang dikeluarkan sebagai non product output (NPO).
Tabel 1. Data UKM (Industri Kecil Menengah) Produk Unggulan Kota Pekalongan Tahun 2011
Jenis industri Jumlah
unit usaha Jumlah tenaga kerja (orang) Nilai investasi (Rp. Juta)
Batik 634 9.944 27.964,016
Pakaian jadi dari tekstil 369 3.665 13.569,630
Pembekuan ikan 6 50 406,200
Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya 1 396 11.500
Pengasapan ikan dan biota perairan lainnya 5 10 13,450
Penggaraman/pengeringan ikan 23 664 1.051,106
Pengolahan dan pengawetan ikan dan biotar perairan lainnya
21 620 7.279,025
Pengolahan teh dan kopi 37 1.736 10.156,355
Pertenunan 1 29 597,240
Pertenunan ATBM 114 2.165 5.291,817
Pertenunan ATM 16 1.768 25.662,057
Sumber: Disperindagkop dan UMKM Kota Pekalongan, 2011
Dengan demikian, berdasarkan berbagai permasalahan yang tekait dengan pencemaran lingkungan karena penggunaan zat-zat kimia dan ketidakefisienan dalam penggunan bahan baku yang pada akhirnya berdampak pada kualitas kesehatan lingkungan di sekitar UKM batik, sangat penting bagi UKM batik untuk mewujudkan “green manufakturing” (GM) dalam proses pembuatan batik. Menurut Kari dan
Rajah (2008), salah satu cara untuk mewujdkan GM adalah dengan mengadopsi cleaner technology
(teknologi bersih) yang melibatkan perubahan dalam proses-proses di industri untuk meminimasi limbah dari sumbernya. Terwujudnya GM di industri seringkali hanya memungkinkan jika terdapat kolaborasi yang strategis antara pemerintah dan industri. Pada UKM, terwujudnya GM melalui adopsi teknologi bersih tidak mudah karena adanya isu-isu yang tekait keterbatasan finansial dan sumber daya, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Sebagian besar UKM hanya fokus pada bisnis sehari-hari yang mereka jalankan dan cenderung untuk mengabaikan masalah lingkungan atau memiliki rencana produksi yang berorientasi lingkungan. Pemilik UKM merasa bahwa akan ada biaya yang diperlukan untuk melakukan hal-hal yang berorietasi pada lingkungan yang keuntungannya tidak dapat mereka rasakan dengan segera. Berdasarkan kondisi ini, dalam rangka mengoptimalkan terwujudnya GM di UKM (khususnya di UKM batik) melalui adopsi teknologi bersih, diperlukan adanya suatu kajian untuk memahami peran dan potensi dari sejumlah faktor yang dapat berperan sebagai “driver” atau pendorong untuk memfasilitasi terwujudnya GM di UKM batik.. Penelitian sebelumnya (seperti penelitian yang dilakukan oleh Sizhen (2005), Yacob dkk (2013), Mittal dan Sangwan (2014) dan Govindan dkk (2014)) akan digunakan sebagai acuan untuk menentukan sejumlah faktor yang dapat berperan sebagai pendorong untuk memfasilitasi terwujudnya GM di UKM batik khususnya di Pekalongan melalui adopsi teknologi bersih dan selanjutnya sejumlah faktor tersebut akan diurutkan prioritasnya dengan menggunakan Metode Fuzzy AHP. Berdasarkan hasil prioritasisasi dari faktor-faktor tersebut akan disusun beberapa strategi rencana tindak dari pemerintah (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah) untuk mengoptimalkan terwujudnya GM di UKM Batik Kota Pekalongan menggunakan Metode Delphi. Beberapa strategi yang telah disusun nantinya diharapkan dapat membantu pemerintah dan pihak-pihak terkait di industri batik untuk fokus terhadap beberapa faktor saja yang merupakan pendorong utama untuk memfasilitasi terwujudnya GM di UKM batik sebagai upaya peningkatan kualitas kesehatan di lingkungan UKM Batik Kota Pekalongan.
113 2. STUDI PUSTAKA
a. Pengertian Green Manufacturing dan Teknologi Bersih
Pada masa yang lalu, green manufacturing (GM) dinyatakan sebagai manufaktur sadar lingkungan (Govindan dan Shankar, 2013). Kata”green” dalam green manufacturing (GM) dapat
didenisikan sebagai kepedulian terhadap atau menundukung lingkungan dan cenderung untuk mempertahankan kualitas lingkungan (misalnya dengan cara recyclable, biodegradable, atau nonpolluting (Merriam Webster Dictionary 2010). Definisi dari GM yang sering dirujuk adalah definisi
GM yang diberikan oleh Melnyk and Smith (1996). Menurut Melnyk and Smith (1996), GM adalah sebuah sistem yang mengintegrasikan isu-isu produk dan proses perancangannya dengan isu-isu perencanaan manufakturing dan melakukan kontrol sedemikian rupa untuk mengindentifikasi, mengkuantifiaksi, menilai, dan mengelola aliran limbah ke lingkungan dengan tujuan untuk mengurangi dan meminasi dampak suatu proses produksi ke lingkungan sambil memcoba untuk memaksimunkan efisiensi dari sumber daya. Secara sederhana, GM memasukkan kesadaran tentang lingkungan dalam manufakturing. Pada umumnya, tiga “R” (remanufacture, reduce, dan reuse/recycle) salah satu strategi utama dalam GM; termasuk di dalamnya, aktivitas-aktivitas seperti mengurangi volume dari limbah yang berbahaya, meminimasi konsumsi pendinginan pada saat proses permesinan, dan menghitung campuran penggunaan energi yang tepat untuk memastikan sumber energi yang berkelanjutan (Dornfeld dkk., 2013). Dalam bidang manufakturing modern, GM lebih kearah melakukan proses-proses yang inovatif yang memiliki potensi keuntungan atau alasan-alasan mengungkan lainnya. Aktivitas-aktivitas dalam GM antara lain meminimasi limbah, mencegah terjadinya polusi, melakukan konservasi energi, serta melakukan kegiatan terkait dengan isu-isu kesehatan dan keselamatan (Hui dkk, 2001). Menurut Kari dan Rajah (2008), salah satu cara untuk mewujdkan GM adalah dengan mengadopsi cleaner technology
(teknologi bersih) yang melibatkan perubahan dalam proses-proses di industri untuk meminimasi limbah dari sumbernya.
Cleaner technology atau teknologi bersih merupakan teknologi yang potensial di masa yang akan
datang yang meliputi semua pengetahuan yang mendasari suatu teknologi, produk, proses, dan sistem yang digunakan untuk mengurangi kerusahan lingkungan dibandingkan dengan altenatif lainnya (Glavind dkk, 2001). Teknologi bersih pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang tidak menitikberatkan pada perlakuan di akhir suatu proses. Daripada memberikan perlakuan di akhir prosers, teknologi bersih melibatkan perubahan dari suatu proses industri dalam rangka meminimasi limbah yang dihasilkan. Secara sederhana, teknologi bersih berarti mencegah terjadinya polusi daripada memberikan perlakuan setelah polusi terjadi. Terdapat banyak Definisi yang lebih luas dari teknologi bersih diberikan