• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut sebagai A model Of The Policy Implementation Process

KEPALA DINAS

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teor

A. Model Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut sebagai A model Of The Policy Implementation Process

Teori ini beranjak dari suatu argument bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Ahli tersebut menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijaksanaan dengan implementasi dan suatu model keonseptual yang mempertalikan kebijaksanaan dengan prestasi kerja. Karena Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara liniear

18

Solichin Abdul Wahab. Analisis kebijaksanaan dari formulasi ke implementasi kebijaksanaan negar (Bumi Aksara : Jakarta 2004) hal. 78

49

dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Kedua ahli ini menegaskan bahwa perubahan, control dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Atas dasar pandangan ini kedua ahli ini berusaha membuat tipologi kebijakan menurut

1. Jumlah masing-masing yang akan dihasilkan

2. Jangkauan atau lingkup kesepaktan taerhadap tujuan diatara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implemetasi

Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implemetasi akan dipengaruhi dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implemetasi kebanyakan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relative sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relative tinggi.

Model implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn ini dipengaruhi oleh enam faktor yaitu :

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.

1. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia misalnya dana yang dingunakan untuk mendukung implementasi kebijakan.

2. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

50

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

3. Karakteristik agen pelaksana

Karakteristik Agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program.

4. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok- kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

5. Disposisi implementor

Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar berikut

51

Gambar 2. Model Van meter Horn

Dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa varibel-variabel kebijaksanaan bersangkutpaut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat pehatian pada badan-badan pelaksana maliputi baik organisai formal maupun informal ; sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem politik dengan kelompok-kelompok sasaran. B.Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach19

Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa dan mekanisme pasar. Menurut Hogwood dan Gunn terdapat beberapa syarat yang diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:

19

Ib.id hal. 71

52

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup

memadai. Syarat kedua ini kerap kali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana yang digunakan untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai. Masalah lain yang biasa terjadi ialah apabila dana khusus untuk membiayai pelaksanaan program sudah tersedia harus dapat dihabiskan dalam tempo yang sangat singkat, kadang lebih cepat dari kemampuan program/proyek untuk secara efektif menyerapnya. Salah satu hal yang perlu pula ditegaskan disini, bahwa dana/uang itu pada dasarnya bukanlah resources/sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih sekedar penghubung untuk memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya. Oleh karena itu, kemungkinan masih timbul beberapa persoalan berupa kelambanan atau hambatan-hambatan dalam proses konversinya, yaitu

53

proses mengubah uang itu menjadi sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan program atau proyek. Kekhawatiran mengenai keharusan untuk mengembalikan dana proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir tahun anggaran seringkali menjadi penyebab kenapa instansi-instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah) selalu berada pada situasi kebingungan, sehingga karena takut dana itu menjadi hangus, tidak jarang pula terbeli atau dilakukan hal-hal yang seharusnya tidak perlu.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia. Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses impelementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar dapat disediakan.

4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran karena kebijakan tersebut telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan itu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau mau dicari, tidak lain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebabsebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini Pressman dan Wildalsky (1973), menyatakan secara tegas bahwa setiap kebijakan pemerintah pada hakikatnya memuat hipotesis (sekalipun tidak secara eksplisit) mengenai

54

kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang diramalkan bakal terjadi sesudahnya. Oleh karena itu, apabila ternyata kelak kebijakan itu gagal, maka kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi landasan kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang keliru.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai

penghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky (1973) juga memperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan sebab akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya. Semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

6. Hubungan ketergantungan harus kecil. Implementasi yang sempurna menuntut

adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal, yang untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada badan- badan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan badanbadan/ instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar aktor/ pelaku yang terlibat, maka peluang bagi

55

keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang dihar apkan kemungkinan akan semakin berkurang.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan ini

mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai, dan kesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan yang penting, keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik, dan lebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksana program dapat dimonitor.

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayun langkah menuju tercapainnya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna Persyaratan ini menggariskan

bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood (1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal (unitary administrative sistem) seperti halnya satuan tentara yang besar yang hanya memiliki satuan komando, tanpa kompartementalisasi atau konflik di dalamnya. Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan

56

mengkomunikasikan informasi maupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan menyangkut persoalan yang lebih mendasar, yakni praktik pelaksanaan kekuasaan. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Pernyataan yang terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi ketundukan penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah/komando dari siapapun dalam sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu maka ia harus dapat didefinisikan oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sedini mungkin oleh sistem pengendalian yang handal. Dengan kata lain, persyaratan ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang seharusnya juga mereka yang memilki kekuasaan dan mampu menjamin tumbuh kembangnya sikap patuh yang menyeluruh dan serentak dari pihak-pihak lain (baik yang berasal dari kalangan dalam badan atau organisasi sendiri maupun yang berasal dari luar) yang kesepakatan dan kerjasamanya amat diperlukan demi berhasilnya misi program.

C. Model Merilee S. Grindle (1980)