• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENETAPAN GANTI RUGI DALAM PROSES

E. Musyawarah Sebagai Dasar Penentuan Ganti Rugi

Unsur musyawarah dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi menjadi syarat yang penting di dalam setiap proses pengadaan tanah. Essensinya adalah kesepakatan secara bulat antara pemilik tanah dengan pihak yang memerlukan tanah tentang besarnya nilai ganti rugi dan bentuk ganti rugi.

116 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005, hal. 160

117 Ibid., hal. 162.

Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.118

Kata-kata saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, menunjukkan bahwa para pihak yang ada di dalam proses musyawarah berkedudukan hukum yang sama atau sederajat. Kata-kata didasarkan atas kesukarelaan, memberikan makna bahwa dalam proses untuk mencapai kesepakatan tersebut tidak boleh ada unsur-unsur yang bersifat ancaman, tekanan fisik maupun non fisik serta lain-lain kegiatan yang akhirnya membuat pihak yang mempunyai tanah takut untuk tidak menerima apa yang ditawarkan pihak lain.

Menurut Irene Eka Sihombing, ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dapat ditafsirkan pelaksanaan pengadaan tanah harus memperhatikan:119

a. Diperlukan komunikasi dan konsultasi diantara masyarakat dengan instansi yang memerlukan tanah secara intensif dan berkesinambungan untuk saling memberikan masukan yang diperlukan, sehingga masyarakat mengetahui informasi berkenaan dengan perencanaan pelaksanaan dan pemantauan pengadaan tanah. Dengan demikian peran serta masyarakat ini dimulai tahap inventarisasi, penyuluhan dan konsultasi, pelaksanaan pemberian imbalan.

118 Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 1 angka 10.

119 Eka Irene Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Cet. Kedua, Jakarta, Universitas Trisakti, 2009, hal. 141.

b. Peran serta semua pihak (masyarakat dan pihak yang memerlukan tanah) secara aktif dalam proses pengadaan tanah akan menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat memperkecil kemungkinan timbulnya penolakan terhadap kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan.

c. Musyawarah harus sungguh-sungguh dijadikan sarana untuk mempertemukan perbedaan kepentingan dan keinginan dari pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu musyawarah dalam pengertian sebagai kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi, dan menerima pendapat, serta keinginan atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara para pihak harus dilaksanakan secara suka rela dan menjauhkan kondisi psikologis yang menghalangi terjadinya proses tersebut.

Sedangkan Moch. Koesno menyatakan bahwa: “Musyawarah menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama dalam masyarakat yang bersangkutan secara keseluruhan”.120

Lebih lanjut Kuntjoro Poerbopranoto berpendapat bahwa musyawarah adalah “Suatu sistem tertentu melalui berunding dan berunding hingga memperoleh kata sepakat”.121

Oleh karena itu tidak ada musyawarah bila ada salah satu pihak yang ditakuti, yang disumbat keinginannya, dikondisikan untuk tidak sanggub mengemukakan aspirasinya, diteror dan diintimidasi, ada salah satu pihak yang menurut peraturan tidak diberikan kesempatan untuk ikut mengambil keputusan yang menyangkut persoalannya sendiri dan sebagainya.122

Dalam pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum, kata sepakat merupakan kata kunci yang seharusnya dipedomani dan dipatuhi dalam menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi, dilakukan menurut alur yang

120 Koesno dalam Ahmad Rubaie, Op Cit., hal. 32.

121 Koentjoro Purbopranoto dalam Gunanegara, Op.Cit., hal. 215.

122 Ali Sofwan Husein, Konflik Pertanahan, Cet. 1, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 51.

sepantasnya, berarti juga masing-masing pihak merasa tidak dirugikan, sehingga tercapai kompromi yang hasilnya memuaskan.

Pelaksanaan musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan instansi pemerintah atau pemda yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.

Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota menetapkan tempat dan tanggal musyawarah, dengan mengundang instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan para pemilik tanah untuk melakukan musyawarah mengenai rencana pembangunan untuk kepentingan umum dilokasi tersebut, dan mengenai bentuk dan/

atau besarnya ganti rugi.

F. Penetapan Ganti Rugi Pengadaan Tanah Untuk Pelebaran Jalan Di Kabupaten Padang Lawas

Pembangunan yang tengah giat dilakukan pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip kepentingan umum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan

benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam proses pengadaan tanah, maka ganti rugi merupakan hal yang paling teramat penting, karena ganti rugi di sini merupakan pengganti hak atas tanah yang terkena proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Pada hakekatnya, peraturan-peraturan mengenai pengadaan tanah yang ada menempatkan prioritas kepentingan umum atas tanah dengan tetap mengakui terhadap hak milik atas tanah, hal ini ditunjukkan dengan menetapkan ganti rugi sebagai syarat pelepasan hak milik atas tanah dan tersedianya mekanisme musyawarah sebagai upaya memberikan kesempatan pemilik tanah untuk melakukan dialog sehubungan dengan konsekuensi penyerahan hak atas tanah miliknya.

Sebagai dasar hukum pelaksanaan pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan bagi kepentingan umum menggunakan landasan hukum Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang sebelumnya menggunakan PMDN Nomor 15 Tahun 1975 dan terakhir telah disempurnakan dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian direvisi dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pada pelaksanaan pembebasan tanah untuk pelebaran jalan di Kabupaten Padang Lawas tidak dilakukan oleh panitia pengadaan tanah yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan hanya dilaksanakan oleh Tim Kerja yang bekerja berdasarkan Surat Keputusan Bupati

Padang Lawas dan tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional selaku pihak yang berwenang dibidang pertanahan.

Dalam menjalankan tugasnya, tim kerja yang dibentuk tidak pernah melakukan musyawarah dengan masyarakat selaku pemilik tanah untuk menentukan ganti rugi yang diberikan kepada pemilik tanah. Dengan tidak dilakukannya musyawarah dengan masyarakat pemilik tanah, maka tim yang ditunjuk hanya melakukan pendekatan secara perorangan untuk meminta kesediaan pemilik tanah agar bersedia melepaskan sebagian tanahnya untuk pelebaran jalan.123

Seharusnya dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum terlebih dahulu mengadakan musyawarah dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi.

Essensinya adalah kesepakatan secara bulat antara pemilik tanah dengan pihak yang memerlukan tanah tentang besarnya nilai ganti rugi dan bentuk ganti rugi.

Kata-kata saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, menunjukkan bahwa para pihak yang ada di dalam proses musyawarah berkedudukan hukum yang sama atau sederajat. Kata-kata didasarkan atas kesukarelaan, memberikan makna bahwa dalam proses untuk mencapai kesepakatan tersebut tidak boleh ada unsur-unsur yang bersifat ancaman, tekanan fisik maupun non fisik serta lain-lain kegiatan yang akhirnya membuat pihak yang mempunyai tanah takut untuk tidak menerima apa yang ditawarkan pihak lain.

Moch. Koesno mengatakan “Musyawarah menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama dalam

123 Hasil wawancara dengan Gusnar Harahap, salah seorang warga yang tanahnya diambil untuk pelebaran jalan di Kabupaten Padang Lawas, pada tanggal 8 September 2011.

masyarakat yang bersangkutan secara keseluruhan”.124 Kuntjoro Poerbopranoto berpendapat bahwa musyawarah adalah “Suatu sistem tertentu melalui berunding dan berunding hingga memperoleh kata sepakat”.125

Pelaksanaan musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.126 Maria S.W. Soemardjono mengatakan ganti rugi atas dasar musyawarah mengandung makna “Bahwa dalam musyawarah tersebut harus diberlakukan asas kesejajaran antara pemerintah dengan pemilik tanah dan harus dihindari adanya tekanan-tekanan berupa apa pun dalam pertemuan maupun di luar pertemuan, jika tidak maka kesepakatan yang dicapai adalah kesepakatan dalam keadaan terpaksa dan kesepakatan demikian bukanlah kesepakatan”.127

Selanjutnya A.A. Oka. Mahendra mengatakan bahwa: “Pada praktek pembebasan tanah/pengadaan tanah, asas musyawarah yang diwajibkan berubah menjadi pengarahan”.128 Dalam pelaksanaan musyawarah dapat berubah menjadi

124 Koesno dalam Ahmad Rubaie., Op.cit., hal. 32.

125 Koentjoro Purbopranoto dalam Gunanegara, Op.cit., hal. 215.

126 Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 9 angka 2.

127 Maria S.W. Soemardjono, Dalam Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan. Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 1996, hal. 119.

128 A.A. Oka Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi Dan Pertanahan, Cet. Ke-1.

Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. 1996, hal. 267.

briefing, instruksi maupun pernyataan sepihak dari pihak yang memerlukan tanah tersebut, yang dilakukan oleh Camat dan Kepala Desa.129

Menurut Amir Siregar, dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pelebaran jalan di Kabupaten Padang Lawas tidak pernah dilakukan musyawarah dalam menetapkan ganti rugi kepada masyarakat. Pihak Pemerintah Kabupaten Padang Lawas melalui tim kerja yang dibentuk hanya melakukan pendekatan secara individu.

Dalam pendekatan yang dilakukan oleh tim yang dibentuk selalu menyatakan bahwa pelebaran jalan yang dilakukan adalah untuk kepentingan pembangunan demi kemajuan kabupaten yang baru dimekarkan. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten mengharapkan peran serta dari masyarakat agar merelakan tanah-tanahnya diambil untuk pelebaran jalan tanpa mendapat ganti rugi sebagaimana mestinya.130

Adapun kompensasi yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Padang Lawas kepada masyarakat yang tanah diambil untuk pelebaran jalan hanya sebatas pada perbaikan pagar dan jembatan penyeberangan untuk akses menuju kerumah dan juga dilakukan perbaikan terhadap rumah yang terkena dampak pelebaran jalan.

Sedangkan ganti rugi dalam bentuk uang tidak pernah diterima oleh pemilik tanah.

Secara keseluruhan masyarakat yang mempunyai lahan dan tanaman di lokasi rencana pelebaran jalan di Kabupaten Padang Lawas memberikan sikap yang positif terhadap rencana pelebaran jalan dan pada akhirnya mereka merelakan lahan maupun tanamannya untuk dibebaskan.

129 A.P. Parlindungan, Pencabutan Dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Study Perbandingan, Cet. I, Bandung, Mandar Maju, 1993, hal. 55.

130 Hasil wawancara dengan Amir Siregar, salah seorang warga yang tanahnya diambil untuk pelebaran jalan di Kabupaten Padang Lawas, pada tanggal 4 September 2011.

Namun walaupun demikian, bukan berarti dikarenakan menyangkut pembangunan untuk kepentingan umum maka Pemerintah dengan semena-mena dapat mengambil tanah-tanah masyarakat tanpa memberi ganti rugi. Seharusnya pihak Pemerintah Kabupatan Padang Lawas dalam melakukan pengadaan tanah memberi ganti rugi yang layak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang menentukan: ”Ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah”. Sedangkan bentuk ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah menurut Pasal 13 Perpres Nomor 36 Tahun 2005, yaitu:

Bentuk ganti rugi dapat berupa : a. Uang; dan/atau

b. Tanah pengganti; dan/atau c. Pemukiman kembali; dan/atau

d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa masyarakat yang merasa tidak puas terhadap kebijakan Pemerintah Kabupaten Padang Lawas tersebut. Mereka menilai bahwa walaupun tanahnya diambil untuk kepentingan umum akan tetapi sewajarnya mereka tetap mendapat ganti rugi. Namun dikarenakan takut untuk dikatakan sebagai pihak yang menghambat pembangunan, akhirnya masyarakat harus tetap menerima dan pasrah tanahnya diambil tanpa mendapat ganti rugi.131

Adapun respon masyarakat terhadap tidak adanya ganti rugi yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Padang Lawas dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

131 Hasil wawancara dengan Zakaria Nasution, salah seorang warga yang tanahnya diambil untuk pelebaran jalan di Kabupaten Padang Lawas, pada tanggal 4 September 2011.

Tabel 3

Respon Pemilik Tanah Terhadap Tidak Adanya Ganti Rugi

No Nama Pemilik Tanah Keberatan Tidak Keberatan Jalan Ahmad Yani Kecamatan Barumun

Jalan Lintas Sumatera Sibuhuan - Gunung Tua

1. 1. Zakaria Hasibuan P

Sumber : Data primer yang diolah pada tahun 2011

Keputusan masyarakat untuk tidak mendapat ganti rugi terhadap pengambilan tanahnya untuk pelebaran jalan sebenarnya lebih dikarenakan keterpaksaan. Namun apabila masyarakat merasa keberatan karena tidak mendapatkan ganti rugi sebagaimana mestinya, maka terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat mengajukan mengajukan banding kepada Gubernur. Namun apabila Gubernur tidak menerima banding tersebut, maka dapat dicabut hak dari pemegang hak atas tanah tersebut melalui Peraturan Presiden dan kepada masyarakat yang masih keberatan terhadap pencabutan hak tersebut, masih diberikan upaya melalui peradilan.

Upaya melalui peradilan atas keberatan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 18A Perpres Nomor 65 Tahun 2006, yang menentukan bahwa:

Apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.

Apabila mekanisme penyelesaian oleh Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri Dalam Negeri tidak berhasil dan lokasi tidak dapat dipindahkan maka Kepala Daerah dapat mengusulkan penggunaan instrumen pencabutan hak atas tanah. Usul diajukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan tembusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Dalam Negeri.

Permohonan pencabutan hak tersebut oleh kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia setelah

ditandatangani oleh Menteri yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Apabila masyarakat tetap tidak bersedia atau keberatan terhadap besarnya ganti rugi dapat menggunakan saluran upaya hukum yang diajukan ke Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan pertama dan terakhir sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 jo Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi.

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEMILIK TANAH DALAM HAL GANTI RUGI TANAH UNTUK

KEPENTINGAN UMUM

A. Konsep Hukum Tanah Nasional

Prinsip dasar kebijakan dibidang pertanahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Namun, dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap penguasaan dan penggunaan tanah, maka semakin besar pula tuntutan untuk melakukan pembaharuan pemikiran yang mendasari terbitnya kebijakan di bidang pertanahan.

Hukum adat merupakan sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Ini berarti antara lain bahwa pembangunan Hukum Tanah Nasional dilandasi konsepsi hukum adat, yang dirumuskan sebagai: “komunalistik religius, yang artinya memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan”.132

Sifat Komunalistik Religius konsepsi Hukum Tanah Nasional tersebut berdasakan pada ketentuan Pasal 1 ayat 2 UUPA, yang menyatakan bahwa ”Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

132 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 228.

Dalam konteks perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tanahnya diambil untuk kepentigan umum yang secara formal telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu terus ditingkatkan perwujudannya secara konsekuen dan konsisten. Penghormatan kepada hak dasar manusia semestinya diberikan secara proposional, sebab hukum hanya dalam dan untuk hal-hal yang konkrit. Menurut ketentuan Pasal 18 UUPA menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.”

Pasal 18 UUPA ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-hak atas tanahnya. Pencabutan hak ini dilakukan sesuai dengan cara yang diatur dalam Undang- Undang 20 Tahun 1961 junto Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak Hak Atas Tanah dan Benda Benda yang ada diatasnya. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti rugi yang layak. Dengan menggunakan Pasal 18 ini maka hak atas tanah dapat dicabut oleh negara dengan syarat tertentu yaitu dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Proses ini memerlukan prosedur yang panjang dan waktu yang lama, karena melalui Keputusan Presiden (Keppres), atas dasar ketentuan Pasal 27 UUPA. Hak atas tanah hapus karena penyerahan sukarela dengan pelepasan hak.

Pelepasan hak atas tanah adalah langkah pertama yang dilakukan dalam pelaksanaan pengadaan tanah. Namun cara ini tidak selalu produktif, dan memiliki

nilai jual dengan harga tinggi sehingga kerap terjadi dialog atau musyawarah yang cukup alot antara pemerintah dengan pemilik tanah tersebut. Khususnya mengenai pemberian ganti rugi.

Pengadaan tanah hanya dapat dilakukan melalui pemberian ganti rugi atas dasar musyawarah. Musyawarah disini diartikan sebagai proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.

Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dengan pihak instansi pemerintah yang memerlukan tanah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar merupakan landasan adanya hubungan hukum antara tanah dan subyek tanah, dimana Negara dalam hal ini bertindak sebagai subyek yang mempunyai kewenangan tertinggi terhadap segala kepentingan atas tanah yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat.

Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.133 Hal tersebut menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan rugi bagi masyarakat luas. Dalam arti bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi bahwa penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat.

133 Ibid., hal. 7.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada

haknya sehingga dapat bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

Namun hal tersebut bukan berarti kepentingan seseorang terdesak oleh kepentingan masyarakat atau Negara, dan diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang.

Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu syarat mutlak dalam era keterbukaan dan kebebasan ini. Diabaikannya kegiatan peran serta masyarakat ini telah terbukti menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemborosan keuangan negara merupakan implikasi lain dari deviasi tersebut.134

B. Prinsip-Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah

Menurut pendapat Adrian Sutendi, prinsip-prinsip kriteria kepentingan umum dapat diuraikan lebih rinci, yakni meliputi sifat kepentingan umum, bentuk kepentingan umum, dan ciri-ciri kepentingan umum. Demikian metode penerapan tiga aspek tersebut sehingga kriteria kepentingan umum dapat diformulasikan secara pasti, adil dan dapat diterima oleh masyarakat.135

Permasalahan yang masih timbul adalah sejauh mana sifat tersebut harus melekat pada suatu jenis kegiatan untuk kepentingan umum. Apakah sifat tersebut

134 Zuryawan Isvandiar Zoebir, Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pebangunan Daerah, http:/zuryawanisvandiarzoebir. wordpress.com/2011/10/24, diakses pada tanggal 24 Oktober 2010.

135 Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 45

harus melekat secara kuat dan dominan, atau sekedarnya, serta bagaimana ukurannya.

Karena dalam prakteknya, suatu kegiatan sebenarnya hanya sedikit terlekati kepentngan umum, namun disimulasikan untuk kepentingan umum. Masih adanya

Karena dalam prakteknya, suatu kegiatan sebenarnya hanya sedikit terlekati kepentngan umum, namun disimulasikan untuk kepentingan umum. Masih adanya