• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK

C. Prinsip Penghormatan Terhadap Hak Atas Tanah

Penghormatan terhadap hak perorangan pada umumnya diakui di dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28H ayat (4) menyatakan bahwa ”setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) ditegaskan bahwa:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Adanya prinsip tersebut maka hak atas tanah yang dipunyai seseorang sesuai dengan hukum tanah nasional dilindungi dari gangguan pihak lain. Demikian juga hak atas tanah seseorang tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum, termasuk oleh penguasa.141

Dalam prinsip hak atas tanah adalah fungsi sosial maka apabila bidang tanah dipergunakam untuk kepentingan umum maka penghormatan terhadap hak atas tanah yang dikuasai seseorang adalah sangat kurang, hal ini dikarenakan tanah adalah fungsi sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Boedi Harsono, andaikata dikatakan bahwa hak-hak atas tanah adalah fungsi sosial maka pernyataan yang demikian itu

141 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya.

Op.cit., hal. 269.

bukan berpangkal pada pengakuan terhadap hak-hak perorangan atas tanah melainkan sebaliknya, berarti mengingkarinya.142

Dalam UUPA tidak dikenal hak atas tanah adalah “fungsi sosial”, akan tetapi setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan kata “mempunyai fungsi sosial” ini maka hak-hak atas tanah yang ada pada seseorang itu akan tetap dihormati.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam Penjelasan Umum II angka (4) UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA menghormati serta memperhatikan hak-hak dan kepentingan-kepentingan perorangan atas bidang tanahnya. Selanjutnya kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Boedi Harsono mengemukakan bahwa salah satu tujuan UUPA sebenarnya bukan menambah pembatasan atau mengurangi kebebasan individu dalam menentukan peruntukan dan penggunaan tanah yang dipunyainya, karena hal itu

142 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 303-304.

sudah terkandung dalam sifat hakekat hak yang ada padanya.143 Tujuan UUPA justru akan memperkuat kedudukan individu dalam hubungan dengan masyarakatnya dan anggota masyarakat yang lain yakni dengan menyediakan perangkat peraturan hukum yang tertulis dan memberikan surat tanda bukti pemilikan tanah, melalui penyelenggaraan pendaftaran tanah.144 Dengan demikian apa yang tercantum dalam UUPA tersebut sebenarnya merupakan penegasan pokok-pokok pembatasan kebebasan individu yang sudah ada dalam menggunakan haknya atas bagian dari tanah bersama yang dipunyai.145

Fungsi sosial dapat diartikan sebagai suatu daya kerja kemasyarakatan tertentu yang timbul atau muncul pada waktu sesuatu digerakkan, diaktifkan, atau dikerjakan. Ada karakteristik tertentu yang menunjukkan adanya daya kerja kemasyarakatan. Dengan demikian dibutuhkan karakteristik tertentu untuk menandai arti dari tanah memiliki fungsi sosial, maupun fungsi sosial dari hukum.146

Oleh karena itu, maka tanah dengan hak apapun juga, jika digunakan atau tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, harus pula melibatkan kepentingan atau kemanfaatan bagi masyarakat. Dalam pengertian itu, kepentingan dan kemanfaatan bagi masyarakat harus diutamakan. Hal demikian memberi petunjuk bahwa ketika tanah dipergunakan atau tidak dipergunakan, pada saat itu juga daya kerja dari dipergunakan atau tidak dipergunakannya tanah itu menjangkau kepentingan pribadi

143 Ibid., hal. 302.

144 Ibid

145 Ibid., hal. 303.

146 Dian Chandra Buana, Analisis RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan: Mengulangi Debat Lama Negara vs Rakyat, http://www.gema-nurani.com/2011/07, diakses pada tanggal 12 Oktober 2011.

dan kepentingan masyarakat secara bersama-sama. Inilah arti dari pernyataan bahwa setiap penggunaan atau tidak dipergunakannya tanah, daya kerja kemasyarakatan dari tanah itu selalu diwujudkan.

Dalam berbagai literature ditemukan bermacam-macam istilah mengenai hak.

Seperti dalam kepustakaan berbahasa Inggris ditemuka adanya istilah natural right, human right dan fundamental right. Sedangkan dalam literature berbahasa Belanda terdapat istilah recht yang dapat diartikan hak dan dapat pula diartikan hukum. Selain itu ditemukan pula istilah-istilah seperti groundrechten, mensenrechten, rechten van den mens dan fundamentalen rechten. Sedangkan dalam kepustakaan berbahasa Indonesia ditemukan istilah hak asasi manusia, hak-hak kodrat, hak-hak dasar yang sering diberi imbuhan manusia sehingga menjadi hak-hak dasar manusia.147

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya, kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak.148

Sedangkan Fitzgerald sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hak menurut hukum yaitu:149

1. Hak itu dilekatkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki title atas barang yang menjadi sasaran dari hak.

147 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1987, hal. 38-39.

148 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hal. 54.

149 Ibid., hal. 55.

2. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban.

Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.

3. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, ini bisa disebut sebagai isi dari hak.

4. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut objek dari hak.

5. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai title, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo membedakan hak menjadi dua yakni hak absolut dan hak relatif. Hak absolut adalah hubungan hukum antara subyek hukum dengan obyek hukum yang menimbulkan kewajiban pada setiap orang untuk menghormati hubungan-hubungan hukum tersebut. Hak absolut memberi wewenang pada pemegangnya untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang pada dasarnya dapat dilaksanakan terhadap siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak. Kalau ada hak absolut pada seseorang maka ada kewajiban bagi setiap orang lain untuk menghormati dan tidak mengganggunya. Pada hak absolut pihak ketiga mempunyai kepentingan untuk mengetahui keberadaannya sehingga memerlukan publikasi.150

Hak relatif adalah hubungan subyek hukum dengan subyek hukum tertentu lain dengan perantaraan benda yang menimbulkan kewajiban pada subyek hukum lain tersebut. Hak relatif adalah hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu (kreditur tertentu dan debitur tertentu). Pada dasarnya tidak ada pihak ketiga yang terlibat. Hak relatif ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak terlibat dalam perikatan tertentu, jadi hanya berlaku bagi mereka yang menjadi pihak dalam perjanjian. Hak relatif ini berhadapan dengan

150 Ibid., hal. 46

kewajiban seseorang tertentu. Pihak ketiga yang berada di luar perjanjian tidak mempunyai kewajiban. Antara para pihak yang melakukan perjanjian terjadi hubungan hukum yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan yang lain wajib memenuhi prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian.151

Dalam kaitan hukum pertanahan dapat pula dibedakan antara hak absolut dan hak relatif. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Macam-macam hak atas tanah tersebut dijabarkan dalam Pasal 16 UUPA yang meliputi hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa, serta hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang dan hak atas tanah yang bersifat sementara.

Sedangkan hak membuka tanah dan memungut hasil hutan bukanlah hak atas tanah tetapi lebih tepat disebut hak keagrariaan yakni hak yang menyangkut tanah.152 Dari hak-hak atas tanah diatas maka hak milik, HGU, HGB diklasifikasikan sebagai hak absolut dan mengikat setiap orang, sedangkan hak pakai dan hak sewa merupakan hak relatif.

151 Ibid

152 Sebagaimana disebutkan dalam pasal 46 ayat (2) UUPA, bahwa dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah.

Penjelasan Pasal 46 UUPA mengemukakan bahwa hak membuka tanah dan memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah.

Dalam setiap hak terdapat empat unsur yaitu subyek hukum, obyek hukum, hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban dan perlindungan hukum. Dalam hubungannya dengan pemegang hak atas tanah maka terdapat subyek dalam arti pemegang hak atas tanah yang bersangkutan yakni bisa perorangan atau badan hukum, obyek hak tersebut adalah tanah. Dengan adanya hubungan hukum tersebut mengakibatkan pihak lain untuk menghormati hubungan itu. Kalau kewajiban itu tidak diindahkan akan terjadi pelanggaran hak, maka subyek atau pemegang hak dapat minta bantuan perlindungan hukum kepada pengadilan.153