• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra a.Hakikat Nilai a.Hakikat Nilai

Dalam dokumen Masnuatul Hawa S841102009 (Halaman 68-84)

KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

5. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra a.Hakikat Nilai a.Hakikat Nilai

Nilai ialah gagasan yang berpegang pada suatu kelompok individu dan menandakan pilihan di dalam situasi. Nilai selalu dikaitkan dengan kebaikan, kemaslahatan, dan keluhuran.Nilai merupakan suatu yang amat dihargai dan dijunjung tinggi oleh manusia.Dengan nilai manusia dapat merasakan kepuasan baik lahir maupun batin (Darsono Wisadinara, 2004: 31).

Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu;

1. Subjektivitas, yaitu nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman.

2. Objektivisme logis yaitu, nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontology, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.

3. Objektivisme metafisik yaitu, nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.

Situasi nilai di atas meliputi empat hal, yaitu pertama segi pragmatis yang merupakan suatu subjek yang memberi nilai.Kedua, segi semantik yang merupakan suatu objek yang diberi nilai.Ketiga, suatu perbuatan penilaian.Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.

Nilai menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan, kebaikan dan keburukan, layak dan tidak layak sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya yaitu berupa ajaran agama, logika, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Wina Wijaya (2008: 274), yaitu: “Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya.Pandangan seseorang tentang semua itu

tidak bisa diraba, kita hanya mungkin mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan”.

Lebih lanjut Wina Sanjaya (2008: 276) juga mengatakan bahwa pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Golo (dalam Wina Wijaya, 2008: 276) menyimpulkan tentang pandangan nilai sebagaimana berikut: 1) nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya; 2) pengembangan dominan afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotor; 3) masalah nilai adalah masalah emosional oleh karena itu keberadaannya dapat berubah, berkembang sehingga dapat dibina; 4) perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.

Nilai merupakan fenomena psikis manusia yang menganggap sesuatu hal bermanfaat dan berharga dalam kehidupannya. Seseorang sering merelakan dirinya terlibat fisik dan mental ke dalam fenomena tersebut.Ada beberapa jenis nilai misalnya nilai moral, nilai relegius, nilai ekonomi, nilai keindahan, nilai psikologis, dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2007: 98).

The Liang Gie (1979; 168) berpendapat bahwa nilai secara manusiawi dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis yaitu: 1) nilai relegius, 2) nilai etis, 3) nilai intelektual, 4) nilai estetis. Nilai relegius

adalah suatu jenis nilai manusiawi dalam kehidupan manusia yang menjelma sebagai pemujaan yaitu tindakan manusia yang memiliki suatu kepercayaan menyambah Tuhan, pengakuan, yaitu perasaan bahwa diri telah di sahkan secara resmi masuk dalam suatu masyarakat relegius, persaudaraan, yaitu perasaan yang diperoleh dari pergaulan dengan suatu kelompok keagamaan, kepastian, yaitu keyakinan bahwa dibalik dunia fana ini ada Tuhan, harapan, yaitu perasaan optimis bahwa dunia akhirat adalah dunia yang kekal.

Nilai relegius sifatnya mutlak untuk setiap saat dan keadaan.Semua manusia yang beragama yakin dan percaya, karena ajaran agama merupakan petunjuk yang nyata bagi umat.Bagi manusia yang meyakini adanya Tuhan, nilai dijadikan dasar pijakan utama dalam mencapai tujuan hidupnya.Hal ini sifatnya universal bagi semua ajaran agama yang ada.

Nilai etis adalah nilai mengenai tingkah laku manusia.Nilai tersebut mempunyai hubungan dalam tingkah laku manusia, misalnya kearifan, keberanian, keadilan, kesetiaan, dan kesederhanaan.Sedangkan nilai intelektual mencakup nilai-nilai dari pengetahuan dan pencarian kebenaran seperti kebenaran ilmiah atau kebenaran logis.Hal ini dilakukan melalui penyalidikan dan pembuktian.

Nilai estetis adalah nilai manusiawi yang tersusun dalam sejumlah nilai yang dalam estetika disebut sebagai kategori estetis, yaitu kategori yang agung dan elok, yang kosmis dan tragis, yang indah dan kurang indah. Nilai ini diberikan manusia untuk memberikan penghargaan atau

penilaian terhadap tingkah laku manusia lain. Manusia yang dianggap memenuhi aturan yang berlaku di masyarakat dianggap pantas mendapatkan nilai baik, begitu sebaliknya manusia yang melanggar aturan di masyarakat dianggap memiliki citra buruk.

Selain nilai-nilai manusiawi, masih ada jenis lain yang digolongkan sebagai nilai-nilai, yakni:

1. Nilai pendidikan, yakni nilai yang melekat pada hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.

2. Nilai sosial, yaitu nilai yang mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih saying, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan.

3. Nilai politik, yaitu bila tujuan proses penilaiannya berdasarkan kekuasaan agar orang tunduk kepada otoritas pemegang kekuasaan.

4. Nilai ekonomi, yaitu mencakup semua benda yang dapat dibeli dan nilainya ditentukan oleh pasar.

5. Nilai biologis, yaitu nilai sesuatu yang membuat tercapainya kesehatan, efisiensi, dan keindahan dari kehidupan jasmani seperti kesenangan, kesehatan, dan kekuatan.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, sulit dirumuskan, memiliki kriteria yang beragam, dan dijunjung tinggi keberadannya oleh setiap individu.

b.Hakikat Pendidikan

Pendidikan secara umum bertujuan membantu manusia menemukan hekikat kemanusiaannya.Maksudnya pendidikan harus dapat mewujudkan manusia seutuhnya.Dengan adanya pendidikan diharapkan manusia mampu menyadari potensi yang dimiliki sebagai makhluk yang berpikir.(Soedono, 2003: 18) menjelaskan pengertian pendidikan sebagai bantuan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak didik dalam uasaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan yang dilakukan.

Pendapat berbeda disampaikan oleh H. A. Tilaar (2002: 28) pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat dan membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, serta global. Menurut Marimba (1989: 19) seorang pakar filsafat pendidikan merumuskan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau tuturan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian utama.

Menurut Suparlan Suhartono pengertian pendidikan dibedakan menjadi dua sudut pandang.Menurut sudut pandang yang luas, pendidikan adalah segala jenis pengalaman kehidupan yang mendorong timbulnya minat belajar untuk mengetahui dan kemudian bisa mengerjakan sesuatu hal yang telah diketahui itu.Sedangkan menurut sudut pandang sempit pendidikan merupakan seluruh kegiatan yang direncanakan serta dilaksanakan secara teratur dan terarah di lembaga sekolah. Pendidikan diartikan sebagai sistem persekolahan (2008: 43 dan 46).

Dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Bab I ketentuan umum pasal (dalam Soedomo Hadi, 2003: 108) menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengandalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dalam dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Pendidikan menurut Philip H. Coombs (1985: 20) adalah popular education is equated with schooling is commonly known as formal education, moving and mining levels up to elementary school and collage level last. Dalam kutipan itu dikatakan bahwa pendidikan secara popular disamakan dengan persekolahan (schooling) yang lazim dikenal dengan pendidikan formal, yang bergerak ditingkat pertama sekolah dasar hingga mencapai tingkat terakhir dan perguruan tinggi. Pendidikan dalam arti luas disamakan dengan belajar yakni proses yang dilakukan oleh semua manusia tanpa memperhatikan dimana atau pada usia berapa proses belajar itu terjadi. Pendidikan sebagai proses belajar sepanjang hayat (life long process).

Menurut George f. Kneller dalam bukunya yang berjudul: Foundations of Education (1967: 63) menyatakan sebagaimana berikut ini;

Education can be viewed in a broad sense and in a technical sense, or in terms of outcomes and in terms process. In the broad meaning of education refers to any act or experience that has the effect associated

with the growth or development of the soul (mind), character, or physical ability (physical ability) individuals.

Dalam kutipan di atas dijelaskan bahwa pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan dalam arti teknis atau dengan kata lain dalam arti proses dan hasil. Dalam artian yang luas pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa, watak, atau kemampuan fisik individu.Pendidikan dalam artian ini berlangsung terus (seumur hidup).

Pendapat lain tentang pendidikan disampaikan oleh Carter V. Good dalam Dictionary of Education (1945: 145) yang menyatakan study were: (1) the overall process by wich a person develops abilities, attitudes, and other forms of other behavior that is positive in the community where he lives, (2) social process in wich people are exposed to influence the choice and control. Menurut Carter pendidikan adalah : (1) keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai positif dalam masyarakat dimana dia hidup; (2) proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan sosial dan kemampuan individu yang optimal.Pada intinya pendidikan merupakan sebuah perkembangan pengalaman atau tingkah laku manusia untuk menuju kearah yang lebih baik dari sebelumnya.

John Dewey dalam bukunya Democracy and education (1950: 89-90) menyatakan bahwa education as a fundamental skill formation process of

intellectual and emotional human beings. Dalam kutipan itu dinyatakan bahwa pendidikan dipandang sebagai proses pembentukan kecakapan fundamental dan emosional manusia. Istilah kecakapan yang dihasilkan setelah proses pendidikan tidak hanya berupa kecakapan intelektual atau IQ saja melainkan juga yang utama adalah kecakapan emosional atau disebut kecakapan EQ.

Rickey dalam bukunya yang berjudul Planning for Teaching an Introduction to Education (1994: 123) menyatakan sebagaimana dibawah ini:

Education is broader process than the process that goes on school. Education is an essential social activity that allows the complex, modern, educational function is undergoing a process of special ization and instutions with formal education, which remains associated with the educational process information outside school.

Dalam pendapat tersebut dijelaskan bahwa hakikat pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan masyarakat yang kompleks, moderen, fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan lembaga dengan pendidikan formal yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan informasi di luar sekolah.

Dari berbagai pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar manusia untuk menumbuhkembangkan potensi yang ada dalam diri setiap individu manusia itu sendiri. Sedangkan dalam proses pendidikan dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja,

serta untuk memperoleh pendidikan diperlukan ahli yang dapat membimbing peserta didiknya sesuai kebutuhan pendidikannya.

c. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra Novel

Karya sastra yang baik harus memiliki beberapa nilai, yaitu nilai estetika, nilai moral, nilai konsepsional, nilai sosial budaya, dan lain-lain yang pada dasarnya bermuatan positif yang perlu ditanamkan pada generasi muda. Dalam karya Mudji Sutisno (1997: 63) menyatakan bahwa nilai-nilai dalam sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema besar mengenai siapa manusia, keberadaannya, dan bagaimana proses pendidikannya. Semua ini dipergunakan dalam refleksi konkret fenomenal berdasarkan fenomena eksistensi manusia, direfleksikan sebagai rentangan perjalanan bereksistensi di masyarakat sampai kepulangannya ke pangkuan Yang Maha Esa.

Herman J. Waluyo (1992: 28) berpendapat bahwa makna nilai dalam sastra adalah kebaikan yang ada dalam makna karya sastra seseorang.Hal ini berarti bahwa dalam karya sastra pada dasarnya selalu mangandung nilai-nilai kehidupan yang bermanfaat untuk pembaca. Muatan-muatan nilai yang tersirat dalam karya sastra pada umumnya adalah nilai relegius, nilai moral, nilai sosial, dan nilai estetika atau keindahan.

Berikutnya diungkapkan bahwa nilai pendidikan dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat member solusi atas sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk mengerakkan pembaca pada kenyataan dan menolongnya

mengambil suatu keputusan apabila Ia menhhadapi masalah (Atar Semi, 1993: 20).

Kaswadi (1993: 148-149) mengemukakan ada tiga fungsi karya sastra dalam kaitannya dengan penerangan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai tersebut antara lain: 1) karya sastra berfungsi untuk mempertegas nilai-nilai umum yang dianut masyarakat pada zamannya, 2) karya sastra yang berfungsi untuk memberdayakan nilai-nilai, 3) karya sastra mempersoalkan atau mengguagat nilai-nilai yang berlaku.

Menurut Suyitno (1986: 3) menyatakan bahwa berbicara mengenai nilai pendidikan atau nilai didik dalam karya sastra, maka tidak akan terlepas dari karya satra itu sendiri. Karya sastra sebagai hasil olahan sastrawan yang mengambil bahan dari segala permasalahan dalam kehidupan dapat memberikanpengetahuan yang tidak dimiliki oleh pengetahuan yang lain. Hal ini merupakan salah satu kelebihan karya sastra. Kelebihan lain ialah bahwa karya sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah, dan mengenai cara hidupnya sendiri dan bangsanya. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra terutama novel di dalamnya pasti memiliki unsur-unsur nilai pendidikan yang bermanfaat bagi pendidikan batin pembacanya atau penikmatnya.Secara umum nilai yang terkandung dalam karya sastra adalah nilai relegius, nilai moral, nilai estetis, dan nilai sosial.

1) Nilai relegius (keagamaan)

Nilai relegius merupakan sudut pandang yang mengikat hubungan manusia dengan Penciptanya.Agama merupakan pegangan hidup manusia.Unsur pokok yang ada dalam agama meliputi akidah atau keyakinan, ibadah, dan akhlak atau tingkah laku.Akidah merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan.Ibadah barkaitan dengan perilaku dan perbuatan manusia yang dipersembahkan kepada Tuhan sebagai bentuk ucapan terima kasihnya.Akhlak berkaitan dengan moral manusia di dunia, termasuk perilaku dan sikap manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Kehadiran unsur relegius dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri, bahkan sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat relegius (Burhan Nrgiyantoro, 2007: 326).Lebih lanjut beliyau menjelaskan bahwa agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi.

Koentjaraningrat (1985: 145) menyatakan bahwa semakin seseorang taat menjalankan syariat agama, maka semakin tinggi pula tingkat kerelegiusannya.Tirot Suwondo (1994: 145) menjelaskan bahwa relegius adalah keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai relegius atau keagamaan merupakan sebuah penghargaan yang diberikan kepada manusia yang berhubungan dengan keyakinan dan kepercayaannya

terhadap adanya Tuhan yang mencipta bumi dan segala isinya.Keyakinan ini muncul berdasarkan atas kesadaran masing-masing individu dan tidak bisa dipaksakan. Manusia yang memiliki nilai relegius biasanya hidupnya akan terlihat teratur dan terkontrol, karena dalam setiap tindakan dan sikapnya selalu dikendalikan oleh aturan-aturan agama yang dianutnya. 2) Nilai Moral (etika)

Secara etimologis asal kata moral berasal dari kata “mos” atau “mores” yang berarti tata cara, adat istiadat, kebiasaan, atau tingkah laku (Soedarsono, 1985: 23). Nilai moral dalam karya sastra biasanya bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai estetika dan budi pekerti.

Nilai moral sering disamakan dengan nilai etika, yaitu suatu nilai yang menjadi ukuran patut tidaknya manusia bergaul dalam kehidupan bermasyarakat.Moral menciptakan perbuatan manusia yang dipandang dari nilai baik dan buruk, benar dan salah, serta berdasarkan adat kebiasaan dimana individu itu berada.Pengambangan nilai moral sangat penting supaya manusia memahami, menghayati etika ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat. Pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai etika mampu menempatkan manusia sesuai kapasitasnya, dengan demikian akan berwujud perasaan saling hormat-menghormati, saying-menyayangi, dan tercipta suasana yang harmonis.

Karya sastra senantiasa menawarkan nilai moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur manusia, memperjuangkan hak dan martabat

manusia (Burhan Nurgiyantoro, 2007: 232). Sifat-sifat luhur luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal.Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini oleh manusia.

Moral merupakan suatu peraturan yang sangat penting ditegakkan pada suatu masyarakat karena dapat menjadi suatu rambu-rambu dalam kehidupan serta pelindung bagi masyarakat itu sendiri.Moral dihasilkan dari perilaku intelektual, emosi, atau hasil berpikir intuitif setiap individu yang pada akhirnya merupakan aturan dalam kehidupan untuk bisa menghargai dan membedakan antara yang benar dan yang salah.

Secara umum moral merujuk pada pengertian baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan dan kelakuan, akhlak, dan kewajiban. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa moral adalah suatu tingkah laku atau perbuatan manusia yang akhirnya akan menimbulkan penilaian baik dan buruk dari manusia yang lain. Penilaian tersebut didasarkan atas kebiasaan, tatanan yang dibuat oleh masyarakat sekitar, dan hukum-hukum yang sudah ditentukan.

3) Nilai Sosial

Hampir semua novel sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang memiliki unsur nilai sosial (Burhan Nurgiyantoro, 2007: 330).Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas kehidupan sosial itu sendiri.Dengan membaca karya sastra dapat dikaji masalah moral, budi pekerti, agama, dan tatanan masyarakat.Di samping itu, kita tidak dapat menutup mata bahwa sastra menjanjikan kehidupan, dan

kehidupan sebagian besar terdiri atas kehidupan sosial (Aminuddin, 1987: 67).

Tata nilai sosial tertentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat direnungkan dengan karya sastra dan ekspresinya. Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya (Suyitno, 1986: 31). Karya sastra novel didalamnya memiliki nilai sosial yang tersirat yang hendak disampaikan kepada pembaca. Nilai sosial yang terdapat dalam karya tersebut diambil berdasarkan cerita yang terjadi dalam kehidupan nyata.

Kata “sosial” berasal dari bahasa Latin sosio yang berarti “menjadikan teman”.Kata sosio juga berarti suatu petunjuk umum kea rah kehidupan bersama manusia dalam masyarakat (Suparlan, 1994: 128).Jadi arti kata sosial adalah sebuah usaha manusia untuk menjalin hubungan kemasyarakatan dengan lingkungan sekitarnya.

M. Zaini Hasan dan Salladin (1996: 83) menyatakan nilai sosial adalah aspek-aspek budaya yang diupayakan oleh kelompok untuk memperoleh makna atau penghargaan yang tinggi. Pendapat lain dikatakan oleh Suyitno 91986: 31) bahwa tata nilai sosial tertentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang dapat direnungkan. Dalam karya sastra dengan ekspresinya, pengungkapan nilai sosial berpadu dengan tata kehidupan sosial yang sebenarnya.Pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembaca dengan mempertimbangkan hal-hal yang bersifat positif ataupun negatif.Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang

patut ditiru atau diteladani.Hal ini dimaksudkan agar bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dari tatanan kehidupan sosial yang sebenarnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, karena ia tidak dapat lepas dalam hubungannya dengan manusia lain. Pengungkapan nilai sosial berpadu dengan tata kehidupan sosial. Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan, menjalin hubungan baik antar individu satu dengan lainnya.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai sosial adalah suatu penghargaan yang diperoleh dalam hubungannya dengan masyarakat tempat dimana dia tinggal.Nilai sosial dapat berupa nilai positif dan juga nilai negatif.

4) Nilai Estetis

Dedy Sugono (2003: 61) menyatakan keestetikaan dalam karya sastra dapat ditengarai sebagai berikut:

a. Karya sastra itu mampu menghidupkan atau memperbarui pengetahuan pembaca, menuntunnya melihat berbagai kenyataan kehidupan, dan memberikan orientasi baru terhadap hal yang dimiliki b. Karya itu mampu membangkitkan aspirasi pembaca untuk berpikir,

berbuat lebih banyak, dan berkarya lebih baik bagi penyempurnaan kehidupan, dan

c. Karya itu mampu memperlihatkan peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, yang berkaitan dengan peristiwa masa kini dan masa depan.

Dalam dokumen Masnuatul Hawa S841102009 (Halaman 68-84)