• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Psikologi Abraham Maslow

Dalam dokumen Masnuatul Hawa S841102009 (Halaman 55-62)

KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

3. Teori Psikologi Abraham Maslow

Penelitian psikologi sastra berawal dari teori Sigmund Freud (1856-1939). Freud membedakan kepribadian menjadi tiga macam, yaitu Id, Ego, dan Superego. Ketiga ranah psikologi ini menjadi dasar pijakan penelitian psikologi sastra. Berbeda dengan teori Sigmund Freud tokoh psikologi sastra berikutnya adalah Abraham Maslow yang dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Menurut Maslow (1989: 201) manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teori yang disampaikan Abraham Maslow dikenal dengan Hierarchy of Needs atau hirarki kebutuhan. Teori ini dilatar belakangi oleh kehidupan keluarganya dan pengalaman hidupnya sehingga member pengaruh atas gagasan psikologisnya. Maslow menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasi gagasannya mengenai teori hirarki kebutuhan. Menurut Maslow (1989: 201), manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/ fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun

hirarki kebutuhan tersebut disampaikan Abraham Maslow (1989: 204) adalah sebagai berikut:

1. Kebutuhan Fisiologis

Pada tingkat yang paling bawah terdapat kebutuhan yang bersifat fisiologik (kebutuhan akan udara, makanan, minuman, dan sebagainya) yang ditandai oleh kekurangan sesuatu dalam tubuh orang yang bersangkutan. Kebutuhan ini dinamakan kebutuhan dasar (besic needs) yang jika tidak dipenuhi manusia yang bersangkutan bisa kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah tercukupi muncullah kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan akan rasa aman.

2. Kebutuhan Rasa Aman

Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan, stabilitas, perlindungan, struktur, keteraturan, situasi yang bisa diperkirakan, bebas dari rasa takut dan cemas. Karena adanya kebutuhan inilah maka manusia membuat peraturan, undang-undang, mengembangkan kepercayaan, membuat sistem dan sebagainya. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka pandangan dunianya bisa terpengaruh yang akhirnya akan menimbulkan perilaku yang cenderung negatif.

3. Kebutuhan Dicintai dan Disayangi

Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman terpenuhi, maka akan timbul kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai (belongingness and love

needs). Setiap orang ingin mempunyai hubungan yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain. Ia ingin mencintai dan dicintai. Setiap orang ingin setia kawan dan butuh kesetiakawanan. Jika kebutuhan ini tidak tersalurkan maka rasa kepercayaan diri seseorang tersebut akan turun.

4. Kebutuhan Harga Diri

Kebutuhan harga diri atau disebut esteem needs terdiri dari dua kebutuhan. Pertama adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi, percaya diri, dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain. Jika kebutuhan ini terpenuhi maka seseorang akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak tergantung pada orang lain, dan selalu siap untuk berkembang terus, sehingga akhirnya dapat mencapai kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri.

Kebutuhan harga diri terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Menghargai diri sendiri (self respect): kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Orang membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri bahwa dirinya berharga, mampu menguasai tugas dan tantangan hidup. b. Mendapat penghargaan dari orang lain (respect from others): kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan, diterima dan apresiasi.

Orang membutuhkan pengetahuan bahwa dirinya dikenal baik dan dinilai baik oleh orang lain.

Kepuasan kebutuhan harga diri menimbulkan perasaan dan sikap percaya diri, diri berharga, diri mampu, dan perasaan berguna serta penting di dunia. Sebaliknya frustasi karena kebutuhan harga diri tidak terpuaskan akan menimbulkan perasaan dan sikap interior, canggung, lemah, pasif, tergantung, penakut, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup, dan rendah diri dalam bergaul. Menurut Maslow, penghargaan dari orang lain hendaknya diperoleh berdasarkan penghargaan diri kepada diri sendiri. Orang seharusnya memperoleh penghargaan diri dari kemampuan dirinya sendiri, bukan dari ketenaran eksternal yang tidak dapat dikontrolnya, yang membuatnya tergantung kepada orang lain.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Akhirnya sesudah semua kebutuhan dasar terpenuhi, muncullah kebutuhan meta atau kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan menjadi sesuatu yang orang itu mampu mewujudkannya memakai (secara maksimal) seluruh bakat, kemampuan, dan potensinya. Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri self fulfillment, untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang ia dapat melakukannya, dan untuk menjadi kreatif serta bebas mencapai puncak prestasi potensinya (Abraham Maslow, 1989: 206). Manusia yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri menjadi manusia

yang utuh, memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan tidak menyadari ada kebutuhan semacam itu.

Kebutuhan ini merupakan yang terdapat 17 meta kebutuhan yang tidak tersusun secara hirarki, melainkan saling mengisi. Jika berbagai meta kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi meta patologi seperti apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan selera dan sebagainya.

Dalam penelitian psikologi sastra dibutuhkan langkah-langkah atau teknik untuk menganalisis sebuah karya sastra. Dalam teknik analisis psikologi sastra didalamnya terkandung unsur-unsur yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk penelitian psikologi sastra, unsur-unsur tersebut berupa:

1) Interpretasi psikologis

Interpretasi adalah proses membaca dan menjelaskan teks yang lebih sistematis dan lengkap (Luxemburg, dkk, 1989: 25). Membaca dan interpretasi tidak bisa lepas dari sebuah sistem. Sistem sastra akan masuk dalam kedua kegiatan tersebut. Kelengkapan pada interpretasi bersifat relatif karena karya sastra itu sendiri multitafsir. Namun, dalam kaitannya dengan aspek psikologis, kiranya interpretasi psikologis menjadi wajib dalam penelitian ini, yakni interpretasi mempertimbangkan unsur kejiwaan secara total.

Interpretasi juga disebut dengan hermeneutik. Artinya, penafsiran pada karya sastra secara mendalam. Interpretasi memerlukan indikator dan data yang jelas. Dakta yang dimaksud disini adalah fakta psikologis. Fakta-fakta ditafsirkan secara psikologis sehingga membentuk keutuhan makna. Dengan begitu psikologi sastra dapat diartika sebagai suatu disiplin yang menganggap bahwa sastra memuat unsur-unsur psikologis. Sementara itu, Quthub Via Sangidu dalam Suwardi Endraswara (2007: 30) berpendapat bahwa psikologi terhadap sastra merupakan suatu pendekatan yang menggambarkan perasaan dan emosi pengarangnya. Untuk menganalisis psikologi yang terdapat dalam karya sastra diperlukan pendekatan psikologi sastra.

Berikutnya dalam penelitian psikologi sastra juga terdapat proses kreatif yang berkaitan dengan wilayah penelitian dan penyelidikan psikologi. Psikologi mengklasifikasikan pengarang berdasarkan tipe psikologi dan fisiologinya. Selain itu dalam kaitannya dengan teks sastra , menurut Felman dalam Suwardi Endraswara (1988: 213-214) menyatakan bahwa penafsiran psikologi sastra seharusnya berusaha tetap “menjelaskan” dan “mengaktualisasikan” teks. Teks sebenarnya tidak berarti apa-apa sebelum diinterpretasi kan. Teks menjadi bermakna ketika diinterpretasikan. Wellek dan Warren dalam Suwardi Endraswara (1989: 106-107) menyatakan tokoh-tokoh dalam drama dan novel dinilai apakah benar secara psikologis. Karya sastra bukan merupakan studi psikologi atau eksposisi, melainkan drama atau melon drama. Yang ditonjolkan dalam penelitian itu

berupa peristiwa-peristiwa yang mencolok, bukan motivasi psikologi yang realistis.

2) Dekonstruksi Psikologis ala Holland dan Bloom

Penelitian psikologi sastra mendekonstruksi keadaan. Penelitian psikologi sastra tidak hanya menonjolkan kajian structural saja melainkan sudah menuju poststruktural. Dalam kaitannya dengan pengertian ini Holland (Pradopo, 1991: 129) menyatakan manyajikan teori kesan: a) pembaca anak, biasanya memperoleh kesan “identitas pertama dari ibunya”, dan b) orang dewasa memiliki “identitas tema” dan dalam struktur psikis stabil. Teori kesan a) berarti anak-anak sering sulit melepaskan karya yang diceritakan ibunya. Paling tidak ketika anak pernah memperoleh dongeng sebelum tidur di masa kecilnya. Berbeda dengan identitas orang dewasa, tematik-tematik psikologis biasanya dapat dia raih.

3) Deskontruksi Psikologi ala Kristeva

Menurut Kristeva untuk mengungkap sisi kejiwaan sastra, unsur semiotik (simbol) dan bahasa amat penting dicermati. Kristeva memfokuskan pada aspek semiotik dan feminisme yang harus digarap. Sedangkan Mitchell (1988: 425) menyatakan bahwa penelitian sastra dapat merunut hubungan psikologis antara laki-laki dan perempuan. Unsur feminisme akan dapat membedakan antara pengarang laki-laki dan perempuan, dan antara pembaca laki-laki dan perempuan.

Dari deskontruksi di atas dapat disimpulkan bahwa dasar pijakan penelitian psikologi sastra bersifat bebas (boleh membolak-balik sejauh masih memiliki relevansi.

4. Pengertian Psikologi Kepribadian

Dalam dokumen Masnuatul Hawa S841102009 (Halaman 55-62)