• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nursal dan Wilda Khairuna Jurusan Biologi FMIPA USU

Dalam dokumen Beberapa Metode Uji Biologis Untuk Menil (Halaman 118-126)

Abstrak

Telah dilakukan penelitian dengan tujuan melihat

keanekaragaman serangga yang berperan pada tahapan dekomposisi kotoran gajah (E. maximus). Sampling dilakukan dengan membuat plot berukuran 25x25 m2 yang dibagi menjadi sub-plot 5x5 m2. Dipilih 9 sub plot, dan masing-masingnya diletakkan 3 tumpukan kotoran gajah sebagai ulangan. Pengamatan dilakukan selama 90 hari dengan interval waktu 10 hari. Sampel diidentifikasi di laboratorium Taksonomi Hewan, P.S. Biologi FMIPA USU. Hasil penelitian diperoleh 8 ordo, 10 famili dan 15 genera. Genus dengan kepadatan dan kepadatan relatif tertinggi yaitu Reticulitermes (147,67 individu/m2, 55,33%). Jumlah genera tertinggi terjadi pada hari ke-80 (10 genera), terendah pada hari ke-40 (5 genera) dan indeks keanekaragaman tertinggi terjadi pada hari ke-70 (1,57), terendan pada hari ke-10 (0,97). Dilihat dari kategori kotoran, proses dekomposisi akhir (kategori D) mulai terjadi pada hari ke 60-90.

Kata kunci: Keanekaragaman serangga, dekomposisi kotoran gajah

PENDAHULUAN

Peningkatan populasi manusia dan keinginan untuk

meningkatkan taraf hidup, telah menyebabkan manusia mengekplorasi Sumber Daya Alam secara berlebihan, antara lain adalah hutan. Ekplorasi hutan pada kenyataannya telah menyebabkan kerusakan ekosistem hutan yang pada akhirnya mempengaruhi keberadaan fauna hutan, salah satunya adalah gajah (Kempf & Jackson, 1999)

Ekosistem Leuser yang daerahnya meliputi Sumatera Utara dan Nangro Aceh Darusalam tidak luput dari kerusakan, dan akibatnya populasi gajah pada ekosistem ini juga turut terganggu. Untuk itu telah dilakukan konservasi gajah yang salah satunya terletak di Ekosistem Leuser Dusun Aras Napal Kecamatan Besitang Kabupaten Langlat Propinsi Sumatera Utara.

Dalam upaya evaluasi keberhasilan suatu konservasi tentu perlu diketahui populasi gajah liar yang terdapat di kawasan ekosistem leuser.

!"&/&"!"

Salah satu cara untuk mengetahui populasi gajah adalah dengan metode sensus langsung dengan cara menghitung gajah yang berada dalam jarak penglihatan. Untuk dapat membantu menemukan gajah dapat dilakukan dengan melihat waktu keberadaan kotoran gajah yakni dengan mengamati rata-rata harian pembusukan kotoran (proporsi tumpukan kotoran yang hilang perhari) dan fauna yang berperan dalam proses pembusukan tersebut (Dawson, 1992).

Proses pembusukan kotoran antara lain dapat dipengaruhi oleh serangga yang kehadirannya tergantung pada waktu dan faktor iklim, sehingga keberadaan serangga dapat menentukan waktu keberadan kotoran gajah, dan pada akhirnya dapat memperkirakan keberadaan populasi gajah (Dawson 1992).

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian Keanekaragaman serangga yang berperan dalam tahapan dekomposisi kotoran gajah dengan tujuan untuk mengetahui serangga-serangga yang berperan dalam dekomposisi kotoran gajah, bentuk morfologi dari tahapan dekomposisi kotoran gajah.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Pengambilan sampel

Penelitian ini dilakukan di daerah konservasi gajah Kawasan ekosistem Leuser Dusun Aras Napal Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Penentuan lokasi tempat peletakan kotoran gajah ditentukan secara Purfosive sampling. Pada lokasi yang telah dipilih dibuat petak pengamatan berukuran 25 x 25 m2, dan dibagi menjadi sub-sub petak berukuran 5 x 5 m2. Dipilih 9 petak untuk peletakan kotoran gajah (kotoran gajah diperoleh dari gajah konservasi). Pada setiap petak diletakkan 3 tumpukan kotoran sebagai ulangan, berupa kotoran yang masih baru (6 jam) dan dibiarkan selama 90 hari.

Selanjutnya setiap 10 hari dilakukan pengambilan kotoran gajah pada 1 sub petak yang berisi 3 tumpukan kotoran untuk diamati yaitu:

- Bentuk kategori kotoran gajah secara fisik pada tahapan dekomposisi

- Mengamati jenis-jenis serangga yang ada, dengan cara; Kotoran digemburkan, disortir dengan bantuan pinset dan kuas. Selanjutnya kotoran dimasukkan kedalam kantong kain dan dibawa ke Laboratorium. Dan dimasukkan ke dalam alat Berlese Tulgren. Panas yang berasal dari bola lampu akan memaksa serangga turun dan jatuh ke botol koleksi yang berisi alcohol 70%. Proses ini berlangsung selama 3-6 hari. Serangga yang terkumpul diidentifikasi (Suin, 1997).

!"&/'"!"

Identifikasi Serangga

Sampel serangga baik yang dari lapangan maupun yang dikoleksi dengan bantuan Barlese Tulgren dikelompokkan sesuai dengan ciri morfologinya, kemudian diawetkan dalam alkohol 70%, diidentifikasi dengan bantuan loup dan Mikroskop Stereo Binokuler, dengan buku acuan Dindall (1990), Borror (1992), dan Suin (1997).

Parameter Pengamatan dekomposisi Kotoran Gajah

Dekomposisi kotoran gajah diamati berdasarkan beberapa kategori (Dawson, 1992):

- Kategori A: seluruh bola kotoran utuh, segar, basah dengan bau yang khas

- Kategori B: seluruh bola kotoran utuh, kering dan masih berbau - Kategori C1: lebih dari 50% dari seluruh bola kotoran utuh,

keadaan basah, permukaan kering.

- Kategori C2: kurang dari 50% dari seluruh bola kotoran utuh, keadaan basah, permukaan kering

- Kategori D : seluruh bola pecah, rata dengan permukaan tanah, keadaan basah atau kering.

- Kategori E : Tidak tampak lagi adanya kotoran, seluruhnya telah mengalami peluruhan.

Pengukuran Sifat Fisik Kimia

Pada setiap pengambilan sample kotoran gajah dilakukan pengukuran: suhu tanah, suhu udara, kelembaban tanah, pH, kelembaban udara, dan intensitas cahaya.

Analisis Data

Jenis serangga dan jumlah individu masing-masing jenis yang didapatkan dihitung nilai: Kepadatan populasi, Kepadatan relatif, Frekuensi kehadiran, dan Indeks diversitas (Krebs, 1985):

- Kepadatan Populasi (K)

Jumlah individu suatu jenis K = --- Jumlah unit contoh - Kepadatan Relatif (KR)

K jenis A

KR =-- --- x 100% Total K semua jenis

!"&/("!"

- Frekuensi Kehadiran (FK)

Jumlah unit contoh yang ditempati

FK = --- x 100% Jumlah semua unit contoh

Keterangan: 0 – 25% = sangat jarang (aksidental) 26 – 50% = jarang (Assesori)

51 – 75% = sering (konstan)

! 75% = sangat sering (absolut) - Indeks Diversitas Shannon-Wiener

s

H’ = - ¦ pi ln pi i=1 Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman S = Jumlah jenis dalam komunitas

pi = perbandingan jumlah individu jenis i dengan seluruh jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian Keanekaragaman Serangga yang Berperan Pada Tahapan Dekomposisi Kotoran Gajah (E. maximus) didapat hasil seperti tertera pada Tabel dan Gambar berikut.

Gambar 1: Hubungan Hari Pengamatan terhadap Kepadatan (Individu/ M2) Serangga Pada Kotoran Gajah

0 50 100 150 200 250 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ke p a d a ta n ( in d iv id u /m 2 ) H a r i

!"&/)"!"

Dari Gambar 1 terlihat bahwa kepadatan serangga yang berperan dalam dekomposisi kotoran gajah berfluktuasi selama 10-90 hari pengamatan. Nilai kepadatan populasi tertinggi diperoleh pada hari ke-10 (201,34 individu/m2), dan kepadatan terendah diperoleh pada hari ke-70 yaitu 32,66 individu/m2.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa genus dengan nilai kepadatan tertinggi pada hari ke-10 dan 20 adalah Reticulitermes (147,67 dan 53,33 individu/m2). Pada hari ke-30 adalah Formica (52,33 individu/m2), hari ke-40 Reticulitermes (21,33 individu/m2), pada hari ke-50 Forficula

(20,67individu/m2), hari ke-60 dan 70 Reticulitermes (25 dan 13,33 individu/m2), hari ke-80 Formica (18,33individu/m2), dan hari ke-90

Reticulitermes (27 individu/m2). Secara keseluruhan Reticulitermes

mempunyai kepadatan tertinggi yaitu 147,67 individu/m2 dengan kepadatan relatif 73,22 %. Hal ini diduga kondisi lingkungan yang sesuai bagi kehidupannya, sehingga Reticulitermes lebih mampu untuk beradaptasi dibandingkan serangga yang lain. Seperti dijelaskan Borror (1992) bahwa Reticulitermes hidup pada habitat dengan kelembaban tinggi, dan pH tanah yang asam (lampiran 1).

Dari Tabel 2 dapat dilihat nilai frekuensi kehadiran berkisar antara 33,33 %-100% dengan sifat assesori-absolut. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran serangga pada lokasi penelitian adalah jarang sampai sangat sering. Frekuensi kehadiran serangga ! 75% diperoleh pada genus

Reticulitermes, sehingga genus Reticulitermes dapat dikatakan dominan.

Seperti dijelaskan Suin (1997) bahwa spesies yang cocok dengan faktor lingkungan fisik dan kimia tanah serta kesediaan makanan pada suatu areal akan berkembang dengan cepat dan akan tersebar luas disekitar areal tersebut, tetapi bagi yang kurang sesuai akan terhambat perkembangannya. Selanjutnya Michael (1995) menyatakan secara alamiah, penyebaran hewan dipengaruhi oleh jumlah dan keragaman makanan, dan faktor fisik.

Pada gambar 2 terlihat bahwa jumlah genera dan nilai indeks keanekaragaman serangga pada 10-90 hari pengamatan mengalami fluktuasi. Jumlah individu tertinggi terdapat pada hari ke-80 (10 spesies), dan yang terendah pada hari ke-40 (5 spesies). Namun tidak demikian

halnya dengan nilai indeks keanekaragaman. Nilai indeks

keanekaragaman tertinggi terjadi pada hari ke- 70 (1,57), dan tetendah ditemukan pada hari ke-10 (0,97).

!"&/*"!" Gambar 2. Hubungan Hari Pengamatan terhadap Jumlah Genera dan

Indeks Keanekaragaman Serangga pada Kotoran Gajah

Keterangan: J. Genera = Jumlah Genera

IK = Indeks Keanekaragaman

Seperti yang dijelaskan Kreb (1985) bahwa nilai indek keanekaragaman tidak hanya ditentukan oleh jumlah spesies yang ada, tetapi juga oleh sebaran jumlah individu spesies tersebut.

Tabel 3:

Jumlah Genera, Indeks Keanekaragaman Serangga, Kategori Dekomposisi Kotoran Gajah Selama 10 – 90 Hari Pengamatan

Pengamatan (hari) Jumlah Genera Indeks Keanekaragaman Kategori Dekomposisi 10 7 0,97 C1 20 7 1,21 C2 30 9 1,43 C2 40 5 1,22 C2 50 8 1,50 C2 60 8 1,50 D 70 6 1,57 D 80 10 1,37 D 90 9 1,36 D

Dari Tabel 3 juga terlihat bahwa proses dekomposisi kotoran gajah pada 10 hari pertama berada pada kategori C1. Pada hari 20-50 proses dekomposisi berada pada kategori C2, dan kategori D pada pengamatan hari 60-90. Ini berarti proses dekomposi telah mulai terjadi pada 10 hari pertama, dan mulai memasuki tahapan akhir (kategori D) dari proses dekomposisi yang dimulai pada hari ke 60-90. Dari tabel 1,2, dan 3 juga terlihat bahwa jumlah spesies dan jumlah individu berfluktuasi

0 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 J. G en er a, IK H a r i J.Genera IK

!"&/+"!"

pada tahapan dekomposisi kotoran gajah. Hal ini disebabkan setiap tahapan proses dekomposisi akan memberikan lingkungan yang berbeda terhadap biota tanah. Richard (1993), menjelaskan bahwa setiap faktor lingkungan akan berpengaruh pada aktifitas biota tanah dalam menguraikan bahan organik. Laju dekomposisi terjadi lebih cepat pada lingkungan dengan kelembaban tinggi dan suhu yang tinggi, seperti halnya pada hutan tropika.

KESIMPULAN

Dari penelitian keanekaragaman serangga yang berperan pada beberapa tahapan dekomposisi kotoran gajah (E. maximus) dapat disimpulkan:

- Serangga yang berperan dalam dekomposisi kotoran gajah termasuk kedalam 8 ordo, 10 famili dan 15 genera.

- Genus dengan kepadatan dan kepadatan relatif tertinggi yaitu

Reticulitermes (147,67 individu/m2, 55,33%).

- Jumlah genera tertinggi terjadi pada hari ke-80 (10 genera), terendah pada hari ke-40 (5 genera) dan indeks keanekaragaman tertinggi terjadi pada hari ke-70 (1,57), terendah pada hari ke-10 (0,97).

- Dilihat dari kategori kotoran, proses dekomposisi akhir (kategori D) mulai terjadi pada hari ke 60-90.

DAFTAR PUSTAKA

Borror, D.J. 1992. Pengenalan pelajaran serangga (terjemahan). Edisi keenam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Burges, A and Raw, F. 1967. Soil biology. Academic Press, London. p.14 Dawson, S. and Dekker, A.F.J.M. 1992. Counting Asian Elephant in Forest. Regional office for Asia and the Pasific (RAPA) FAO. Bangkok. Desmukh, 1992. Ekologi Tropika. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. halaman 44 47.

Dindall, D.P. 1990. Soil biology guide. Jhon Willey and Sons. New York. Brisbane.

Kempf, E and Jackson, P. 1999. Gajah-gajah asia di belantara. Serial aku harus hidup. WWF Indonesia Program. Jakarta. halaman 1-25. Krebs, C.J. 1985. Ecology experimental analysis of distribution

abundance. Happer & Row Publisher. Philadelphia.

Price, P.W. 1984. Insect ecology. A Wiley-Intersciense Publication. New York. P. 34-48.

!"&/,"!"

Richards, B.N. 1993. The microbiology of terresterial ecosystem. John Wiley & Sons Inc. New York. P. 18-32.

Suin, N.M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara Jakarta. halaman 35-63.

Wallwork, J.A. 1970. Ecology of soil animal. Mc. Graw Hill Book Company.

!"&/-"!"

D*,'*D,",(,+,')5*'%$).;";'()!,'E,%)

+%(",')!,&,).*".,(,%)!*'((;',,')-,L,')&%)

*D#$%$E*+)+,'("#U*)$*",!;L3)-,'(D,E3)

$;+,E*",);E,",)

Pindi Patana

1

, Onrizal

2

, dan Nina Tika Sari

3

Dalam dokumen Beberapa Metode Uji Biologis Untuk Menil (Halaman 118-126)