• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Muchamad Abdullah Taufiq Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam dokumen M O F I N (Halaman 122-126)

P

andemi COVID-19 telah menjadi katalis bagi organisasi untuk melakukan perubahan, termasuk dalam budaya bekerja. Kementerian Keuangan melalui Program Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan juga melakukan transformasi digital dan mendorong implementasi flexible working space (FWS). Tulisan ini menguraikan bagaimana budaya FWS atau bekerja dari rumah (work

from home/WFH) juga membantu mengatasi permasalahan produktivitas pegawai yang

sering kali terjadi, yaitu presenteeism, serta bagaimana organisasi dan pimpinan (atasan bagi pegawai) menghadapi tantangan dalam budaya bekerja dari rumah.

Presenteeism merupakan keadaan di mana pegawai tetap hadir di tempat kerja

namun produktivitasnya tidak optimal (Koopman dkk 2002). Presenteism kebanyakan disebabkan oleh masalah kesehatan, di mana pegawai tetap masuk kantor meskipun dalam kondisi sakit atau tidak fit. Penyebab lainnya seperti tekanan pekerjaan, terbatasnya cuti, kualitas kepemimpinan, dan konflik keluarga. Presenteeism juga dihubungkan dengan bekerja dengan jam kerja yang cukup panjang, namun produktivitas tidak optimal. Terminologi ini sering kali didekatkan dengan absenteeism, di mana pegawai sakit dan absen dari bekerja.

Bagi kesehatan organisasi, presenteeism lebih mengkhawatirkan dibandingkan absenteeism. Hal ini dikarenakan presenteeism biasanya tidak dapat terlihat dan tidak terekam secara formal dibanding absenteeism sehingga cenderung sulit diukur. Bahkan, dampak dan biaya yang ditimbulkan oleh presenteeism juga lebih besar dari absenteeism. Dampak dari presenteeism tersebut antara lain menurunnya kualitas produk dan jasa yang diberikan, menurunnya kualitas well-being pegawai seperti turunnya kesehatan mental atau depresi, terjadi kecelakaan kerja, dan pengaruh negatif ke pegawai sekitarnya. Penelitian Rasmussen dkk (2016) menyebutkan bahwa presenteeism dan absenteeism di Indonesia diperkirakan berdampak sebesar 1,9% dari total GDP di tahun 2015 dan naik menjadi 2,4% dari total GDP di tahun 2030. Besarnya dampak ekonomi ini disebabkan dari pegawai yang semakin tua dan semakin tingginya risiko penyakit di masa datang.

Seiring perkembangan zaman, faktor penyebab presenteeism menjadi semakin luas. Definisi ini menjadi luas karena pegawai dapat masuk kantor, meskipun tidak produktif dengan banyaknya distraksi di kantor. Bagi pegawai ASN, kondisi presenteeism di PNS dapat terjadi apabila pegawai berpikir ‘yang penting absen’ (budaya “clocking in and

distraksi di kantor, sehingga pegawai sering kali berada di kantor dan hanya menjelajah internet dan sosial media. The Economist (2020) menyebut fenomena pegawai ini sebagai

slackers.

Budaya teleworking akan menjadi a permanent feature dalam budaya bekerja di masa mendatang (OECD 2020). OECD bahkan merekomendasikan bahwa WFH tetap menjadi ‘pilihan’ bagi pegawai. Dengan mendorong agar pegawai tidak terjebak dalam presenteeism, budaya WFH merupakan kebijakan nyata organisasi dalam menekan persebaran COVID-19 sesuai dengan protokol kesehatan. Dalam pandemi COVID-19 ini, tentu saja akan sangat berbahaya apabila pegawai dalam keadaan sakit namun terpaksa ke kantor, terlebih bila pegawai tersebut mempunyai gejala-gejala COVID-19.

Dalam mempersiapkan budaya FWS ini, diperlukan sistem dan kepemimpinan yang mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Bagi organisasi, selain infrastruktur dan sistem dalam memastikan jalannya budaya FWS, diperlukan pengelolaan kinerja pegawai yang diukur berdasarkan kegiatan (activity) dan hasil (outcome) yang dihasilkan, bukan berdasarkan pada jumlah jam bekerja. Kementerian Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.01/2020 telah menerapkan budaya FWS dengan terlebih dahulu mengidentifikasi kriteria pekerjaan yang dapat dilakukan FWS. Kriteria pemetaan pekerjaan yang dapat dilakukan FWS adalah perumusan dan rekomendasi kebijakan, tidak mengharuskan tatap muka langsung dengan pengguna layanan, serta pekerjaan yang dapat dilakukan secara daring.

Bagi kepemimpinan, kerja sama atasan dan bawahan berlandaskan kepercayaan (trust) adalah kunci utama keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Atasan harus mempercayakan tugas dapat diselesaikan oleh bawahan dengan tetap memberikan bimbingan dan pengawasan. Atasan langsung dapat melakukan bimbingan secara regular dan terjadwal kepada seluruh bawahan secara daring sesuai Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-3/MK.1/2020. Bimbingan dapat dilakukan dalam rangka focus group

discussion (FGD), pembahasan pelaksanaan tugas, coaching DKI dan penilaian kinerja,

dan dapat juga tanpa agenda khusus dan hanya dalam rangka “knowing your employee”. Kegiatan bimbingan juga sebaiknya mampu membangun partisipasi seluruh anggota tim.

Kualitas kepemimpinan menentukan koordinasi dan sinergi yang baik dalam organisasi. Dengan adanya FWS, ternyata permasalahan presenteeism masih dapat terjadi. Hal ini dikarenakan masih terdapat fenomena virtual presenteeism atau e-presenteeism. E-presenteeism adalah kondisi di mana pegawai selalu hadir secara daring (dengan mengikuti Zoom atau rapat daring) namun produktivitasnya minimal. Budaya FWS

seringkali menjadikan pegawai tidak dapat membagi waktu antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk kebutuhan pribadi atau keluarga. Akibatnya, pegawai dapat selalu hadir secara daring atau bahkan mengikuti rapat daring sampai malam hari tetapi tidak memberikan kontribusi dalam pekerjaan. Selain berpengaruh bagi organisasi, fenomena presenteeism baik virtual atau tidak akan mempengaruhi kesehatan pegawai sendiri.

Dalam mengidentifikasi fenomena e-presenteeism, organisasi biasanya melakukan survei kepada pegawai seperti survei Stanford Presenteeism Scale (SPS 6) atau World

Health Organization Health and Performance Questionnaire. Kebijakan cuti karena alasan

kesehatan juga masih perlu diberikan pegawai meskipun FWS. Selain itu, peran pimpinan (atasan langsung) sangat penting dalam mengenali kinerja dan kesehatan bawahannya. Dalam pelaksanaan pekerjaan, atasan langsung sebaiknya dapat menentukan jam kerja dengan menjadwalkan waktu antara pertemuan seluruh anggota tim (team meetings) dan waktu bekerja masing-masing.

Kesimpulannya, saat ini transformasi digital dalam organisasi memang bukanlah pilihan namun sebuah keharusan. Transformasi digital meliputi penggunaan teknologi dalam bekerja termasuk dalam menunjang pelaksanaan budaya FWS. Meskipun budaya FWS membantu mencegah presenteeism para pegawai, presenteeism tetap menjadi tantangan bagi kesehatan organisasi dengan munculnya e-presenteeism. Fenomena ini harus tetap disadari dan diwaspadai dengan meningkatkan peran organisasi dan kepemimpinan. Dalam mengidentifikasi kesehatan organisasi, Kementerian Keuangan juga diharapkan mampu mengidentifikasi kesehatan fisik dan mental seluruh pegawainya. Peran pimpinan dalam melakukan tugas dan pekerjaan bersama dengan bawahan juga berlandaskan trust dan empati.

Bincang Pagi untuk

Dalam dokumen M O F I N (Halaman 122-126)