Oleh : Halim Nuswantoro
S
ekitar September 2019, saya diundang untuk mengikuti edukasi pengelolaan kinerja dan risiko di Gedung Keuangan Negara Makassar bersama para pengelola SDM sekaligus pengampu kepatuhan internal dari berbagai satuan kerja dari wilayah timur Indonesia. Selama beberapa jam acara berlangsung lancar dan cukup dinamis dengan antusiasme para peserta yang ingin mendapatkan ilmu dari para “dewa kayangan”, hingga tiba di penghujung acara, salah satu narasumber yang merupakan representasi dari Biro SDM, Kementerian Keuangan, mengingatkan para peserta agar mendorong para pegawai untuk lebih obyektif dalam mengisi nilai perilaku dalam aplikasi e-performance. Lebih jauh, Mas–Mas yang berpakaian rapih tersebut menyampaikan bahwa ada lho pelaksana yang saling menilai perilaku pelaksana lainnya dengan nilai sempurna, 100.Saya pun terkejut dengan fakta tersebut, sehingga secara refleks saya menanyakan kembali kepada Tim Narasumber, bagaimana sejatinya praktek di unit kerja mereka sendiri dan potret agregat di Kementerian Keuangan? Apakah memberikan nilai mendekati 100 adalah praktek yang wajar? Jawaban diplomatis pun tersampaikan bahwa praktek memberikan nilai mendekati sempurna hampir selalu ditemui dimanapun, namun
setidaknya para pegawai dianjurkan untuk memberikan nilai perilaku secara lebih “variatif” dan tidak sempurna “100”.
Sepulang dari acara tersebut saya mengulik satu persatu bagaimana potret nilai perilaku dan konsistensi rekam jejak para pegawai di unit saya. Dari situasi tersebut, saya tersadar bahwa selama ini sesuatu hal yang bisa jadi saya anggap remeh, akan sangat menyulitkan dalam melakukan pemetaan kualitas SDM di suatu unit kerja. Apalagi, jika kemudian parameter dalam nilai perilaku tersebut menjadi potret atas beberapa karakter individu yang krusial, semacam integritas, komitmen dan kedisiplinan, yang kemudian dihubungkan dengan segala isu dalam pengelolaan SDM. Jika setiap individu tidak menyadari betapa pentingnya digit yang mereka tulis ketika menilai rekan kerja, atasan dan bawahannya, maka apalah guna setiap semester tradisi pengisian nilai perilaku ini dilestarikan?
Pikiran saya meraba pengalaman saya ketika betapa susah payahnya saya mendapatkan nilai sangat baik atas paper–paper yang kami kumpulkan dalam tugas ataupun ujian di awal kami menuntut ilmu di negeri Kanguru. Sayapun juga menyadari bahwa hubungan baik dengan dosen, ataupun faktor interpersonal lainnya hampir tidak mempengaruhi pencapaian penilaian kami. Begitupun ketika para dosen kami memberikan
https://minerva-access.unimelb.edu.au/handle/11343/191429 Van Dooren., et.al., 2010; Armstrong, 2014, West dan Blackman, 2015 Kruger dan Dunning, 1999
Blackman, et.al 2013; Ohomeng, et.al 2015
obyektifitas penilaian tersebut, secara bertahap saya mampu menunjukkan perbaikan kualitas output dalam pembelajaran. Potret tersebut sedikit banyak menunjukkan bahwa penilaian dan umpan balik yang obyektif akan memberikan dampak positif yang nyata bagi individu yang menerimanya.
Saya kemudian membuka – buka lembaran thesis yang pernah saya tulis. Banyaknya nukilan teori yang dikemukakan oleh para ahli maupun barisan peneliti mengarahkan saya ke beberapa hal penting yang sangat berkaitan erat dengan kondisi biasnya penilaian perilaku dalam e-performance. Yang pertama adalah, bahwa tantangan mendasar ketika menerapkan sistem pengelolaan kinerja pegawai adalah bukan hanya memastikan bahwa sistem tersebut mampu memetakan kualitas dan produktifitas pegawai, namun juga mengintegrasikan sistem tersebut dengan sistem pengelolaan sumber daya manusia ². Yang kedua adalah, seringkali tujuan utama dari suatu sistem pengelolaan kinerja pegawai gagal setidaknya karena adanya bias dalam memberikan feedback atau penilaian kepada pegawai ³ dan berakhir sebagai formalitas belaka 4. Simpulan dari beberapa penelitian tersebut, mau tidak mau membuat saya bertanya – tanya, bahwa pada kenyataannya: apakah semua data yang ada dalam e-performance saat ini benar – benar dapat saya gunakan dalam mengelola sumber daya manusia di unit kerja saya?
Pertanyaan tersebut menjadi bahan diskusi ringan antara saya dan staf beberapa hari kemudian. Kegundahan tersebut ternyata juga dirasakan oleh sebagian besar dari mereka, bahkan beberapa dari mereka, yang kebetulan baru pertama kali mendapatkan pengalaman pertama kali mengisi nilai perilaku, menyampaikan dengan polos bahwa budaya rata kanan diperkenalkan oleh sebagian pegawai senior. Hal tersebut, tidak jauh berbeda dengan pengalaman saya ketika menjadi pelaksana. Namun apakah hal ini terus akan kita lakukan? Sedang disisi lain nilai Kementerian Keuangan pertama yang kita kenal adalah Integritas?
² ³ 4
1
Saya kemudian menggagas ide, bagaimana seandainya kita secara internal menerapkan penilaian yang obyektif dalam nilai perilaku? Sebagian di antara staf
menyampaikan kekhawatiran, bagaimana jika nilai internal tim kepegawaian malah paling jeblok diantara yang lain, sementara beberapa orang yang menerima hukuman disiplin pun menorehkan penilaian perilaku hampir sempurna dari atasan langsung dan rekan kerja.
Kondisi tersebut mungkin dirasakan oleh banyak orang, namun sampai kapan pengisian nilai perilaku e-performance akan hanya sekedar menjadi tradisi “tick and flick” dan kehilangan marwahnya sebagai instrumen yang seharusnya berdampak signifikan terhadap pengelolaan SDM dan mendorong organisasi lebih maju. Tidak mungkin satu orang, satu unit, memulai perubahan dalam konteks ini, karena pasti akan tergerus secara sistemik dan akan menjadi alien bagi mayoritas. Namun jika satu orang itu adalah, Menteri Keuangan, Dirjen Bea Cukai, Dirjen Pajak, Kepala BKF, Sekretaris Jenderal atau pimpinan eselon I lainnya, yang secara nyata ingin mentransformasikan budaya pengelolaan kinerja yang lebih egaliter, terbuka, dan obyektif, mungkin perubahan itu bukanlah suatu keniscayaan.
E-performance yang berbasis IT cukup ideal dalam mengelola kinerja individu, terlebih
di masa pandemi yang idealnya ringkas minim administrasi, namun jika budaya yang menjadi rohnya salah diterapkan, sistem yang lebih canggih pun akan menjadi sebuah kesia-siaan. Keseriusan top leaders untuk terlibat dalam manajemen perubahan budaya dalam konteks pengelolaan kinerja akan menjadi kunci terbukanya asa, bahwa suatu saat,
ewuh pekewuh dalam melakukan penilaian akan sirna, para pegawai free rider pun akan
punah, tergantikan dengan pegawai yang dengan bangga memaknai integritas secara nyata dalam bekerja untuk Nagara Dana Rakca tercinta.