• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN TEORITIS

2.2. Pekerjaan Sosial

Menurut Suharto (2005) Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi kemanusiaan yang berkiprah dalam arena atau bidang kesejahteraan sosial, termasuk pemberdayaan masyarakat. Pekerjaan sosial adalah aktivitas kemanusiaan yang sejak kelahirannya sekian abad yang lalu telah memiliki perhatian yang mendalam pada pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat yang lemah dan kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, orang dengan kecacatan (ODK), komunitas adat terpencil (KAT).

Prinsip-prinsip pekerjaan sosial, seperti menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri (to help people to the help themselves), penentuan nasib sendiri (self determination), bekerja dengan masyarakat (working with people) dan

17 bukan bekerja untuk masyarakat (working for people), menunjukkan betapa pekerjaan sosial memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberdayaan masyarakat.

Menurut Zastrow dalam Suharto (2005), pemberdayaan didefinisikan sebagai proses membantu individu, kelompok, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan personal, interpersonal, sosio ekonomi, dan politik, serta mengembangkan pengaruh terhadap perbaikan lingkungan mereka. Kegiatan tersebut berguna untuk meningkatkan kekuatan pada diri keluarga miskin (klien). Oleh karena itu, model berbasis pada kekuatan klien menekankan pada kemampuan, nilai-nilai, perhatian, keyakinan, sumber-sumber, pencapaian - pencapaian, dan aspirasi-aspirasi orang yang menjadi klien pekerja sosial.

Proses pemberdayaan ini dapat ditransfer melalui peluang dan kekuasaan yang diperoleh dari struktur sosial di mana klien berada. Menurut Suharto (2005) kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan tergantung pada dua hal: (1) bahwa kekuasaan dapat berubah, jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; (2) bahwa kekuasaan dapat diperluas konsep ini menekankan pada pengertian tidak statis, melainkan dinamis. Sehingga pola hubungan antara kekuasaan dan struktur sosial dapat mempengaruhi keberhasilan proses pemberdayaan.

Menurut Suharto (2005) pekerjaan sosial adalah profesi kemanusiaan yang telah lahir cukup lama. Sejak kelahirannya sekitar 1800an (Zastrow, 1999; Zastrow, 2000; Shulman, 2000), pekerjaan sosial terus berkembang mengalami perkembangan sejalan dengan tuntutan perubahan dan aspirasi masyarakat. Namun demikian seperti halnya profesi lain (misalnya kedokteran, keguruan), fondasi dan prinsip dasar pekerjaan sosial tidak mengalami perubahan. Tan dan Envall (2000) menyatakan bahwa while social work explores changes and adapts to various demands … the basic integredients of social work must remain in the changing tide.Selanjutnya Tan dan Envall mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut:

The social work proefession promotes problem solving in human relationships, social work change, empowerment and liberation of people, and the enhancement of society. Utilition theories of human

18 behavior and social systems, social work intervences at the points where people interact with environtments . Principles of human rights and social justice are fundamental to social work.

Profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarak at. Menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem - sistem sosial, pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip - prinsip hak azasi manusia dan keadilan sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial (Suharto, 2005).

Prinsip pekerjaan sosial dan asumsi pemberdayaan dalam pekerjaan sosial digunakan mengukur proses keterlibatan keluarga miskin dalam pemberdayaan. Menurut beberapa penulis, seperti Solomon, Rappaport, Pinderhughes , Swift, Swift & Levin, Weick, Rapp, Sulivan dan Kisthardt, terdapat beberapa prinsip dan asumsi pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial (Suharto,1997) yaitu: pemberdayaan adalah proses kolaboratif dengan mana masyarakat miskin dan pekerja sosial bekerjasama sebagai partner, proses pemberdayaan menempatkan masyarakat miskin sebagai kompeten dan mampu menjangkau sumber -sumber dan kesempatan -kesempatan, masyarakat miskin melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yan g dapat mempengaruhi perubahan, kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat miskin, solusi-solusi, yang berasal dari situasi khusus, beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yan g berada pada situasi masalah tersebut, jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan pengendalian seseorang, masyarakat miskin berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri, tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubah an, pemberdayaan melibatkan akses terhadap sumber- sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber -sumber tersebut secara efektif, proses pemberdayaan bersifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan selalu memiliki beragam solusi, pemberdayaan dicapai melalui struktur-struktur personal dan pembangunan ekonomi secara paralel.

19 Pemberdayaan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan dalam pekerjaan sosial meliputi: pelaku yang terlibat dalam bekerjasama dan proses (partisipasi), sumber-sumber sebagai potensi yang mendukung (transfer kekuasaan kepada orang yang akan diberdayakan), dan efektivitas program pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan sosial (perbaikan kualitas hidup).

Dubois dan Miley (1992) dalam bukunya Social Work: An Empowering Profession memberi beberapa cara atau teknik khusus yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat dengan: membangun relasi, komunikasi dan keterlibatan klien dalam pemecahan masalah.

Pemberdayaan masyarakat dengan membangun relasi pertolongan terdiri dari: merefleksikan respon empati; menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-determination); menghargai keberbedaan dan keunikan individu; menekankan kerjasama klien (client partnerships).

Pemberdayaan masyarakat dengan membangun komunikasi dengan cara: menghormati martabat dan harga diri klien; mempertimbangkan keragaman individu; berfokus pada klien; menjaga kerahasiaan klien.

Pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan keterlibatan klien (keluarga miskin) dalam pemecahan masalah dengan cara: memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah; menghargai hak-hak klien; merangkai tantangan -tantangan sebagai kesempatan belajar; melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.

Para pekerja sosial melaksanakan teknik di atas untuk memberikan kekayaan dalam mendampingi keluarga miskin untuk berperan dalam setiap kegiatan program yang telah dipilih. Program yang dipilih didasarkan hasil relasi, komunikasi dan keterlibatan keluarga miskin serta konsistensi dalam pelaksanaan kegiatan program.

Suharto (2005) men gatakan bahwa keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis. Aspek kemampuan ekonomi terdiri dari: kemampuan dalam

20 pemenuhan kebutuhan dan kemampuan untuk memperoleh penghasilan. Aspek kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan terdiri dari: kemampuan menjangkau sumber-sumber kesejahteraan sosial yang ada di sekitarnya. Aspek kemampuan kultural dan politik terdiri dari kemampuan dalam memahami proses kebudayaan yang berlangsung di sekitarnya. Sedangkan kemampuan politik adalah kemampuan untuk terlibat dalam proses pembelajaran politik di pedesaan.

2.3.

Pemberdayaan

Menurut Rappapot dalam Dubois dan Miley (1992) pemberdayaan adalah “a way that people, organizations, and communities gain mastery over their lives”. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya. Dengan demikian rakyat didorong untuk mengelola kehidupannya dengan cara mereka sendiri. Sehingga rakyat sebagai bagian yang lebih luas dari komunitas secara terorganisasi dapat membantu komunitas yang bermasalah dapat diberdayakan. Pengaruh yang datang dari luar komunitas sebagai bagian yang dipertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak didapatkan dari dalam diri masyarakat tersebut.

Ife (1995) menyatakan bahwa increasing the power of the disadvantaged, it is necessary to look not only at what constitute power, but also at the nature of disadvantage. Pemberdayaan dilakukan untuk memberikan kekuasaan kepada yang tidak beruntung agar mereka menjadi berdaya. Menurut Swift dan Levin dalam Suharto (2005) pemberdayaan menunjuk pada usaha realocation of power melalui pengubahan struktur sosial. Proses pemberdayaan mengutamakan adanya penempatan kekuasaan kepada keluarga miskin yang selama ini tidak mendapatkan kekuasaan dalam upaya pengembangan masyarakat.

Orang-orang yang tidak beruntung mendapatkan kekuasaan untuk melakukan pengambilan keputusan, membuat perencanaan dalam memenuhi kebutuhan dan memecahkan permasalahannya sendiri. Kesempatan yang diperoleh dalam struktur sosial akan dapat mengembangkan akses dan partisipasi orang-orang tidak beruntung dalam setiap program yang dibuat sebagai hasil

21 kolaborasi dengan institusi dalam struktur sosial untuk mengatasi berbagai persoalan mereka.

Menurut Dubois dan Miley (1992) proses memberdayakan dan tujuan pemberdayaan menjadi orientasi professional pekerjaan sosial.:

The empowering process and the empowerment goal undergird social work’s professional orientation. The process and goal are reflected in the dual focus of the purpose of social work: to enable the system’s competence for mutually adaptive transactions with the environt and to enhance the humane responsiveness of social institutions and the availability of opportunies and resources. Social worker practice form an empowerment orientation to achieve empowered social system trough empowering social structure.

Tujuan dan proses merupakan refleksi tujuan pekerjaan sosial: menghubungkan sistem sosial untuk transaksi yang menguntungkan dalam penyesuaian dan meningkatkan respons manusia terhadap institusi sosial dan mendapatkan kesempatan serta sumberdaya. Hal ini dapat diperoleh melalui pemberdayaan yang diberikan struktur sosial dalam masyarakat. Struktur sosial dan politik memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memberikan partisipasi dan terlibat dalam setiap program.

Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment) pada intinya ditujukan:

“To help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients ”.

Bahwa proses pemberdayaan dilakukan dengan membantu orang yang tidak berdaya untuk memperoleh kekuasaan dalam keikutsertaannya pengambilan keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.

Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungan. Pemberdayaan merupakan upaya untuk membantu orang perorangan atau kelompok untuk memperoleh sumber-sumber dan meningkatkan potensi

22 yang dimilikinya agar dapat meningkatkan kehidupannya seperti meningkat pendapatan, membiayai anak-anak sekolah minimal wajib belajar sembilan tahun, memberi makan keluarga, membeli pakaian, memperbaiki rumah dan sebagainya.

Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kek uasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi (Okley dan Marsden, 1984). Kegiatan itu seperti perbaikan jalan, pembuatan sumur (pengadaan air bersih) pada musim kemarau dan sebagainya. Proses ini disebut kecenderungan primer.

Kedua yang disebut kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Antar kedua proses saling terkait. (Pranarka dan Vidyanandika, 1996). Libussi dan Maluccio (1986) menerjamahkan hal ini ke dalam praktek pekerjaan sosial dengan memandang kelayan sebagai mitra kolaboratif sebagai orang yang memiliki asset dan protensinya yang dianggap lebih sebagai sumber patologi.

Menurut Parsons, et. al (1994: 106), pemberdayaan sed ikitnya mencakup tiga dimensi yaitu: (1) Seb uah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar; (2) Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya-diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain (3) Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya- upaya kolektif dari orang -orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Suharto, 1997).

Menurut Ife untuk mengembangkan model pemberdayaan dalam masyarakat, ada tujuh kekuasaan yang perlu dipertimbangkan sebagai dasar strategi pemberdayaan masyarakat. Tujuh tipe kekuasaan itu adalah: (1) Pilihan -

23 pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan; (2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya (3) Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan; (4) Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata -pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan; (5) Sumber -sumber: kemampuan memobilisasi sumber- sumber formal, informal dan kemasyarakatan; (6) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa; (7) Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi (Suharto, 2005).

2.4.

Partisipasi

Menurut Mubyarto (1985), partisipasi sebagai kesadaran untuk membangun berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Menurut Slamet (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2003), untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi yaitu : (1) adanya kemampuan yaitu kemampuan individu atau kelompok untuk berbuat dalam sebuah kegiatan; (2) adanya kesempatan yaitu ruang yang diberikan kepada invidu atau kelompok untuk terlibat dalam kegiatan; (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi.

Selanjutnya Sahidu (1998) menjelaskan bahwa faktor-fak tor yang mempengaruhi tingkat kemauan masyarakat untuk berpartisipasi adalah motif, harapan, kebutuhan, penghargaan, dan penguasaan informasi. Faktor yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan, sarana dan prasarana. Sedangkan faktor yang mendorong adalah modal dan pengalaman yang dimiliki.

24 Partisipasi didasarkan adanya kemampuan dan peluang yang diciptakan dalam berbagai kesempatan yan g diberikan kepada masyarakat. Kemampuan seseorang digunakan untuk berpartisipasi pada setiap kegiatan. Namun demikian, kemampuan seseorang tidak bermanfaat, jika tidak ada peluang yang memberikan peran kepada seseorang untuk menjalankan peran pada setiap kegiatan. Indikator keberhasilan partisipasi didasarkan pada kemampuan masyarakat dalam meraih peluang dan menggunakan kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan.

Ndraha (1990) membagi partisipasi sebagai berikut: (1) partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial. (2) dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, (3) partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan, (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional; (5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan tingkatan hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan, tidak lepas dari hubungan dengan pihak lain. Adanya hubungan dengan pihak luar masyarakat lokal dalam pembangunan, tidak terlepas dari pertukaran sosial yang diberikan antara pihak luar (institusi pemerintah pembawa program) dan masyarakat (sebagai agency yang akan merubah dirinya sendiri). Menurut Mustafa (2003) bahwa hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya akan memperoleh imbalan. Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit), sehingga perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya akan menguntungkan.

Partisipasi masyarakat menjadi elemen penting dalam pemberdyaan masyarakat desa. Berbagai upaya dilakukan untuk mendukung adanya partisipasi dari masyarakat. Cendikia (2002) mengemukakan bahwa terdapat 3 metoda dasar dalam teknologi partisipasi, yaitu: metoda diskusi, metoda workshop dan metoda perencanaan tindakan (action plan). Pusic dalam Suharto (1997) menambahkan bahwa perencanaan tanpa memperhitungkan partisipasi masyarakat akan

25 merupakan perencanaan diatas kertas. Berdasarkan pandangannya, partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan desa dapat dilihat dari dua hal, yaitu: partisipasi dalam perencanaan dan partisipasi dalam pelaksanaan.

Partisipasi dalam perencanaan. Segi positif dari partisipasi dalam perencanaan adalah dapat mendorong munculnya keterlibatan secara emosio nal terhadap program -program pembangunan desa yang telah direncanakan bersama. Sisi negatif perencanaan adalah adanya kemungkinan tidak dapat dihindarinya pertentangan antar kelompok dalam masyarakat yang dapat menunda atau bahkan menghambat tercapainya su atu keputusan bersama.

Partisipasi dalam pelaksanaan adalah partisipasi individu atau kelompok (keluarga miskin) dalam melaksanakan kegiatan yang telah ditentukan bersama. Tetapi segi negatifnya adalah kecenderungan menjadikan warga masyarakat sebagai objek pembangunan, di mana warga hanya dijadikan pelaksana pembangunan tanpa didorong untuk mengerti dan menyadari permasalahan yang mereka hadapi, dan tanpa keinginan untuk mengatasi masalahnya. Sehingga warga masyarakat tidak secara emosional terlibat dalam program, yang berakibat kegagalan seringkali tidak dapat dihindari. Salah satu akar masalah dalam pembangunan dewasa ini adalah berkembangnya mentalitas yang materialistik dan mentalitas ingin serba cepat (instant). Masalah lain adalah lemahnya sumberday a manusia dan etos kerja kelompok masyarakat tertentu (Adi, 2003).