• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAJARAN SEJARAH

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 132-139)

BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65 (5)

PELAJARAN SEJARAH

T: Pelajaran apa yang bisa kami tarik dari pembunuhan jenderal-jenderal itu?

J: Saya tidak tahu pelajaran apa yang diambil dari pembunuhan jenderal. Kecuali bahwa orang yang hidup dari kekerasan akan dihancurkan oleh kekerasan. Jadi Untung, Supardjo, Latif, dll, harus bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan. Bagaimanapun kalau orang tidur di rumah tahu-tahu dibrondong mitraliyur itu mengerikannya bukan main.

T: Kalau orang Indonesia tahu kebohongan tentang Lubang Buaya, lalu tahu ada pembunuhan massal, bagaimana sejarah akan menilai Suharto?

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

133 | P a g e

J: Banyak sejarah yang hilang. Ratusan ribu orang yang jadi korban itu tidak bisa bicara lagi. Berapa sebenarnya jumlah yang dibunuh, itu mungkin kita tidak akan bisa tahu dengan pasti. Dan dalam sejarah memang banyak peristiwa pembunuhan atau kekejaman yang kemudian tidak bisa diungkapkan. Misalnya saja sejarah perdagangan budak di Afrika. Kita tidak tahu berapa yang dibunuh, bagaimana dibunuhnya, siapa yang membunuh, dst. Jadi jangan terlalu yakin bahwa seluruh sejarah 1965 ini akan bisa diungkapkan.

Sekarang memang banyak sejarah yang dihapus. Kita juga harus ingat bahwa Orba selama ini justru melakukan apa yang suka saya sebut "kebijaksanaan pembodohan" masyarakat Indonesia sendiri. Bukan hanya tentang pembunuhan tahun 65. Tetapi juga tentang bagaimana munculnya kesadaran nasional, sejarah Jaman Pergerakan yang sebenarnya, tentang Jaman Jepang, Jaman Revolusi, dsb. Karena yang mau dijadikan pahlawan itu cuma ABRI. Padahal ABRI kan belum lahir waktu orang lain sudah berjuang puluhan tahun. Tapi toh sekarang mulai terlihat usaha anak-anak muda untuk mencari informasi, untuk menggali kembali sejarah bangsanya. Seperti terlihat dalam buku "Bayang-Bayang PKI" itu, antara lain. Dan memang ini tugas anak muda, kan? Untuk tidak mau dibodohi.

Tapi bahwa Suharto dan pimpinan Angkatan Darat itu bertanggung jawab atas pembunuhan ini, itu jelas. Dan bukan pembunuhan ini saja. Mereka juga bertanggung jawab atas ratusan ribu korban pembunuhan di Timtim, dan ribuan lagi orang yang dibunuh dalam kasus-kasus Irian Jaya, Aceh, Petrus, dsb. Sepanjang sejarah Indonesia, termasuk selama Jaman Belanda dan Jaman Jepang, belum pernah ada kelompok penguasa yang tangannya begitu berlumuran darah. Ya, itu fakta. T: Tadi Pak Ben bilang soal pembunuhan di Kediri yang luar biasa kejam. Tapi ada juga propinsi seperti Jabar, di mana pembunuhan tidak meluas. Apa yang bisa dipelajari dari fakta-fakta seperti itu?

J: Laporan Cornell itu topik utamanya bukan pembunuhan massal. Tetapi apa yang terjadi dalam Gerakan 30 September. Apa sebabnya terjadi pembunuhan massal? Itu soal lain lagi. Untuk tahu tentang pembunuhan massal itu kita sudah tahu politik dari tentara di pusat. Tapi itu tidak selalu dilaksanakan pada tingkat lokal. Mengapa di Kediri pembunuhan meluas, tadi sudah dibicarakan, karena Danremnya saudara dari jenderal yang dibunuh. Kenapa di Jabar pembunuhan tidak meluas, juga sudah kita bicarakan. Pembunuhan di Aceh juga sangat kejam. Dan di Aceh juga banyak sekali orang Cina yang dibunuh.Itu juga karena inisiatif Pangdam Aceh waktu itu, Ishak Juarsa. Jadi ada dua tingkat. Kebijaksanaan pusat dan kebijaksanaan lokal dari pangdam, danrem, dsb. Studi yang lengkap memang belum ada.

T: Ini soal media. Sebelum pembunuhan massal, media massa -- koran, radio, TV -- dipakai Suharto untuk menyebarkan kabar bohong tentang kekejaman PKI di Lubang Buaya. Akibatnya masyarakat jadi tegang, ketakutan, saling curiga. Apa yang bisa kami pelajari dari pengalaman dengan media ini?

J: Kita harus belajar menghadapi media massa. Apalagi kalau sudah dimonopoli oleh suatu kelompok. Kita harus skeptis, curiga, jangan cepat percaya. Harus bisa membandingkan informasi dari media yang dikontrol penguasa itu dengan informasi lain, dengan pengalaman diri sendiri, dengan media luar negeri, internet, dll.

Karena media massa itu jelas alat penguasa yang dipakai untuk kepentingan penguasa. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika juga begitu. Kalau lihat TV di sini selalu saya punya sikap curiga. Pokoknya belum tentu benar. Apalagi kalau media itu condong menghasut si penonton untuk jadi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

134 | P a g e

fanatik, untuk membenci, dsb. Kita harus skeptis. Belajar menjaga diri supaya nggak ikut terseret.

Saya sudah mengalami keadaan demikian di beberapa negara. Bukan cuma di Indonesia saja. Saya lihat bagaimana media massa di Inggris waktu Perang Malvinas. Media massa di Amerika waktu Perang Vietnam juga begitu. Jadi ini bukan sifat khusus media massa di Indonesia. Tetapi sifat khusus dari penguasa yang kalang kabut atau yang punya maksud jelek.

Kalau sekarang, kita bisa lihat umpamanya dalam Peristiwa 27 Juli. Tahu-tahu dicarikan kambing hitam. Sekelompok anak muda yang nggak sampai 200 orang jumlahnya. Ini jelas suatu usaha untuk bikin suasana panik. Untuk menutupi sebab-sebab sebenarnya dari peristiwa itu.

T: Menurut Pak Ben apa kesalahan PKI?

J: Saya tidak mau bilang bahwa PKI punya salah. Karena PKI itu suatu keluarga besar yang isinya jutaan orang. Saya tidak percaya kalau suatu organisasi yang begitu banyak manusianya, yang begitu beraneka warna, itu punya salah. Tapi bisa dikatakan bahwa pimpinan PKI yang bertanggung-jawab atas politik partai itu mungkin memang ada salahnya.

Pertama, pimpinan PKI mungkin tidak betul-betul mengerti atau tidak mempertimbangkan dengan matang kontradiksi yang ada antara strategi politik -- yang berdasarkan pemilihan umum, aktivitas terbuka yang legal, keanggotaan partai yang jutaan -- dengan retorika yang sangat radikal. Retorika PKI waktu itu cocok untuk dipakai dalam perang gerilya. Di mana pada akhirnya perjuangan akan ditempuh dengan jalan kekerasan.

PKI menganjurkan banyak sekali orang-orang biasa untuk ikut. Dan mereka jelas tidak pernah ada pikiran bahwa sewaktu-waktu bakal ada pembunuhan besar-besaran. Kalau mau mengajak jutaan orang biasa yang kerja di kantor, di desa, di kampung, untuk ikut suatu partai yang legal, di atas tanah, memakai lembaga-lembaga parlemen, pemilu, dsb. Tetapi sekaligus juga memakai retorika bahwa seolah-olah sewaktu-waktu bakal terjadi krisis yang revolusioner, di mana ini mau dihancurkan, itu mau dihancurkan, maka itu menimbulkan kontradiksi yang lumayan bahayanya. Karena lawan politik yang mendengar retorika seperti itu -- bahwa sekali waktu kamu akan dihancurkan, akan dibeginikan-dibegitukan -- tentu merasa pada akhirnya akan terjadi suatu konflik fisik yang luar biasa dahsyatnya. Jadi dengan sendirinya mereka akan mempersiapkan diri. Dan pada waktu itu justru lawan PKI lah yang punya senjata.

Saya pernah dengar-dengar, Mao Tse Tung pernah mengatakan begini kepada pimpinan PKI, "Ini nggak bener. Kalau kamu mau menghancurkan ini, menghancurkan itu, ya itu nggak bisa di kota-kota, nggak bisa di parlemen, nggak bisa di tengah orang ramai. Itu harus di gunung, harus bikin perang pembebasan rakyat. Dan sebaliknya kalau kamu betul-betul mau pakai cara parlementer, maka retorika dan analisamu harus cocok dengan situasi dan strategi yang kamu pakai." Jadi dengan demikian ada kemungkinan pimpinan PKI juga ikut membuka kesempatan untuk apa yang kemudian terjadi. Tapi, ya tentu ini cuma pendapat orang luar, seorang outsider.

Saya juga merasa, kadang-kadang PKI juga terlalu mencari musuh yang nggak perlu. Umpamanya kampanye terhadap Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Itu bukan kelompok yang penting, cuma beberapa orang yang sama sekali tidak berbahaya. Padahal lawan sebenarnya dari PKI itu, ya konglomerat, pimpinan tentara, dsb. Tetapi PKI tidak berani langsung menghadapi mereka. Lalu dicarikan target yang lebih gampang. Secara taktis ini tidak baik. Dan menimbulkan kesan PKI selalu ingin menang sendiri.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

135 | P a g e

Pada waktu ada pemilihan umum yang bebas di Indonesia, partai yang paling besarpun tidak bisa dapat pendukung lebih dari 25% dari masyarakat. Tidak mungkin ada suatu organisasi yang bisa menang secara mutlak. Bagaimanapun Indonesia baru akan bisa maju dengan baik kalau ada persekutuan, ada aliansi antara kelompok-kelompok yang beraneka ragam.

Selain itu saya juga dapat kesan begini. Ini kesan yang timbul ketika mengikuti pengadilan Sudisman. Pada waktu Sudisman menghadapi kematiannya sendiri, dia tahu bahwa pengadilan itu adalah saat terakhir dia bisa ngomong. Dia banyak melepaskan diri dari bahasa resmi, bahasa formal, bahasa standard dari partainya. Lalu dia mulai ngomong sebagai manusia. Ya tentu bahasa partainya juga cukup banyak. Tetapi pidatonya itu mengesankan justru karena tidak pakai bahasa resmi. Dia ngomong sebagai orang Jawa, sebagai orang Indonesia, orang yang pernah ikut revolusi, yang ikut berjuang, dsb. Itu mengesankan. Jadi sepertinya PKI terlalu mengajak orang untuk ngomong dengan bahasa yang terlalu distandarisasikan, terlalu monoton, terlalu uniform. Sehingga bisa dibilang itu membunuh atau mengurangi kreatifitas.

T: Apakah rasa dendam dari mereka yang keluarganya dibunuh itu mungkin bakal muncul sekali waktu nanti?

J: Ada kemungkinan bakal muncul individu-individu yang demikian. Tapi jangan lupa bahwa peristiwa ini terjadi 30 tahun yang lalu. PKI sudah hancur selama 30 tahun. Dan kemenangan tentara adalah kemenangan yang mengerikan. Tetapi, dan ini perlu dimengerti juga, bahwa dalam proses membunuh, menyiksa, dsb, ternyata ada juga sebagian anggota partai, malahan juga di kalangan atasnya, yang kemudian ikut jadi penyiksa dan pembunuh. Jadi PKI tidak hanya dihancurkan oleh lawannya. Tetapi sebagian juga dihancurkan oleh anggotanya sendiri. Nah ini suatu luka yang sangat dalam.

Kalau anak muda mengerti apa yang terjadi, mereka tidak bisa melihat situasi secara hitam-putih. Dan toh Indonesia sudah banyak berubah. Masalah Indonesia sudah lain dan dunia juga sudah lain. Mereka harus melihat ke depan, jangan cuma menengok ke belakang. Harapan ada di depan. Tidak pernah ada di belakang.

T: Dalam periode sejarah yang serem ini, apakah Pak Ben melihat orang-orang yang bisa dianggap pahlawan?

J: Saya bukan orang yang gampang mencari pahlawan. Tapi saya tahu ada orang-orang yang semangat dan achlaknya memang saya kagumi. Saya kasih contoh 3 orang. Pertama, Pak Pram tentunya. Yang dengan segala penderitaannya toh bisa menciptakan karya sastra yang luar biasa dan tidak pernah mau tunduk kepada penindasnya. Saya juga angkat topi kepada teman saya yang sudah lama meninggal, si Soe Hok Gie. Yang walaupun aktif melawan PKI, tetapi pada waktu pembantaian massal, penangkapan dan pengiriman ke Buru, dia satu-satunya orang yang pada waktu itu berani mengatakan di pers bahwa ini salah. Dia satu-satunya orang yang menyatakan begitu pada tahun 60-an.

Yang ketiga, tentunya almarhum Pak Yap. Dia bersedia membela orang-orang yang sudah pasti akan dihukum mati. Yang notabene adalah lawan politiknya. Tapi dia berusaha keras membela mereka sebagus mungkin. Walaupun karena itu dia sendiri tentu rugi. Karena jadi dibenci oleh penguasa. Apakah mereka ini bisa dianggap pahlawan? Mungkin belum tentu. Tetapi sebagai orang yang punya karakter, punya moralitas, punya integritas, saya mengagumi mereka.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

136 | P a g e

J: Sorry ya, nggak ada yang saya kagumi.

T: Kalau di kalangan orang-orang biasa? Pahlawan saya itu orang-orang biasa, pak. Tentu banyak juga orang-orang biasa yang sudah berani ambil resiko untuk menolong korban waktu itu. Atau menolong keluarga dan anak-anak orang yang dibunuh, dipenjara atau dibuang. Atau orang seperti Ibu Pram, dalam memoar Pak Pram di P. Buru, "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu." Atau seperti Ibu Oey dalam "Memoar Oey Tjoe Tat." Mereka itu istri yang setia luar biasa dan tabah bukan main. Mereka bisa terus mengurus keluarga ketika suaminya dibuang belasan tahun, waktu anaknya masih kecil-kecil. Mereka kan orang biasa. Mungkin lebih gampang buat jadi contoh.

J: Ya. Tentu banyak orang yang bisa kita jadikan contoh. Cuma kita tidak tahu nama mereka. Tapi saya tahu dua contoh. Waktu pengadilan Sudisman saya masih ingat banyak saksi dari PKI, dari atas sampai bawah. Banyak sekali dari golongan atas yang sebenarnya memalukan sekali kesaksiannya. Mereka jelas-jelas mau mencoba mencuci tangan, melarikan diri dari tanggung-jawab sebagai atasan.

Tapi ada dua orang yang sikapnya bagus. Yang pertama Sri Ambar dari Gerwani. Dan yang paling mengesankan itu seorang anak Cina yang masih muda. Saya tidak ingat namanya. Dia menjadi kurirnya Sudisman waktu dalam persembunyian. Anak muda itu orangnya polos, berani, sopan, dan tidak pernah mau bertekuk lutut terhadap pengadilan. Tentu dia bukan orang yang penting, bukan orang yang dikenal namanya. Tetapi sikapnya hebat.

T: Secara umum, pelajaran apa yang bisa kami tarik dari pembunuhan massal-65?

J: Kalau tentang pembunuhan massal, ada perasaan umum di Indonesia yang seolah-olah peristiwa serem semacam itu jangan sampai terjadi lagi. Ini suatu yang mengerikan dan memalukan. Pelajaran satu lagi, bahwa kita sebagai manusia dalam situasi tertentu bisa menjadi pembunuh. Jadi kita harus berusaha keras supaya tidak timbul situasi di mana sifat binatang di dalam diri kita masing-masing bisa ke luar (Habis).

***

(Wawancara tgl 20 & 23 September 1996). Received on Thu Oct 3 06:10:31 MES 1996 From: indonesia-l@igc.apc.org

INDONESIA-L

Date: Wed, 02 Oct 1996 To: apakabar@clark.net

Tulisan ini merupakan penuturan seseorang yang kala itu masih duduk di bangku SMP, dibesarkan di kalangan PNI di kodya Yogya. Terutama membicarakan peristiwa-peristiwa di sekitar tahun 1965 berkatitan dengan kegiatan PNI dan PKI. Cerita ini didasarkan ingatan semata. Sumber berita ada yang dari koran lokal waktu itu, ada pula dari omongan-omongan orang-orang dewasa di sekitarnya. Semoga cerita-cerita berikut ini menambah gambaran sejarah para apakabarian mengenai masa di seputar masa peralihan itu yang sampai sekarang masih banyak memiliki sisi-sisi gelap. Semoga ada netters lainnya yang memiliki cerita sejaman yang berkaitan dapat melayangkan cerita atau pengalaman-pengalaman pribani mereka. Barangkali saja ada sejarawan, atau mahasiswa jurusan sejarah yang tertarik mengangkat salah satu cerita untuk diteliti sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan sejarah.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

137 | P a g e

Sejak setahun sebelum peristiwa 1965, saya mulai merasakan ketegangan di antara para pemuda di kampung saya. Terjadi persaingan antara para pemuda Marhaenis dengan Pemuda Rakyat-nya PKI. Konflik langsung memang tidak terjadi. Mading-masing bergaya dengan seragam hitam-hitam. Para pemuda ramai-ramai mewenter baju dan celana panjang menjadi hitam. Para pendukung PNI berseragam celana baju hitam dengan gambar banteng dengan cat putih dipunggungnya dan berbaret merah. Sedangkan PR dengan seragam hitam dengan gambar skorpio atau cancer atau binatang sejenis berdasrkan kelompok dari kampung masing-masing. Para pemuda Marhaenis dari kampung kami sempat berguru kekebalan secara kolektif dan instant. Setelah diwejang oleh seorang guru dan dimandikan di sungai pada malam hari, mereka bisa setiap saat mendapatkan kekebalan sesaat hanya dengan cara berdoa dan memutar badannya bagai baling-baling. Seorang pemuda tetangga menunjukkan caranya ingin jadi banteng dan memang badannya menjadi keras dan bernafas mirip banteng. Tetapi belum pernah terdengar ada konflik antar kedua kubu sehingga perlu memakai ilmu tersebut. Sebagai tetangga, mereka tetap sebagaimana orang Jawa dalam kehidupan ketetanggaan.

Di bulan (kalau tak salah) Juni 1965 ada Longmarch Klaten Yogya dalam rangka memperingati ulang tahun PNI. Seperti biasanya waktu itu, para Pemuda Marhaenis meneriakkan "Marhaen Menang". Di tengah jalan, peserta berpapasan dengan seorang anggota Angkatan Darat. Diteriaki "Marhaen Menang" dia balas dengan "Marhaen Bajingan". Rupanya jawaban itu membuat para pemuda marah. Si tentara dihajar di tempat. Akibat dari peristiwa itu, Batalyon 451 dari asal di tentara kroco itu marah. Mereka konon sempat menciduk beberapa pemuda Marnaenis dari rumah masing-masing untuk di hajar di tnagsi mereka. Sehingga waktu itu di Yogya banyak para tokoh PNI dan pemudanya yang setiap malam mengungsi tidur di luar kota untuk menghindari pencidukan. Ternyata, batalyon itulah yang bermarkas di Kenthungan yang kemudian terlibat dalam penculikan Kolonel Katamso, Danrem Pamugkas DIY. Satu hal menarik, istilah ciduk terdengar pertama kali justru dilakkan leh para simpatisan PKI terhadap musuh-musuhnya. Stelah pristiwa 30 September 1965 ketegangan antara aktivis PNI dan PKI memuncak. Beberapa hari setelah tanggal 30 September 1965, salah seorang tokoh Pemuda Rakyat sesumbar bahwa dia telah menyediakan kuburan untuk orang "lor". Dugaan kami, yang dimaksud adalah ketua PNI ranting kampung setempat yang rumahnya tepat di sebelah utara rumah si anggota PR tersebut. Dia sendiri akhirnya diciduk bersama teman-teman lainnya. Anehnya, ketua PKI ranting setempat justru tidak diciduk. Kami, para tetangga tidak berbuat apa-apa. Kami hanya berusaha memaklumi, barangkali dia tidak diciduk karena dia terlihat menaburkan kembang-kembang di atas genteng rumahnya. Juga aneh bagi kami, ternyata salah seorang aktivis PR perempuan, Gerwani, akhirnya menikah dengan seorang anggota Brimob di Jakarta. Kamipun tidak meributkannya.

Kami membaca kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh PR dan PKI di kota terdekat, Solo. Yang masih teringat misalnya berita tentang PKI yang membunuh seorang PNI dengan memaku kepalanya agar mirp banteng Memang pembunuhan yang dilakukan terhadap para pendukung PKI tidak diberitakan. Kami hanya dengar berita dari mulut-kemulut. Misalnya pembunuhan-pembunuhan terhadap PKI di Kali Wedi, sebuah sungai yang hanya beraliran pasir, yang berhulu di gunung Merapi. Sebagai akibat berita itu, pada saat itu orang tidak mau makan kangkung dan genjer-genjer yang tumbuh di aliran sungai. Juga terdengar pembunuhan terhadap para tokoh PKI di Gunung Kidul. Menurut kabar burung, mereka diikat jempol tangannya dengan kawat di belakang. Dengan mata tertutup mereka disuruh jalan untuk masuk ke terjerumus masuk ke aliran-aliran sungai di bawah tanah yang banyak terdapat di Gunung Kidul. Berita-berita yang dimuat koran di Yogya memang tidak memberitakan pembunuhan dari pihak manapun yang terjadi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

138 | P a g e

di DIY. Di kecamatan Prambanan yang terbelah menjadi dua, sisi barat merupakan bagian DIY dan sisi timur bagian Surakarta, Jawa Tengah, pembagian administrasi ini berarti banyak.

Pembunuhan-pembunuhan (atau pembantaian) hanya terjadi di bagian propinsi Jawa Tengah. diberitakan, orang-orang PKI yang sebagian besar petani melawan panser dengan pentungan-pentungan kayu dan senjata seadanya. Tidak terjadi di bagian DIY yang jaraknya 17 km dari kodya Yogya. Mungkin hal ini dapat dikaitkan dengan telaah Ben Anderson tentang keberadaan RPKAD yang bermarkas di Kartasura, kabupaten Surakarta, yang tidak dikirim ke DIY. Kami waktu itu secara awam memahami gejala ini dengan mengkaitkannya dengan keberadaan kraton Yogya. Barangkali peristiwa saling membunuh itu terhindar dari DIY karena wibawa Sri Sultan HB IX.

Peristiwa aneh sering terjadi hampir setia pagi pada beberapa saat pada tahuhn 1967. Kami yang berada di bagian utara Yogya, setiap pagi sekitar jam 6:30 sering mendengarkan suara latihan drumband di arah timur. Seolah di arah RS Panti Rapih. Ternyata orang yang tinggal di sekitar RS itu, mendengar juga dari arah timur lagi. Apakah dari arah Meguwo dimana berada kampus Akabri Udara? hampir tak mungkin karena jaraknya berkilo-kilometer. Tak pernah ada yang tahu persis dimana arah datangnya suara drumband sayup-sayup itu, kecuali dari arah timur. Orang menduga-duga jangan-jangan itu arwah mereka yang terbunuh di arah timur kota.

Orang-orang di lingkungan kami yang sempat konfrontatif dengan jauh sebelum peristiwa 30 September 1965 merasa sakit hati difitnah membela PKI. Para mahasiswa KAMI dan KAPPI yang datang dari Jakarta dikawal RPKAD berdemntrasi di Yogya seolah-olah menduduh warga PNI beraliansi dengan PKI. Tahun 1967-an muncul ketegangan baru antara para warga PNI dengan KAMI dan KAPPI yang di motori oleh orang-orang Kauman. Sepat terjadi perkelahian berdarah antara warga PNI dengan 'orang-orang Kauman' pendukung KAMI. Bahkan ada seorang pelari pagi yang tidak jelas kaitannya dengan PNI dibunuh di belakang RS Muhamadiyah, yang terletak di sebelah utara kampung Kauman. Seorang teman yang dulu tinggal di kauman menceritakan bagaimana kakaknya ikut menusuk si pelari pagi itu dengan sebilah keris kecil. Mayatnya tergolek di RS tersebut dan walaupun beritanya masuk koran lokal, tetapi kasusnya tidak pernah diusut. Nama korban pernah diabadikan para tetangganya menjadi sebuah nama gang di selatan setasiun kereta api Tugu, Yogya.

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 132-139)