• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (4/4)

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 43-48)

KONSPIRASI DAN GENOSIDA[1]

SUDAH 44 TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (4/4)

SUDAH 44 TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS

PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (4/4)

(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965-66 Melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)

Seperti pernah penulis nyatakan di media cetak dan internet bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965 lewat KKR adalah suatu jalan kompromi untuk menerobos jalan buntu yang sudah berjalan puluhan tahun. Dengan KKR diharapkan akan dicapai penyelesaian yang bisa diterima oleh kedua belah pihak – korban dan pelaku --, di mana pelaku tidak dituntut pertanggungan jawabnya atas kejahatannya, sedang korban mendapatkan pemulihan kembali hak-hak politik dan sipilnya, restitusi dan kompensasi, meskipun dengan demikian pihak-hak korban akan kehilangan bagian tuntutan yang sangat mendasar dalam perjuangan untuk keadilan, yaitu masalah berkaitan impunitas yang harus dibrantas. Artinya para pelaku pelanggaran HAM mendapatkan keuntungan lebih besar, sebab tidak akan dituntut pertanggung- jawabannya di pengadilan. Maka masalah ini harus mendapat perhatian serius demi penegakan kebenaran dan keadilan yang optimal dan untuk pelurusan sejarah.

Dari teks UU KKR (UU No.27 Tahun 2004) yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan RUU KKR yang sekarang sedang menunggu proses pembahasan di DPR masih diragukan akan menghasilkan sesuatu keadilan bagi para korban. Sebab dalam RUU KKR tidak jelas apakah ―Institusi/Negara‖ termasuk dalam kategori ―Pelaku‖, di samping pelaku ―Oknum/Individu‖ (lih. Pasal 8 1b dan Pasal 13/3 RUU KKR). Bahkan dalam Bagian Penjelasan Pasal-pasal RUU KKR, pasal-pasal tersebut di atas dianggap cukup jelas. Seperti telah diuraikan di atas intitusi negara yang kala itu berada di tangan rejim Suharto jelas terlibat dalam pelanggaran HAM berat 1965-66 baik secara langsung maupun tidak langsung, baik sebagai ―dader‖ (pelaku) maupun ―mededader‖ (pelaku peserta).

Kalau dalam KKR hanya dititik beratkan kepada tanggung jawab oknum/individu saja, dapat dipastikan masalahnya akan menjadi hambar, kabur dan tidak akan menghasilkan keadilan bagi korban. Dan hal tersebut tentu bisa ditafsirkan sebagai rekayasa pengalihan tanggung jawab negara kepada tanggung jawab oknum/individu. Seharusnya kedua-duanya - oknom dan negara - harus bertanggung jawab. Sebab tanpa turun tangannya negara dalam pelanggaran HAM berat

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

44 | P a g e

1965-66 tidak mungkin terjadi pembantaian jutaan manusia tidak berdosa, tidak mungkin puluhan ribu manusia di jebloskan dalam berbagai tempat tahanan (p.Buru, p. Nusakambangan, berbagai rumah penjara) sampai belasan tahun. Maka adalah kekurangan serius apabila RUU KKR tidak mempertimbangkan masalah tersebut di atas secara jujur, agar memberikan penyelesaian rekonsiliasi nasional secara adil. Padahal dengan dilaksanakannya modes operandi rekonsialiasi (melalui KKR) saja para korban sudah kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan penuh. Demikianlah gambaran yang bisa ditangkap dalam RUU KKR.

Berdasarkan logika hukum yang benar, karena institusi negara (dalam hal ini rejim Suharto) tersangkut pelanggaran HAM maka penguasa negara dewasa ini secara resmi harus mengakui telah melakukan pelanggaran HAM berat dan meminta maaf kepada para korban dan keluarganya atas pelanggaran HAM tersebut. Berdasakan keadilan maka negara harus mengembalikan semua hak-hak politik dan sipil sepenuhnya tanpa diskriminasi dan marginalisasi terhadap para korban serta memberikan restitusi dan kompensasi. Bagi para korban yang telah divonis ―bersalah‖ oleh pengadilan orde baru, harus mendapatkan rehabilitasi nama baiknya.

Syarat mutlak untuk suksesnya KKR, pemerintah harus berani menyelesaikan lebih dahulu masalah yang mendasari timbulnya pelanggaran HAM berat 1965-66. Untuk itu pemerintah pasca rejim Suharto harus mengakui keterlibatan negara di bawah rejim orde baru dalam pelanggaran HAM berat 1965-66 sebagai tahap awal kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno. Boleh saja tidak setuju dengan ideologi komunisme dan ajaran Soekarno ( Marhaenisme, yang anti nekolim), tapi pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan kiri lainnya adalah kesalahan besar – kejahatan kemanusiaan, suatu politik barbarisme jahiliah. Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka pemerintah secara resmi harus meminta maaf kepada para korban dan keluarganya. Kemudian langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh penyelenggara negara, c.q. pemerintah ialah melaksanakan rekonsiliasi yang jujur, adil dan berkemanusiaan, bukannyaRekonsiliasi untuk menang-menangan sendiri.

Seyogyanya penyelenggara negara Indonesia bercermin pada praktek penegakan hukum/HAM di Peru, dimana Presiden Alberto Toledo dengan tegas secara resmi minta maaf kepada para korban dan keluarganya atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rejim Fujimori (mantan presiden Peru). Perlu dicatat bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Fujimori tidak membebaskan dia dari pertanggungan jawabnya di muka pengadilan, sehingga divonis 25 tahun penjara. Praktek impunitas dalam kasus pelanggaran HAM di Peru bisa dicegah. Tampak jelas di Indonesia akan diterapkan pola-pola praktek KKR Afrika Selatan, di mana impunitas tidak diganggu gugat. Mengingat kondisi penegakan hukum di Indonesia sudah begitu parah karena kuatnya mafia hukum dan mafia HAM maka modus operandi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalan KKR adalah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Bahkan mungkin sekali Rekonsiliasi Nasional yang dirancang dalam RUU KKR ini pun masih bisa kandas lagi. Sebab tetap saja ada golongan yang tidak menginginkan adanya rekonsiliasi nasional.

Dalam RUU KKR yang akan dibahas di DPR pada persidangan waktu mendatang ini hanya diatur masalah-masalah bersifat sangat umum. Dengan demikian penjabaran pasal-pasalnya untuk pelaksanaan UU KKR akan diserahkan pada peraturan-peraturan hukum turunan di bawahnya. Dalam tingkat inilah kemungkinan besar terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, sebab peraturan-peraturan turunan tersebut akan memungkinkan adanya usaha-usaha pengakomodasian kepentingan- kepentingaan yang merugikan korban. Pemberian chek kosong demikan ini sangat berbahaya bagi penegakan hukum dan keadilan. Mestinya kita harus ingat ketika UUD 1945 yang

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

45 | P a g e

karena singkat dan supel dengan amat mudah disalah-gunakan oleh penguasa Orba demi kelanggengan hegemoni kekuasaan dan kepentingan- kepentingan lainnya. Sehingga semua institusi tertinggi negara (MPR, DPR, BPK, Depernas, DPA, MA) kala itu praktis telah menjadi kepanjangan tangan rejim orde baru melalui peraturan-peraturan organik. Dengan demikian kalau terjadi penyalah-gunaan UU KKR tentu kepentingan para korban tidak akan terpenuhi.

Maka dari itu RUU KKR perlu disempurnakan secara serius, sehingga bisa menjawab dengan jelas masalah-masalah penting antara lain:

- Mengapa tidak diadakan pembedaan antara kategori ―pelaku sebagai oknum‖ dan ―pelaku sebagai negara/institusi‖ (Lih. Pasal 8 1b dan Pasal 13/3 RUU KKR ). Hal tersebut penting, sebab dalam kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 terdapat bukti kuat bahwa negara/institusi telah bertindak sebagai pelaku.

- Bagaimana kalau pelaku menolak mengakui tindakannya yang melanggar HAM. Apakah kasusnya bisa dilanjutkan ke pengadilan HAM.

- Bagaimana kalau pelaku mengakui telah melakukan pelanggaran HAM, tetapi tidak mau minta maaf,

- Bagaimana kalau pelaku mengakui melakukan pelanggaran HAM dan bersedia minta maaf, tapi karena alasan tertentu korban tidak bersedia memberi maaf,

- Mengapa dalam RUU KKR tidak diatur pokok-pokok tentang amnesti, rehabilitasi, kompensasi dan restitusi dalam kaitannya dengan rekonsiliasi berdasarkan UU KKR. Ketentuan-ketentuan tentang hal tersebut di atas, harus dituangkan di dalam UU KKR, bukannya di dalam peraturan-peraturan organik.

Meskipun proses kasus pelanggaran HAM dalam RUU KKR hanya merupakan kompromi untuk tercapainya rekonsiliasi nasional perlu diperhatikan beberapa hal mendasar berikut:

1. Titik berat kepentingan Korban Pelanggaran HAM harus diposisikan dominan. Sebab para korban adalah pihak yang telah menanggung penderitaan yang ditimpakan oleh para pelanggar HAM selama puluhan tahun. Dengan diselenggaarakannya KKR mereka tidak akan menerima keadilan penuh sesuai hukum yang berlaku. Maka keadilan ala RUU KKR harus obyektif dan riil bisa dirasakan secara jasmaniah dan rohaniah oleh para korban. Kalau tidak demikian, maka keadilan tersebut hanya bersifat semu, dan karenanya rekonsiliasi nasional juga akan bersifat semu pula.

2. Masalah para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 harus tidak dicampur adukkan dengan kasus para pelaku G30S. Kasus pelaku G30S secara hukum harus dituntaskan melalui proses pengadilan, dimana sanksi hukum harus dijatuhkan kepadanya kalau terbukti kesalahannya.

Nederland, 28 Oktober 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland lbgpk_enamlima@yahoo.com ===========================================================

Dalam rangka menyongsong diadakannya peringatan 45 Tahun Tragedi berdarah tahun 1965/1966 yang akan dilangsungkan pada tanggal 2-3 Oktober 2010 di Diemen, Amsterdam, saya berusaha menyiarkan ulang beberapa tulisan yang menyangkut peristiwa kejam pelanggaran HAM berat tsb. Ini merupakan bagian (4/4) tulisan M.D.Kartaprawira, Ketua Lembaga Pembela Korban 65

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

46 | P a g e

(LPK65) negeri Belanda. Seperti diketahui peringatan ini akan dihadiri oleh berbagai kalangan dari negeri Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, Rep.Ceko dan Indonesia.

Slm: Chalik Hamid.

*********** From: gri. mhmd <gri.mhmd@gmail.com>

Subject: G30S ATAU GESTOK?

To: sastra-pembebasan@yahoogroups.com, "Dian Su" <diansu6363@yahoo.com>,

septiajiw@yahoo.co.id, "iqbal putra" <pandji69@gmail.com>, "grirolis" <grirolis@email.com>, "christian ginting" <thinx_do@yahoo.com>, "griindonesia" <griindonesia@email.com>

Date: Monday, September 27, 2010, 10:13 PM

SEPTEMBER ATAU OKTOBER?

Apakah G30S yang sesuai dengan nama yang digunakan oleh para pelaku gerakan dan dibakukan oleh Soeharto dengan tambahan ―/PKI‖ ataupun versi nama yang dimunculkan oleh Bung Karno dengan nama GESTOK yang didasarkan pada kegiatan pembunuhan para jenderal dan langkah terbuka yang dilakukan sebagai awal kemenangan Soeharto, kemudian sebagai momentum untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Itu pula sebabnya Soeharto menjadikan tanggal 1 Oktober sebagai ―Hari Kesaktian (Hapsak) Pancasila‖. Dengan demikian, patutlah mereka memperingatinya. Jika saya menggunakan kata G30S, maka buat saya bukan hal yang patut saya peringati, tapi sebagai kenangan pahit dalam suasana keprihatinan, karena berjuta rakyat tidak berdosa menjadi korban peristiwa itu. Untuk itu, maka bagi saya lebih mengedepanan renungan keprihatinan dan melakukan koreksi, dimanakah kesalahan yang terjadi? Mengapa korban hingga begitu besar? Adakah andil saya terhadap kesalahan didalam keluarga besar dari ―rumah tua‖ kita? Dapatkah kita merasa bersih dari kesalahan pimpinan keluarga besar itu?

Saya juga salah seorang korban yang mengalami penangkapan, penyiksaan, penjara selama belasan tahun. Bahkan sesudah lepas dari penjara lokal itupun saya masih harus mengalami penjara yang lebih luas ditanah air dengan segala kesulitan dan rintangan yang harus dihadapi untuk bisa bertahan hidup dan membangun keluarga. Tentu semua memahami, ―apa yang harus dikerjakan‖ dalam keadaan seperti itu tak perlu diucapkan disini. Tetapi saya tidak merasa sebagai ―korban istimewa‖ dibanding dengan penderitaan seluruh rakyat di tanah air yang menjadi korban sistim yang diciptakan orde baru bersama imperialisme hingga saat ini.

Apakah dengan mundurnya Soeharto dari singgasana kepresidenan dan kemudian dengan gerakan reformasi lantas kita merasa bukan di era orde baru lagi? Saya berpendapat, sekarang ini kita berada dalam era Orde Baru Babak Kedua, karena yang berubah hanyalah bentuknya, taktiknya. Bukan pada perubahan sistim dan strateginya sebagai perkembangan dari imperialisme. Yang berbeda hanyalah Soeharto dengan tindakan fasis militernya, sedangakan sekarang melalui demokrasi kapitalisnya (semu, bukan demokrasi bagi Rakyat) dan negeri ini tetap menjadi neo-kolonialisme/imperialism, dan sekarang juga masih begitu. Pemerintahan Soeharto adalah antek atau boneka imperialis, lalu, apakah sekarang bukan antek atau boneka imperialis? Kalaupun sekarang ini (demokrasi kapitalis) terdapat peluang bagi mereka yang berambisi menjadi bagian dari penguasa di lembaga-lembaga Negara boneka imperialis, hal itu p a s t i tidak bisa mengganti sistim pengabdi modal imperialis menjadi negeri dan masyarakat yang merdeka sepenuhnya bagi seluruh Rakyat Indonesia. Pikiran dan tindakan itu hanyalah untuk memperkaya

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

47 | P a g e

diri, menurut pendapat saya, bukankah justru mengajarkan kepada generasi muda menjadi kaum oportunis? Mampukah mereka mencabut TAP MPRS 25 dan 30? Mampukah menghapus Undang-undang Penanaman Modal Asing? Mampukah membuat Undang-Undang-undang yang menetapkan upah layak dan hapusnya sistim kerja kontrak bagi kaum buruh?

Berjuang itu mutlak, tapi berharap bahwa penguasa boneka imperialis akan memenuhi tuntutan-tuntutan para korban (istimewa?) mengenai masalah-masalah rehabilitasi, HAM, apalagi keadilah bagi si penuntut, termasuk juga masalah impunity, maaf.., bagi saya sama saja saya bermimpi di siang bolong.

Kebebasan dan kemenangan itu tidak akan dating, jika kita tidak mampu merebutnya. Mengenang tragedi nassional 30 September sebagai keprihatinan atas kebiadaban orde baru dan dan imperialism yang menjadikan Indonesia negeri dan masyarakat jajahan model baru. Itu berarti bahwa setiap patriot harus berusaha membangun kembali nasionalisme dan patriotism untuk membangkitkan kesadaran massa Rakyat, mengorganisasi Rakyat dan selanjutnya memobilisasi Rakyat untuk mampu menghancurkan benteng penjajahan. Hal itu berarti harus ada pemimpin-pemimpin baru yang lahir dari perjuangan Rakyat itu sendiri, bukan mengidam-idamkan sosok pemimpin masa lalu.(nurman*)

**********

REFLEKSI : Seiring dengan 42 tahun Tragedi Nasional 1965, masalah pelanggaran berat HAM menjadi masalah yang utama. Kita dihadapkan pada serangkaian masalah-masalah seperti : G30S, Pealanggaran berat HAM 1965 dan TAP MPRS No.XXV/1966, dan masalah ―reformasi― 1998 (tambahan dari saya); yang semuamnya itu membahayakan kehidupan bangsa dan negara dalam bentuk-bentuk yang sangat mengejutkan, yaitu bentuk penjajahan model baru oleh imperialisme neoliberal terhadap NKRI, yang dalam waktu singkat tak dapat dikembalikan lagi. Kita mempunyai dokumentasi yang cukup tentang jangkauan yang hendak dicapai oleh masalah-masalah tersebut diatas, yang antara lain seperti yang tercermin dalam tulisan yang berjudul : SEMAKIN GELAP, JALAN KE KEBENARAN DAN KEADILAN oleh MD Kartaprawira.

Semakin kita pelajari masalah-masalah utama dizaman ―reformasi― kita, semakin kita sadari bahwa masalah-masalah seperti G30S, Pelanggaran berat HAM 1965, TAP MPRS No.XXV/1966, kudeta mearngkak dari jendral TNI AD Soeharto, dan masalah ―reformasi― 1998, semuanya itu tidak dapat dimengerti secara terpisah antara satu sama laian. Masalah-masalah itu merupakan masalah sistemik, artinya bahwa semuanya itu saling terkait dan tergantung satu sama lain.

Atas dasar semuanya itu, pelanggaran berat HAM di Indonesia, hanya mungkin dapat di tuntaskan apa bila bangsa Indonesia mau melaksanakan Reformasi Sosial yang fundamental atau mendasar. Artinya merombak atau menjebol (Reetollin menurut istilah BK) semua tatanan-tatanan sosial-politik yang bobrok, yang anti rakyat, anti Demokrasi dan anti pembangunan suatu masyarakat yang adil dan makmur; warisan rezim otoriterisme militer Soeharto. Tatanan sosial yang bobrok itu tercermin dalam badan-badan sbb:

1.Badan legislatif, yaitu DPR. Eksekutif (Pemerintahan) dan Judikatif (badan penegak hukum). 2.Alat-alat-kekuasaan negara-Angkatan Darat, Laut, Udara dan Polisi

3 Alat-alat produksi, dan distribusi

4.Organisasi-organisasi masyarakat, partai-partai politik, badan-badan sosial dan badan-badan ekonomi yang lainnya.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

48 | P a g e

Hanya dengan melakukan Reetooling tatanan sosial (dari 1 sampai 4) secara fundamental dan sungguh-dungguh, barulah bisa diharapkan DPR akan benar-bnar bisa menjadi alat pembangunan dan alat perjuangan dalam proses reformasi sosial yang fundamental atau mendasar, sehingga memberikan kemungkian untuk membuka titik terang bagi kebenaran dan keadilan yang selama ini gelap gilita.

Alat-alat kekuasaan negara seperti polisi dan militer harus di control; Karena militer dapat menumbuhkan kekuasaan dwifungsi yang anti demokrasi, bisnis militer yang menumbuhkan oligarki ekonomi dan konglomerasi, dan otoriterisme militer seperti yang kita alami dan hayati di era rezim orde baru jilit ke I, yang telah memakan banyak korban manusia, yang merefleksikan dirinya dalam bentuk; genosida, penyiksaan, pembuangan ke pulau Buru, penjebloskan ke penjara-penjara, penghilangkan tanpa diketahui di mana rimbanya dan yang di luar negeri pencabutan paspor - yang semuanya dilakukan tanpa proses hukum, seperti yang sudah diungkapkan oleh bung MD Kartaprawira dalam tulisannya, yang terkait dibawah ini.

Sistem neoliberal yang dianut oleh rezim SBY di era ―reformasi― sekarang ini secara umum sama sekali tak dapat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, kasus korupsi kakap seperti skandal Bannk Century, tapi justru menumbuhkan bermacam-macam Mafia, seperti mafia hukum,mafia pajak dan entah apalagi. Yang dampaknya tekah menjadikan hukum dan ketatanegaraan di negara ini ambrul-adul, yang sangat menguntungkan bagi para pelanggar berat HAM dan para koruptor kakap yang telah merampok uang negara dan rakyat.

Kesimpulam akhir, buang ilusi terhadap rezim SBY, dan siap berjuang untuk melakukan reformasi sosial yang fundamental atau mendasar, sebagai syarat mutlak untuk menuntaskan pelanggaran berat HAM dan KKN di selurh nusantara, dan untuk selanjutnya membuka jalam kesrah Demokrasi termimpin yang mengikuti keteraturan-keteraturan Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 45 naskah aseli, yang sudah kita setujui bersama.

Roeslan.

Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr yang sampai sekarang sudah dikunjungi lebih dari 645 480 kali = = = = = = = = = =

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/2009/03/md-kartaprawira-semakin-gelap-jalan-ke_15.html

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 43-48)