• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA (Bagian 1)

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 106-111)

Stigmatisasi dan Narasi Sejarah 1965

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA (Bagian 1)

Setiap tahun, bulan September adalah satu bulan yang tidak bisa dilupakan begitu saja bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Karena, akhir bulan ini, dan awal Oktober membuat berbagai kalangan di Indonesia teringat kembali kepada tragedi kemanusiaan 45 tahun yang lalu yaitu dibunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat oleh kaum militer yang tergabung dalam Gerakan 30 September, yang menjadi alasan dan membuka kesempatan buat Jenderal Suharto menghabisi orang-orang komunis dan golongan kiri pendukung Bung Karno. Suharto dengan licik dan tipu daya memanipulasi keadaan dan melakukan kejahatan kemanusiaan yang tiada taranya, hingga memuluskan jalan bagi nya buat mengambil dan merebut kekuasaan Presiden RI dari tangan Bung Karno.bahkan secara perlahan membunuhnya. Semua itu dilakukan Suharto dengan alas an "menumpas G30S"

Semenjak 1 Oktober 1965, Angkatan Darat dan Suharto melakukan kejahatan kemanusiaan dengan melakukan genosida, pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang yang tidak bersalah, yang tidak berdosa apa-apa sama sekali. Di Jakarta, Jateng, Jatim, Bali, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan tempat-tempat lainnya di seluruh Indonesia, buminya bersimbah darah orang-orang yang dibunuh secara kejam dan biadab karena dituduh komunis atau ada indikasi dengan komunis, dan diberi cap sebagai "terlibat langsung maupun tidak langsung dengan G30S" yang diembel-embeli dengan kata "PKI" di belakangnya.

Indonesia tercinta dibanjiri oleh darah dari orang-orang tak bersalah, darah bangsa Indonesia sendiri, di mana segolongan manusia yang mengaku beragama dan berkebudayaan menjadi algojo-algojo barbar dan bertindak melebihi serigala buas atas sesamanya sebangsa dan se tanah air. Pembunuhan besar-besaran yang dilakukan dengan pimpinan, atau pengarahan, atau hasutan militer di bawah Jenderal Suharto dalam tahun-tahun 1965-1966 itu merupakan kejahatan yang luar biasa besarnya terhadap peri kemanusiaan dan merupakan aib besar serta dosa maha-berat, dan tidak bisa dilupakan begitu saja, sebab, mereka yang dibunuh ini kebanyakan adalah anggota atau simpatisan PKI dan berbagai organisasi massa buruh, tani, nelayan, prajurit, pegawai negeri, wanita, pemuda, mahasiswa, pelajar, pengusaha dan berbagai kalangan masyarakat lainnya, yang jumlahnya tidak kurang dari 3 juta nyawa. Pengakuan Mantan Komandan RPKAD Kol. Sarwo Edhi Wibowo sendiri didepan Komisi Pencari Fakta, bahwa dia sendiri dan 400 orang anak buahnya-anggota RPKAD- telah membunuh 3 juta orang komunis. Hal ini dilakukannya ketika RPKAD dibawah pimpinannya melakukan operasi pembunuhan atas orang-orang kiri di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, mulai Oktober 65 - Januari 1966.

(Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri sat itu, Mayjen Dr. Soemarno, dengan angota-anggota Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat SH, Mayjen. Achmadi (ex. Brigade XVII/TP) dan seorang lagi dari tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto sekitar 500 ribu orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo kepada Permadi SH, jumlahnya mencapai sekitar tiga juta orang. "Itu yang ia suruh bunuh dan ia bunuh sendiri" kata sumber ini.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

107 | P a g e

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html)

Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan begitu kejam tanpa perikemanusiaan. Di Sumatra, terutama Aceh, para korban dipenggal dan kepalanya ditancapkan diatas sepotong kayu/bambu dan dipajangkan disepanjang tepi jalan untuk tontonan. Di Sumut, para wanita diperkosa beramai-ramai kemudian tubuhnya dicincang dan dibuang ke kali. Di Sumbar, korban dalam keadaan hidup, diikat dan ditarik oleh dua buah pedati/kereta lembu, hingga tubuh dan kepala bercerai berai. Di Painan, Sumbar, seorang gadis SMP, yang melindungi ayahnya yang dituduh PKI oleh pihak militer, ditangkap dan dimasukkan kedalam karung, diikat kemudian dilempar ke sungai dan meronta-ronta di dalam karung sampai menghembuskan napas terakhirnya. Di Jawa, kepala atau leher korban yang dalam keadaan masih hidup, diikat ke sebatang pohon, dan kakinya diikat kesebuah truk kemudian truk dijalankan hingga tubuh korban hancur berkecai. Di Surakarta, para korban diikat berjejer diatas rel kereta-api dimalam hari untuk dilindas hancur oleh keretapi yang datang melaju. Bahkan, diceritakan, bahwa yang melakukan hal itu konon adalah pihak punggawa dalam keraton. Di Timor Barat, korban dipancung didepan anak dan istri hingga darahnya memercik membasahi sekujur tubuh anak dan istri yang menjadi histeria. Di Bali, para korban yang diambil dari dalam tahanan dibunuh dan tubuh serta bagian tubuhnya dicincang, dipotong-potong.

Sungguh, perbuatan-perbuatan biadab yang pasti saja direstui dan juga dianjurkan secara diam-diam oleh Suharto, (karena tiada pencegahan dari Suharto), telah menelan sangat banyak korban bangsa Indonesia yang tak bersalah, tak melawan dan tak bersenjata, di tangan militer Angkatan Darat dan gerombolan milisia pendukung Suharto. Demikian banyaknya korban pembunuhan itu, sampai-sampai Bertrand Russel, pemikir besar Liberalisme, menyatakan "Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun" ("In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years") (Perang Urat Syaraf.Kompas 9 Pebruari 2001). Dia menyebut bahwa pembunuhan massal ini sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh "manusia".

Di samping itu juga telah ditahan atau dipenjarakan hampir 2 juta orang yang juga sudah terbukti dengan jelas tidak bersalah apa-apa sama sekali dalam jangka waktu yang berbeda-beda, yang ditahan sampai puluhan atau belasan tahun, di setiap kota dan pelosok tanah air, di antaranya 12 ribu orang dibuang dan dikerjapaksakan membuka lahan, hutan belantara di Pulau Buru, di bagian Timur Kepulauan Indonesia untuk kepentingan penguasa militer. Dan disebabkan kerja paksa di hutan belantara itu, banyak yang mati karena malaria, busung, disentri dan kurang makan Dan yang masih hidup, setelah bertahun-tahun, para tahanan yang ratusan ribu itu dikeluarkan dari tahanan begitu saja tanpa proses pengadilan. Tanpa adanya proses hukum dan pengadilan atas mereka ini, jelas membuktikan bahwa mereka semua tidak bersalah. . Mereka dilepas dari tahanan begitu saja setelah meringkuk belasan tahun, seperti ayam yang lama dikurung dan dikeluarkan dari kandangnya untuk mencari makan.

Disebabkan oleh pembunuhan massal dan pemenjaraan jutaan orang-orang yang umumnya adalah pendukung Bung Karno itu, maka puluhan juta istri para korban kekejaman Suharto/Ordebaru ini (beserta anak-anak mereka) terpaksa hidup dalam kesengsaraan atau penderitaan yang berkepanjangan, dikucilkan oleh pemerintahan militer yang berkuasa. Bahkan, banyak di antara mereka yang sampai sekarang , walaupun presiden sudah silih-berganti, masih tetap menderita akibat tindakan militer warisan Suharto itu. Banyak orangtua yang pernah ditahan oleh rezim

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

108 | P a g e

Militer, takut mendekat kepada anak-anaknya yang telah menjadi manusia dewasa, demi menjaga jangan sampai mereka menjadi korban intimidasi dan pengucilan masyarakat yang sudah begitu lama diracuni ordebaru.. Dan tidak sedikit anak-anak yang takut dan tidak mengakui orangtua mereka, karena orangtuanya pernah menjadi tapol rejim Suharto ataupun simpatisan komunis. Kebudayaan bangsa Indonesia menjadi rusak karena politik "bersih lingkungan", suatu politik meneruskan pembunuhan massal tanpa bedil seperti yang tercantum dalam Peraturan Mendagri Amir Mahmud No: 32/1981, yang diskriminatif dan tidak manusiawi, yang membatasi dan melarang semua kegiatan dan gerak orang-orang kiri, pengikut Bung Karno yang dianggap "tidak bersih". "Karenanya, memperingati tragedi 1965 adalah perlu sekali. Sebab, menurut agama apapun di dunia ini dan juga menurut nalar yang beradab, membunuh hanya satu orang yang tidak bersalah saja sudah merupakan kejahatan yang mengandung dosa berat dan juga harus dihukum, maka mengapa justru pembunuhan jutaan orang tidak bersalah itu didiamkan saja? Siapa-siapa sajakah yang melakukan pembunuhan atau menyuruh bunuh begitu banyak orang itu? Dan siapa sajakah yang harus bertanggung-jawab terhadap pemenjaraan begitu banyak orang tidak bersalah belasan tahun lamanya itu? Semua ini juga merupakan aib besar sekali bagi bangsa, yang dibikin oleh Suharto beserta para pendukungnya" (silahkan baca: Suharto bersama Orde Barunya adalah Najis Bangsa. http://umarsaid.free.fr/))

Tentang Peristiwa dinihari 1 Oktober 1965, rasanya perlu dilakukan pencerahan, refreshing, mengingat kembali apa yang terjadi yang merupakan titik tolak garis mundur dan kehancuran bangsa. Sebagaimana diucapkan oleh Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, menurut Rakyat Merdeka Minggu, 01 Oktober 2006 di Jakarta. "Pengungkapan kembali tentang apa yang terjadi saat itu memang perlu, Meski begitu, sejarah, terutama penggambaran suasana pada saat itu, memang layak direnungkan. Sebab, peristiwa itu diyakini sebagai salah satu titik balik pemerintahan Indonesia". Sadar atau tidak sadar, jubir Kepresidenan ini juga mengakui bahwa kejadian Peristiwa 1965 sebagai titik balik pemerintah Indonesia.

Apa dan bagaimana Peristiwa 1965 itu, mari sedikit kita telusuri kembali , agar ingatan dan pikiran senantriasa segar akan sejarah yang telah melanda bumi persada 45 tahun yang lalu, yang mengakibatkan, kerusakan dan kemunduran bangsa sampai sekarang.

Pada subuh dinihari 1 Oktober 1965, sekelompok perwira muda Angkatan Darat seperti Letkol. Untung, Kolonel A. Latief dan Brigjen Supardjo, melalui suatu gerakan yang mereka beri nama Gerakan 30 September, bertindak melakukan penculikan dan penangkapan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat yang mereka duga tergabung dalam organisasi "dewan jenderal" yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Penangkapan dan penculikan yang katanya untuk menghadapkan para jenderal kepada Presiden Sukarno itu, ternyata berakir dengan pembunuhan para Jenderal, yang jenazahnya dibuang di sumur tua yang disebut Lubang Buaya . Enam Jenderal dan seorang Perwira menengah menjadi korban di malam naas itu. Hal ini, semua mahkluk yang bernama manusia di Indonesia tahu, karena selama 32 tahun pihak Orba Suharto mencekokkan kepada bangsa Indonesia-dari anak taman kanak-kanak sampai kakek-kakek- bahwa G30S yang katanya di dalangi oleh PKI, melakukan pemberontakan dan membunuh enam jenderal Indonesia. Semua suratkabar dilarang terbit. Radio, TV, sk.Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang dikuasai militer Suharto bicara tentang kebiadaban dan kekejaman G30S dan meyiarkan segala fitnah dan rekayasa rejim Suharto. Bahkan Orba sengaja membuat sepesial film untuk itu, tentang kekejaman, kebiadaban dan para para korban yang "bersimbah darah" yang setiap saat selama Suharto berkuasa diputar, dipertonton dan dijejalkan kepada publik, sehingga lama

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

109 | P a g e

kelamaan, karena diputar terus-terusan, publik yang apatis dan masa bodohb dan mengganggap bahwa apa yang dipertunjukkan dan ditayangkan itu "sebagai benar".

Namun, apakah yang dipropagandakan oleh Orba itu sesuatu hal yang benar, ataukah suatu taktik politik berupa fitnah dan rekayasa untuk memancing kemarahan rakyat, guna memudahkan Suharto dan pihak Angkatan Darat melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Indonesia Bung Karno?

Tidak banyak orang yang tahu, bahkan tidak pernah disiarkan atau diberitahukan kepada umum bahwa menjelang 30 September 1965 telah datang ke Jakarta, Batalyon dari Jawa Timur, Jawa Tengah untuk mendukung gerakan yang bakal dilangsungkan pada malam harinya. Begitu juga Batalyon Kujang Siliwangi dari Bandung.

Siapakah yang memanggil kesatuan militer dari Jatim, Jateng dan Jabar ini ke Jakarta? Apakah Letkol Untung Samsuri yang hanyalah Komandan Batalyon I Pasukan Pengawal Presiden, Cakrabirawa, yang menjadi Ketua G30S serta Kolonel A. Latief yang hanyalah Komandan Brigade Infantri 1 Kodam V Jaya? Apakah mereka berdua yang memanggil Batalyon itu? Apakah mereka berdua begitu berkuasa hingga bisa memanggil Batalyon dari Diponegoro dan Brawijaya dengan peralatan siap tempur ke Jakarta? Sudah pasti, tidak! Yang memanggil Batalyon dari Jatim dan Jateng untuk mendukung Gerakan 30 September serta Batalyon RPKAD dari Bandung yang kemudian digunakanuntuk menumpas Batalyon yang mendukung G30S adalah Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), yaitu Mayor Jenderal Angkatan Darat Suharto! Jenderal Suharto yang memanggil kesatuan militer itu untuk membantu G30S itu, sekaligus memanggil Batalyon untuk menumpas G30S. Persis seperti pemain catur yang mempersiapkan dua pion yang berlawanan dan bermain di kedua sisi. Dua pion (biji catur) yang berlawanan, untuk saling menghabisi, namun satu pemainnya! Disinilah kelicikan Suharto!

Selaku Panglima Kostrad, Soeharto memberi perintah dengan telegram No. T.220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa Tengah untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal29 September 1965. Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00 Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan gerakan pada malam harinya.

Pemanggilan pasukan ini sesuai dengan janji dan ucapan Suharto kepada Letkol Untung. Sebelum "gerakan" itu melancarkan aksinya, Letkol. Untung yang tidak asing bagi Soeharto, mendatanginya dan melaporkan rencananya. Soeharto mengatakan sikap itu sudah benar. "Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu". Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah"

Kolonel A. Latief dalam kesaksiannya kemudian mengatakan bahwa dia mengunjungi Suharto di kediamannya di Jl Agus Salim, Jakarta dan membicarakan soal gerakan, tanggal 18 September 65, tanggal 28 September 65. Dan pada 29 September 65 antara jam 9-10 pagi A. Latief menemui Jenderal Suharto di RSPAD untuk mematangkan rencana. Dan pada 30 September 65 , jam 11.00 malam hari, Kolonel Latief mengunjungi Jenderal Soeharto lagi di RSPAD Gatot Subroto untuk melaporkan situasi "gerakan" yang bakal dimulai empat jam lagi. .

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

110 | P a g e

Melihat situasi dan pertemuan Kolonel A. Latief dan Jenderal Suharto sedemikian, lantas bagaimana dan sampai di mana "kedudukan" Jenderal Suharto dalam G30S? Melihat situasi yang demikian, maka tidak bisa dibantah bahwa Jenderal Suharto mengetahui rencana sebelumnya dan memberikan bantuan militer kepada G30S untuk melaksanakan gerakannya. Dus, menurut standard hukum Orba, Suharto mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S! Dan sekali lagi, menurut jatah hukuman Orba, yang mengetahui dan terlibat langsung dengan G30S, yaitu Suharto, harus dihukum mati!

Dan seperti apa yang dilaporkan Kolonel A. Latief kepada Jenderal Suharto, maka dinihari 1 Oktober 1965, berlakulah penculikan dan pembunuhan atas 6 orang jenderal Angkatan Darat. Pagi harinya, sebelum orang tahu apa yang terjadi, sebelum ada pemeriksaan, penyelidikan dan lain sebagainya, mendengar berita tentang diculiknya para jenderal kanan Angkatan Darat itu, Yoga Sugama yang tahun 50-an pernah dikirim oleh Zulkifli Lubis mengikuti pendidikan Intel pada MI-6 Inggris, pada pagi hari 1 Oktober 65 itu, mengaku lebih dahulu sampai di Kostrad. Sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen, atas kejadian pagi subuh 1 Oktober itu, serta merta Yoga Sugama dan disokong oleh Ali Murtopo begitu saja mengatakan bahwa "hal itu pasti perbuatan PKI". Selanjutnya, kalangan militer di bawah koordinasi Pangkostrad Mayjen. Soeharto melakukan gerakan penumpasan sambil memperkenalkan "teorinya" tentang keberadaan PKI sebagai dalang G30S. Isu keterlibatan PKI sebagai aktor utama G30S yang dikembangkan Soeharto ternyata mampu menumbuhkan simpati dan dukungan kuat masyarakat terhadap gerakan penumpasan yang dipimpinnya, apalagi setelah semua suratkabar dilarang terbit sejak 1 Oktober itu, kecuali koran militer yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata yang merupakan terompet militer untuk menebar luaskan teori, rekayasa serta fitnah yang diciptakan. Jam malam diberlakukan dari 6 sore sampai 6 pagi atas perintah Pangdam Jaya Letjen Umar Wirahadikusumah.

Para pengikut Soeharto membuat rekayasa tentang keberadaan anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat di Lubang Buaya jauh sebelum peristiwa, karena tempat itu adalah tempat latihan Sukarelawan Ganyang Malaysia, namun ditutup sejak 26 September 1965. Dan ditebarkanlah isu dan fitnah bahwa anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat menyiksa para jenderal sebelum dibunuh di Lubang Buaya.

"Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan pengangkatan jenazah para jenderal di Lubang Buaya, maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Soeharto tentang penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Soeharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr. Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai "pelacur bejat moral". Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. ( Harsutejo: Jejak Hitam Soeharto, Sejarah Gelap G30S dan Sekitar G30S http://kontak.club.fr/index.htm)

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

111 | P a g e

Rakyat dihasut dan dipaksa memamah biak segala cekokkan fitnah dan rekayasa pihak militer Suharto melalui surat-kabar militer.. Rakyat tidak sempat berpikir bahwa kekuatan Batalyon Militer yang mendukung G30S dan kekuatan Batalyon Militer yang menghancurkan G30S itu adalah Batalyon Militer yang datang dan hadir di Jakarta pada 30 September 1965 karena dipanggil pertelegram oleh Pangkostrad Mayjen. Suharto. Lantas, dalam hal ini, di mana dan bagaimana kedudukan Suharto di dalam G30S? Tidakkah sesugguhnya bahwa dia bermuka dua, atau berlayar diatas dua buah perahu? Atau seperti ditulis diatas, pemain catur yang menggunakan dua pion yang berlawanan?

Namun, fitnah dan rekayasa yang dilancarkan Angkatan Darat dengan menanamkan kebencian, mengalahkan segala pikiran sehat. Para pengikut dan kaum milisia yang tergabung dalam segala macam bentuk Komando Aksi di bawah naungan Angkatan Darat dan Angkatan 66 yang dibiayai oleh kedutaan AS di Jakarta dengan jatah 5000 nasi bungkus setiap harinya dengan mengenakan jaket kuning, berdemonstasi mendongkel Bung Karno dan mengharu birukan kota Jakarta, bahkan menjalar sampai keseluruh pelosok tanah air.

Api menyala. Darahpun tumpah. Ketika kemarahan dan kebencian sudah meluas, pembunuhan massal diorganisir dan terjadi secara sangat sistematis, seiring dengan pergerakan RPKAD. Di Jakarta-begitu juga di seluruh pelosok tanah air- rumah dan gedung-gedung yang diduga milik anggota atau simpatisan komunis dirusak dan dibakar. Orang-orang yang dituduh komunis, ditangkap dan diarak oleh demonstran, dan dalam keadaan tak berdaya, di tengah-tengah massa demonstran, korban ditusuk dan dibunuh dengan pedang sedang pihak militer hanya melihat dan menonton. (Lihat film dokumen Australia Broad Casting: Riding The Tiger).

Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan Himpunan Mahasiswa Islam di Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan dengan sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban. "Awas kalau kau berani ngrumat jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di pinggir sungai, dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati."

Setiap tokoh baik dalam dan luar negeri berbicara mengenai jumlah korban pembunuhan massal yang dibiarkan dan dijadikan alasan Suharto menghancurkan G30S itu. Setiap tokoh memberikan data dan analisa. Namun si jago jagal Jenderal Suharto, bungkam tidak berkomentar mengenai begitu banyaknya korban bangsa Indonesia yang dibunuh, bakan dia sendiri memerintahkan Kolonel Jasir Hadibroto untuk "membereskan", memburu dan membunuh Ketua PKI D.N.Aidit. (bersambung ke bagian 2)

MENGENANG 45 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN INDONESIA

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 106-111)