• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHUN MASIH TERUS BERLANGSUNG IMPUNITY ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (1/4)

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 34-37)

KONSPIRASI DAN GENOSIDA[1]

SUDAH 44 TAHUN MASIH TERUS BERLANGSUNG IMPUNITY ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (1/4)

(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Peristiwa G30S yang meletus pada pagi hari 01 Oktober 1965 adalah suatu fakta sejarah yang berbuntut tragis bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebab kekuatan militaris kanan di bawah pimpinan jenderal Suharto dengan dalih menumpas G30S menegakkan kekuasaan diktatur-militer-fasis, melakukan pelanggaran HAM berat tak berperikemanusiaan, menggulingkan pemerintahan Soekarno, membuka lebar-lebar pintu bagi neoliberalisme untuk menguras kekayaan alam Indonesia.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

35 | P a g e

Dalam tulisan ini tidak akan dikupas tentang sejarah peristiwa G30S, sebab sudah banyak ditulis dengan berbagai macam versi, yang satu sama lain tidak bisa ketemu dalam satu kesimpulan. Tapi satu hal yang tidak dapat diingkari yaitu rejim Orde Baru Suharto bertanggung jawab penuh atas terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66 dan penguasa negara pasca jatuhnya rejim Suharto juga bertanggung jawab atas penuntasan kasus tersebut demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Sebab berlangsungnya impunity (kebal hukuman) di dalam negara hukum tidak bisa dibiarkan terus, apalagi yang menyangkut pelanggaran HAM berat 1965-66 – kejahatan kemanusiaan terbesar kedua sesudah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Jerman Nazi pada Perang Dunia II. Toleransi terhadap impunity adalah bencana terhadap tatanan negara dan hukum di Indonesia. Dalam kesempatan ini penulis mencoba menyoroti beberapa aspek kasus pelanggaran HAM berat 1965 yang sudah 44 tahun tidak dijamah oleh penyelenggara negara.

Perang Dingin dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia

Di seluruh dunia beradab dewasa ini tidak ada bangsa yang ketinggalan bicara tentang penegakan hak asasi manusia (HAM), meskipun dalam perjalanan sejarah masa lalu bangsa-bangsa beradab tersebut adalah pelanggar HAM berat yang sangat memalukan. Mereka inilah yang menangkapi orang-orang Afrika kemudian dijadikan budak sebagai barang dagangan di Amerika dan bagian dunia lainnya. Mereka tidak hanya merampas hak asasi, tapi juga hak atas kekayaan alam bangsa-bangsa Asia dan Afrika, Indian Amerika dan pribumi Australia dalam rangka politik kolonialisme dan imperialismenya.

Sesuai hukum perkembangan masyarakat setelah Perang Dunia II akhirnya pandangan mereka mengenai hak asasi manusia mengalami perubahan/kemajuan positif.

Maka pada tahun 1948 di PBB dicetuskan Deklarasi Sedunia Hak Asasi Manusia, meskipun sasaran tembaknya terarah ke medan konfrontasi politik Perang Dingin antara Blok Barat (kapitalis) dan Blok Timur (Sosialis). Dengan tak henti-hentinya bombardemen dari Blok Barat ditujukan kepada negara-negara sosialis (terutama Uni Soviet), yang dituduh telah menginjak-injak HAM rakyat di negara-negara tersebut. Tetapi Blok Barat diam seribu bahasa mengenai pelanggaran-pelanggaran HAM yang mereka lakukan di negara-negara jajahannya di benua Asia dan Afrika saat itu. Begitu juga sikap politiknya terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan langsung atau tak langsung oleh rejim militer Suharto, setelah berhasil merebut kekuasaan dari pemerintahan Soekarno pasca peristiwa G30S 1965. Blok Barat menutup mata rapat-rapat seakan-akan di Indonesia tak terjadi apa-apa – tak terjadi pelanggaran HAM berat – kejahatan kemanusiaan.

Tentu saja secara logika sikap politik mereka yang demikian itu tidaklah mengherankan. Sebab rejim Suharto yang berpolitik anti komunisme berdiri dalam satu front politik Perang Dingin waktu itu menghadapi Blok Sosialis. Jutaan rakyat tak berdosa dibantai, dibuang ke pulau Buru dan kamp-kamp lainnya, diteror, dihilangkan dengan tuduhan anggota PKI atau simpatisannya tidak mendapatkan reaksi negatif. Bahkan sebaliknya dianggap sebagai kesuksesan dari mata rantai strategi politik menghancurkan komunisme di Asia Tenggara dan untuk menjatuhkan Pemerintahan Sukarno yang berpolitik persatuan nasional NASAKOM. Begitu juga ketika rejim Suharto melakukan agresi terhadap Timor Leste (Timtim), negara-negara blok Barat secara diam-diam merestuinya. Sebab Timor Leste di bawah Fretilin akan menjadi benteng kekuatan kiri (marxisme) yang membahayakan keamanan kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

36 | P a g e

Tetapi ketika tingkah rejim Suharto sudah keliwat batas dari nilai-nilai kemanusiaan, negara-negara barat pun tidak bisa lain kecuali terpaksa harus membuka lampu kuning, sebagai peringatan dan tekanan terhadap rejim Suharto untuk melakukan sesuatu perubahan politik terhadap para korban pelanggaran HAM tersebut. Dengan lampu kuning tersebut rejim Suharto pada tahun 1970-an terpaksa melepaskan para tahanan politik dari pulau Buru dan penjara-penjara lainnya setelah belasan tahun meringkuk di dalamnya. Sedang bagi para LSM di tanah air dan luar negeri terbukalah lampu hijau yang bisa memungkinkan melakukan aktivitasnya di bawah kibaran bendera HAM.

Baik lampu kuning maupun lampu hijau tersebut memang harus mereka buka, sebab teriakan pelanggaran HAM yang ditujukan secara gencar siang dan malam terhadap negara-negara sosialis akan terdengar sumbang apabila tanpa diimbangi dengan tekanan politik terhadap rejim Suharto agar mengadakan perbaikan kebijakan terhadap para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia pasca peristiwa G30S: yaitu dengan pembebasan para tahanan politik. Dan rejim Suharto yang tergantung ekonomi dan politiknya dari negara-negara blok barat - anti komunis, tidak mungkin bisa menolak tekanan politik tersebut. Maka pada kurun waktu tahun 1970-an dilepaskanlah para tapol dari pulau Buru dan penjara-penjara lainnya.

Tapi ternyata pembebasan para tapol tersebut hanya suatu langkah permainan politik belaka, sebab setelah pembebasan dari tahanan mereka tetap tidak mengalami pembebasan dari tindak pelanggaran HAM sesuai yang dimaksud dalam Deklarasi Sedunia Hak Asasi Manusia (1948) dan peraturan-peraturan HAM lainnya. Mereka masih mengalami diskriminasi dalam banyak segi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Mereka dalam kurun waktu panjang tetap diinjak-injak hak asasinya: misalnya di dalam KTPnya diberi label ―ET‖ (Ex Tapol) yang mengakibatkan kesulitan besar dalam kehidupannya, mereka antara lain tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak boleh menjadi guru. Mereka dan keluarganya tambah mengalami penderitaan berat ketika penguasa melakukan kebijakan tentang bersih lingkungan. Sedang ribuan/jutaan manusia yang dilibas sedikitpun belum menjadi perhatian para penegak hukum, meskipun sudah ditemukan beberapa kuburan massal. Dan di luar negeri para OTP (Orang Terhalang Pulang, karena dicabut paspornya) sampai saat ini masih belum mendapat penyelesaian sesuai statusnya sebagai korban pelanggaran HAM. Bahkan di dalam UU Kewarganegaraan RI Tahun 2006 tampak jelas politik hukum penyelenggara negara yang berusaha menutup masalah yang berkaitan dengan keadilan bagi para OTP.**

Demikianlah Perang Dingin yang sudah berakhir dengan kemenangan Blok Barat dan runtuhnya negara-negara komunis/sosialis di Eropa, tapi masih meninggalkan sisa-sisa pengaruh negatif dalam kehidupan politik di Indonesia sampai dewasa ini. Sebab masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 secara langsung atau tidak, sengaja atau tidak selalu dikait-kaitkan dengan isu komunisme (bahaya komunisme, come back PKI dsb.). Maka tidak mengherankan masalah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 meskipun sudah 44 tahun lamnya, masih tetap berlarut-larut tanpa kesudahan.

Nederland, 28 Oktober 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Negeri Belanda. **)

Lihat: - MD Kartaprawira: Andi Mattalata Sosialisasikan U.U. Kewarganegaraan R.I 2006 (1): Tidak Serius, Mengapa?,

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

37 | P a g e

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/2009/03/andi-mattalata-sosialisasikan-u.html - MD Kartaprawira: Andi Mattalata Sosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 (2):

Menyembunyikan masalah pokok yang prinsipiil,

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/md-kartaprawira-andi-mattalata.html - MD Kartaprawira: Andi Mattalata Sosialisasikan UU Kewarganegaraan RI 2006 (3): Berhadapan Statement LPK‘65 (27.04.2007),

http://lembagapembelakorban65.blogspot.com/md-kartaprawira-andi-mattalata_19.html

SUDAH 44 TAHUN MASIH TERUS BERLANGSUNG IMPUNITY

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 34-37)