• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (3/4)

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 39-43)

KONSPIRASI DAN GENOSIDA[1]

SUDAH 44 TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 (3/4)

(MENYOROT LIKU-LIKU SEJARAH PANJANG PERJUANGAN PENEGAKAN KEBENARAN DAN KEADILAN BERKAITAN PELANGGARAN HAM BERAT 1965-66 DI INDONESIA DAN LUAR NEGERI)

Oleh MD Kartaprawira*

Usaha-usaha menerobos celah-celah tembok penghalang pelaksanaan HAM

Ada suara kritis yang mengatakan bahwa para korban 1965 sendiri kurang gigih melakukan perjuangan di arena nasional maupun internasional. Mungkin suara tersebut mengandung kebenaran, tapi tidak sepenuhnya benar. Sebab para korban pelanggaran HAM 1965 baik di tanah

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

40 | P a g e

air maupun di luar negeri sesuai kondisi, situasi dan kemampuannya sudah lama tak henti-hentinya berjuang untuk menerobos celah-celah tembok penghalang realisasi pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk tujuan tersebut organisasi-organisasi para korban (Komite Aksi Pembebasan Tapol/Napol, Pakorba, LPR KROB, YPKP, LPK65 Nederland, dll.) telah lama dengan gigih menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, misalnya seminar, pertemuan, temu wicara, interview, pernyataan dan sebagainya, baik dengan tema khusus mengenai HAM, mau pun suatu bagian tema HAM dalam kegiatan umum.

Para korban yang bermukim di luar negeri, terutama di Negeri Belanda, sejak di masa jaya-jayanya rejim orde baru melakukan perjuangan politik untuk menelanjangi hakekat rejim tersebut dan di masa reformasi dilanjutkan dengan perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi para korban pelangggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan rejim Orba/Suharto. Seperti halnya di tanah air kegiatan para korban di luar negeri di berbagai kesempatan berupa seminar-seminar yang dihadiri juga wakil-wakil pers dan wakil-wakil organisasi asing peduli HAM, membuat pernyataan-pernyataan, memutar film-film dokumenter dan lain-lainnya.

LPK‘65 Nederland sebagai satu-satunya organisasi di Eropa yang berjuang di lapangan HAM dengan visi dan missi yang berkaitan langsung membela kepentingan para korban pelanggaran HAM 1965-66 demi tegaknya kebenaran dan keadilan terus melakukan kegiatan demi cita-cita tersebut di atas, meskipun mengalami banyak kendala yang dihadapi. Saya kira LPK‘65 meskipun tidak akan mencapai sukses besar dalam perjuangannya, tapi paling tidak bisa memberi andil dalam perjuangan untuk pelurusan sejarah yang telah dibengkokkan oleh rejum Orde Baru selama 32 tahun. Pelurusan sejarah inilah yang maha penting bagi generasi yang lahir di era Rejim Orde Baru/Suharto dan generasi mendatang.

Untuk pertama kalinya di Nederland diadakan simposium besar khusus bertemakan masalah HAM, yang berlangsung di Amsterdam-RAI pada 11 Desember 1999. Simposium tersebut berjalan sukses berkat kerjasama organisasi Indonesia Forum for Human Dignity (INFOHD) dengan ILRWG dan beberapa organisasi peduli HAM di Nederland lainnya. Sangat tepat sekali topik yang dipasang dalam simposium ―Against Impunity‖, sebab tanpa penghapusan praktek impunitas kebenaran dan keadilan tidak akan mungkin ditegakkan.. Simposium tersebut dihadiri a.l M.Hasballah Saad (Menteri Negara Urusan HAM), Sulami (YPKP), Prof. Daniel S.Lev (University of Washington), Rachlan Nashidik (PBHI), Carmel Budiardjo (TAPOL) dan lain-lainnya.**

Apresiasi tinggi perlu diberikan kepada para mahasiswa Indonesia di Belgia (a.l. terdiri dari para romo muda), yang telah sukses mengadakan sarasehan satu hari pada tahun 2000 di Leuven (Belgia) dengan judul ―Mawas Diri: Peristiwa September ‘65 dalam Tinjauan Ulang‖, sebagai tanda kepedulian dan keprihatinannya terhadap malapetaka tragedi nasional pasca peristiwa G30S. Tampil sebagai nara sumber a.l. Sitor Situmorang (korban, ex tapol, Lembaga Kebudayaan Nasional), Hersri Setiawan (korban, ex tapol pulau Buru, Lembaga Kebudayaan Rakyat), Mr. Paul Moedikdo (ex-dosen Universitas Utrecht), Nany Sutoyo (psikholog UI, putri jendral Sutoyo yang dibunuh di Lubangbuaya). Penulis, sebagai tamu sarasehan, kagum atas keseriusan para pemuda dan mahasiswa Indonesia (nota bene bukan korban) yang dalam kesibukannya bergulat dalam ilmu pengetahuan masih menyempatkan diri melakukan kegiatan (sarasehan) demi pelurusan sejarah tragedi nasional 1965. Bahkan pejabat-pejabat KBRI Den Haag (di masa Dubes Abdul Irsan) pun menyempatkan hadir dalam sarasehan tersebut.

Setelah Sarasehan Leuven, pada tanggal 29 September 2001 kelompok eksilan yang tergabung dalam Indonesia Legal Reform Working Group (ILRWG) bekerja sama dengan organisasi

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

41 | P a g e

masyarakat Indonesia lainnya di Negeri Belanda mengadakan sarasehan ―Peristiwa 30 September 1965 dan Pembantaian Massal 1965-1966‖ yang menampilkan nara sumber dari Indonesia Hasan Raid (Korban, Jakarta), Murtini (Korban, Palembang) dan dari Negeri Belanda: Dr. Coen Holtzappel (pakar, Universiteit Leiden), Paul Moedikdo S.H. (pakar, Universiteit Utrecht). Pada tahun 2003 delegasi para korban 1965 dari Indonesia dengan segala kendala finansial dan prosedural yang tak ringan telah berhasil menghadiri sidang Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa. Delegasi tersebut terdiri dari Bp. Setiadi Reksoprodjo (mantan menteri dalam pemerintahan Soekarno), Mbak Ribka Ciptaning (ketua Pakorba, sekarang Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan) dan Bp. Heru Atmodjo (LPR KROB), diperkuat dengan beberapa orang korban (―Orang Terhalang Pulang‖) yang berdiam di Negeri Belanda. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya datang juga delegasi-delegasi serupa serupa. Tapi semuanya tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan oleh para korban pelanggaran HAM berat 1965. Sebab tidak mendapat dukungan dari Komisi HAM PBB, yang tampaknya punya strategi ―bisu-tuli‖ untuk tidak melakukan sesuatu yang berkaitan pelanggaran HAM berat 1965-66 di Indonesia. Dan strategi tersebut ternyata tercermin juga di Indonesia, seperti yang kita lihat kenyataan dewasa ini belum ada perubahan sedikitpun ke arah kemajuan terhadap masalah kasus tersebut di atas dalam tingkat nasional. Sedang pada 15 Oktober 2005 dalam rangka memperingati 40 Tahun Korban Pelanggaran HAM berat 1965-66 organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda yang dipelopori oleh Lembaga Pembela Korban 1965 berhasil mengadakan pertemun/seminar besar yang dihadiri tidak hanya para korban yang bermukim di Negeri Belanda, tapi juga dari Jerman, Perancis, Swedia dan Belgia. Sebagai narasumber tampil Bk. Cipto Munandar ( ), C. Panggidaey ( ) dan ditambah Sdr. Hilmar Farid ( ). Di dalam seminar tersebut selain di selenggarakan pameran buku dan foto berkaitan pelanggaran HAM, juga disediakan makalah MD Kartaprawira: ―Gelapnya Jalan Menuju ke Kebenaran dan Keadilan‖.

Di antara organisasi peduli HAM di Indonesia (a.l. YPKP, LPR KROB) memandang penting pengumpulan data-data/fakta pelanggaran HAM berat 1965-66 sebagai salah satu bentuk perjuangan untuk menerobos celah-celah menuju ke kebenaran dan keadilan. Memang harus diakui bahwa data-data tersebut sangat penting sekali, baik sebagai alat bukti dalam proses pengadilan maupun sebagai fakta sejarah yang akan menjadi bahan pembelajaran bagi generasi muda agar tidak terjadi pelanggaran HAM semacam tersebut. Meskipun demikian semuanya terpulang kepada Penyelenggara Negara (Penguasa Negara), artinya mereka punya nyali atau tidak menuntaskan masalah tersebut di atas, masih adakah di dalam jiwa mereka semangat Pancasila: keadilan dan perikemanusiaan?

Setiap orang yang pernah duduk di bangku sekolah menengah dan perguruan tinggi tentunya mengerti bahwa data-data/fakta tersebut penting sekali bagi institusi penegak hukum, yang berkewajiban mengumpulkannya dan menggunakannya dalam melaksanakan tugas-kewajibannya. Tapi apa lacur, di Indonesia pada kenyataannya sudah berjalan 44 tahun kasus tersebut belum pernah dijamah oleh institusi penegak hukum. Seharusnya Presiden, Kapolri dan Kejagung secara resmi memberi penjelasan kepada para korban mengapa kasus tersebut terbengkelai. Dan jangan lupa, bahwa sesungguhnya pengumpulan data kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 bukanlah tugas dan kewajiban organisasi-organisasi kemasyarakatan (YPKP, LPR KROB, LPK‘65 dll.), melainkan intitusi penegak hukum.

Mengenai masalah data bukti tentang terjadinya pelanggaran HAM berat sesungguhnya sudah lebih dari cukup. Tapi akan lebih berbobot apabila bukti-bukti yang ada dilengkapi dengan

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

42 | P a g e

dokumen-dokumen dari arsip yang tersimpan dalam institusi yang bersangkutan (MBAD, ex-KOPKAMTIB, BAKIN). Hal tersebut dapat dimengerti, ambil contoh puluhan ribu orang yang dibuang/ditahan di pulau Buru. Siapa pun tidak bisa menyangkal fakta penahanan ribuan orang di pulau Buru tanpa melalui proses hukum. Dari arsip di institusi-institusi tersebut akan jelas siapa pelaksananya dan siapa yang memerintahkannya.

Dalam kaitan tersebut di atas, maka KOMNASHAM harus diberi pintu masuk untuk melakukan penyelidikan arsip tersebut. Tanpa itu KOMNAS.HAM hanya merupakan intitusi pajangan saja. Seperti tulisan saya yang lalu, saya tetap berpendapat bahwa KOMNASHAM harus diberi kewewenangan yang lebih berbobot seperti halnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa melakukan penyelidikan ke intitusi-institusi negara lainnya. Kalau KOMNASHAM tidak bisa melihat arsip intitusi ABRI (MBAD, KOPKAMTIB, BAKIN) maka sangat diragukan tegaknya kebenaran dan keadilan bisa terlaksana di Indonesia.

Contoh lain, tentang ditemukannya kuburan massal di berbagai daerah, berkaitan peristiwa pasca G30S. Fakta adanya kuburan massal tersebut seharusnya sudah cukup bagi negara c.q. institusi penegak hukum memikul beban kewajiban untuk menindak lanjuti sehingga kasus tersebut bisa digelar di pengadilan. Tapi kenyataan ditemukannya kuburan massal yang mengindikasikan terjadinya kejahatan besar (pelanggaran HAM berat 1965) tidak pernah menjadi perhatian serius dari intitusi penegak hukum sesuai peraturan hukum yang berlaku. Jadi untuk apa dibuat Kitab UU Hukum Pidana dan Kitab UU Hukum Acara Pidana? Dan untuk apa UU Pengadilan HAM?

Jadi sesungguhnya sudah tidak sedikit gerak dan usaha para korban untuk menggugah dan membangkitkan Penguasa Negara Indonesia dan Insitusi PBB (Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa) untuk berbuat sesuatu bagi penegakan Kebenaran dan Keadilan berkaitan korban pelanggaran HAM berat 1965-66 di Indonesia. Tidak masuk akal kalau Penguasa RI dan institusi-institusi PBB tidak mengetahui adanya pelanggaran HAM berat 1965-66.

Sangat memalukan dan memilukan bahwa di era reformasi tindak kejahatan besar tersebut di atas dibiarkan terbengkalai begitu saja selama 44 tahun. Mengapa para penegak hukum hanya berpangku tangan, tidak melakukan tugasnya secara aktif, padahal kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tersebut jelas kasus pidana, bukan kasus perdata. Akhirnya demi keterbukaan (glasnost) perlu dipertanyakan: mengapa RI sebagai negara hukum yang memiliki bertumpuk-tumpuk peraturan tentang hak asasi manusia (UUD 1945, UU, Konvensi Internasional dan lain-lainnya) sudah 44 tahun tidak mempergunakannya untuk menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM berat 1965-66?

Bahwasanya sudah 44 tahun kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 tidak pernah dijamah oleh penegak hukum membuktikan tembok penghalang pelaksanaan norma-norma dan nilai-nilai hak asasi manusia masih berdiri kokoh sekokoh pada jaman jaya-jayanya rejim orde baru Suharto dulu. Dan hal tersebut adalah akibat rekayasa kebijakan kekuatan orde baru yang masih belum berubah dalam peta politik Indonesia selama ini. Dan akhirnya semuanya terpulang kepada Penyelenggara Negara (Penguasa Negara): mereka punya nyali atau tidak untuk menuntaskan masalah tersebut di atas, dan masih adakah di dalam jiwa mereka semangat Pancasila: keadilan dan perikemanusiaan?

Nederland, 28 Oktober 2009

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK‘65), Nederland. **) Programme for the human rights symposium ―AGAINST IMPUNITY‖, December 11th. 1999: Welcom speech by Mr.

Pelurusan Sejarah Indonesia 2010

43 | P a g e

Rafendi Djamin (INFOHD), Opening by Mrs. Martha Meijer (HOM), Testimony of Mrs. Sulami (YPKP): "Jailed without a fair trial", Keynote speaker Mr. Hasballah Saad (Min. Of Human Rights Affairs, Rep. Of Indonesia): "The prospects of human rights improvement within the Indonesian emerging civil society", Keynote speaker Prof. Dr. Daniel S. Lev (University of Washington): "Strengthening civil society", Keynote speaker Mr. Rachland Nashidik (PBHI): "Pattern of human rights violations in Indonesia", Keynote speaker Mrs. Suraiya Kamaruzzaman (Flower Aceh): "Humanitarian crisis and humanitarian aid", Keynote speaker Mrs. Carmel Budiardjo (TAPOL, UK): "Measures against impunity: A review of international responses".

===========================================================

SUDAH 44 TAHUN BERLANGSUNG TERUS IMPUNITY ATAS

Dalam dokumen Sejarah PKI (Halaman 39-43)