• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

5.2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Masa Pemerintahan Orde Baru

Kebijakan otonomi daerah di masa orde baru, dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada pada UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, berjalan dengan dimensi yang amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual selama penerapan UU tersebut, diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebagai UU yang dihasilkan pada era pemerintahan orde baru, pada prinsipnya UU ini mengutamakan pembangunan ekonomi, dimensi perundangan ini tidak bisa terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogi pembangunan, yaitu : stabilitas yang makin mantap, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya. Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan pada terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang ciri-cirinya sebagai berikut (Kaloh, 2004) :

1. Konsentrasi kekuasaan terletak di lembaga eksekutif (kepala daerah).

2. Dihapusnya lembaga Badan Pemerintahan Harian (BPH) sebagai perwakilan partai politik di dalam pemerintahan daerah (versi UU Nomor 1 Tahun 1957). 3. Tidak dilaksanakannya hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

yang dapat mengganggu keutuhan kepala daerah.

4. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada presiden.

5. Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah sekali dalam setahun.

Selanjutnya, Kaloh (2004) juga mengatakan bahwa, dalam pelaksanaan undang-undang ini telah terjadi ekses negatif yaitu berupa kesenjangan atau ketimpangan-ketimpangan pembangunan antar daerah. Setidaknya ada lima kesenjangan yang terjadi pada era ini, yaitu :

1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang cukup tinggi. 2. Kesenjangan investasi antar daerah yang cukup besar.

3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang terpusat.

4. Pendapatan daerah dikuasai pusat.

5. Meluasnya kesenjangan regional akibat adanya ketimpangan alokasi kredit.

Berbagai fakta di atas hanyalah sebagian dari kompleksitas masalah yang berkembang, yang mendorong pemerintah secara sadar mengedapankan sentralisasi (pemusatan) dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, suatu daerah atau propinsi yang kaya akan sumber daya alam tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan alamnya tersebut. Hal inilah yang mendorong agar terjadi perubahan dalam pola hubungan pusat dan daerah. Walaupun sebenarnya UU Nomor 5 Tahun 1974 itu cukup baik, namun dalam pelaksanaannya telah menimbulkan berbagai deviasi atau penyimpangan-penyimpangan, sehingga cita-cita dan jiwa otonomi daerah tidak sesuai lagi dengan tuntutan UU tersebut.

Salah satu kelemahan UU Nomor 5 Tahun 1974 adalah tidak konsisten dan tidak konsekuennya pelaksanaan UU tersebut.Dalam pemerintahan orde baru, ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin eskalatif. Dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah misalnya, kepala daerah hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada anggota DPRD. Sedangkan pertanggungjawabannya diberikan kepada pemerintah di atasnya atau pemerintah pusat. Hal ini disebabkan karena kepala daerah tidak merasa harus bertanggung

jawab kepada DPRD sebagaimana tercantum pada pasal 113 UU Nomor 5 Tahun 1974.

Dengan demikian, mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemberian keterangan pertanggung-jawaban oleh kepala daerah yang terjadi selama berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengandung umpan balik dari DPRD. Karena bentuknya hanya keterangan pertanggungjawaban yang memberikan kesan bahwa DPRD tidak dapat menyanggah dan membantah laporan tersebut. Dalam keadaan seperti ini, terjadi dominasi kepala daerah atau kepala wilayah terhadap DPRD, dan hal ini cenderung mematikan kedaulatam masyarakat daerah. Kepala daerah akan lebih memperhatikan aspirasi pemerintah pusat dari pada aspirasi masyarakat yang ada di wilayahnya.

Implikasi dari dominasi kekuasaan yang lebih berat pada pemerintah pusat dan kepemimpinan di daerah yang berorientasi pada pemerintah pusat, mengakibatkan rakyat berada pada posisi yang lemah (strong state and weak

society), dimana nilai-nilai kedaulatan rakyat mengalami pengikisan akibat

kuatnya kekuasaan pemerintahan yang tercermin dalam struktur kekuasaan dan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah. Oleh karena itu kedaulatan rakyat masih dianggap suatu konsep nilai saja, dan reorientasi pemerintahan berseberangan dengan prinsip-prinsip yang demokratis.

Kedudukan rakyat yang lemah menyebabkan bargaining power-nya terhadap pemerintah sangat terbatas, sehingga rakyat tidak dapat mengekspresikan kedaulatannya dalam proses pemerintahan. Rakyat seakan-akan tidak mempunyai pilihan selain harus taat terhadap berbagai kebijakan pemerintah, karena kenyataannya kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah akan menghadapi berbagai hambatan yang sengaja dihambat.

Penyerahan urusan-urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke pemerintah propinsi ( daerah tingkat I) dan ke pemerintah kabupaten (daerah tingkat II) tidak secara otomatis disertai dengan sumber-sumber pembiayaan, aparatur, dan sarananya. Hal ini menyebabkan pelaksanaan urusan dimaksud menjadi kurang berhasil terutama pada pemerintah kabupaten/kota (daerah tingkat

II) yang secara nyata menyelenggarakan urusan rumah tangganya. Kondisi ini menggambarkan bahwa hanya sebagian kecil daerah tingkat II yang benar-benar mampu mandiri mengurus rumah tangganya sendiri.

Dengan konsep otonomi yang demikian, pemerintah daerah pada dasarnya bukan sebuah institusi otonom yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, tetapi merupakan wakil pemerintah pusat yang ada di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan konsep dekonsentrasi, yang lebih menonjolkan asas dekonsentrasi, menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang dikemas dengan dekonsentrasi.

Hal ini terjadi bukan disebabkan oleh lemahnya ketentuan dalam perundang-undangan, tetapi lebih disebabkan karena politisasi otonomi daerah atau otonomi daerah dijadikan sebagai alat politik. Tuntutan otonomi daerah bukan sebagai kehendak untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat, melainkan kebutuhan akan keadilan dan kemajuan dengan kecepatan relatif sama dengan daerah-daerah yang ada di pusat-pusat kekuasaan. Otonomi daerah adalah kesempatan bagi daerah untuk menata diri sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimilikinya, dan lebih dari itu, agar daerah berkembang sejalan dengan sejarah dan asal-usul daerah tersebut.