• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

5.3. Pelaksanaan Otonomi Daerah Pasca Pemerintahan Orde Baru

5.3.1. Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 1999 – 2004

UU Nomor 22 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah Tahun 1999, lahir sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan juga di bawah

kerangka UUD 1945. Undang-undang tentang pemerintahan daerah yang baru ini dapat dikatakan sebagai pergerakan bandul kekuasaan dari kondisi ekstrim yang satu kekondisi ekstrim lainnya, yaitu dari kondisi sentralistis ke kondisi desentralisasi yang lebih luas. Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 ini juga dilengkapi oleh lahirnya UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan secara eksplisit bahwa unit pemerintahan yang melaksanakan otonomi di daerah adalah pemerintah ditingkat kabupaten/kota. Namun pemerintah menggunakan masa transisi untuk mengalihkan kewenangan pemerintahannya secara bertahap, agar pada waktunya asas desentralisasi dan dekonsentrasi dapat terlaksana penuh. Peraturan pemerintah mengenai kewenangan, yang didefinisikan dalam bentuk kewenangan oleh pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.

Meskipun dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur kewenangan banyak daerah yang bersifat heterogen, kewenangan tersebut disepakati seragam. Dalam pelaksanaannnya disesuaikan sendiri dan akan berubah dari waktu ke waktu. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) diberi peran untuk memberikan berbagai pertimbangan mengenai pemerintahan, organisasi, aset fisik, personalia, dan perimbangan keuangan.

Secara umum, beberapa prinsip dasar yang harus dipegang oleh semua pihak dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 ini, adalah :

1. Otonomi daerah harus dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan

2. Pelaksanaan otonomi daerah menggunakan tata cara desentralistis sehingga peran daerah sangan menentukan.

3. Pelaksanaan otonomi daerah harus dimulai dari mendifinisikan kewenangan, organisasi, personal, dan kemudian keuangan, bukan sebaliknya.

4. Perimbangan keuangan uang dimaksud adalah perimbangan horizontal (antar-daerah) dan perimbangan vertikal (antar pusat dan (antar-daerah).

5. Fungsi pemerintah pusat masih sangat vital, baik dalam kewenangan strategis (moneter, pertahanan, hubungan luar negeri, dan hukum) maupun untuk mengatasi ketimpangan antar daerah.

Begitu pentingnya dasar legalitas dalam penerapan suatu kebijakan pemerintahan daerah yang bersifat strategis dan jangka panjang, maka dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 menekankan tiga faktor yang mendasar, sebagai berikut: 1. Memberdayakan masyarakat

2. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas.

3. Meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ketiga faktor tersebut dijabarkan ke dalam penguatan lembaga seperti bupati/ walikota dipilih oleh DPRD Kabupaten/ Kota dan bertanggung jawab kepada DPRD. Jika terjadi krisis kepercayaan dan dirasa perlu, maka DPRD dapat meminta pertanggungjawaban kepada bupati/ walikota, dan kalau pertanggungjawaban ini di tolak sangat mungkin bupati/ walikota harus mundur.

Persoalan yang dihadapi oleh daerah-daerah di Indonesia adalah keragaman dalam banyak hal, misalnya: potensi ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia, infrastruktur, kultur, dan lain sebagainya, sehingga pelaksanaan otonomi daerah secara seragam akan menghadapi masalah yang cukup serius. Tantatangan bagi pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999, apakah bisa mengadopsi keragaman tersebut dengan memberikan fleksibilitas dalam pelaksanaannya. Atau bahkan dirasa perlu beberapa pasal-pasal kedua undang-undang tersebut direvisi, tergantung pada DPR dalam memenuhi aspirasi masyarakat.

Tujuan dari pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk mengembangkan mekanisme demokrasi di tingkat daerah dalam bentuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah setempat maupun untuk mendukung kebijaksanaan politik nasional dalam era reformasi.

Selanjutnya, pokok-pokok pikiran dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, yang terkait dengan pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah, dan pengaturan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah, adalah sebagai berikut (Kaloh, 2002):

1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang ketiganya berstatus Daerah Otonom yang tidak bertingkat, tidak memiliki hubungan subordinasi. Kabupaten dan Daerah Kota sebagai Daerah Otonom murni, dan tidak merangkap sebagai Daerah Administrasi.

2. Kabupaten dan Kota hanya menganut asas desentralisasi murni, dan Daerah Propinsi menganut asas dekonsentrasi. Status Kecamatan sebagai aparat dekonsentrasi beralih menjadi perangkat Daerah Otonom Kabupaten dan Kota 3. Daerah Propinsi disamping berstatus sebagai Daerah Otonom, juga sebagai

Daerah Administrasi. Dalam kedudukannya sebagai Daerah Otonom, propinsi memiliki kewenangan yang besifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan lainnya yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten atau kota. Sedangkan sebagai Daerah Administrasi menyelenggarakan kewenangan di bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi.

4. Pemberian otonomi kepada daerah tidak lagi didasarkan pada banyaknya penyerahan urusan, melainkan kepada pemberian kewenangan yang luas untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan di semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal, dan agama. Kewenangan pemerintah pusat lainnya, yaitu : kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara mikro, perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

5. Kewenangan daerah tidak hanya di wilayah daratan, tetapi juga di wilayah kelautan yang meliputi : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut 12 mil laut diukur dari garis

pangkal kepulauan ke arah perairan kepulauan, (b) pengaturan kepentingan administratif, (c) pengaturan tata ruang, (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat, dan (e) bantuan penegakan dan kedaulatan negara.

6. Pada dasarnya pemerintah kabupaten/ kota diberi keleluasaan untuk menyatakan tidak atau belum mampu menyelenggarakan pemerintahan tertentu, sehingga wewenang di bidang pemerintahan tertentu tersebut dapat menjadi wewenang pemerintah propinsi. Ada beberapa bidang pemerintahan tertentu yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota, meliputi bidang-bidang : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

7. Gubernur memiliki kedudukan rangkap, baik sebagai Kepala Eksekutif di Daerah maupun sebagai wakil Pemerintah Pusat. Gubernur diarahkan untuk mendorong percepatan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di Daerah Kabupaten/Kota. Sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah seorang Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Eksekutif di Daerah Propinsi, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD. Dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah Kabupaten dan Kota, Bupati atau Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/ Kota dan berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

8. Bentuk Daerah Otonom memisahkan antara posisi Kepala Daerah dan DPRD, supaya tidak terjadi duplikasi dan kerancuan antara tugas eksekutif dan legislatif. DPRD diberdayakan sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat melakukan fungsi legislasi dan pengawasan, serta sungguh-sungguh berperan sebagai penyalur aspirasi masyarakat.

9. Pelaksanaan Otonomi Daerah diharapkan dapat menumbuhkan demokrasi, meningkatkan prakarsa, kreativitas dan partisipasi masyarakat, serta menetapkan regulasi demi kepentingan daerahnya. Hal ini diwujudkan dalam pengaturan tentang susunan, kedudukan, keanggotaan, hak dan kewajiban,

syarat-syarat pemilihan dan pemberhentian, masa jabatan anggota DPRD, dan pertangunggjawaban kepala daerah.

10. Untuk lebih memberdayakan DPRD dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kepada DPRD diberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak terdapat di dalam perundang-undangan sebelumnya, antara lain: (a) meminta pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah atas pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah, (b) meminta keterangan kepada Kepala Daerah atas suatu rencana kebijakan, atau akibat dari pelaksanaan kebijakan, atau atas suatu masalah yang menurut hukum yang berlaku termasuk dalam lingkup tanggung jawab Kepala Daerah, (c) mengadakan penyeledikan, termasuk meminta pejabat dan/ atau warga masyarakat yang diperlukan untuk memberikan keterangan tentang suatu hal demi kepentingan daerah, masyarakat, dan pemerintah (hak subpoena). Selain itu, DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya di hadapan pemerintah, dan memperjuangkan kepada DPR (hak petisi).

11. Rekrutmen Kepala Daerah sepenuhnya dilakukan oleh Daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat, kecuali untuk calon Gubernur, setelah nama-nama calon tersebut ditetapkan oleh pimpinan DPRD, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Presiden untuk memperoleh persetujuannya mengingat seorang Gubernur selain sebagai Kepala Eksekutif di Daerah juga merupakan wakil Pemerintah Pusat di Daerah.

12. Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, dan menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran. Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Kewajiban Kepala Daerah meliputi : (a) mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI, (b) memegang teguh Pancasila dan UUD 1945, (c) menghormati kedaulatan rakyat, (d)menegakkan seluruh peraturan perundang-undanagan, (e) meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, (f) menjaga dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, dan (g)

mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkan sebagai Peraturan Daerah bersama dengan DPRD.

Kritisi terhadap pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999, juga disampaikan oleh Kaloh (2004) sebagai berikut :

1. Perwilayahan.

Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa, “Wilayah NKRI dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang besifat otonom.” Untuk melakukan penyesuaian sesuai dengan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen tersebut, maka Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 ini perlu diatur kembali, sehingga seharusnya berbunyi sebagai berikut, “Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi, wilayah NKRI dibentuk Daerah Propinsi, dan di wilayah Daerah Propinsi dibentuk Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.”

2. Hubungan Hierarkis Daerah Propinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota.

Salah satu aspek yang tidak kalah pentingnya untuk dipikirkan kembali adalah menyangkut hubungan hierarkis antara Daerah Propinsi dengan daerah Kabupaten/ Kota (Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 22 tahun 1999). Dalam UU ini dinyatakan secara eksplisit bahwa Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten tidak memiliki hubungan hierarkis. Dampak psikologis dari pernyataan secara eksplisit ini dapat berakibat Daerah kabupaten/ Kota akan tidak lagi menghormati Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Hal ini sudah banyak dijumpai dimana para Bupati dan Walikota dalam beberapa hal menyangkut pengambilan keputusan merasa tidak perlu memberikan laportan atau setidaknya memberikan tembusan terhadap beberapa kebijakan yang diambilnya.

3. Posisi Pemerintah Daerah dan DPRD.

Dalam UU ini, posisi DPRD terpisah dari Pemerintah Daerah, mengakibatkan DPRD memposisikan diri bersebrangan dengan Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. Padahal institusi Perangkat Daerah menjadi struktur yang independen, non politis, fungsional dalam struktur, serta menjadi lembaga

profesional yang akan memberikan dinamika bagi kehidupan pemerintahan, pembangunan, dan terutama dalam pelayanan kepada masyarakat. Di sisi lain, Perangkat Daerah juga merupakan lembaga yang secara fungsional menjawab kebutuhan administrasi bagi kedua lembaga Daerah tersebut.

4. Pengaturan Kepegawaian Daerah.

Pengaturan Kepegawaian Daerah yang sepenuhnya diurus oleh Pemerintah Daerah, dapat menyebabkan suatu hal yang dilematis berupa ketimpangan dan keragaman dalam standar, kualitas, kepangkatan, dari satu Daerah dengan Daerah lainnya di dalam NKRI.

5. Masalah Keuangan Daerah

Dalam hal pengaturan keuangan daerah, UU ini mengamanatkan adanya UU yang mengatur Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD). Namun dalam kenyataannya UU Nomor 25 Tahun 1999 hanya mengatur hal-hal yang menyangkut PKPD saja, sedangkan hal-hal lain selain PKPD diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu perlu dimasukkan beberapa ketentuan dalam UU Nomor 25 Tahun1999 antara lain yang menyangkut penyusunan APBD, perubahan APBD, dana cadangan, sistem dan prosedur akuntansi, dan lain sebaginya.

6. Pembinaan dan Pengawasan.

Hal yang menyangkut pendelegasian kewenangan kepada Gubernur dalam hal pembinaan dan pengawasan haruslah jelas. Pengawasam represif terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota yang bersifat pengaturan dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. Disamping pengawasan represif, perlu juga diatur pengawasan fungsional. Untuk pengawasan fungsional, hal ini merupakan pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pembantuan oleh Pemerintah Daerah.