• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

5.3. Pelaksanaan Otonomi Daerah Pasca Pemerintahan Orde Baru

5.3.2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2005

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah UU pemerintahaan daerah yang terbaru, menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1999. Lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 pada akhir masa kerja DPR 1999-2004, atau

tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2004, adalah merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. UU ini dilengkapai dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah. Bersamaan dengan lahirnya UU ini, pada tanggal yang sama, lahir pula UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Situasi dan nuansa lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004, menurut Marbun (2005), adalah :

1. Adanya pergeseran suasana dan pergeseran kekuatan politik di Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam konsideran menimbang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.

2. Suasana reformasi mendapat tafsir yang kurang tepat. 3. Diberikannya otonomi khusus bagi Aceh dan Papua.

4. DPRD dan Pemerintah Daerah membuat Peraturan Daerah yang tumpang- tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

5. Maraknya korupsi di DPRD di seluruh Indonesia.

6. DPRD bertindak overacting berhadapan dengan Kepala Daerah terutama menyangkut Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) setiap akhir tahun dan pada akhir masa jabatan Kepala Daerah.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa, negara adalah satu sistem, maka kedudukan pemerintah daerah adalah sub sistem dan merupakan badan operasional negara yang langsung berhubungan dan berhadapan dengan warga negara. Seperti dalam praktek manajemen mutakhir, kekuasaan dan kewenangan operasional sebaiknya didelegasikan ke jajaran yang lebih bawah. Hal ini menjadi lebih relevan bagi negara Indonesia dengan luas wilayah lebih dari 2 juta km2, dengan jumlah penduduk sekitar 225 juta orang. Pada tahun 2005 ini, di Indonesia terdapat 33 propinsi dan jumlah kabupaten/ kota sebanyak 365.

Pemerintahan Daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah, yaitu : Pemerintahan Daerah dan DPRD. Masing-masing badan atau lembaga melaksanakan peranannya sesuai dengan kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya dalam sistem pemerintahan negara Indonesia. Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan

kesatuan yang integral yang memberikan pelayanan publik sesuai dengan ketentuan hukum, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Kepala daerah menjalankan pemerintahan di daerahnya. Adapun kepala daerah propinsi disebut gubernur, kepala daerah kabupaten disebut bupati, dan kepala daerah kota disebut walikota. Masing-masing kepala daerah dibantu oleh seorang wakil kepala daerah.

Dalam UU ini juga disebutkan bahwa, hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah, untuk melaksanakan otonomi daerah. Kedua lembaga ini membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung dan bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.

Dalam menjalankan pemerintahan daerah, daerah memiliki hak dan kewajiban daerah yang sekaligus merupakan pedoman yang harus dijalankan oleh setiap penyelenggara pemerintahan daerah (Pemerintahan Daerah dan DPRD). Hak daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, adalah :

1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. 2. Memilih pimpinan daerah.

3. Mengelola aparatur daerah. 4. Mengelola kekayaan daerah.

5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah.

6. Memperoleh bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang ada di daerah.

7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.

8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewajiban daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, adalah:

1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta NKRI.

3. Mengembangkan kehidupan demokrasi. 4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan. 5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.

6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak.

7. Mengembangkan sistem jaminan sosial. 8. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. 9. Mengembangkan sumberdaya produktif di daerah. 10. Melestarikan lingkungan hidup.

11. Mengelola administrasi kependudukan. 12. Melestarikan sosial budaya.

13. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.

14. Kewajiban lain yang diatur dalam perundang-undangan.

Dalam pengertian tradisonal, daerah otonom berarti pemerintah daerah dapat membelanjai pemerintahan sendiri tanpa bantuan dari luar. Tetapi negara sebagai satu sistem, keuangan daerah saling berimpitan atau kait-mengait dengan sistem keuangan negara dalam arti luas. Adapun prinsip yang dianut dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah :

1. Otonomi yang seluas-luanya, nyata, dan bertanggung jawab.

2. Penyelenggaraan otonomi yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan rakyat, menjamin hubungan serasi daerah dengan pemerintah pusat.

Dalam hal keuangan daerah, rumusan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 agak mirip dengan rumusan UU yang berlaku sebelumnya (UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999). Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sumber pendapatan daerah, terdiri atas :

1. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu :

a. Hasil pajak daerah, seperti : pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak rekalame, dan lain-lainnya.

b. Hasil retribusi daerah

c. Hasil pengelolaan kekayaan-kekayaan daerah d. Lain-lain PAD yang sah.

2. Dana perimbangan, berupa:

a. Dana bagi hasil, yang bersumber dari : pajak-pajak ( PBB, PPh, Bea Perolehan atas Hak tanah dan Bangunan), dan sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah ( kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, pertambangan panas bumi).

b. Dana alokasi umum (DAU) c. Dana alokasi khusus (DAK) 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Selanjutnya, untuk mengoptimalkan pertumbuhan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan berbagai pihak. Berdasarkan pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005, bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penyediaan pelayanan publik, Daerah dapat mengembangkan kerjasama dengan daerah lainnya atau bekerjasama dengan pihak ketiga yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.

Bentuk kerjasama pemerintah daerah dapat berupa :

1. Kerjasama antar daerah yang berdekatan, khususnya pelayanan yang terdapat di daerah yang berbatasan seperti: pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, penanganan sampah terpadu, penyuluhan pertanian, pengairan, penanganan Daerah Aliran Sungai (DAS), perencanaan tata ruang dan lain- lain.

2. Kerjasama antar daerah yang tidak berdekatan, dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan bersifat situasional dilakukan dalam rangka pengembangan potensi dan komoditi unggulan dari masing-masing daerah yang bekerjasama. 3. Kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga, dikembangkan

berdasarkan pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi langsung oleh pemerintah daerah yang bersangkutan karena berbagai keterbatasan yang

dimiliki. Kerja sama ini bisa dilakukan dengan pihak swasta, BUMN/BUMD, LSM/masyarakat dan lain sebagainya.

Sebagaimana yang telah diuraikan, pemerintahan daerah merupakan sub sistem dari sistem pemerintahan nasional dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensinya, penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh menyimpang dari sistem nasional. Belajar dari pengalaman sebelumnya, dimana pelaksanaan otonomi berarti semua kegiatan kenegaraan di daerah dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, tetapi pada prakteknya masih terjadi penyimpangan atau salah tafsir tentang pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Dalam periode tahun 1999-2004, terdapat begitu banyak Peraturan Daerah, praktek birokrasi di daerah yang salah kaprah. Pada UU yang baru ini, di coba untuk diatasi dengan rumusan pengawasan dari pusat yang lebih jelas dengan diikuti program pembinaan.

Fokus pengawasan otonomi daerah diarahkan pada : (1) pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dilaksanakan aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan (2) pengawasan terhadap Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah (Pasal 218). Sedangkan kalau dilihat dari jenis pengawasannya, dapat dibedakan menjadi :

1. Pengawasan Preventif, yaitu pengawasan yang khusus diperlakukan untuk Peraturan Daerah yang menyangkut pajak daerah, retribusi, dan tata ruang. 2. Pengawasan Represif, yaitu pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan

Daerah terhadap pelanggaran kepentingan umum dan atau perundang-undangan yang lebih tinggi. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah seperti yang dimaksud di atas ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Dalam hal pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah tersebut dinyatakan berlaku (Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004).