• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

3. Koefisien Saling Ketergantungan (Interdependence Coefficients)

2.3. Penelitian Terkait yang Sudah Dilakukan

Ketika paradigma pembangunan ekonomi lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak memuaskan banyak pihak. Maka sejak saat itu masalah equity atau pemerataan banyak menjadi perhatian orang. Karenanya,

mampu menggambarkan lebih detail mengenai distribusi hasil pembangunan yang telah dicapai suatu bangsa atau negara, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, mulai banyak digunakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wuryanto (1996), pada awalnya SAM digunakan untik menggambarkan secara komprehensif distribusi pendapatan, konsumsi dan faktor produksi dalam suatu perekonomian. Para peneliti umumnya menggunakan kedua alat analisis di atas mencoba mengungkapkan dan mencari jawabannya, “siapa menerima apa” dari hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan,

Penelitian dengan menggunakan analisis I-O di Indonesia sampai saat ini sudah banyak digunakan. Sumartono (1985), mencoba mengungkapkan keterkaitan dan ketergantungan sektor pertanian dalam struktur perekonomian di Iindonesia. Dari hasil studi ini, disimpulkan bahwa keterkaitan langsung antar sektor pertanian dengan sektor non-pertanian masih relatif lemah. Ini menandakan output sektor pertanian belum banyak digunakan oleh sektor lain, demikian pula output sektor lain belum banyak digunakan oleh sektor pertanian. Secara kuantitatif, nilai rata-rata koefisien keterkaitan langsung ke depan besarnya 0.44, dan nilai rata-rata koefisien keterkaitan kebelakang besarnya 0.34. Hal ini menunjukkan belum adanya keseimbangan antara sektor pertanian dengan sektor non-pertanian dalam struktur ekonomi Indonesia tahun 1980.

Sarkaniputra (1986), dari hasil penelitiannya yang berjudul Analisis Input-Output sebagai Kerangka Strategi Pembangunan Pertanian merumuskan strategi

pembangunan pertanian, antara lain:

1. Kebijakan yang berorientasi pada perluasan lapangan kerja di sektor agribisnis yang disertai dengan perbaikan penghasilan melalui sistem bagi hasil;

2. Kebijakan yang berorientasi pada pembangunan organisasi yang ditujukan untuk mrmperkuat institusi sosial yang telah ada, pengaturan kepastian pemilikan tanah, besar sewa dan bagi hasil;

Selanjutnya Hafsah (1989), dalam studinya yang berjudul Analisis Sosial Ekonomi Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dan Dampaknya terhadap Struktur Perekonomian Wilayah, yang dilakukan di Propinsi Jawa Tengah menyimpulkan

sebagai berikut :

1. Usahatani tebu ikut memberikan kontribusi pada total output wilayah dan PDRB di Propinsi Jawa Tengah. Kendati kontribusi tersebut secara absolut tidak terlalu besar, tetapi menduduki peringkat pertama pada sub-sektor perkebunan, dan peringkat keenam pada kelompok sektor pertanian.

2. Usahatani tebu di wilayah ini mampu menyerap sekitar 1.2 persen dari total kesempatan kerja wilayah, atau sekitar 21 persen dari kesempatan kerja sub-sektor perkebunan.

3. Usahatani tebu memberikan koefisien pengaruh ganda pendapatan dan pengaruh ganda kesempatan kerja yang relatif tinggi, di atas rata-rata nilai koefisien pengaruh ganda kelompok sektor pertanian; dan kontribusi sektor industri gula terhadap output wilayah, PDRB dan pendapatan wilayah tidak terlallu menonjol bila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.

Studi tentang pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi Propinsi Jambi dianalisis dengan model Input-Output oleh Sastrowiharjo (1989), Hasil studi ini menemukan bahwa:

1. Pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jambi ditentukan oleh permintaan akhir, yang terdiri dari : konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah rutin, pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek pembangunan, investasi swasta, stok dan ekspor.

2. Struktur perekonomian Propinsi Jambi pada tahun 1984 menunjukkan perubahan yang jelas, yang ditunjukkan oleh menurunnya sumbangan sektor pertanian pada PDRB Propinsi Jambi ( pada tahun 1978 sebesar 53.46 persen, menjadi 44.46 persen tahun 1984). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan kelompok sektor bukan pertanian lebih besar bila dibandingkan dengan pertumbuhan sektor pertanian.

3. Dalam kelompok sektor pertanian sendiri, telah terjadi perubahan struktural dari dominasi karet kearah struktur yang makin seimbang.

Kerangka analisis I-O juga digunakan oleh Dasril (1993) dalam penelitiannya yang berjudul Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Produksi Sektor dalam Industrialisasi di Indonesia, tahun 1971-1990, menyimpulkan

bahwa :

1. Dalam periode kebijakan substitusi impor, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami masa pertumbuhan pertumbuhan tinggi (1971-1980) dan masa pertumbuhan rendah (1980-1985) disertai oleh pertumbuhan sektor pertanian yang relatif stabil. Pada periode tahun 1971-1980, perubahan struktur produksi sektor pertanian yang diukur dengan pangsa subsektor pertanian dalam PDB, relatif kecil. Mulai tahun 1985 terjadi perubahan pangsa sektor pertanian yang ditunjukkan oleh meningkatnya pangsa subsektor peternakan dan perikanan. Dengan demikian telah terjadi perubahan struktur produksi sektor pertanian yang mengarah kepada subsektor yang permintaannya relatif lebih elastis.

2. Sumber pertumbuhan sektor pertanian yang paling dominan adalah konsumsi swasta, baik pada periode 1971-1985 maupun pada periode 1985-1990, tetapi dengan kecenderungan yang semakin menurun. Bagi subsektor peternakan dan perikanan, penurunan sumbangan konsumsi swasta pada periode 1985-1990, diimbangi dengan peningkatan sumbangan perkembangan ekspor. 3. Pembentukan modal tetap relatif kecil sumbangannya dalam semua subsektor

pada kedua periode tersebut, tetapi kecenderungannya meningkat terutama pada subsektor tanaman bahan makanan dan peternakan.

4. Bagi subsektor perkebunan dan kehutanan, konsumsi swasta dan perkembangan ekspor memberikan sumbangan yang cukup berarti pada kedua periode tersebut. Pembentukan modal tetap pada subsektor perkebunan relatif kecil sumbangannya terhadap pertumbuhan, sedangkan subsektor kehutanan memberikan sumbangan yang cukup berarti.

Sembiring (1995), juga menggunakan analisis I-O dalam menganalis peranan agroindustri terhadap pembangunan ekonomi di Propinsi Sumatera Utara. Hasil studi ini, menjelaskan bahwa sektor agroindustri memberikan kontribusi terbesar pada output dan ekspor di Propinsi Sumatera Utara (masing-masing sebesar 26.3 persen dan 33.9 persen) tetapi juga sekaligus menjadi pengimpor terbesar (45 persen) untuk proses produksinya, sehingga mengakibatkan defisit terbesar, yaitu sebesar 34.89 persen. Kontribusi sektor agroindustri terhadap nilai tambah dan kesempatan kerja masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pertanian, tetapi produktivitas tenaga kerja disektor ini lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas di sektor pertanian. Dikemukakan juga bahwa sektor agroindustri merupakan salah satu sektor utama dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Utara tahun 1990. Fakta di lapangan juga menunjukkan keterkaitan output tidak langsung antara sektor pertanian dan sektor agroindustri, ini berarti sektor pertanian kurang mendukung sektor agroindustri dan terjadi pula sebaliknya.

SAM sebagai kerangka analisis mampu memberikan gambaran yang lebih komprehensif bila dibandingkan dengan kerangka analisis I-O, belakangan ini mulai banyak digunakan. Analisis SAM di berbagai negara, sudah dilakukan mulai akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970. Sebagai contoh, studi tentang SAM untuk United Kingdom sudah dilaksanakan pada tahun 1968, Sri Lanka tahun 1970, Malaysia tahun 1970, Swaziland tahun 1971-1972, dan Botswana tahun 1974-1975 ( Pyatt dan Round, 1985b)

Untuk kasus Indonesia, analisis SAM baru mulai dilakukan pertengahan tahun 1980-an. Downey (1984), melakukan penelitian untuk disertasi, mencoba menganalisis ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia, untuk melihat siapa mendapat apa (Who gets What). Untuk menggambarkan kondisi ini,

Downey melakukan disagregasi terhadap institusi rumahtangga berdasarkan kepemilikan tanah pertanian, buruh tani, buruh non-pertanian, desa-kota, dan lain sebaginya. Kemudian baru dianalisis distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing klasifikasi rumahtangga tersebut. Pendapatan terendah diterima oleh rumahtangga buruhtani sedangkan yang tertinggi diterima oleh tenagakerja

perkotaan dan diikuti oleh pemilik tanah di atas lima hektar. Selanjutnya, Badan Pusat Statistik (1986), menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi istilah lain dari SAM dan Model Keseimbangan Umum untuk melihat pengaruh turunnya harga minyak dan subsidi minyak terhadap distribusi pendapatan. Analisis SAM juga dapat digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan antar sistem usahatani (tanaman dan ternak), daerah-daerah produksi, buruh tani dan tenaga kerja wanita, dilakukan oleh Budiyanti dan Schreiner (1991).

Sutomo (1995), dengan memngunakan analisis SAM mencoba membandingkan kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang terjadi pada dua wilayah, yaitu Propinsi Riau dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diperoleh hasil bahwa dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini telah terjadi ketimpangan pendapatan antar kedua wilayah (NTT dan Riau), dan ketimpangan juga terjadi antar kelompok rumah tangga dikedua wilayah. Masyarakat miskin (dengan pendapatan terendah) diterima oleh rumahtangga buruh non-pertanian dan tertinggi pada kelompok rumahtangga bukan buruh di sektor non-pertanian (terjadi pada kedua propinsi). Ketimpangan pendapatan ini ditunjukkan oleh indeks gini kedua propinsi tersebut melebihi 0.5. Sedangkan dengan menggunakan analisis distribusi pendapatan faktorial, menunjukkan propinsi NTT intensif tenaga kerja sedangkan di propinsi Riau terjadi sebaliknya, yaitu intensif modal. Ini berarti pada kedua propinsi, bila terjadi peningkatan penggunaan tenaga kerja dan modal memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah broto wilayah.

Antara (1999), yang meneliti dampak pengeluran pemerintah dan wisatawan terhadap kinerja perekonomian Propinsi Bali, menyimpulkan hal-hal berikut : Proses produksi dalam perekonomian Bali lebih mengarah pada padat modal, hal ini ditunjukkan dengan kontribusi faktor modal lebih besar bila dibandingkan dengan kontribusi faktor tenaga kerja. Distribusi pendapatan institusional (antar golongan rumah tangga), dan distribusi pendapatan antar regional (antar kabupaten) di Propinsi Bali berada pada ketimpangan relatif ringan. Ini berarti pembangunan perekonomian Bali yang memprioritaskan tiga sektor, yaitu : pertanian, pariwisata dan industri kecil telah menunjukkan hasil

yang relatif baik. Dikemukakan juga bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ekonomi menimbulkan efek pengganda yang trelatif besar terhadap pendapatan faktor produksi, pendapatan rumahtangga, dan permintaan output sektor produksi. Demikian pula halnya dengan pengeluaran wisatawan memiliki efek terhadap perekonomian, utamanya terhadap pendapatan faktor produksi, pendapatan rumahtangga, dan permintaan output sektor produksi. Ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor produksi, seperti sektor pertanian, industri, dan jasa.

Penelitian tentang struktur ekonomi Indonesia dan pengaruhnya pada industri kayu mentah dengan menggunakan analisis SAM, dilakukan oleh Prihawantoro dan Resosudarmo (1999). Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa tekanan kuat terhadap peningkatan produksi kayu mentah tidak hanya datang dari sektor-sektor produksi yang menggunakan bahan utama kayu, tetapi juga dari sektor-sektor produksi lain yang berbasiskan pertanian dan pedesaan. Dari blok institusi, rumahtangga pedesaan dan pertanian memberikan tekanan yang paling kuat (tekanan langsung) terhadap kegiatan produksi kayu mentah. Sedangkan dari blok faktor produksi, faktor produksi yang berhubungan dengan pertanian dan pedesaan juga memberikan tekanan yang paling kuat terhadap industri kayu mentah.

Analisis SAM regional dapat juga digunakan untuk menganalisis keterkaitan sosial-ekonomi antar propinsi atau antar wilayah (dua wilayah atau lebih). Analisis ini dikenal dengan analsis SAM Interregional (IRSAM). Analisis IRSAM untuk Malaysia sudah dilakukan tahun 1970 (Pyatt dan Round, 1985), dengan membagi wilayah Malaysia menjadi dua wilayah, yaitu : Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Studi IRSAM di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Hidayat (1991). Hidayat membagi wilayah Indonesia menjadi dua wilayah makro (Jawa dan Luar Jawa) dan tujuh wilayah mikro, masing-masing tiga wilayah mikro di Jawa, dan empat wilayah mikro untuk luar Jawa. Studi ini digunakan untuk menguji struktur dan keterkaitan (interdependence) antar kedua wilayah

makro dan menunjukkan implikasinya pada perekonomian secara menyeluruh, termasuk didalamnya : distribusi pendapatan, peningkatan produksi dan kinerja

ekspor dari sektor-sektor yang berlainan antara wilayah pinggir dengan wilayah pusat.

Studi interregional juga dilakukan dengan menggunakan model Interregional Computable General Equilibrium (IRCGE), yang merupakan peningkatan dari IRSAM, seperti yang dilakukan oleh Tumenggung (1995) dan Wuryanto (1996). Tumenggung membangun model IRCGE dengan menggunakan menggunakan kerangka IRSAM Indonesia yang dibangun oleh Hidayat sebagai tabel dasar, dengan membagi wilayah Indonesia menjadi dua, Jawa dan Luar Jawa.

Wuryanto (1996), dengan menggunakan model CGE, menganalisis keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan kinerja ekonomi Indonesia. Wuryanto juga mengelompokkan Indonesia menjadi dua wilayah makro; Jawa dan Luar Jawa, seperti halnya Hidayat dan Tumenggung. Dari hasil studinya ditemukan bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga regional hampir disemua wilayah (region), terutama di Jawa. Namun, peningkatan pendapatan rumahtangga di Luar Jawa yang awalnya rendah cenderung menimbulkan ketimpangan pendapatan.