• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GAMBARAN TENTANG PENDIRI DAN SPIRITUALITAS

B. Spiritualitas Pendiri Kongregasi SCMM

3. Pelindung Kongregasi

Kongreasi SCMM dibaktikan kepada Bunda Maria yang Berbelas Kasih. Mgr. Zwijsen memilih Maria Bunda yang Berbelas Kasih sebagai pelindung dan suri teladan bagi semua pengikutnya. Bagi Mgr. Zwijsen Maria adalah sosok hamba yang hina yang mendapat belas kasihan Allah, pribadi yang menyerahkan diri secara total kepada Allah dalam kesederhanaan dan kesiapsediaan serta kepercayaan yang bersahaja (Konst, art. 12).

Sebagaimana Yesus menyerahkan Maria ibu-Nya kepada para murid-Nya seperti terdapat dalam Injil Yoh 19:25-27 yang berbunyi:

Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Kleopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya. Demikian juga Mgr. Zwijsen menegaskan kepada para anggotanya untuk mempercayakan diri sepenuhnya kepada pemeliharaan keibuannya. Maria adalah seorang wanita dalam gerakan belas kasih. Dia termasuk ’anawim’, kaum miskin Yahwe. Maria mengagungkan Allah, Maria memandang dirinya sebagai hamba Tuhan, Maria tidak menempatkan dirinya di luar lingkaran sesama manusia. Maria tidak tinggi hati, walaupun penuh kesucian ia tetap dapat didekati. Maria senantiasa berpadu dengan orang yang terhina dan kaum kecil (Verschuren, 2001: 12).

Maria menjadi salah satu dasar disebut sebagai ibu yang berbelas kasih oleh Mgr. Zwijsen. Maria diakui sebagai ibu karena Maria mendengarkan firman Allah sebagai orang yang miskin di hadapan Allah. Maria adalah ibu semua orang

yang mencintai Yesus dan mengikuti Dia, sampai berdiri di bawah salib-Nya dan di bawah salib semua orang yang menderita. Dalam hal inilah Maria hadir sebagai Bunda yang Berbelas Kasih (van Lierop, 1995: 22)

Sejak berdirinya lembaga yang pertama, Mgr. Zwijsen memberikan kedudukan sentral kepada belas kasih dan karya-karya cinta kasih. Hal ini sesuai dengan pemberian nama Kongregasi dan pemilihan santo-santa pelindung, lambang dan semboyan. Nama Suster Cinta Kasih dari Maria Bunda yang Berbelas Kasih, dipilih untuk menunjukkan, bahwa kebajikan belas kasih harus diselenggarakan secara khusus dalam Kongregasi. Di dalam hati Maria terletak semua kebajikan, terutama belas kasih. Dalam lambang Kongregasi dimuat dua tangkai bunga bakung dan hati yang menyala, sebagai lambang kemurnian dan kasih. Sedangkan dalam semboyan tertulis ”Cinta tanpa Pamrih” maksudnya bahwa para suster harus mencintai sesama manusia tanpa mencari kehormatan, keuntungan, atau kepuasan diri sendiri (Blommestijn & Huls, 1998: 15-19).

Menurut Mgr. Zwijsen para suster dapat menghormati Maria Bunda Berbelas kasih dengan dua cara. Pertama, menghormati Maria dengan mencontohi sifat-sifat baiknya. Kedua menghormatinya dengan sering berdoa kepadanya, secara pribadi maupun dalam liturgi. Sebagai bentuk penghormatannya kepada Bunda Maria, Mgr. Zwijsen mengajak umat untuk berdoa setiap hari kepada Bunda Maria. Umat manusia selalu mencari jalan keluar dari perpecahan dan rasa curiga, dan membutuhkan cinta kasih. Dengan mencermati cara hidup dan berdoa, umat manusia ingin kembali kepada kepercayaan, pengharapan dan cinta. Mgr. Zwijsen mengajak para susternya meneladani Bunda Maria dengan senantiasa

berdoa bersama dia dan menyanyikan magnificat agar memimpin paduan suara umatnya, dan mendoakan Salve Regina setiap hari karena umat manusia membutuhkan pengantara di depan Yesus-Saudara kita, serta berdoa kepada Bunda Maria agar membantu dan melindungi kita di dunia ini (de Haas, 2001: 31).

Mgr. Zwijsen menghayati Bunda Maria sebagai Bunda yang Berbelas kasih, yang mencintai manusia, memperhatikan yang menderita secara khusus yang mengalami kemalangan. Mgr. Zwijsen selalu berkata: “Bersama Maria para anggotanya menelusuri jalan iman kepercayaan, pengharapan dan cinta”. Mengakui Maria sebagai Bunda Berbelas kasih berarti, sama seperti Bunda Maria, yang dipenuhi Roh Kudus, para suster mengalami cinta dan belas kasihan-Nya dan belajar mencintai Yesus. Dengan pengalaman-pengalaman inilah para suster berusaha untuk mengikuti Dia sampai berada di bawah salib-Nya dan di bawah salib setiap orang yang menderita dan membagikan belas kasih Allah yang berlimpah-limpah (de Haas, 2001: 43-46).

b. St. Vinsensius â Paulo

Mgr. Zwijsen sangat menghormati St. Vinsensius â Paulo yang hidup di Perancis pada abad 17 merupakan pembela dan pendukung kaum miskin. St. Vinsensius â Paulo lahir di Pouy, Perancis tahun 1580 telah membaktikan seluruh hidupnya untuk melayani orang miskin demi cinta kepada Yesus. Vinsensius â Paulo mendirikan Kongregasi PK (Putri Kasih) pertama di Paris. Mgr. Zwijsen menghendaki agar pengikutnya meneladani Vinsensius â Paulo, yakni mengabdi

Allah dalam sesama manusia yang menghantarnya pada Allah.” St. Vinsensius â Paulo adalah bapak kaum miskin. Dengan alasan ini Mgr. Zwijsen menjadikan St. Vinsensius â Paulo pelindung kedua Kongregasi yang didirikanya dan menghendaki agar pengikutnya meneladani Vinsensius â Paulo, yakni mengabdi Allah dalam sesama manusia yang menghantarnya pada Allah”. Mgr. Zwijsen sangat mengagumi karya yang diinspirasikan oleh cinta yang berbelaskasih dari St. Vinsensius â Paulo bagi kaum miskin dan yang malang (Konst, art. 13).

Ketika Mgr. Zwijsen mendirikan sekolah untuk anak-anak miskin ia berkata: ”Di dalam anak-anak miskin, yang memerlukan pendidikan agar bisa menjalankan hidup manusiawi secara utuh, Zwijsen mengenali wajah Kristus lewat mereka. Melalui anak-anak itu, Allah menyapanya secara langsung dan menghadapkannya pada panggilan belas kasih” (Blommestijn & Huls, 1998: 19).

Mgr. Zwijsen memperoleh ilham dari Vinsensius yang menggerakkan hatinya, untuk mengkonkretkan kharisma belas kasih Vinsensius dalam kedua kongregasi yang didirikannya. Mgr. Zwijsen menawarkan kepada para suster dan fraternya keutamaan-keutamaan Vinsensius, dan berharap dapat melaksanakan banyak latihan-latihan rohani. Menurut Vinsensius, sesama manusia hendaknya jangan dikasihani hanya karena itu merupakan perintah, tetapi tergerak oleh keajaiban cinta kasih, orang bisa menemukan bahwa sumber cinta kasih tidak terletak dalam diri manusia tetapi di dalam Allah. Manusia yang sadar bahwa dirinya diilhami oleh cinta kasih, berpandangan dan hidup bersumber pada Allah. Karena itu tidak ada persaingan antara cinta kasih Ilahi dan cinta kasih kepada sesama. Bukan dengan memusatkan perhatian semata-mata kepada Allah, maka

Vinsensius â Paulo dicintai, tetapi dengan berserah kepada cinta kasih tanpa pamrih yang melampaui akal siapapun. Dengan keyakinan bahwa penyerahan itu merupakan dasar ‘belas kasih’ maka Vinsensius sangat menghargai pergaulan akrab dan intim dengan Allah (Blommestijn & Huls, 1998: 21).

Semangat inilah yang kemudian menyapa dan berkembang dalam sanubari Mgr. Zwijsen untuk disalurkan kepada para pengikutnya dan mendorong para suster sungguh percaya pada pemeliharaan penyelenggaraan Ilahi dan dalam kesederhanaan hati.