• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. SPIRITUALITAS PENDIRI SEBAGAI DASAR DAN

D. Tantangan dari Pihak Keadaan Lanjut Usia

2. Pergulatan Masa Lanjut Usia

Banyak orang begitu saja menolak kenyataan bahwa mereka sudah tua. Mereka begitu lekat pada kemudaannya. Baik pria maupun wanita tua sering menutup mata pada kenyataan dan menganggap diri seolah-olah tetap muda. Mereka gagal untuk sampai pada pengakuan, bahwa setiap tingkat umur mempunyai keindahan tersendiri (Deeken, 1986: 19).

Maurus (2007: 30) mengungkapkan bahwa apa yang tidak mampu kita cegah, harus kita pikul dengan senang hati. Menjadi muda sangat menyenangkan dan menggembirakan, namun tubuh hanya bisa muda satu kali saja, dan selanjutnya adalah menikmati keistimewaan bertambahnya usia. Untuk itu pertambahan usia perlu dinikmati jangan dilihat sebagai sesuatu hal yang menyakitkan atau menakutkan.

b. Dendam dan Iri Terhadap yang Muda

Bahaya yang sering muncul bagi mereka yang sudah lanjut usia adalah rasa iri hati terhadap generasi muda. Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, untuk menyaksikan generasi muda menikmati permulaan sukses hidupnya, diperlukan keberanian dan kemurahan hati tanpa rasa dendam dan iri hati. Seseorang dapat menghadapi proses menua tanpa rasa takut dan kecewa.

Jika orang tidak menemukan pandangan baru dan yang indah serta menarik saat masa tuanya, mereka tentu akan iri hati akan kedudukan generasi muda dan biasanya akan berkembang menjadi rasa dendam. Bahaya rasa iri dan dendam ini sangat besar terutama pada masyarakat Barat, yang memberikan perhatian dan kesempatan terlalu besar kepada para pemuda. Terlebih orang-orang muda telah banyak belajar dan berlatih dan mengetahui banyak hal sehingga mereka tidak perlu lagi meminta pandangan dan nasehat dari orang yang lebih tua. Maka jurang antara generagi muda dan tua semakin lebar. Akibatnya orang lanjut usia menjalani hidupnya dengan perasaan pahit, iri dan benci. Kadang-kadang muncul hati yang jahat dalam dirinya, ia bersorak gembira apabila melihat kegagalan generasi muda dengan berkata “itu dulu sudah kukatakan”, meskipun disadarinya bahwa kata-kata itu tidak baik (Deeken, 1986: 20-21).

Sikap yang demikian menciptakan terjadinya jurang pemisah antara generasi muda dan tua, yang sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi. Akan tetapi antara yang tua dan yang muda seharunya saling bergandeng tangan dalam menjalani hidup setiap hari.

Sehubungan dengan itu, Rambangmuda (2008: 5) mengatakan kaum lanjut usia hendaknya mengurangi peran dan tanggung jawab sesuai dengan kondisi dan keterbatasan dirinya. Berilah kepercayaan kepada yang lebih muda, jangan ragu untuk menyerahkan tugas dan tanggungjawab kepada mereka dan jangan menunggu sampai diri tidak sanggup lagi mengerjakan sesuatu atau sampai orang lain memindahkan kita dengan tidak hormat. Akan sangat bijaksana kalau kita tahu diri, yakni jika mengetahui diri tidak bisa lagi mengerjakan sesuatu secara maksimal, kemudian menyerahkan dan memberi kepercayaan kepada yang lebih muda untuk mengambil alih tugas tersebut, disertai dengan sikap terbuka dan bersahabat dengan memberi dukungan kepada mereka sekalipun tidak secara langsung. Maka keterbukaan seperti ini tentu akan sangat dihargai dan dihormati orang lain.

c. Egoisme di Masa Lanjut Usia

Bahaya terbesar yang harus diatasi oleh orang lanjut usia adalah egoisme. Egoisme ini sering nampak dalam bentuk materialisme. Barang yang nyata menjadi paling penting seperti, soal makan dan minum, simpanan di bank, kedudukan yang menyenangkan dan sebagainya. Kepikunan dan egoisme nampak berupa nafsu akan kekuasaan, dorongan untuk menguasai, godaan untuk bertindak lalim terhadap keluarga dan lingkungannya. Menjadi sesutu hal yang membahayakan bagi orang lanjut usia menyadari bahwa setiap hari kekuatannya semakin berkurang. Hal ini membuat mereka menjadi sombong, keras kepala, dan rasa paling benar yang tanpa batas. Dalam keadaan semacam itu, mereka sering

berbuat sesuatu di luar kemampuannya misalnya, kalau dilarang jangan terlalu capek dan banyak bergerak demi menjaga kesehatan, akan tetapi anjuran itu tidak dipedulikan merasa diri masih kuat dan kurang menerima keterbatasan dan kelemahan dirinya.

Berbicara mengenai kesombongan masa tua, tidak hanya membuat orang tidak simpatik, tetapi juga menjadi bahan tertawaan. Sering kali terjadi orang yang sukses dan terhormat pada masa mudanya, setelah menjadi lanjut usia menjadi orang yang tidak dapat diterima, karena mau benar sendiri, dan dengan sepenuh hasrat mau mementingkan diri sendiri tanpa peduli dengan yang lain (Deeken, 1986: 25-26).

Menurut Rambangmuda (2008: 14-15) orang yang melewati usia muda dengan baik jauh lebih siap memasuki masa tua. Sedangkan orang yang melewati usia muda tidak mulus banyak mengalami problem, kurang siap untuk memasuki usia tua. Bila pada usia muda orang melakukan hal-hal yang baik, pada masa tua ia akan menuai kebaikan dan kebahagiaan. Dengan demikian menjadi tua bukanlah suatu penyakit dan menjadi momok yang menakutkan, tetapi sebuah realitas yang wajar dan harus dialami oleh setiap orang sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Oleh karena itu nikmatilah masa tua itu dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Apapun yang terjadi, terimalah sebagai sebuah realitas yang harus kita hadapi dalam hidup ini.

d. Menjadi Pelupa

Kehilangan, ketergantungan fisik dan kemunduran mental merupakan hal yang sangat menakutkan, dan menyedihkan bagi kaum lanjut usia. Pada umumnya setiap orang bisa lupa, dan tidak terbatas pada lanjut usia saja. Namun sudah menjadi pandangan umum bahwa pelupa diidentikkan pada umur lanjut usia. Banyak orang tidak lagi menuntut banyak daya ingatan mereka setelah mereka menyelesaikan pendidikan formal sehingga daya ingatan berkurang. Setiap orang mempunyai tingkat yang berbeda dalam kecenderungan untuk menjadi pelupa. Ada orang yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah melupakan wajah, tetapi mereka hanya tidak dapat mengingat nama. Begitu pula dengan orang lanjut usia juga mengalami kelupaan tetapi mereka tidak mau mengakuinya dan merasa malu kalau diketahui orang lain. Karena takut mendengar, “ia sudah pikun”.

Meskipun terjadi kemajuan-kemajuan besar dalam pengetahuan kedokteran tentang cara kerja ingatan setiap orang, tidak ada satu hal pun yang dapat dengan cepat menentukan apakah kerusakan ingatan orang merupakan sesuatu yang organik atau bisa dipulihkan lagi. Banyak orang lanjut usia, telah belajar untuk menyesuaikan diri dengan tempat dan barang-barang yang akan dipergunakan dan menempatkan selalu di tempat yang sama, agar barang dan lokasinya selalu teringat dalam ingatan.

Hester (1995: 110-112) menulis pendapat Dr. Robert Butler yang menyarankan agar setiap orang tidak memadati ingatannya dengan hal-hal yang tidak penting karena semakin lama ia hidup, semakin banyak informasi yang ia serap, hal inilah yang mempersulit proses untuk mengingat kembali. Peningkatan

dan penajaman perhatian bisa membuat kekuatan ingatan, tetapi hal itu bukan hal yang unik bagi lanjut usia. Menjadi lanjut usia berarti pendengaran dan penglihatan melemah. Orang yang sudah lanjut usia harus tinggal dalam ketulian, dan hanya menerima sedikit rangsangan, dan tidak begitu perlu menggunakan daya ingatannya. Oleh karena itu untuk tetap merangsang daya ingatan maka orang mulai bermain kartu dan bermain kata dengan teka-teki silang yang memerlukan ingatan. Tampaknya banyak orang tua menyadari akan apa yang sedang terjadi dan menanggung semua ini secara diam-diam.

Dalam hal ini Hester (1995: 110-113) menuliskan pendapat Dr. Bruckhein yang menyatakan, meskipun daya ingat yang membuat orang mampu mengingat nama menurun, namun hal-hal yang penting tidak menghilang begitu saja. Dari hasil tes ia mempunyai bukti bahwa orang-orang yang berusia tujuh puluh dan delapan puluhan bisa menunjukkan hasil yang sama baiknnya dengan orang muda. Maka orang yang melatih ingatan dengan baik, akan memelihara ingatannya sampai mereka menjadi lanjut usia. Terbukti banyak orang yang tetap cukup baik keadaan mentalnya sepanjang hidup mereka.