• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman tentang Ketahanan Hidup Religius

BAB III. PENELITIAN TENTANG MAKNA RETRET TERBIMBING

C. Laporan Hasil Penelitian tentang Makna Retret Terbimbing

1. Pemahaman tentang Ketahanan Hidup Religius

Ketahanan hidup religius merupakan satu hal yang mutlak, pokok yang harus dimiliki oleh seorang religius dalam menjalankan panggilan hidupnya.

Dengan ketahanan hidup religius ini, seorang religius memiliki kekuatan dalam diri atau sikap untuk menghadapi berbagai tantangan dalam hidup panggilannya. Maka seorang religius yang memiliki ketahanan dalam hidupnya, akan dapat menjalankan tugas perutusannya dengan baik dan dapat menghayati ketiga nasihat Injil serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pemaparan berikut ini terarah kepada pemahaman tentang ketahanan hidup religius.

a. Pengertian tentang Ketahanan Hidup Religius

Ketahanan hidup religius menjadi suatu kekuatan yang dapat membantu suster yunior untuk dapat menghayati ketiga nasihat Injil dengan baik, dan dapat mengamalkannya dalam hidup sehari-hari. Dengan memiliki ketahanan hidup religius, suster yunior memiliki kekuatan untuk dapat menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan yang dialami dalam hidup panggilan. Ketahanan hidup religius adalah suatu keadaan dinamis di mana seorang religius mampu menyesuaikan diri dengan keadaan, memiliki kepekaan dan kemampuan dalam menghadapi segala macam bentuk ancaman dan tantangan (Simatupang, 1980: 7-8). Karena ketahanan hidup religius itu dipandang penting maka menurut R7 dan R8, seorang religius yang kuat, setia dan sabar dalam hidup panggilan. Kekuatan ini menandakan bahwa seorang religius ketika ditantang tetap bertahan dalam hidup panggilan, tidak mudah putus asa, dan selalu mencari jalan keluar ketika mengalami kesulitan dalam hidup.

R3 dan beberapa responden mendefenisikan bahwa ketahanan hidup religius adalah orang yang tahan banting, baik dalam hidup bersama dan juga dalam hidup karya. Seorang religius yang memiliki ketahanan dalam hidup

religiusnya tentu akan menjalankan karya yang dipercayakan dengan baik, dan dapat mempertanggung jawabkan apa yang menjadi tugasnya. Seorang religius yang memiliki ketahanan hidup religius juga, mampu menerima konsekuensi dalam hidup religiusnya dan dapat menghayati dan menemukan diri sebagai religius yang sejati. Sebagai religius sejati yang memiliki ketahanan hidup religius, R1 mengungkapkan bahwa “Orang yang memiliki pengorbanan untuk menerima pengalaman masa lalu, menggali dan mengolahnya serta mampu melihat arti hidup religius dan memaknai dalam hidup hariannya. Dengan itu dia dapat menemukan jati diri sebagai religius yang sejati (Lampiran 1.1).

Untuk sampai pada tahap menemukan jati diri, seorang religius membutuhkan pengolahan. Pengolahan ini menurut R2, mengolah pengalaman yang tentunya pengalaman dalam hidup religius, baik dalam hidup karya, maupun dalam hidup bersama, dan mengolah pengalaman dalam penghayatan ketiga nasihat Injil. Dengan pengolahan dari hari kehari, selain membantu seorang religius untuk dapat menemukan jati dirinya, tetapi juga dapat membantu untuk memurnikan kembali motivasi hidupnya untuk menjadi seorang religius yang baik.

Ketahanan hidup religius juga merupakan sikap batin. Sikap batin adalah dasar-dasar dari keputusan-keputusan yang serius yang menentukan sikap hidup orang lain (Hendricus, 2006: 76). Dengan adanya sikap batin ini seorang religius mampu memahami dan menerima sesama. Menerima dan memahami sesama dalam hidup religius tidak mudah membutuhkan pengorbanan, kesabaran dan kerendahan hati. Menurut R10, untuk dapat menentukan sikap hidup diri sendiri

dan tentang orang lain merupakan satu bentuk sikap kritis. Kritis dalam menerima segala tawaran dunia, kritis dalam memanfaatkan apa yang menjadi tawaran dunia itu sendiri. Dengan adanya sikap kritis yang dimiliki oleh seorang religius akan membantu untuk dapat membedakan mana yang baik dan kurang baik dalam panggilan hidupnya.

Ketahanan hidup religius juga dapat dipahami sebagai suatu proses pemurnian diri. Proses pemurnian adalah proses untuk memurnikan kembali motivasi hidup. Seorang religius yunior yang memiliki ketahanan hidup religius tentunya dari hari ke hari dapat membaharui hidup, dalam hal ini membaharui penghayatan ketiga nasihat Injil (Krispurwana, 2015:7). Membaharui ketiga nasihat Injil menurut R2 yang diawali dengan pengolahan. Pengolahan ini dapat terjadi juga melalui sharing. Dengan adaya sharing, seorang religius khususnya suster yunior dapat dibantu bahkan dapat belajar dari pengalaman sesama. Kekuatan sharing ini juga penulis temukan dalam hasil observasi di dua komunitas yaitu komunitas Surabaya dan komunitas Yogyakarta. Ada kesempatan untuk saling berbagi melalui sharing dan pembahasan konstitusi yang tidak lain berbicara tentang penghayatan ketiga nasihat Injil dan konsekuensinya sebagai seorang religius. Maka dengan sharing ini seorang religius khususnya suster yunior dapat menghayati hidup panggilan dengan lebih setia, kendati ada berbagai macam tantangan yang dialami dan dihadapi. Ditegaskan lagi oleh R9 bahwa, seorang religius tentunya memiliki keberanian dalam menghadapi tantangan dalam penghayatan hidup sebagai seorang religius.

b. Ciri-Ciri Seorang Religius yang Memiliki Ketahanan Hidup Religius Seorang religius yang memiliki ketahanan hidup religius dapat dilihat dalam praktek hidup sehari-hari, dan juga dalam penghayatan ketiga nasihat Injil. Ciri seorang religius yang dapat dikatakan memiliki ketahanan hidup religius adalah kesetiaan dalam menghayati dan mengamalkan ketiga nasihat Injil dalam hal ini, kaul kemurnian, kaul kemiskinan dan kaul ketaatan (KHK, Kan 654).

Kesetiaan dalam penghayatan ketiga nasihat Injil dapat ditemukan dalam berbagai kegiatan seperti yang diungkapkan oleh R9 dan beberapa responden bahwa memiliki semangat doa yang tinggi. Semangat doa yang tinggi ini dapat dilihat melalui kedisiplinan dalam hidup rohani, kesetiaan dalam membuat refleksi, kesetiaan dalam melakukan pemeriksaan batin, meditasi dan kontemplasi. Hal ini didukung juga dari hasil observasi yang penulis temukan bahwa, ada kesempatan bagi anggota komunitas dalam hal ini suster yunior untuk membuat refleksi, meditasi dan kontemplasi. Namun penulis menemukan bahwa kedisiplinan dalam hidup rohani masih perlu diperjuangkan dari hari ke hari. Hal ini disebabkan karena adanya tugas dari kampus yang kadang menyita waktu dan perhatian, juga kegiatan di komunitas yang meminta partisipasi dari suster yunior. Seorang religius yang memiliki semangat doa yang tinggi dalam hidup hariannya akan nampak menjadi pribadi yang sabar, rela berkorban, mau mendegarkan, setia dalam penghayatan ketiga nasihat Injil, bahkan siap ditugaskan di mana saja, serta mau bekerja apa saja sebagai salah satu pengamalan dari kaul ketaatan.

Ciri seorang religius yang memiliki ketahanan hidup religius juga dapat ditemukan seperti yang diungkapkan oleh R1:

Orang yang terbuka, gembira dalam hidup, berani untuk keluar dari diri, mampu menerima sesama, mau mendengarkan, memiliki semangat dalam hidup doa, setia mengikuti Perayaan Ekaristi, setia dalam kebersamaan, disiplin hidup doa tinggi, mampu menghayati kaul serta mengerti arti hidup religius (Lampiran 1.1).

Seorang religius yang gembira dalam hidup akan nampak dalam sikap hidup di mana terbuka menerima sesama. Kegembiraan dalam hidup menurut R3, adalah seorang religius yang selalu setia mengikuti kebersamaan. Kebersamaan dalam hidup religius dapat dilihat, yakni kebersamaan dalam makan bersama, doa bersama, rekreasi bersama, maupun pertemuan komunitas bersama. Dengan mengikuti kebersamaan ini, seorang religius yunior dapat dikatakan taat pada aturan komunitas. Ketaatan inipun merupakan penghayatan dan pengamalan dari ketiga nasihat Injil yang merupakan ciri seorang religius yang memiliki ketahanan dalam hidup religiusnya. Ketahanan ini juga menurut R2 adalah orang yang kuat dalam menghadapi tantangan, memasrahkan diri pada Tuhan, atau mengandalkan Tuhan dan setia dalam panggilan. Seorang religius yang selalu memasrahkan diri pada Tuhan atau mengandalkan kekuatan dari Tuhan, tentunya akan mendapat rahmat di mana tidak mudah putus asa dan tetap setia pada panggilannya. Hidupnya hanya untuk Kerajaan Allah (PC, art.1). Hidup seorang religius yang diabdikan hanya untuk Kerajaan Allah dapat juga ditunjukkan melalui sikap hidup sehari-hari seperti yang diungkapkan oleh R6 dan R7, memiliki sikap pengampun dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan.

Salah satu ciri seorang religius yang memiliki ketahanan hidup religius adalah setia mengikuti Perayaan Ekaristi. Seorang religius yang setia dalam mengikuti Perayaan Ekaristi mampu menjadi alter Kristus atau menjadi kristus

yang lain bagi sesama dalam menjalankan tugas peurutsan (Ignasius, 2011: 12). Karena bagi R1 dengan setia mengikuti Perayaan Ekaristi, seorang religius dapat mewartakan cinta kasih Tuhan kepada sesama dalam karya kerasulan, dan dapat membawa semakin bayak orang untuk dekat kepada Tuhan sendiri. Ekaristi juga menjadi puncak hidup doa dan puncak hidup bakti bagi seorang religius pada umumnya dan suster yunior pada khususnya. Ekaristi menjadi kekuatan baik secara jasmani maupun rohani di mana R2 dan R4, seorang religius menjadi kuat dalam menerima dan menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan dalam hidup panggilannya. Setiap kali ada godaan yang dialami tidak mudah putus asa, tetapi mampu mengatasi dan percaya bahwa Tuhan akan membantu dan belajar dari Yesus sendiri yang selalu taat pada kehendak Bapa serta mampu untuk mengatasi setiap godaan (Yoh 4 :34).

Ciri seorang religius yang memiliki ketahanan hidup religius adalah memiliki semangat dalam doa dan latihan rohani. Latihan rohani yang secara terus menerus merupakan ciri seorang religius yang memiliki ketahanan hidup religius. Latihan rohani itu penting karea dapat menambah iman dan sekaligus mengetahui kehendak Tuhan dalam setiap peristiwa hidup yang dialami (Darminta 1993: 33). Doa yang mendalam akan memberikan dampak bagi hidup religius dan dapat menjalani panggilan dengan penuh suka cita, sebab suka cita lahir dari relasi dengan Allah dan sesama (Adrianus, 2015: 216).

c. Upaya atau Usaha yang sudah Dilakukan oleh Kongregasi dan Komunitas agar Memiliki Ketahanan Hidup Religius

Dalam membangun ketahanan hidup religius, usaha dari kongregasi dan komunitas merupakan usaha dari luar. Usaha dari luar ini meliputi pembinaan dalam komunitas, peranan Tuhan melalui Roh Kudus dan karya kerasulan. Penting bagi suster yunior bahwa, karya kerasulan dapat membantu untuk dapat memiliki ketahanan hidup religius, di mana dalam karya perutusan banyak tantangan dan kesulitan yang dihadapi, tetapi suster yunior yang memiliki ketahanan hidup religius, mampu menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan. Hal inipun penulis temukan dalam hasil observasi bahwa, ada kesempatan untuk sharing karya baik karya kerasulan maupun tugas studi. Dengan kesempatan sharing ini suster yunior dapat dibantu agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Usaha yang sudah dilakukan oleh kongregasi dan komunitas agar membantu suster yunior memiliki ketahanan hidup religius adalah retret terbimbing, retret tahunan, pertemuan yuniorat dan live in. Usaha yang sudah dilakukan oleh komunitas yakni; rekoleksi komunitas, pertemuan komunitas, meditasi, kontemplasi, rekreasi, kunjungan keluarga, sharing karya, evaluasi kaul dan wawancara. Hal ini juga penulis temukan dalam hasil observasi baik di komunitas Yogyakarta maupun di komunitas Surabaya bahwa, suster yunior mengikuti retret yang disiapkan oleh kongregasi baik itu retret terbimbing, retret tahunan, pertemuan yuniorat, dan juga live in. Penulis juga melihat, komunitas mempunyai usaha atau upaya membantu suster yunior agar memiliki ketahanan

hidup religius. Setiap bulan ada kegiatan rekoleksi, ada meditasi, kontemplasi bahkan ada kesempatan untuk wawancara. Namum ada kendala yang ditemukan, suster yunior kurang memanfaatkan kesempatan yang disediakan komunitas dan kongregasi dengan baik, di mana dikarenakan ada tugas kampus yang juga menuntut keaktifan dan partisipasi dari suster yunior itu sendiri.

Penulis dalam studi dokumen hasil Musyawarah Umum ke VII, menemukan bahwa masih sebagian besar suster yunior yang belum mengikuti retret terbimbing yang disiapkan oleh kongregasi karena adanya kesibukan dalam tugas studi atau karya yang dipercayakan. Ini dapat mempengaruhi dalam hidup harian di mana kurang bertahan dalam hidup panggilan, mudah putus asa dan sering mengalami kesulitan dalam hidup bersama, karena belum sepenuhya mengolah diri dengan baik. Dari pusat spritualitas PRR ada dua kali kongregasi mengadakan retret terbimbing yakni pada tahun 2010 dan 2013.

Usaha yang dilakukan oleh kongregasi R1 dan beberapa responden lainnya mengatakan bahwa, ada kegiatan retret tahunan yang merupakan kewajiban bagi seorang religius PRR di mana sudah diatur dalam konstitusi. Ada juga retret terbimbing yang diperuntukkan bagi semua anggota kongregasi pada umumnya dan juga suster yunior pada khususnya. Ada juga pertemuan yuniorat di mana dapat dilakukan di beberapa tempat sesuai dengan banyaknya suster yunior di wilayah tersebut, dan ada juga kegiatan live in di mana membantu suster yunior untuk dapat belajar dari kehidupan umat mengenai kesetiaan, kerja keras, kesederhanaan dan rendah hati. Hal ini sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Frans Harjawiyata, bahwa seorang religius pada umumnya dan suster yunior

pada khususnya, perlu meyadari bahwa, mereka dipilih dari antara masyarakat dan untuk masyarakat. Artinya arah kerasulan dalam hidup religius yakni pelayanan masyarakat seluruhnya (Frasn, 1993b: 57).

R8 dan R6 melihat usaha yang dilakukan oleh komunitas, yakni rekoleksi, meditasi, kontemplasi, wawancara, sharing Kitab Suci, sharing konstitusi, sharing karya, evaluasi kaul, refleksi kaul, dan kunjungan keluarga. R3 dan R4 menambahkan bahwa ada juga ziarah komunitas di mana membantu meningkatkan penghayatan iman. R9 dan R10 juga melihat bahwa ada usaha yang sudah dilakukan oleh komunitas seperti kesetiaan mengikuti kebersamaan baik pertemuan komunitas, doa bersama dan makan bersama, dan lebih penting lagi sebagai seorang religius yang dilihat oleh R7 dan beberapa responden lainnya yaitu merayakan Perayaan Ekaristi. Penulis juga melihat melalui hasil observasi bahwa, selain suster yunior mengikuti Perayaan Ekaristi di Geraja bersama dengan umat, tetapi juga ada hari-hari tertentu ada Perayaan Ekaristi di komunitas di mana dalam kotbah Romo selalu menghubungkannya dengan bacaan Injil dan kehidupan religius.

d. Upaya atau Usaha yang sudah Dilakukan oleh Suster Sendiri agar Memiliki Ketahanan Hidup Religius

Suster yunior mempunyai usaha untuk membangun ketahanan hidup religius seperti yang ditemukan oleh penulis dalam hasil observasi di mana ada doa pribadi, doa bersama, jalan salib, meditasi, kontemplasi kesempatan untuk kunjungan keluarga, retret terbimbing dan rutinitas hidup rohani sebagai bagian dari formasi yang mana membantu suster yunior agar dapat memiliki ketahanan

hidup religius. Namun dalam wawancara, responden belum sadar bahwa retret terbimbing sebagai usaha dari dalam diri untuk membantu agar tetap memiliki ketahanan hidup religius.

R9 dan beberapa responden mengatakan bahwa dengan doa pribadi yang setiap hari dilakukan dapat membantu untuk semakin terbuka pada Rahmat Tuhan itu sendiri, setia menjalankan meditasi, mengikuti Perayaan Ekaristi, novena, doa Rosario dan refleksi harian. R8 melihat, ada kontemplasi dan jalan salib pribadi yang membantu untuk dapat menghayati penderitaan Kristus, sehingga pribadi menjadi tidak mudah putus asa, R10 menambahkan bahwa, tidak saja dengan jalan salib tetapi setia mengunjungi sakramen Maha Kudus, dan mengulangi doa-doa singkat atau doa-doa-doa-doa yang diwarisi oleh Pendiri.

R3 dan R2 melihat lebih jauh lagi bahwa selain kegiatan rohani ada juga usaha lain seperti mengolah pengalaman yang menantang di mana terbuka untuk berbagi dengan sesama di komunitas dan wawancara dengan pemimpin komunitas. Hal ini pun penulis temukan dalam hasil observasi bahwa ada jadwal doa dari setiap suster yunior, ada kesempatan untuk wawancara dengan pemimpin komunitas sebagai bagian dari formasi untuk membantu agar suster yunior tetap memiliki ketahanan hidup religius. R1 menambahkan bahwa, setia mengikuti kebersamaan dalam komunitas dan kunjungan keluarga di mana menjadi salah satu tradisi dari kongregasi.