• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanaman Nilai-nilai Agama Islam Dalam Mendukung Sosialisasi Anak Berkebutuhan Khusus di Kecamatan Kertosono Kabupaten

BAB II KAJIAN TEORI

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Setting Lokasi

C. Paparan Data

2. Penanaman Nilai-nilai Agama Islam Dalam Mendukung Sosialisasi Anak Berkebutuhan Khusus di Kecamatan Kertosono Kabupaten

160  

bersikap kurang baik atau salah. Namun hukuman yang diberikan anak hanya sebatas memberikan efek jera, tidak dari hati yang terdalam dengan tujuan agar anak tidak mengulangi perbuatan itu lagi.

2. Penanaman Nilai-nilai Agama Islam Dalam Mendukung Sosialisasi Anak Berkebutuhan Khusus di Kecamatan Kertosono Kabupaten Nganjuk

Sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran individu atau kelompok tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku agar dapat di terima dengan baik di masyarakat. Melalui proses sosialisasi seseorang atau sekelompok orang akan mengetahui dan memahami bagaimana ia atau mereka harus bertingkah laku di lingkungan masyarakatnya, juga mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya berdasarkan peranan-peranan yang dimilikinya.

Bagi Anak Berkebutuhan Khusus sosialisasi sangat dibutuhkan, karena pada dasarnya Anak Berkebutuhan Khusus rendah diri dalam masyarakat dampak dari keterbatasan baik secara fisik maupun mental yang ada pada diri mereka. Cara bersosialisasi bisa di lakukan pada saat proses penanaman nilai-nilai agama Islam berlangsung. Semisal, orang tua mengajak anak pergi belajar mengaji di TPQ atau anak di ajak mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat, sehingga berbaurnya Anak Berkebutuhan Khusus dengan masyarakat diharapkan mampu membangun kepercayaan diri dan kumunikasi yang terjalin dengan baik.

161  

Berdasarkan hasil penelitian, setiap keluarga mengajak anak bersosialisasi melalui penanaman nilai-nilai agama Islam, namun sosialisasi tersebut belum tentu berhasil karena beberapa anak dengan ketunaannya memang mempunyai sifat yang tidak ingin dengan keramaian ataupun karena faktor ketunaan yang dimilikinya sehingga anak tersebut percaya dirinya rendah (minder) dan melakukan segregasi (mengasingkan diri).

Pertama, hasil interview dengan BE Ibunda Cr, anak tunarungu yang

mengatakan bahwa Cr lebih suka di rumah, interaksi sosial dengan teman dan sekitarnya sangat kurang, hal itu disebabkan faktor bicara dan mendengarnya memang kurang baik. Secara detailnya sebagai berikut:

Komunikasi Cr dengan tetangga sekitar memang kurang sih karena Cr sering di rumah. Kadang kakaknya pun juga tidak paham apa yang di maksud Cr dan tanya saya. Saya berusaha mengajak dia mengaji di TPQ biar dia punya banyak teman namun dia menolak, lagian tidak semua ustadzahnya tahu bahasa isyarat anak tunarungu juga. Nah, kalau pas saya ada acara pengajian satu desa biasanya Cr saya ajak dan kadang mau ikut itupun kalau pas moodnya baik, tapi dia hanya duduk dan diam karena dia juga tidak mendengar apa yang di baca, selain itu setiap di ajak ngomong dia juga banyak diamnya karena tidak paham, baru kalau saya terjemhkan dengan bahasa isyarat dia baru bereaksi. Cr pun pilih-pilih teman saat di sekolah, hanya yang disukai yang dijadikan temannya, kalau tidak suka ya gak senang dia.46

Hampir sama dengan Cr, selain Rz tipe anak aktif, dari segi bicara dan mendengarnya pun terbatas sehingga berpengaruh terhadap tingkat sosialisasinya. Menurut BR, upaya dalam menanamkan nilai-nilai agama dengan harapan agar Rz mampu memiliki percaya diri dan mampu berbaur dengan lingkungan sekitar. Dengan mata berkaca-kaca BR menyatakan:       

162  

Rz sangat akrab dengan saya dan ayahnya karena kami yang memahami apa yg dikatakan Rz. Sebenarnya Rz ingin bermain bersama teman-temannya tapi Rz merasa minder karena sering tidak di anggap, teman-temannya tidak faham bahasa Rz. Setiap hari Rz saya ajak jamaah di masjid sebelah rumah tapi ya gitu, dia ndak bisa diam, gerak sana sini, Alhamdulillah nya tetangga sudah paham tingkah polah Rz. Untuk urusan ngaji sebenarnya Rz ingin ngaji di TPQ tapi dia tetap minder dengan keterbatasannya, pernah dia ikut mengaji di TPQ tetapi dia malah di ejek, akhirnya setiap hari dia hanya duduk di depan rumah melihat teman-temannya pergi ngaji di TPQ. Pernah juga saya ajak jamiyah yasin, maksud saya biar Rz itu kenal dengan masyarakat sekitar, namun karena keaktifannya saya kuwalahen, dan dicaci maki orang ”anak ndak bisa dibilangi”, “anak ndablek”, akhirnya sejak saat itu saya memutuskan untuk tidak mengajak Rz lagi, kasihan.47

Berbeda dengan Ar, walau Ar aktif tetapi dia selalu berusaha mengajak komunikasi orang yang ada disekitarnya, terbukti saat peneliti berada dirumahnya. Percakapan kecil pun terjadi antara peneliti dan Ar, Ar sebenarnya ingin bertanya siapa peneliti dan ada perlu apa ke rumah Ar. Peneliti tidak begitu paham apa yang di maksud Ar, namun setelah diterjemahkan oleh ibundanya, peneliti berusaha menjawab. Walau sama-sama tidak paham, namun Ar berusaha dengan mendekat dan memperhatikan gerak bibir dan isyarat dari lawan bicaranya.48 Beberapa saat kemudian BD menjelaskan maksud kedatangan peneliti pada Ar. Terkait dengan nilai moral, BD menjelaskan:

Ar itu anaknya mudah bergaul dengan siapapun sebenarnya. Dia setiap hari mengaji di TPQ dan punya beberapa teman yang mengerti dia tapi ya gitu, kadang kalau pas ndak cocok ya ngamuk. Sehingga mengaji Ar hanya intens di sekolah. Pada saat dia di bully atas kekurangannya, awalnya dia diam tetapi setelah itu dia akan marah dan mengamuk. Namun saya sebagai ibu juga berusaha memahamkan teman-temannya bahwa Ar memang berbeda dari kalian. Sering juga       

47 BR, Wawancara, Kertosono, 23 Februari 2018.

163  

saya ajak ke jamiyah rutinan, banyak gerak sih sambil memandang sana sini, namun kadang kalau sudah bosan dia lari pulang ke rumah.49

Kedua, sosialisasi melalui proses penanaman nilai-nilai agama Islam

pada anak tunagrahita. Intelegensi rendah, lambat untuk merespon, dan komunikasi yang sulit menjadi salah satu faktor untuk keluarga dalam menanamkan nilai-nilai agama Islam pada anak mereka yang menyandang tunagrahita. Salah satunya adalah BF orang tua Dr yang menyandang tunagrahita, menyatakan bahwa:

Komunikasi Dr itu baik walau tidak sesempurna anak normal, dia

sumeh (murah senyum) pada siapa saja, supel (mudah bergaul), anteng (tenang) dan banyak kenal dengan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan kelebihan itu, saya dan ayahnya sering mengajak Di kalau ada acara keagamaan di desa. Tujuan kami biar dia tambah

srawung (sosialisasi) dengan orang-orang dan teman-temannya.

Begitu juga dengan mengajinya, Dr ikut mengaji di TPQ sebelah rumah walau tidak setiap hari, namanya tidak saya daftarkan resmi sih, biar dia ikut-ikutan saja yang penting dia mau belajar dan punya banyak teman. Dan Alhamdulillah teman-temannya banyak yang mengerti Dr walau dengan keterbatasannya. Saya sering tahu Dari dapat makanan atau jajan dari tetangga, Dr bilang ke saya ”aku dikasih jajan sama tetangga bu, katanya Dr baik”. saya melihatnya senang dan saya hanya memotivasinya saja.50

Berbeda dengan BP orang tua dari Fj yang menyandang tunagrahita. BP mengatakan bahwa Fj memang dari kecil sudah dikenalkan dengan lingkungan sekitar rumah dan Fj pun mampu berkomunikasi dengan baik, hanya saja ada beberapa dari mereka yang tidak memahami maksud Fj. Begitu pula saat peneliti datang ke rumah Fj. Peneliti berusaha mengajak Fj

      

49 BD, Wawancara, Kertosono, 22 Desember 2017.

164  

untuk komunikasi dan bercanda, Fj merespon dengan baik.51 Namun, peneliti yang tidak begitu memahami maksud yang diungkapkan Fj.

Saya menanamkan nilai-nilai agama Islam hanya di rumah saja, sebenarnya ada TPQ dan Fj ingin mengaji di sana tapi tempatnya di seberang jalan, saya tidak tega, dan saya juga jarang bisa mengantarkan, akhirnya saya ajari mengaji di rumah. Begitu juga ayahnya tidak pernah mengajak Fj untuk ikut acara keagamaan di desa, karena Fj sendiri juga tidak mau. Tetapi srawung (sosialisasi) nya ar baik, dari kecil sudah saya biasakan bermain dengan tetangga. Terbukti setiap ditanya tetangga “mau kemana”, Fj menjawab sebisanya dan sambil senyum menunjuk satu arah tertentu. Ada lagi yang pinjam peralatan sepeda di rumah, dia mengerti dan mengambilkannya. Dia juga terkadang main bola sama teman-temannya, namun bila dia dijahili dia akan marah, dan kalau sudah marah susah untuk di kontrol.52

Keseharian anak memang tergantung dari bagaimana orang tua memberikan arahan dan tauladan. Begitu juga pada Hd, salah satu anak tunagrahita. Hd selalu mengikuti apa yang dikatakan oleh orang tuanya, apa yang di lakukan orang tua di tiru oleh Md sapaan akrabnya. Semisal, di rumah BH punya toko, komunikasi yang terjalin antara BH dengan tetangga sangat baik, hal itu terjadi saat proses jual beli. Hd yang sering membantu ibunya di toko, akhirnya meniru apa yang di lakukan ibunya. Md akhirnya

      

51 Fj, Observasi, Kertosono, 15 Januari 2018. 

165  

sering berinteraksi dengan orang-orang yang singgah di toko. Seperti yang dikatakan BH sebagai berikut:

Saya lebih menyerahkan urusan belajar dan mengaji Hd pada guru les privatnya, saya ajari juga tidak mau. Saya juga tidak mengajak Hd pada acara keagamaan di desa karena Md sendiri tidak mau dan lebih senang di rumah. Hd itu anak penurut, apa yang saya omongkan pasti akan di lakukan. Dia termasuk anak humoris, banyak senyum dan tidak mudah marah. Dia tipe anak yang senang di rumah, uthik ae (ada saja yang dikerjakan), karena bila dia main di luar dengan teman-temannya, dia khawatir kalo dia dijahili akhirnya dia nangis, dia tidak mau itu. Makanya, dia lebih senang komunikasi dengan orang yang usianya lebih tua, menurutnya meraka bisa mengerti kekurangan Md dan sering mengajak Md guyon. Md baik dengan siapa saja dan selalu berusaha menjawab segala pertanyaan yang ditujukan padanya walau kadang saya harus menterjemahkan. Di rumah saya ada toko, Md setiap hari saya suruh membantu saya melayani pembeli, tujuan saya biar Md terbiasa berkomunikasi dengan tetangga dan tidak minder.53

Ketiga, penanaman nilai-nilai agama Islam pada anak autis dalam

mendukung sosialisasnya di lingkungan masyarakat. Ciri khusus dari anak autis adalah senang menyendiri karena dia punya dunia sendiri, anak autis tidak begitu menghiraukan keadaan sekitarnya, sapaan atau bahkan panggilan pun tidak dihiraukan. Di saat mood anak autis baik, dia akan tenang, diam, dan penurut, namun bila dia disakiti akan ada rasa trauma dalam diri anak autis dan pada akhirnya dia akan menarik diri. Itu yang terjadi pada Dv, seperti yang diungkapkan BI selaku orang tua Dv, sebagai berikut:

Dv memang tidak mengaji di TPQ, namun hanya mengaji di sekolah saja. Tetapi saya selalu mengajaknya ikut pengajian dan Alhamdulillah selama ini setiap ikut sikapnya tenang walau dia hanya diam saja. Dia tidak banyak bicara, walau dia mau main ke rumah tetangga sebelah pun dia akan sedikit bicara dan dia hanya duduk dan memandang teman sekitarnya bermain. Dia lebih banyak diam, karena       

166  

dulu dia pernah ikut main tapi diejek, akhirnya dia trauma dan lebih banyak melihat saja. Saya harus memantaunya terus dan menjaga agar

mood nya selalu bagus, karena dia akan marah bila saat dia lagi asyik

dengan mainnya kemudian saya ingatkan sesuatu, kalau sudah marah sulit mengendalikannya. Dv suka sekali menggambar dan membuat ketrampilan, gambar yang dibuat Dv sangat bagus, dan kalau sudah menggambar dia akan fokus dan tidak bisa di ganggu.54

Saat peneliti berada di rumah Fm, pemandangan berbeda peneliti dapatkan. Fm termasuk tipe anak autis yang selalu gerak, dia selalu jalan kesana kemari tanpa tujuan. Dia tidak peduli dengan sekitarnya, karena memang dia tidak banyak teman.55 Seperti yang diungkapkan BA selaku nenek Fm, sebagai berikut:

Fm apabila di ajak komunikasi dia sebenarnya faham tapi dia tidak bisa menjawab atau kesulitan ngomong. Namun, pas dia bicara hanya beberapa kata tapi tidak jelas apa yang dikatakannya. Saya kesulitan untuk mengajarinya ngaji, makanya ngajinya Cuma di sekolahan saja. Saya juga tidak pernah mengajak Fm ikut pengajian karena dia nanti pasti akan jalan terus dan saya tidak bisa fokus ngaji.56

Berdasarkan hasil pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa penanaman nilai-nilai agama Islam dapat mendukung sosialisasi Anak Berkebutuhan Khusus baik anak tunarungu, tunagrahita, dan autis. Namun dari paparan data di atas, hampir semua anak baik tunarungu, tunagrahita, dan autis lebih banyak mengaji di rumah dan sekolah. Untuk kegiatan keagamaan, beberapa anak memang sengaja di ajak oleh orang tua dengan tujuan agar anak dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan ada yang hanya berdiam diri di rumah. Sehingga untuk proses sosialisasi bisa dikatakan masih sangat minim. Dijelaskan juga ada faktor lain yang yang dapat mendukung terwujudnya sosialisasi anak, yaitu keteladanan dan       

54 BI,Wawancara, Kertonono, 15 Januari 2018.

55 Fm, Observasi,Kertosono, 22 Desember 2017.

167  

pembiasaan dari keluarga. Berdasarkan hasil di atasa, hal tersebut juga sudah diterapkan pada masing-masing keluarga anak tunarungu, tunagrahita, dan autis.

3. Problematika Penanaman Nilai-nilai Agama Islam Pada Anak