• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

2. Pendampingan Di Pengadilan

Hal yang hampir sama pada proses pendampingan di pengadilan yang di lakukan pendamping kepada informan II yaitu KR. Pada saat proses pendampingan SD di pengadilan yaitu pendamping tetap mendampingi SD pada saat di pengadilan. Pendamping menuturka kepada peneliti. Berikut penuturannya:

“Pada proses pendampingan korban SD di pengadilan, sama seperti pendampingan yang abang lakukan pada KR. Abang tetap mendampinginya di pengadilan dan selalu memberitahukan kepada setiap siapa saja yang menjadi dampingan Pusaka, abang akan memberitahukan mengenai prosesi persidangannya. Abang juga kasih tau nama yang menjadi Hakimnya, Jaksanya dan semuanya yang ada di dalam persidangan. Abang juga akan menanyakan kepada korban mengenai kasus yang menimpanya. Hal tersebut di maksudkan agar supaya korban dapat mengingat kembali mengenai kronologis kasusnya supaya singkron antara keterangan yang telah diambil di kepolisian dengan keterangan yang akan di sampaikan di persidangan ini”.

Ketika peneliti menyakan kepada SD dan ibu SD mengenai monitoring persidangan selanjutnya, apakah pendamping mau untuk memonitoring persidangan, kemudian Ibu SD menjelaskan kepada peneliti:” Gini lo dek. Kami kan buta dengan hukum. Kami gak tau kek mana persidangan itu. Persidangan pertama SD saya sudah capek karena harus kesanala, kesinila. Lama-lam ibu juga akan sakit kalau kayak itu. Kami uda percaya dengan Bapak Mitra. Jadi kami minta supaya Bapak Mitra saja yang terus mengahadiri persidangan selanjutnya. Lagi pula saya sudah benci kali dengan tersangka AG itu. Saya tidak mau lihat muka AG lagi. Mangkanya Bapak Mitra saja yang menghadiri sidang selanjutnya. Tapi kami selalu di kasi tau kok kek mana perkembangan kasusnya”.

Jika di analisis dari wawancara tersebut, maka dapat dilihat bahwa pendampingan yang dilakukan sedikit banyaknya dapat berpengaruh kepada tingkat keprcayaan klien terhadap Yayasan Pusaka Indonesia. Apabila pendamping memberikan pelayanan yang baik kepada klien, dalam konteks penelitian ini adalah korban (KR) maka baik dari korban maupun keluarga korban akan merasa ringan terhadap beban yang selama ini mereka pikul.

5.3.2 Upaya Non Litigasi 1. Rehabilitasi Fisik

Tugas pendamping ketika hendak melakukan Rehabilitasi Fisik maka harus memperhatikan hal-hal berikut yaitu bertanya kepada korban terlebih dahulu mengenai kesehatan fisiknya, mendengarkan dan mencatat keluhannya mengenai bagian fisik korban yang terasa sakit, dan segera merujuk korban ke Rmah Sakit apabila korban merasakan sakit yang luar biasa, memberitahukan kepada keluarga korban mengenai perkembangan kondisi kesehatanya. Hal tersebut di maksudkan agar keluarga dapat menjaga dan memberikan perhatian kepada korban dami kelangsungan kesehatan dari korban.

Sesuai penuturan SD kepada peneliti yaitu:”Kemaren aku sempat di rehabilitasi juga kak, tapi Cuma sebentar, Aku di bawa ke Rumah Sakit aja kak. Di Rumah Sakit itu aku di kasi Vitamin. Rahim sama kemaluan ku di periksa. Malu aku kak. Tapi kata Dokternya gak papa. Biar gak dak Virus di dalam tubuhku. Kemaren aku di periksa di Rumah Sakit Pirngadi kak. Biayanya semua yang tanggung bang Mitra pokonnya aku tinggal ngikuti aja apa kata bang Mitra sama Dokter sama Perawatnya kak”.

Ketika di Tanya mengenai apakah pendamping menemani SD saat rehabilitasi fisik, SD bercerita bahwa ia memang di temani oleh pendampingnya saat di Rumah Sakit. Tetapi tidak sampai memasuki ruangan pemeriksaan. Hal tersebut di maksudkan agar dokter dapat dengan leluasa memeriksa SD tanpa

harus merasa segan dengan kehadiran pendampingnya. SD juga menambahkan kepada peneliti bahwa setelah ia mendapatkan rehabilitasi fisik di Rumah Sakit Pirngadi tersebut, ia mengalami perubahan dalam kesehatannya. SD tidak pernah merasakan nyeri lagi di bagian perutnya.

2. Rehabilitasi Psikologis

Standard Operatoinal Procedure dalam pendampingan Rehabilitasi Psikologis yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia yaitu pendamping harus memberikan rasa nyaman kepada korban, pendamping harus memberitahukan kepada korban mengenai rencana akan di adakannya tes psikologis, serta sebagai pendamping juga harus memfasilitasi korban agar ia mau dan mampu untuk mengungkapkan perasaannya.

Ketika ditanya mengenai apakah SD menerima upaya rehabilitasi psikologis dari Yayasan Pusaka Indonesia, SD mengakui bahwa ia mendapatkan upaya rehabilitasi tersebut. Tetapi ia tidak mengetahui secara pasti, uapaya rehabilitasi tersebut di lakukan oleh pihak pemerintah atau dari pihak YPI, dengan gamblang SD menuturkan kepada peneliti. Berikut penuturan SD:

“Memang kemaren aku di suruh datang ke Pusaka sama bg Mitra kak. Samapi di Pusaka, aku di Tanya-tanyai sama kakak pakek jilbab. Orangnya cantik kak. Karena sama-sama perempuan, aku jadi enak gitu ngbrolnya. Banyak yang di tanyak sama aku kak. Terus aku di kasi permainan gitu, aku di suru menyelesaikan permainannya. Terus aku disuruh nggambar. Waktu itu aku nggambar pohon sama bunga kak. Selesai nggambar aku di suruhnya nunggu. Terus bang Mitra datang ke ruanganku itu terus aku di bawa keluar ruangan itu”.

Diketahui bahwa yang melakukan upaya rehaboilitasi Psikologis itu adalah pihak dari Yayasan Pusaka Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari bang Mitra sebagai pendamping yang ada di Yayasan Pusaka Indonesia. Berikut penuturan bang Mitra:

“Kalau upaya Rehabilitasi Psikologis yang diterima SD itu merupakan rehabilitasi yang difasilitasi oleh Yayasan Pusaka Indonesia. Kami bekerjasama dengan mahasiswa psikologi USU untuk mengetahui kesehatan mental dari SD. Agar saya sebagai pendamping dari SD dapat dengan mudah untuk menghadapinya”. Ketika dilakukan upaya rehabilitasi psikologis tersebut, saya tetap mendamping SD walaupun saya tidak mengikuti setiap prosesi yang dijalani oleh SD. Saya hanya memantaunya saja dari luar. Karena saya ingin memberikan kebebasan pada adek-adek mahasisawa yang dari USU dapat secara leluasa dalam menangai si SD ini”.

Pendamping juga menuturkan kepada peneliti bahwa, adanya perubahan secara emosional yang telah di tunjukkan SD setelah ia mengikuti psosesi rehabilitasi Psikologis. SD juga terlihat lebih tenang dan SD juga terlihat lebih terbuka dengan orang yang ada di sekitarnya.

3. Rumah Aman (Shelter)

Menjaga keamanan korban adalah tugas penting dari seorang pendamping. Seorang pendamping harus tetap menjaga agar korban merasa aman ketika ia berada di suatu tempat. Yayasan Pusaka Indonesia menyediakan sebuah Rumah Aman (Shelter) yang keberadaan Shelter tersebut di rahasiakan dari masyarakat umum. Hal tersebut bertujuan agar korban mendapatkan memikirkan penyelesaian masalah yang tengah di hadapinya dengan tenang dan jauh dari intervensi orang lain.

Pengakuan dari pendamping SD, mengatakan bahwa, pada saat kejadian itu SD merasa bahwa jiwanya terancam. Kemudian karena hal tersebut SD kemudian di titipkan di Rumah Aman Pusaka. Di Rumah Aman Pusaka SD mengaku bahwa segala kebutuhannya terpenuhi. Pendampingnya selalu menyediakan kebutuhan yang dibtuhkan oleh SD. Berikut penuturan SD:

“Di Rumah Aman itu kak, aku di kasi makan setiap hari. Kadang-kadang aku juga ikut masak sama pegawai yang ada di Shelter itu. Kadang-kadang bg Mitra juga ikut masak. Setiap hari aku nyapu, masak, nyuci baju ku sendiri. Ya sama keadaannya kalau aku lagi di rumah. Cuma bedanya kalau di Shelter gak ada mamak, bapak, abang sama adek ku kak”.

Selama aku di Shelter itu kak, aku sering di suruh menggambar. Sebenarnya aku gak begitu suka menggambar, tetapi karena uda jadi rutinitas ku. Jadi suka aku kak”.

Berdasarkan pemaparan SD tersebut, peneliti melihat bahwa upaya pendamping dari YPI dapat membuat SD mendapatkan keahlian yang baru yaitu SD sekarang sudah mulai tertarik untuk menggambar. Dengan adanya rasa ketertarikan tersebut, maka SD sudah mempunyai keterampilan yang dapat ia kembangkan apabila ia keluar dari Shelter. dengan kata lain, bahwa SD mendapatkan hal yang psoitif untuk melanjutkan kehidupan di masa depannya.

5.3.3 Reintegrasi

Proses Reintergrasi yang di hadapi oleh SD tidak ada. Hal tersebut di sebabkan kerena SD mengalami tindak eksploitasi seksual berada dalam lingkup Daerah kota Medan. Proses reintegrasi yang dilakukan pendamping kepada SD sendiri yaitu pada saat pemulangan SD ke Rumah keluarganya saja. Setelah SD sudah merasa keadaannya sudah aman. Pendamping menghubungi keluarga SD untuk memberitahukan rencana pemulangannya kepada keluarga. Karena keluarga SD juga menganggap bahwa keadaan SD sudah benar-benar aman. Keluarganya menerima kepulangan SD. Hal tersebut di benarkan oleh Ibu SD. Berikut penuturannya:

“Kami uda cukup senanglah dek, karena si SD telah di tempatkan di Rumah Aman. Waktu pak Mitra nghubungi kami, kalau SD mau pulang ke rumah lagi. Saya bertanya sama pak Mitra, apakah keadaan SD sudah aman atau belum. Kalau sudah aman kami akan menjemputnya di Shelter. Kemudian pak Mitra bilang, jika orang ibu gak perlu sampai menjemputnya. Nanti akan di antar oleh pak Mitra. Pada waktu itu, kami memang benar-benar menunggu kepulangan SD ke rumah dek. Walau bagaimanapun kondisi SD waktu itu, ibu tetap menerima dia sebagai anak ibu”.

Penuturan pendamping kepada peneliti bahwa, tidak semua anak yang mengalami kasus eksploitasi seksual harus di Integrasi. Tergantung letak kota yang

menjadi tujuan eksploitasinya. Apabila korban di eksploitasi di dalam kota, maka pendamping YPI hanya menyediakan Shelter atau Rumah Aman agar anak yang menjadi korban tindak eksploitasi seksual itu dapat merasa aman.

Berdasarkan pemaparan dari pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia tersebut, maka peneliti dapat menilai bahwa segala keprofesionalisme kinerja pegawai yang menjadi pendamping di Yayasan Pusaka Indonesia telah menjalankan SPO dalam penanganan kasus-kasus yang di tangani oleh YPI dengan baik. Selain itu, peneliti juga dapat menilai, bahwa segala bentuk pelayanan pendampingan yang dilakukan oleh YPI juga memberikan dampak yang positif bagi perkembangan sosial korban ketika ia mulai berinteraksi dengan lingkungan keluarganya maupun ketika ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan untuk mengetahui Peranan Yayasan Pusaka Indonesia dalam proses pendampingan korban eksploitasi seksual pada anak, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Peranan pendamping Yayasan Pusaka Indonesia dalam proses pendampingan anak yang menjadi korban eksploitasi seksual yaitu melakukan Upaya Litigasi (Hukum). Pada upaya Litigasi, pendamping melakukan tugas mendampingi korban saat pelaporan di kepolisian dan mendampingi korban pada saat di pengadilan.

2. Peranan pendamping Yayasan Pusaka Indonesia dalam proses pendampingan anak yang menjadi korban eksploitasi seksual yaitu melakukan Upaya Non Litigasi. Upaya pendampingan Non Litigasi ini, pendamping harus memastikan bahwa anak yang menjadi korban tersebut mendapatkan Rehabilitsi, baik Rehabilitasi Fisik, Rehabilitasi Psikologis, dan juga adanya suatu upaya pemulangan korban atau Reintegrasi korban ke daerah asalnya. 3. Dalam menjalankan tugasnya seorang pendamping harus tetap mempunyai

Standart Operational Procedur dalam Penanganan Kasus yang di tangani oleh Yayasan Puska Indonesia. Seorang pendamping tidak boleh melanggar segala aturan yang telah menjadi Standart Operational Procedur yang ada di Yayasan Pusaka Indonesia. Sebagai seorang pendamping, bahwa ia harus memberikan hal yang terbaik untuk kepentingan anak dan tidak dibenarkan bahwa seorang pendamping melakukan tindakan diskriminasi. Baik dalam segi Agama, Suku, Ras dan Budaya.

6.2 Saran

1. Pemerintah maupun Lembaga Sosial mempunyai tanggung jawab dan peranan yang sangat penting dalam menangani permasalahan anak. Peranan itu dapat berupa perumusan sistem maupun program yang tepat untuk menyelesaikan isu mengenai permasalahan yang di hadapi oleh anak khususnya isu anak yang mengalami tindakan Eksploitasi Seksual khususnya dalam melakukan upaya Rehabilitasi. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah agar anak yang telah menjadi korban Eksploitasi Seksual dapat merangkai rencana dalam mewujudkan cita-citanya di masa depan.

2. Perlu adanya penyuluhan terhadap orang tua dan masyarakat ketika anak sudah menjadi korban tindak Eksploitasi Seksual, anak mempunyai hak untuk di lindungi. Hal tersebut tertuang secara jelas pada UU No. 23 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa setiap anak mendapatkan hak yang sama untuk hidup dan berkembang tanpa diskriminasi seperti anak pada umumnya. Jadi, dengan kata lain bahwa setiap lapisan masyarakat harus melindungi semua anak baik yang menjadi korban tindak Eksploitasi Seksual ataupun tidak agar anak dapat meneruskan cita-cita bangsa Indonesia kedepannya.

3. Diperlukannya pengembangan khasanah ilmu pengetahuan yang membahas mengenai pentingnya peran dari seorang pendamping ketika menangani kasus anak yang menjadi korban eksploitasi seksual dengan tujuan untuk mmperkaya pemahaman dalam membahas permasalahan ini secara mendalam sehingga di harapkan mampu untuk menghasilkan solusi yang efektif dalam melakukan upaya pencegahan, dan advokasi ketika anak menjadi korban eksploitasi seksual.