• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

3. Rumah Aman ( Shelter)

Rumah Aman yang sering disebut juga shelter dapat diartikan sebagai tempat menyingkir sementara waktu, guna memberikan kesempatan kepada anak korban eksploitasi seksual untuk dapat memikirkan masalanya dengan tenang dan jauh dari intervensi orang lain. Keberadaan shelter sangat di butuhkan apalagi jika anak korban merasa terancam jiwa dan keselamatannya, emosi labil dan perlu ketenangan untuk memikirkan masalahnya (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 30).

Rumah Aman (Shelter) bagi NB merupakan rumah yang sangat memberikannya perlindungan. Di dalam Shelter NB merasa sangat senang karena ia mendapatkan pengalaman serta keterampilan yang selama ini ia tidak mengerti. Terlihat dari raut wajahnya ketika bercerita dengan peneliti “senang kali aku kan di dalam Shelter. Di sana

aku diajari sama orang-orang yang ada di sana buat bunga am bros. Dari buat bunga-bunga sama bros itulah aku jadi tau, jadinya aku sekarang gak perlu lagi beli-beli bros. Aku memang gak pakek jilbab kk, Cuma kalau ku taruk di baju kan cantik juga. Kadang-kadang kawan-kawanku malah mintak buatkan sama aku”.

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, NB memang sangat menikmati ketrampilan yang tealah diberikan oleh pendampingnya saat di dalam Shelter. Menurut penuturan NB, ia berada di dalam Shelter selama 3 minggu. Dalam waktu 3 minggu itu, ia selalu mendapatkan pelajaran keterampilan yang berbeda-beda. Menurut NB, pendamping selalu berkomunikasi dengan baik dengan pegawai Shelter maupun dengannya. Berikut penuturan NB:

“Abang yang dari Pusaka itu kak, selalu nemeni aku kalau aku dikasi pelatihan sama pegai Shelter, kami belajar sama kalu buat-buat keterampilan gitu. Tapia abang itu gak begitu pande kak, kalau di ajari, salah-salah aja. Pokoknya susahla abang itu. Tapi baik kali abang itu kak, mau nemeni aku di Shelter sampai dia gk pulang-pulang ke rumah”.

Tugas seorang pendamping ketika klien atau korban eksploitasi seksual berada di dalam Shelter adalah memenuhi segala kebutuhan dasar korban. Hal tersebut di maksudkan agar ia merasa nyaman dan menganggap bahwa ia memang berada di rumahnya sendiri. Penuturan dari NB bahwa segala kebutuhannya saat di dalam Shelter memang dipenuhi. Tidak pernah sekali pun ia merasa kekurangan atau merasa tidak di perdulikan dengan pendamping saat di dalam Shelter. NB juga menambahkan, bahwa ia selalu di beri piket untuk memasak. Dan dia mengaku karena dengan adanya piket tersebut, ia sekarang bisa memasak. Berikut penuturan NB:

“Waktu di Shelter kak, aku sering di suruh masak. Sama pendamping di sana di buat piket. Katanya biar aku bisa masak. Memang betul kata pendamping itu kak. Sekarang aku agak sedikit lebih jago masak. Mau masakan apa pun aku uda bisa. Kalau dulu, aku suka nyuruh-nyuruh mama untuk masak sesuatu. Dulu masak mie goreng aja aku gak pintar kak, kalau sekarang, mau masakkan yang susah sekali pun aku uda bisa memasaknya. Jadi senang aku kak, jadi pengalaman itu sama aku kak”.

Dari hasil observasi yang dilakukan bahwa terlihat, sangat berdampak positif ketika anak yang telah menjadi korban eksploitasi seksual di tempatkan did lam Shelter, Karena dengan begitu anak korban merasa bahwa ia mampu untuk bersosialisasi kembali dengan lingkungan sosialnya.

5.1.2 Reintegrasi 1. Penilaian Resiko

Penilaian resiko merupakan suatu penilaian bahwa apakah daerah asal korban merupakan pilihan yang tepat untuk pemulangan korban. Sebagai seorang pendamping, maka pendamping harus mampu untuk menginformasikan kepada korban tentang rencana pemulangannya ke daerah asal, memiliki hubungan yang baik dengan jaringan kerja yang lain seperti Pemda, Kepolisian maupun LSM yang berada di daerah asala korban untuk membantu upaya pemulangan korban.

Sebagai seorang pendamping, bang Mitra selalu memberikan informasi kepada NB mengenai rencana pemulangannya. Terlihat jelas di wajah NB, bahwa ia tidak mau pulang ke daerah asalnya. Terkadang, sebagai seorang pendamping memiliki kendala dan kesulitan untuk membujuk korban agar ia mau untuk pulang ke daerah asalnya. Sebagai pendamping, bang Mitra selalu memberikan pengertian kepada NB bahwa orang tuanya selalu sayang kepada NB dan orang tuanya mau NB kembali ke rumah untuk tinggal bersama-sama lagi.

Penuturan NB:” waktu aku mau di pulangkan kerumah mama kak, aku di kawal sana sini. Uda macam artis aku rasa. Banyak kali polisi. Sampek wartawan yang mau meliput aja di haling-halanginya. Aku merasa aman kak. Banyak kali rupanya yang peduli sama aku. Itu yang buat aku, mau pulang. Awalnya aku memang gak mau pulang kak. Karena aku takut kalau di rumah gak di penuhi

kebutuhanku. Tapi karna ku tengok banyak kali yang sayang sama aku. Jadi kangen aku sama mama di rumah kak. “

Saat pemulangan NB ke rumah orang tuanya, orang tua NB merasa senang dan terharu karena NB sudah kembali lagi. Penurutan ibu SA, NB pulang kerumah di kawal sama polisi da di damping pendampinginya. Senang kali aku akhirnya anak ibu bisa pulang kerumah lagi. Ibu melihat NB makin gemuk. Dulu badan NB gak gemuk kek gijtu. Semenjak dia di dalam Shelter makin gemuk dia. NB Nampak tenang dan gak ada rasa takut walaupun dia di kawal sama polisi. Ibu juga seneng, karena banyak kali yang membantu keluarga kami”.

Penulis melihat, pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia telah mengambil langkah yang teapat untuk pemulangan korban. Sebagai anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya, maka memang sepatutnya NB untuk dipulangkan ke daerah asalnya. Selain itu, penulis juga melihat bahwa sikap pendamping tidak merasa canggung lagi ketika berinteraksi dengan NB dan keluarganya.

Ketika sudah kembali ke daerah asal NB, sebagai seorang pendamping, bang Mitra tidak meninggalkan NB untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Pendamping dan orang tua NB berusaha agar NB mau untuk berinteraksi dengan tetangganya. Penuturan ibu NB:

“Kami berusaha supaya mau si NB berkawan lagi sama tetangga-tetangga dekat rumah. Hari pertama dia di rumah, ya NB mengurung diri aja di kamar, karena banyak tetangga kami yang datang ke rumah untuk liat dia. Tapi gak mau dia keluar kamar. Kek gitu terus selama seminggu. Masuk hari ke Sembilan, dia udah sedikit mau untuk keluar ke teras, duduk-duduk sama kami di teras. Ya uda bisa ketawak-ketawaklah dia sama kami. Lama-lama masih datang tetangga ke rumah, tapi NB gak ke kamar lagi. Dia mau duduk juga di situ, tapi ya diam aja dia. Kalau di tanyain sama tetangga kadang dijawab, kadang-kadang di diami aja. Ya saya sebagai mamanya gak bisa memaksakan kehendak NB. Karna saya juga bisa merasakan kek mana penderitaan yang dia rasakan”.

Dari observasi yang dilakukan oleh peneliti melihat bahwa sebenarnya NB mau untuk berinteraksi kembali dengan masyarakat sekitar terutama tetangga rumahnya. Tetapi NB masih belum nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh tetangganya. Peneliti melihat, bahwa masyarakat tidak memberikan respon yang negatif terhadap NB. Mereka merasa kasihan dengan kejadian yang terjadi pada NB.