• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

1. Pendampingan Korban Di Kepolisian

Dalam menjalankan tugasnya, biasanya seorang pedamping melakukan tugas penyusunan kronologis peristiwa yang akan dijadikan acuan dalam melaporkan kasus yang tengah dihadapi oleh korban. Mendampingi korban saat melapor ke pihak yang

berwenang. Meghadirkan saksi-saksi dan alat bukti lainnya juga di perlukan karena dengan adanya saksi-saksi maka akan dapat mempermudah pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan. Sebagai seorang pendamping, melakukan pendampingan di kepolisian merupakan suatu keharusan karena hal itu untuk menjaga keamanan korban. Pada proses awal penyidikan, maka anak korban harus menjalani pemeriksaan di rumah sakit untuk memperoleh Visum et Repertum (VER) yang akan menjadi bukti laporan korban di kepolisian.

NB merupakan anak berusia 16 Tahun yang memiliki paras manis dengan kulit berwarna kuning langsat. Rambutnya yang ikal dan memiliki panjang hingga menutupi leher sering ia ikat apabila beraktifitas sehari-hari. NB merupakan anak yang memiliki rasa kesopanan yang tinggi dan memiliki sifat pemalu apabila ia berinteraksi dengan orang lain. Sepintas NB seperti anak normal yang lainnya yang kelihatan tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Dia selalu tertawa dan kadang sedikit menundukkan kepalanya saat sendiri.

NB mengalami kasus eksploitasi seksual saat ia duduk di kelas 1 bangku sekolah menengah pertama (SMP). NB bersama-sama dengan orang tuanya mendatangi Yayasan Pusaka Indonesia untuk melaporkan kasus yang tengah dihadapi oleh anaknya. Pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia menerima dengan tangan terbuka atas laporan dari anak korban tersebut. Menurut penuturannya, pendamping dari pihak Yayasan Pusaka Indonesia tetap mendampingi korban saat ia melapor ke pihak kepolisian. Berikut penuturannya:

Pertama kali datang ke Pusaka kami langsung disapa sama pegawai-pegawai yang kerja di situ. Aku sama mamaku ditanyak-tanyain sama pendamping Pusaka. Terus abis di Tanya-tanyai itu aku langsung diajaknya ke kantor polisi untuk melapor kasusku itu. Waktu dikantor polisi ya pendampingku itu tetap sama aku di situ. Ditemeni aku sampai proses penyelidikan itu selesai.”

NB merasa nyaman selama dalam proses pemeriksaan di kepolisian karena pendamping selalu mendampingi saat polisi melakukan penyelidikan terhadapnya. NB juga menuturkan bahwa pendamping telah berusaha secara maksimal. Pendamping juga telah membuat laporan pengaduan di kepolisian dengan menyertakan alat bukti pendukung lainnya seperti, akta kelahirannya, kartu keluarga, KTP, dan saksi. Anak korban juga di damping pada saat pengambilan Berita Acara Tambahan dan konfrontir saat di Kepolisian.

NB menuturkan kepada peneliti bahwa pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia melakukan komunikasi dan koordinasi dengan keluarganya. Pendamping juga memberitahukan perkembangan kasus yang dihadapi korban. Pendamping selalu menginformasikan kepada NB dan keluarganya mengenai hasil monitoring yang telah dilakukannya. Saat pemeriksaan atau Visuk Et Repertum terhadap NB, pendamping selalu mendampinginya di rumah sakit, selalu memberikan semangat dan motivasi agar korban bisa cepat menyelesaikan kasus yang tengah dihadapinya.

2. Pendampingan Korban di Pengadilan

Mendampingi korban saat di pengadilan merupakan kewajiban dari pendamping. Di pengadilan, pendamping biasanya mempertemukan korban dengan saksi. Pendamping memberikan penjelasan secara ringkas tentang prosesi persidangan yang akan di hadapi oleh anak korban. Di sini, peran pendamping sangat dibutuhkan. Pendamping harus mampu meyakinkan korban untuk berani memberikan kesaksian di depan persidangan. Hal yang juga harus diperhatikan pendamping adalah untuk menjauhkan korban dan saksi dari incaran pers atau media massa yang biasanya ada di pengadilan. Apabila korban telah selesai menjalani persidangan, pendamping berhak memberitajukan beberapa prosedur hukum yang

akan dijalani oleh korban hingga putusan pengadilan. Apabila korban berhalangan untuk menghadiri sidang selanjutnya, pendamping dari pihak Yayasan Pusaka Indonesia dapat melakukan monitoring terhadap persidangan selanjutnya hingga jatuhnya putusan hakim (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 39).

Mempertemukan korban dengan saksi merupakan salah satu tugas dari pendamping. Pendamping harus mengatur waktu pertemuan dengan korban dan saksi saat di pengadilan. Menurut penuturan NB, bahwa pendamping menjemput keluarga dan saksi untuk pergi bersama-sama ke pengadilan. Hal tersebut di lakukan untuk menjamin keselamatan korban dan saksi. Ketika ditanya apakah pendamping menjelaskan proses persidangan terhadap korban, NB kemudian menjawab bahwa pendamping saat di persidangan menjelaskan secara detail apa-apa saja yang harus dilakukannya saat dipersidangan. Berikut penuturan NB:

”Iya kak, waktu dipersidangan itu, baik kali abang itu. Aku diingatkannya tentang kejadian yang kemaren itu. Aku di suruhnya tenang kalau hakim nanyak-nanyakin aku.”

Selesai selesai pengambilan kesaksian di depan sidang pengadilan, pendamping memberitahukan kepada korban dan keluarga korban mengenai beberapa prosedur hukum yang harus dijalani oleh korban kembali hingga putusan pengadilan. Saat pengadilan selanjutnya anak korban mengatakan jika keluarga dan dirinya tidak dapat menghadiri persidangan selanjutnya karena anak korban berhalangan hadir. Sehingga, pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia melakukan monitoring persidangan selanjutnya.

Berdasarkan dari hasil observasi dan wawancara mendalam yang telah dipaparkan oleh korban, dapat dilihat bahwa pendamping dari Yayasan Pusaka Indonesia mengupayakan yang terbaik untuk kepentingan NB (korban). Pendamping menjalin komunikasi yang baik antara korban dan keluarga korban.

5.1.1 Upaya Non Litigasi 1. Rehabilitasi Fisik

Proses pemulihan Psiko-sosial dan penyedia pelayanan terhadap aak-anak yang menjadi korban Eksploitasi Seksual memerlukan waktu yang panjang dan dana yang besar. Hal ini mengingat ketika anak menjadi korban, ada berbagai pengaruh dan dampak terhadap kondisi fisik, mental dan sosial anak. Diperlukan konseling psikologis, medis dan sosial serta pemberian dukungan lain yang dibutuhkan oleh anak (PKPA Medan, Yayasan Setara, Kakak, YKAI, LA , Badan Pemberdayaan Masyarakat Manado, 2008: 36).

Ketika anak yang menjadi korban eksploitasi seksual diperlukannya suatu rehabilitasi atau pemulihan secara fisik agar anak dapat menjalani aktivitasnya kembali. NB mengaku bahwa upaya rehabilitasi fisik yang ia terima dirasakannya cukup membantu untuk pemulihan fisiknya. Berikut penuturan anak korban:

“Waktu abis kejadian itu aku dibawa sama pendampingku kak kerumah sakit. Di rumah sakit aku diperiksa sama doker. Aku diinfus. Sakit kali kak. Tapi abis diinfus dan dikasi obat udah enakkan badanku kak. Kemaren itu, sebelum dibawa kerumah sakit badanku sakit semua. Sampai gak terasa gitu badanku kk”.

Yayasan Pusaka Indonesia juga melakukan kerja sama dengan Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Pirngadi. Saat pemeriksaan di rumah sakit. Korban mengaku bahwa ia selalu didampingi oleh mama dan saudara kandungnya (kakak). Pengakuan dari mamanya: “Pemeriksaan di Rumah Sakit kemaren itu sangat membantulah dek. Selain membantu keluarga kami, NB pun uda merasa enakan. Biasanya kalau di rumah itu, dia selalu mengeluh sakitlah badannya, sakit kepalanya, linu-linu badannya. Setelah dia dibawa ke Rumah Sakit. Gak pernah lagi dia ngeluh-ngeluh sama kami”.

Setelah dilakukan observasi dan wawancara yang mendalam kepada korban. Maka dapat dilihat bahwa Rehabilitasi Fisik yang korban terima ternyata memberikan dampak positif terhadap kesehatan korban dan korban merasa kodisi fisiknya telah pulih kembali.