• Tidak ada hasil yang ditemukan

11.1 Dalam Semester II Tahun 2009, BPK telah memeriksa pendapatan pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Secara umum tujuan pemeriksaan atas pendapatan adalah untuk menilai apakah:

• sistem pengendalian intern yang terkait pendapatan negara/daerah telah dirancang dan dilaksanakan secara memadai untuk mencapai tujuan pengendalian; dan

• pemungutan, penatausahaan dan penyetoran pendapatan negara/ daerah telah mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pendapatan Negara

11.2 Pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pendapatan negara, dilakukan pada 11 kementerian/lembaga yang terdiri dari 47 obyek pemeriksaan, dengan cakupan pemeriksaan senilai Rp105,05 triliun dan total temuan Rp103,65 triliun atau 98,67% dari cakupan pemeriksaan.

Hasil Pemeriksaan

11.3 Sesuai dengan tujuan pemeriksaannya, hasil pemeriksaan disajikan dalam dua kategori yaitu sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan dan dinyatakan dalam sejumlah temuan. Setiap temuan dapat terdiri dari satu atau lebih kasus. Oleh karena itu, di dalam IHPS ini digunakan istilah kasus yang merupakan bagian dari temuan.

Sistem Pengendalian Intern

11.4 Salah satu tujuan pemeriksaan atas pendapatan negara adalah untuk menilai apakah sistem pengendalian intern (SPI) atas pendapatan sudah dirancang dan dilaksanakan secara memadai untuk mencapai tujuan pengendalian. 11.5 Penilaian SPI pada pemeriksaan atas pendapatan negara menggunakan

pendekatan delapan aspek pengendalian, yaitu pengendalian atas aspek organisasi, kebijakan, personalia, perencanaan, prosedur, pembukuan dan pencatatan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan dan pemeriksaan intern (OKP6). Khusus untuk pemeriksaan atas pengelolaan kehutanan TA 2007, 2008 dan 2009 (s.d. Triwulan III) menggunakan pendekatan COSO yang terdiri dari komponen-komponen lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi serta pemantauan.

98

11.6 SPI disebut memadai jika pengendalian atas aspek-aspek tersebut telah dirancang dan dilakukan sehingga entitas memiliki pengendalian yang memadai atas pengelolaan pendapatan negara.

11.7 Unsur-unsur pengendalian intern OKP6 atau komponen COSO tersebut digunakan sebagai suatu alat untuk melakukan evaluasi atas pengendalian intern pada pemeriksaan atas pendapatan negara.

11.8 Hasil pemeriksaan atas pendapatan negara menunjukkan adanya kelemahan pada aspek perencanaan, pembukuan dan pencatatan, serta pelaporan dan pertanggungjawaban yang menimbulkan kasus-kasus kelemahan SPI yang dikelompokkan sebagai berikut.

• Kelemahan atas sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan;

• Kelemahan atas sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja; dan

• Kelemahan atas struktur pengendalian intern.

11.9 Hasil evaluasi atas SPI menunjukkan 116 kasus kelemahan SPI yang terdiri dari 21 kasus kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, 57 kasus kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, serta 38 kasus kelemahan struktur pengendalian intern.

11.10 Sebanyak 21 kasus kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, terdiri atas:

• sebanyak 16 kasus pencatatan tidak/belum dilakukan atau tidak akurat; dan

• sebanyak 5 kasus sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai.

11.11 Kasus-kasus tersebut diantaranya:

• Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, pengelolaan dan pelaporan uang pengganti tidak didukung oleh sistem pengendalian intern yang memadai senilai Rp20,45 miliar;

• Dirjen Bea Cukai, pengembalian penerimaan senilai Rp1,48 miliar tidak dilaporkan dalam laporan bulanan penagihan dan pengembalian; dan

• Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jambi, pembukuan DBH SDA kehutanan pada kas umum daerah tidak tertib senilai Rp1,12 miliar.

11.12 Sebanyak 57 kasus kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, terdiri atas:

• sebanyak 5 kasus penyimpangan terhadap peraturan perundang- undangan bidang teknis tertentu atau ketentuan intern organisasi yang diperiksa tentang pendapatan dan belanja;

• sebanyak 46 kasus penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat hilangnya potensi penerimaan/pendapatan;

• sebanyak 4 kasus penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat peningkatan biaya/belanja; dan

• sebanyak 1 kasus lain-lain kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja.

11.13 Kasus-kasus tersebut diantaranya:

• Dirjen Pajak, KPP Wajib Pajak Besar I belum melakukan tindak lanjut secara optimal atas potensi penerimaan pajak maksimal senilai Rp38,65 triliun dari selisih peredaraan usaha PPN dan PPh;

• Dirjen Bea Cukai, hilangnya potensi pendapatan negara senilai Rp9,54 miliar karena kelalaian DJBC dan pengadilan pajak dalam proses banding keberatan oleh importir;

• Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur, duplikasi pungutan yang dibebankan kepada pemegang izin usaha kehutanan atas produksi hasil hutan senilai Rp16,78 miliar; dan

• Kementerian ESDM, penetapan tarif royalti secara tetap pada kontrak karya PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) dan PT Avocet Bolaang Mongondow (ABM) mengurangi potensi penerimaan negara bukan pajak sumber daya alam.

11.14 Sebanyak 38 kasus kelemahan struktur pengendalian intern, terdiri atas:

• sebanyak 8 kasus entitas tidak memiliki SOP yang formal untuk suatu prosedur atau keseluruhan prosedur;

• sebanyak 29 kasus SOP yang ada pada entitas tidak berjalan secara optimal atau tidak ditaati; dan

• sebanyak 1 kasus lain-lain kelemahan struktur pengendalian intern. 11.15 Kasus-kasus tersebut diantaranya:

• KPP Penanaman Modal Asing Tiga, terdapat kegiatan impor atas objek PPh pasal 22 dan PPN impor diindikasikan belum dipungut pajaknya senilai Rp171,54 miliar;

• Kejaksaan Tinggi Riau, penitipan barang bukti berupa uang pada beberapa kejaksaan negeri pada Bank Pemerintah belum mempunyai izin dari Menteri Keuangan senilai Rp2,20 miliar;

100

• Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur, penetapan harga patokan kayu oleh Menteri Perdagangan tidak memperhatikan harga pasar, mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara senilai Rp230,77 miliar; dan

• Penentuan tarif PSDH untuk Kayu Bulat Kecil (KBK) hanya 1 % tidak memperhatikan asas keadilan, mengakibatkan hilangnya kesempatan memperoleh penerimaan negara berupa PSDH senilai Rp107,34 miliar.

Penyebab Kelemahan SPI

11.16 Kasus-kasus kelemahan SPI pada umumnya terjadi karena para pelaksana belum memahami dan kurang memperhatikan ketentuan perundangan- undangan yang berlaku, serta pejabat yang bertanggungjawab belum optimal dalam pengawasan maupun pengendalian.

Rekomendasi atas Kelemahan SPI

11.17 Atas kasus-kasus kelemahan SPI, BPK telah merekomendasikan kepada pimpinan instansi agar memberi sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada pejabat yang bertanggungjawab, supaya meningkatkan pengawasan serta pengendalian dalam pelaksanaan kegiatan.

Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan

11.18 Selain kelemahan SPI, hasil pemeriksaan atas pendapatan negara juga mengungkapkan adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang- undangan yang mengakibatkan kerugian negara, potensi kerugian negara, kekurangan penerimaan negara, administrasi, ketidakhematan, dan ketidakefektifan. Jumlah dan nilai masing-masing kelompok temuan disajikan dalam tabel 12.

11.19 Berdasarkan tabel di atas, hasil pemeriksaan mengungkapkan 108 kasus senilai Rp1,04 triliun sebagai akibat adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang ditemukan dari hasil pemeriksaan atas pendapatan negara pada 11 kementerian/lembaga. Rincian per jenis temuan dapat dilihat pada lampiran 9 dan rincian per entitas dapat dilihat pada lampiran 10.

Tabel 12 : Kelompok Temuan Pemeriksaan atas Pendapatan Negara

No Kelompok Temuan Jumlah

Kasus

Nilai

(juta Rp)

Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan yang Mengakibatkan:

1 Kerugian Negara 1 151,51

2 Potensi Kerugian Negara 12 327.273,43

3 Kekurangan Penerimaan Negara 72 715,238,57

4 Administrasi 20 -

5 Ketidakefektifan 3 -

Kerugian Negara

11.20 Kerugian negara adalah berkurangnya kekayaan negara berupa uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

11.21 Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian negara pada umumnya meliputi kekurangan volume pekerjaan dan pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan. 11.22 Hasil pemeriksaan pendapatan negara menunjukkan bahwa terdapat

ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian negara yaitu Polda Nusa Tenggara Barat, terdapat kemahalan biaya pemeriksaan kesehatan pada pungutan pemeriksaan kesehatan calon bintara sekolah kepolisian negara (SPN) senilai Rp151,51 juta.

11.23 Polda Nusa Tenggara Barat, telah menindaklanjuti kasus kerugian negara tersebut dengan menyetorkannya ke kas negara senilai Rp151,51 juta.

Penyebab Kerugian Negara

11.24 Kasus tersebut disebabkan karena para pelaksana lalai tidak melaksanakan kegiatan secara terarah, efektif dan efisien. Selain itu, pengawasan dan pengendalian belum sepenuhnya dilaksanakan secara optimal.

Rekomendasi atas Kerugian Negara

11.25 Atas kasus tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada entitas yang diperiksa agar segera menyetorkan ke kas negara atas kerugian negara dan menyampaikan buktinya ke BPK.

Potensi Kerugian Negara

11.26 Potensi kerugian negara adalah adanya suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya.

11.27 Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan potensi kerugian negara pada umumnya meliputi aset dikuasai pihak lain, piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih, dan lain-lain.

11.28 Hasil pemeriksaan atas pendapatan negara menunjukkan bahwa terdapat ketidakpatuhan yang mengakibatkan potensi kerugian negara sebanyak 12 kasus senilai Rp327,27 miliar yang terdiri dari:

• sebanyak 1 kasus aset dikuasai pihak lain;

• sebanyak 9 kasus piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih senilai Rp323,36 miliar; dan

102

• sebanyak 2 kasus lain-lain potensi kerugian negara senilai Rp3,91 miliar. 11.29 Kasus-kasus tersebut diantaranya adalah :

• Dirjen Bea Cukai, pendapatan negara yang berasal dari surat pemberitahuan kekurangan pembayaran bea masuk (SPKPBM) dan surat penetapan sanksi administratif (SPSA) senilai Rp182,70 miliar berpotensi tidak terealisasi akibat kegiatan penagihan yang tidak efektif ; dan

• Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, penyelesaian tunggakan PSDH dan DR masing-masing senilai Rp67,41 miliar dan Rp58,70 miliar berlarut-larut.

Penyebab Potensi Kerugian Negara

11.30 Kasus-kasus tersebut pada umumnya disebabkan karena tidak jelasnya mekanisme penagihan secara aktif dan belum adanya petunjuk pelaksanaan yang dipakai sebagai panduan operasional dalam menjalankan tugas, dan lemahnya pengawasan serta pengendalian.

Rekomendasi atas Potensi Kerugian Negara

11.31 Atas kasus-kasus tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada entitas yang diperiksa agar mengupayakan secara optimal kegiatan penagihan dan membuat ketentuan yang mengatur mekanisme penagihan.

Kekurangan Penerimaan Negara

11.32 Kekurangan penerimaan negara adalah adanya penerimaan yang sudah menjadi hak negara tetapi tidak atau belum masuk ke kas negara karena adanya unsur ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. 11.33 Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang

mengakibatkan kekurangan pendapatan pada umumnya meliputi penerimaan negara atau denda keterlambatan pekerjaan belum/tidak ditetapkan/ dipungut/diterima/disetor ke kas negara, pengenaan tarif pajak/ PNBP lebih rendah dari ketentuan, dan lain-lain.

11.34 Hasil pemeriksaan pendapatan negara menunjukkan bahwa terdapat ketidakpatuhan yang mengakibatkan kekurangan pendapatan sebanyak 72 kasus senilai Rp715,23 miliar yang terdiri dari:

• sebanyak 63 kasus pendapatan negara termasuk denda keterlambatan pekerjaan yang belum/tidak ditetapkan/dipungut/diterima/disetor ke kas negara senilai Rp451,14 miliar;

• sebanyak 7 kasus pengenaan tarif pajak/PNBP lebih rendah dari ketentuan senilai Rp212,37 miliar; dan

• sebanyak 2 kasus lain-lain kekurangan penerimaan negara senilai Rp51,71 miliar.

11.35 Kasus-kasus tersebut diantaranya adalah :

• Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten/kota di Jambi, PT WKS, PT RHM, dan PT TMA tidak melaporkan hasil tebangan kayu sebanyak 4.300.332,51 m3 dengan nilai PSDH, DR dan denda pelanggaran eksploitasi hutan

senilai Rp181,79 miliar;

• KBRI Kopenhagen, Kementrian Luar Negeri, PNBP senilai Rp1,38 miliar belum disetor ke kas negara; dan

• Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten/kota di Sumatera Selatan, kekurangan pembayaran PNBP dari ganti rugi tegakan (GRT), PSDH dan DR senilai Rp51,52 miliar atas pembukaan kawasan hutan oleh PT L dan PT H.

11.36 Kasus kekurangan penerimaan telah ditindaklanjuti dengan menyetor ke kas negara senilai Rp2,10 miliar, yaitu Kejati Jawa Timur senilai Rp1,82 juta, Kejati Kalimantan Selatan senilai Rp615 ribu, Kejati Kalimantan Tengah senilai Rp630,31 juta, KBRI Roma senilai Rp1,21 miliar, KBRI Caracas senilai Rp123,54 juta dan Mahkamah Agung senilai Rp131,40 juta.

Penyebab Kekurangan Penerimaan Negara

11.37 Kasus-kasus tersebut pada umumnya terjadi karena kurangnya pemahaman pelaksana terhadap ketentuan tentang PNBP, dan lemahnya pengawasan dan pengendalian.

Rekomendasi atas Kekurangan Penerimaan Negara

11.38 Atas kasus-kasus tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada entitas agar segera memberikan sanksi yang tegas kepada penanggung jawab yang lalai melaksanakan pengawasan, dan segera menyetorkan pendapatan negara sesuai ketentuan.

Administrasi

11.39 Temuan administrasi mengungkap adanya penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau pengelolaan aset maupun operasional, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian atau potensi kerugian negara, tidak mengurangi hak negara, kekurangan penerimaan negara, tidak menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana.

11.40 Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan penyimpangan yang bersifat administratif pada umumnya meliputi pertanggungjawaban tidak akuntabel (bukti tidak lengkap/tidak valid), penyimpangan terhadap peraturan per-UU bidang pengelolaan

104

perlengkapan atau barang milik negara, penyimpangan terhadap ketentuan perundang-undangan bidang tertentu lainnya, penyetoran penerimaan negara melebihi batas waktu yang ditentukan, kepemilikan aset tidak/belum didukung bukti yang sah, dan lain-lain.

11.41 Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ketidakpatuhan yang mengakibatkan penyimpangan administratif sebanyak 20 kasus yang terdiri dari:

• sebanyak 1 kasus pertanggungjawaban tidak akuntabel (bukti tidak lengkap/tidak valid);

• sebanyak 2 kasus penyimpangan terhadap peraturan per-UU bidang pengelolaan perlengkapan atau barang milik negara;

• sebanyak 13 kasus penyimpangan terhadap peraturan perundang- undangan bidang tertentu lainnya;

• sebanyak 1 kasus penyetoran penerimaan negara melebihi batas waktu yang ditentukan;

• sebanyak 2 kasus kepemilikan aset tidak/belum didukung bukti yang sah; dan

• sebanyak 1 kasus lain-lain penyimpangan administratif. 11.42 Kasus-kasus tersebut diantaranya adalah :

• Kejaksaan Tinggi Riau, bukti kepemilikan kendaraan bermotor hasil lelang barang rampasan sulit di urus senilai Rp772,60 juta;

• Depnakertrans, sebanyak 69 perusahaan pengguna tenaga kerja asing (TKA) yang memperkerjakan 84 TKA terlambat dalam mengurus IMTA dan membayar DPKK senilai Rp977,00 juta, sehingga terlambat diterima oleh kas negara; dan

• Dirjen Bea Cukai, pengelolaan dan penatausahaan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang dikuasai negara dan barang milik negara tidak optimal dan belum sesuai dengan ketentuan.

Penyebab Permasalahan Administrasi

11.43 Kasus-kasus tersebut pada umumnya terjadi karena para pelaksana kurang memahami ketentuan-ketentuan pelaksanaan anggaran dan penatausahaannya, serta lemahnya pengawasan dan pengendalian para atasan.

Rekomendasi atas Permasalahan Administrasi

11.44 Atas kasus-kasus ketidakpatuhan yang mengakibatkan penyimpangan yang bersifat administratif, BPK telah merekomendasikan kepada entitas

yang diperiksa untuk melengkapi bukti kepemilikan, memberikan teguran dan atau sanksi kepada pejabat pelaksana yang tidak mentaati ketentuan perundang-undangan.

Ketidakefektifan

11.45 Temuan mengenai ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil (outcome), yaitu temuan yang mengungkapkan adanya kegiatan yang tidak

memberikan manfaat atau hasil yang direncanakan serta fungsi instansi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tercapai.

11.46 Hasil pemeriksaan atas pendapatan negara menunjukkan terdapat ketidakpatuhan yang mengakibatkan ketidakefektifan yang terdiri dari tiga kasus pelaksanaan kegiatan terlambat/terhambat sehingga mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi.

11.47 Tiga kasus tersebut adalah :

• Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur, penyaluran DBH SDA kehutanan mengalami keterlambatan;

• Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur, DAK-DR/DBH-DR pada pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara belum dimanfaatkan; dan

• Kejati Kepulauan Riau, amar putusan pengadilan terlambat diterima oleh pihak Kejaksaan sehingga pelaksanaan eksekusi terlambat dilaksanakan. Penyebab Ketidakefektifan

11.48 Kasus-kasus tersebut pada umumnya terjadi karena pelaksana lalai atau kurang memahami ketentuan-ketentuan pelaksanaan anggaran dan penatausahaan, serta lemahnya pengawasan dan pengendalian para atasan. Rekomendasi atas Ketidakefektifan

11.49 Atas kasus-kasus tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada entitas yang diperiksa agar segera memanfaatkan dana yang tersedia dan mematuhi ketentuan tentang penyaluran dana.