• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL SOSIO-DEMOGRAFI PENDUDUK

3.2. Pendidikan

Diskripsi mengenai pendidikan berdasarkan pada tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tingkat pendidikan yang ditamatkan dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk melihat kualitas sumberdaya manusia. Selain itu, pendidikan non-formal berupa keterampilan-keterampilan, terutama yang bermanfaat untuk kegiatan ekonomi juga disinggung pada sub-bab ini.

Data pada Tabel 3.6 menunjukkan tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Pangkep. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan penduduk kabupaten ini masih rendah, karena lebih dari 70 persen berpendidikan SD ke bawah. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk ini kemungkinan sumbangan dari wilayah kepulauan yang mempunyai keterbatasan sarana pendidikan. Sebagai contoh, di Pulau Salemo sampai dengan tahun 2004 hanya tersedia sekolah setingkat SD. SMP (swasta) baru berdiri pada tahun 2004). Dengan demikian, sebelum tahun 2004 anak-anak

usia sekolah yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus pergi ke luar daerah. Kondisi ini menyulitkan bagi penduduk yang tidak mempunyai kemampuan ekonomi. Meskipun pemerintah Kabupaten Pangkep telah mengeluarkan kebijakan pembebasan iuran pendidikan (SPP) bagi anak-anak sekolah sampai ke tingkat SMP dan juga memberikan insentif bagi guru-guru yang bersedia ditempatkan di wilayah terpencil, termasuk kepulauan, tidak tersedianya sekolah di lokasi tempat tinggal mereka menyebabkan anak-anak yang tinggal di daerah tersebut tidak bisa mendapat manfaat dari kebijakan yang berpihak pada penduduk miskin tersebut.

Jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tampak bahwa penduduk laki-laki mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini terlihat dari lebih besarnya proporsi perempuan yang berpendidikan SD ke bawah daripada laki-laki. Sebaliknya, di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, proporsi penduduk laki-laki lebih besar daripada perempuan. Fenomena tersebut merupakan hal yang umum ditemukan di berbagai daerah lain di Indonesia, termasuk daerah kepulauan (Romdiati dan Noveria, 2005). Anggapan bahwa laki-laki perlu mendapatkan pendidikan lebih tinggi daripada perempuan karena mereka adalah pencari nafkah utama dalam keluarga, nampaknya masih dianut oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika lebih banyak laki-laki yang melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Akibatnya, penduduk perempuan lebih tertinggal dari laki-laki dalam aspek pendidikan

Tabel 3.6

Distribusi Penduduk Usia 5 tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan, 2005 (%) Jenis Kelamin Tingkat pendidikan

Tertinggi yang

Ditamatkan Laki-laki Perempuan

Laki-laki + Perempuan Tidak tamat SD 32,25 35,18 33,73 SD 34,45 36,16 36,34 SLTP Umum dan Kejuruan 13,05 13,15 13,09 SM ke atas 20,25 13,51 16,84 Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 : Hasil Registrasi Penduduk. Pangkajene.

Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Pangkep juga tercermin dari angka melek huruf, seperti diperlihatkan pada Tabel 3.7. Membandingkan penduduk berdasarkan jenis kelamin, angka melek huruf lebih tinggi pada kelompok laki-laki daripada penduduk perempuan. Salah satu kemungkinan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah lebih tingginya tingkat pendidikan laki-laki daripada perempuan (lihat Tabel 3.6).

Diantara 12 kecamatan yang terletak di wilayah Kabupaten Pangkep, Kecamatan Liukang Kalmas mempunyai angka melek huruf tertinggi, sedangkan angka terendah ditemukan di Kecamatan Tondong Tallasa. Jika dikaitkan dengan ketersediaan sarana pendidikan, kenyataan ini menunjukkan hal yang kontradiksi karena sebagai daerah yang terletak di wilayah kepulauan, kemungkinan besar Kecamatan Liukang Kalmas mempunyai sarana yang terbatas. Kemungkinan lain yang menyebabkan tingginya angka melek huruf di kecamatan ini adalah berhasilnya program penuntasan buta aksara melalui Kejar (kelompok belajar) paket A yang telah dilaksanakan oleh pemerintah sejak lebih dari dua dekade terakhir. Lebih tingginya angka melek huruf diantara penduduk laki-laki juga mungkin disebabkan karena perempuan lebih sedikit yang menjadi peserta program tersebut dibandingkan dengan laki-laki. Berbagai alasan diduga menyebabkan hal ini terjadi. Salah satu diantaranya adalah keterbatasan waktu perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah, termasuk untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, mudah dimengerti jika angka melek huruf penduduk perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Tabel 3.7

Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 10 tahun keAtas Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2003

(%)

Kecamatan Jenis Kelamin LK + PR

LK PR 1 Liukang. Tangaya 87,36 75,86 81,6 2 Liukang Kalmas 93,0 89,25 91,19 3 Liukang Tupabbiring 83,34 86,15 84,99 4 Pangkajene 93,5 86,71 89,88 5 Balocci 91,2 87,5 89,28 6 Bungoro 88,43 82,67 85,64 7 Labakkang 85,04 73,33 78,32 8 Ma'rang 84,98 77,18 80,84 9 Segere 85,43 75,39 79,77 10 Minasa Te'ne 90,35 81,71 85,77 11 Tondong Tallasa 77,22 68,92 73,2 12 Mandalle 88,66 81,25 84,69 Jumlah 87,74 80,53 83,95

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Pangkep Tahun 2003. Kerjasama Bappeda Kabupaten Pangkep.

Dua kecamatan lokasi penelitian menunjukkan pola yang sama dengan Kabupaten Pangkep dalam hal tingkat pendidikan penduduknya. Lebih dari tiga per empat penduduk di Kecamatan Liukang Tupabbiring dan Kecamatan Labakkang berpendidikan SD ke bawah (Gambar 3.4). Di Kecamatan Liukang Tupabbiring, terutama, angka ini bahkan hampir mencapai 80 persen. Kenyataan ini mudah dimengerti mengingat Kecamatan Liukang Tupabbiring terletak di wilayah kepulauan yang mempunyai berbagai keterbatasan, termasuk sarana pendidikan. Kebanyakan desa di kecamatan ini hanya mempunyai sarana pendidikan setingkat SD, sehingga setelah menamatkan SD anak-anak usia sekolah yang ingin melanjutkan pendidikan harus meninggalkan desa untuk tinggal di daerah lain yang mempunyai sarana pendidikan lebih tinggi. Untuk itu, diperlukan biaya tambahan, terutama biaya hidup selama tidak berada di rumah orang tua.

Untuk meningkatkan keterampilan penduduk telah dilaksanakan pelatihan keterampilan di Kecamatan Liukang Tupabbiring. Salah satu pelatihan tersebut adalah di bidang mekanik, khusus untuk mesin kapal. Pelatihan ini telah diberikan kepada 15 orang peserta. Mereka pada umumnya anak-anak muda putus sekolah dengan rata-rata usia 20-an tahun. Dengan pelatihan ini diharapkan mereka dapat memperbaiki kapal-kapal nelayan di desanya yang mengalami kerusakan. Disamping bertujuan agar nelayan tidak perlu memperbaiki mesin kapalnya yang rusak ke luar desa, pelatihan ini juga merupakan salah satu upaya untuk mengalihkan mata pencaharian penduduk dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL (terutama yang tidak ramah lingkungan) kepada sumber mata pencaharian lain. Dengan demikian, ketergantungan terhadap sumber mata pencaharian yang berkaitan dengan eksploitasi SDL dapat dikurangi, yang diharapkan akan mengurangi kerusakan SDL dan terumbu karang pada khususnya,

Gambar 3.4

Distribusi Penduduk Usia 5 tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2005 (%)

Liukang Tupabbiring

55% 33%

Labakkang 44% 33% 9% 14% Tidak tamat SD SD

SLTP Umum dan Kejuruan SM ke atas

Sumber : BPS Kab Pangkep. 2004. Penduduk Kabupaten Pangkep 2003 : Hasil Registrasi Penduduk Pangkajene.

Rendahnya tingkat pendidikan penduduk juga ditemukan di wilayah Kelurahan Pundata Baji, seperti terlihat pada Tabel 3.8. Sebanyak 83 persen penduduk kelurahan ini adalah mereka yang berpendidikan SD ke bawah. Penduduk yang tidak/belum sekolah serta mereka yang tidak tamat SD bahkan mencapai 42 persen. Jika dikaitkan dengan ketersediaan sarana pendidikan, kenyataan ini terlihat memprihatinkan. Sarana pendidikan sampai ke tingkat SLTA tersedia di lokasi kelurahan ini, sehingga alasan seperti ’lokasi sekolah jauh dari rumah dan sulit dicapai’ sulit diterima untuk menjelaskan keadaan tersebut. Faktor lain kemungkinan berperan dalam menciptakan keadaan tersebut. Salah satu diantaranya adalah kesadaran terhadap pentingnya pendidikan, baik di kalangan orang tua dan terutama anak-anak. Tanpa kesadaran dan motivasi yang tinggi untuk bersekolah, maka sangat kecil kemungkinan untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, meskipun sarana/prasarana tersedia.

Pendidikan informal yang berupa peningkatan ketrampilan bagi penduduk di wilayah pesisir dan kepulauan merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dari pendidikan formal. Beberapa peserta pelatihan seperti telah dikemukakan sebelumnya, yaitu kursus etrampilan untuk memperbaiki mesin kapal berasal dari Desa Mattiro Bombang. Kursus ketrampilan lainnya yang diupayakan oleh Dinas Perikanan bekerjasama dengan Departemen Perindustrian ditujukan pada wanita nelayan, adalah pemanfaatan limbah kerang. Hasil karya yang berupa bermacam-macam hiasan rumah dari limbah kulit kerang tersebut diharapkan dapat menambah

penghasilan keluarga nelayan (wawancara dengan seorang narasumber, pejabat di Kabupaten Pangkep).

Tabel 3.8

Penduduk Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Kelurahan Pundata Baji Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkajene

dan Kepulauan, 2005 Tingkat Pendidikan Tertinggi yang

Ditamatkan

Jumlah Persentase Tidak/belum sekolah/tidak tamat SD 1.733 41,8

SD 1.712 41,3 SMP 315 7,6 SLTA 352 8,5 Akademi/D1-D2 13 0,3 Sarjana (S1-S3) 17 0,4 Jumlah 4.142 100,0

Sumber: Monografi Kelurahan Pundata Baji, Desember 2005

Hasil penelitian ini mendukung fenomena yang terjadi di tingkat kabupaten dan kecamatan di bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari capaian pendidikan diantara anggota rumah tangga yang terpilih sebagai sampel penelitian. Lebih dari tiga per empat anggota rumah tangga terpilih di dua lokasi penelitian berpendidikan rendah (SD ke bawah) (Gambar 3.5). Di lokasi kepulauan (Desa Mattiro Bombang) proporsi ini bahkan lebih besar. Disamping keterbatasan sarana sekolah, kenyataan ini juga disebabkan oleh rendahnya motivasi untuk sekolah di kalangan penduduk desa ini. Pada umumnya tingkat kelulusan pendidikan (SD) rendah karena cukup banyak yang putus sekolah, terutama untuk membantu orang tua melaut. Mereka yang putus sekolah ini oleh penduduk setempat disebut sebagai ’patah potlot’.

Gambar 3.5

Distribusi Anggota Rumah Tangga Terpilih Usia 7 tahun ke atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Lokasi Penelitian,

Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, 2005 (%)

0 5 10 15 20 25