• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Fungsi Produksi Metode OLS antar

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI

7.2. Analisis Fungsi Produksi Usaha Garam Rakyat

7.2.1. Analisis Stochastic Frontier Produksi Garam

7.2.1.1. Pendugaan Fungsi Produksi Metode OLS antar

Ordinary Least Square (OLS) memberikan gambaran kinerja rata-rata dari proses produksi petambak garam pada tingkat teknologi yang ada. Pada Tabel 16 disajikan parameter dugaan fungsi produksi rata-rata, dan pada tabel tersebt juga menunjukkan bahwa tanda dan besaran dari parameter yang diestimasi dari fungsi produksi stokastik frontier dengan model translog sesuai yang diharapkan. Nilai koefisien estimasi dari semua variabel adalah positif. Tanda positif menunjukkan adanya hubungan yang positif antara faktor-faktor produksi teknis tersebut dengan jumlah produksi garam di daerah penelitian. Peningkatan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut akan meningkatkan produksi garam di zona wilayah Kabupaten Indramayu. Hal ini juga ketentuan yang diharuskan dalam penggunaan fungsi cobb douglas yang mengasumsikan setiap parameter dari variable produksi harus positif dan dengan Return to Scale berada dalam increasing return to scale (Coelli, et al., 2005).

Hasil pemodelan fungsi produksi usaha garam pada masing-masing kelompok petambak sejumlah 4 variabel. Faktor tersebut terdiri dari luas lahan ( ), jumlah hari produksi ( ), jumlah tenaga kerja ( ), jumlah air laut ( ). Di bawah ini pemaparan dari hasil pendugaan parameter fungsi produksi dari masing-masing kelompok petambak.

1. Petambak Sewa

Pada Tabel 16 di bawah dapat dilihat dari analisis regresi fungsi cobb- douglas dengan pendekatan ordinary least square (OLS) pada petambak sewa dapat dilihat nilai parameter dari lahan sebesar 0.547, jumlah hari produksi 1.538, jumlah tenaga kerja 0.578 dan jumlah air laut 0.008. Dikuatkan dengan hasil pengujian statistik pada taraf nyata α 0.01, faktor lahan , dan jumlah tenaga kerja , signifikan berpengaruh dimana t-hit>t-tab. Pengujian terhadap jumlah hari produksi dihasilkan signifikan berpengaruh dimana t-hit>t-tab pada taraf nyata α 0.05, sedangakan jumlah air laut yang digunakan tidak signifikan pada taraf α 0.01 ataupun pada taraf α 0.05. Daerah produksi garam pada petambak sewa berada dalam kondisi increasing return to scale dengan jumlah nilai parameter sebesar 2.670. Pengujian statistik F menghasilkan F-hit> F-tabel sehingga Ho ditolak artinya bahwa jumlah parameter tersebut signifikan mempengaruhi terhadap produksi. Begitupun dengan nilai korelasi R2 dengan nilai 0.978, dimana nilai tersebut besar dan dapat dikatakan bahwa faktor produksi berkorelasi positif sebesar 97.8 persen.

Nilai parameter dari jumlah hari produksi tertinggi, selanjutnya jumlah tenaga kerja, ukuran lahan dan paling kecil nilai parameter atau elastisitasnya adalah penggunaan jumlah air laut. Jadi jika terjadi peningkatan jumlah hari 10 persen dari rata-rata yang sudah dimanfaatkan oleh petambak sewa maka ia akan meningkat produksinya 15.38 persen, sedangkan jika ukuran lahan ditingkatkan 10 persen hanya bisa meningkatkan sebesar 5.47 persen dan jika ada peningkatan tenaga kerja 10 persen maka produksi akan meningkat 5.78 persen. Jadi berdasarkan simulasi tersebut faktor jumlah hari sangat elastis dibandingkan faktor produksi yang lain, sedangkan penggunaan jumlah air laut tidak elastis dalam peningkatan produksi garam.

Luas lahan (x

1). Kondisi dilapangan untuk beberapa petambak sewa

pada tahap awal sampai pada penggunaan lahan dan pemilahan lahan untuk proses penguapan garam. Hal ini dengan adanya ketersediaan modal dana awal yang bisa mereka pergunakan. Kekuatan dari petambak sewa adalah mereka mampu menyediakan faktor produksi yag berupa fisik seperti lahan yang dikelola secara cukup luas sekitar 3-5 hektar. Berdasarkan Gambar 10 tentang pengelompokan petambak berdasarkan pengelolaan luasan lahan tambak terhadap produksi, 45 persen petambak mengolah 1-2 hektar dengan rata-rata produksi mencapai 70 ton, sedangkan petambak yang mengolah dengan luasan 3 hektar produksi bisa mencapai 230 ton dan petambak yang mengolah 5-8 hektar bisa mnecapai 500 ton per satu kali musim. Jika dihitung rata-rata produksi bisa mencapai 75 ton per hektar.

Gambar 10. Sebaran kelompok luasan lahan terhadap tingkat produksi petambak sewa

Jumlah hari produksi (x

2). Harapan petambak sewa adalah panjangnya

jumlah hari kemarau yang bisa dioptimalkan untuk terus produksi garam. Pengalaman tahun sebelumnya 2010, produksi di sentra garam terjadi gagal panen. Jumlah kemarau yang terjadi tidak cukup untuk panen garam optimal. Stock garam hanya bisa mencapai 30.000 ton. Pada tahun 2011 bisa dikatakan jumlah kemarau mencapai 4 bulan sehingga mereka menggunakan 90 hari untuk proses produksi garam. Dengan jumlah hari kemarau 90 hari, produksi petambak paling rendah 60 ton per hektar sampai dengan 100 ton per hektar. Dalam 10 hari dengan luasan satu hektar petambak bisa mengerjakan 3 kali siklus proses

6 5 4 3 2 1 500 400 300 200 100 0

Luas lahan (ha)

Pr od uk si ( to n)

garam. 1 blok pertama biasanya digunakan untuk mengalirkan proses peminihan, 1 blok digunakan untuk pengkristalan dan blok terakhir sudah siap panen. Hal tersebut berlangsung dalam siklus per hari. Jika hari tidak mendukung, proses peminihan dan pengkristalan lebih lama lagi.

Tabel 16. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Sewa dengan Metode OLS

Variabel input Parameter Koefisien st-error t-rasio

Intersep β

0 3.461 2.442 1.417

Luas lahan β

1 0.547 0.112 4.880 ***

Jumlah hari produksi β

2 1.538 0.536 2.867 **

Jumlah tenaga kerja β

3 0.578 0.112 5.174 ***

Jumlah air laut β

4 0.008 0.027 0.310 Sigma Squared  0.007 Log Likelihood LR 39.862 R-Square R2 0.978 Return to-Scale i 2.670 F-hitung 202.43

*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α, 5% dan ***) Nyata taraf α, 1% Jumlah tenaga kerja (x

3). Petambak sewa bisa mengerahkan tenaga

kerja bersifat padat karya pada masa awal pengolahan lahan yang mampu mencapai 20 orang tenaga kerja. Mereka memahami bahwa semakin banyak tenaga kerja dalam proses penguatan (pengerasan) lahan tambak akan mampu meningkatkan kualitas evaporasi dan bisa menghasilkan jumlah produksi yang banyak. Berbeda ketika lahan peminihan dan bahkan meja garam masih lembek kualitas tanahnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap tidak baiknya jumlah tingkat produksi dan kualitas garam. Seperti sudah dijelaskan pada paparan sebelumnya, semua tenaga kerja yang dipakai pada petambak sewa dibayar. Pada tahap awal musim kemarau intensitas pekerja optimal. Terkadang terjadi kesulitan dalam mencari tenaga kerja. Terkadang tenaga kerja harus bergilir. Tenaga kerja biasanya memilih petambak sewa yang menyuruh untuk bekerja. Perbedaan fasilitas dan harga upah yang menjadi patokan mereka untuk memutuskan bahwa ia akan bekerja. Terkadang petambak sewa sering menjadi trend setter harga upah tenaga kerja. Selain diberikan upah juga biasanya petambak sewa menyediakan fasilitas lain untuk meningkatkan kinerja tenaga kerja seperti diberikan rokok dan makanan.

Jumlah tenaga kerja yang diupayakan dalam proses peminihan dan pemanen hanya 2 sampai 5 orang. Hal ini berhubungan dengan jumlah luasan lahan yang dikelola. Lahan dengan 5 hektar mereka gunakan 3-5 orang tenaga kerja atau bisa dirata-ratakan 1 hektar ditangani oleh 1 tenaga kerja. Seperti

halnya pada petambak sewa di Losarang yang bisa dibilang petambak sewa yang memiliki kelas sosial tinggi, mereka lebih memberikan layanan fasilitas lebih untuk tenaga kerjanya.

Jumlah air laut (x

4). peralatan cukup tersedia dengan kondisi pada awal

musim sudah diperbaiki mulai dari kincir angin, guludan dan alat pengerik garam, serta Sedangkan faktor produksi yang bersifat disediakan oleh alam menjadi batasan.

2. Petambak Bagi-hasil

Pada Tabel 17 di bawah dapat dilihat dari analisis regresi fungsi cobb- douglas dengan pendekatan ordinary least square (OLS) pada petambak sewa dapat dilihat Nilai parameter untuk lahan 1.159, jumlah hari produksi 0.116, jumlah tenaga kerja 0.036 dan jumlah air laut 0.039. Dikuatkan dengan hasil pengujian statistik pada taraf nyata α 0.01, faktor lahan , signifikan berpengaruh dimana t-hit>t-tab. Sedangakan jumlah hari produksi

, jumlah tenaga kerja jumlah air laut yang digunakan tidak signifikan pada taraf α 0.01 ataupun pada taraf α 0.05. Nilai RTS produksi garam pada petambak bagi hasil senilai 1.350 dimana nilai tersebut menunjukan berada dalam kondisi increasing return to scale samal halnya dengan petambak sewa. Pengujian statistik F menghasilkan F-hit> F-tabel sehingga Ho ditolak artinya bahwa jumlah parameter tersebut signifikan mempengaruhi terhadap produksi. Begitupun dengan nilai korelasi R2 yang besar yaitu 0.964 dapat dikatakan bahwa faktor produksi berkorelasi positif sebesar 96.4 persen.

Nilai parameter ukuran lahan tertinggi dibandingkan faktor produksi lainnya, selanjutnya jumlah tenaga kerja, penggunaan hari produksi dan penggunaan air laut yang bernilai parameter paling kecil. Jadi jika terjadi peningkatan jumlah hari 10 persen dari luasan ukuran lahan oleh petambak bagi- hasil maka ia akan meningkat produksinya 11.59 persen, sedangkan jika ukuran lahan ditingkatkan 10 persen hanya bisa meningkatkan sebesar 1.16 persen dan jika ada peningkatan tenaga kerja 10 persen maka produksi akan meningkat 0.38 persen. Jadi berdasarkan simulasi tersebut faktor ukuran luasan lahan sangat elastis dibandingkan faktor produksi yang lain, sedangkan penggunaan jumlah air laut, tingkat tenaga kerja dan hari produksi kurang elastis dalam peningkatan produksi garam.

Luas lahan (x

1). Petambak bagi-hasil yang menyebar di 3 kecamatan

menggunakan lahan dengan mempertimbangkan kekuatan ketersediaan lahan yang bisa dijadikan kerjasam dengan cara bagi-hasil. Walaupun secara ril mereka tidak mengeluarkan biaya sewa tetapi tetap biaya tersebut mereka bayar dengan sistem bagi hasil. Tingkat ketergantungan yang paling kuat antara pemilik lahan dan penggarap dalam sistem bagi hasilnya terdapat di Kecamatan Kandang Haur. Ikatan yang kuat dicerminkan dari tidak bisa lepasnya penggarap secara turun temurun. Jika dibandingkan dengan Kecamatan Losarang, pola pemindahan penggarapan lahan lebih mudah. Ikatan antara penggarap dan pemilik lahan tidak terlalu kuat. Perbedaan yang lain yang yaitu si pemilik lahan di Kecamatan Kandang Haur per orang bisa mencapai 10 hektar. Untuk menguatkan hubungan tersebut keinginan dari pemilik lahan, lahan tersebut digarap hanya oleh beberapa orang saja. Sedangkan di Kecamatan Losarang kepemilikan akan lahan oleh juragan tanah yang bisa digarap oleh petambak bagi hasil maksimal mencapai 3 hektar, sehingga petambak bisa melakukan bagi-hasil dengan 1 atau lebih juragan tanah. Perbedaan-perbedaan keterbatasan mendapatkan lahan garapan menjadi penyebab dari belum optimalnya produksi garam. Semakin banyak juragan lahan dan garapannya semakin mereka sulit mengelola usaha garam, tetapi semakin kompetitif dalam mengatur bagi-hasil. Perbedaan pemberlakuan dalam bagi-hasil selalu menjadi patokan mereka dalam alas an melakukan ketergantungan terus terhadap pemilik lahan tertentu. Jika salah satu pemilik lahan menerapkan bagi-hasil lebih besar yang didadapatkan penggarap mereka lebih merasa ada hubungan lebih dekat lagi kepada pemilik lahan tersebut. Dengan terkotak-kotaknya lahan garapan menjadi keterbatasan mereka dalam mengoptimalkan produksi.

Beberapa petambak yang tidak mendapatkan bagi-hasil dengan juragan lahan, mereka gunakan area lahan swaka mangrove yang berada di kawasan Kecamatan Kandang Haur dan Losarang. Mereka mendapatkan izin dari balai konservasi dengan kewajiban membayar bagi hasil seperti yang diterapkan dengan juraga lahan, tetapi hal tersebut masih jarang diterapkan dengan alasan kaulitas dan ketersediaan infrastruktur di lahan swaka tidak terlalu baik hasilnya.

Jumlah hari produksi (x

2). Petambak bagi-hasil memanfaatkan hari

produksi sama dengan petambak sewa, rata-rata menggunakan hari produksi pada tahun 2011 ini sebanyak 90 hari (3 bulan). Dengan jumlah hari kemarau 4 bulan digunakan 1 bulan untuk persiapan lahan dan 3 bulan digunakan untuk

produksi. Berawal dari bulan junli, sehingga juli-agustus-september bisa panen raya. Jika masih ada hari kemarau pada bulan oktober mereka gunakan kembali tetapi biasanya tidak optimal karena sudah masuk pada musim penghujan. Dengan 90 hari berproduksi menghasilkan rata-rata produktifitas 62 ton per hektar dengan rata-rata luasan lahan 2 hektar.

Jumlah tenaga kerja (x

3). Petambak bagi-hasil dalam menggunakan

tenaga kerja cenderung intensif dengan melibatkan dirinya sendiri dalam semua proses produksi garam. Sekaligus sebagai pengelola usaha garam. Dengan rata- rata tenaga kerja luar 2 orang mereka gunakan untuk membantu proses yang cukup berat dan perlu bantuan orang lain seperti dalam persiapan lahan dan pengerasan tanggul serta pengerasan meja garam. Dalam proses pasca panen juga menggunakan tenaga kerja untuk pengangkutan. Keterlibatan anggota keluarga juga sering mereka gunakan. Keterlibatan istri dan anaknya dalam proses pemanenan garam dan pergiliran air laut.

Jumlah air laut (x

4). Petambak bagi-hasil menggunakan air laut

tergantung kondisi dan tempat lahan. Umumnya kondisi lahan yang dekat irigasi mereka gunakan pompa dalam proses pengadaan air laut. Tetapi bagi lahan yang cukup jauh, pengadaan air laut tumpahan dari lahan petambak lain atau dari bosem yang disediakan oleh juragan lahan. Bagi lahan yang dekat dengan irigasi terkadang mereka kelebihan air laut dan sebaliknya bagi lahan yang jauh, mereka memanfaatkan pemindahan air secara tradisional dengan dilakukan pengangkutan air laut. Jadi pengadaan air luat ini sering dikeluhkan oleh para petambak yang jauh lahannya dari irigasi. Harapan petambak mereka inginkan saluran irigasi tersier bisa sampai ke area mereka. Saat penelitian berlangsung pemerintah hanya baru memperbaharui irigasi teknis di beberapa pintu air utama di Kecamatan Losarang, alasan pemerintah bahwa area tersebut sudah memenuhi syarat hamparan garam yang lebih dari 100 hektar. sedangkan jika dilihat di Kecamatan Kandang Haur area tambak sebetulnya sudah luas menurut pendamping yang menangani PUGAR sudah tersedia sekitar 100 hektar tapi masalahnya masih dibatasi oleh sekatan lahan yang tidak digunakan untuk usaha garam dan ada sekitar 20 persen lahan tambak garam menggunakan area swaka mangrove sehingga pemerintah sulit sekali memperbaiki area irigasi kearah swaka tersebut. Alternativenya petambak yang berada pada area tersebut mereka menggunakan pompa dengan pipa yang cukup panjang.

Tabel 17. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Bagi-hasil dengan Metode OLS

Variabel input Parameter Koefisien st-error t-rasio

Intersep β

0 10.433 1.688 6.181

Luas lahan β

1 1.159 0.069 16.859 ***

Jumlah hari produksi β

2 0.116 0.389 0.298

Jumlah tenaga kerja β

3 0.036 0.066 0.544

Jumlah air laut β

4 0.039 0.035 1.120 Sigma Squared  0.015 Log Likelihood LR 20.182 R-Square R2 0.964 Return to-Scale i 1.350 F-hitung 326.29

*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5%, dan ***) Nyata taraf α 1%

3. Petambak Pemilik-garap

Unuk nilai parameter produksi petambak pemilik-garap selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 18. Nilai parameter lahan 0.699, jumlah hari produksi 0.179, jumlah tenaga kerja 0.113 dan jumlah air laut 0.161. Jika terjadi penambahan pada lahan sebesar 10 persen dan lainnya cateris paribus maka akan terjadi kenaikan produksi 6.99 persen, jika ditingkatkan pada jumlah tenaga kerja akan terjadi kenaikan produksi 0.36 persen dan jika terjadi peningkatan pada jumlah hari produksi maka produksi garam akan meningkat sebesar 1.13 persen. Dari simulasi peningkatan faktor produksi tersebut maka yang paling besar berpengaruh terhadap peningkatan produksi untuk petambak bagi hasil adalah jumlah lahan tambak . Dari hasil pengujian statistik pada taraf nyata α 0.01, faktor lahan , signifikan berpengaruh dimana t-hit>t-tab. Sedangakan jumlah hari produksi , jumlah tenaga kerja jumlah air laut yang digunakan tidak signifikan pada taraf α 0.01 ataupun pada taraf α 0.05. Nilai RTS produksi garam pada petambak bagi hasil senilai 1.350 dimana nilai tersebut menunjukan berada dalam kondisi increasing return to scale samal halnya dengan petambak sewa. Pengujian statistik F menghasilkan F-hit> F-tabel sehingga Ho ditolak artinya bahwa jumlah parameter tersebut signifikan mempengaruhi terhadap produksi. Begitupun dengan nilai korelasi R2 yang besar yaitu 0.955 dapat dikatakan bahwa faktor produksi berkorelasi positif sebesar 95.5 persen.

Dari hasil analisis nilai parameter dari fungsi produksi pada masing- masing petambak dapat dibandingkan pula nilai parameter antar kelompo petambak. Faktor yang sangat mempengaruhi produksi garam bagi petambak

bagi-hasil dan pemilik-garap adalah luas lahan . Keinginan untuk mengolah lahan lebih besar menjadi ketertarikan bagi petambak pemilik-garap, tetapi ketersediaan lahan yang masih luas belum sepenuhnya bisa diakses oleh petambak pemilik-garap. Secara karakteristik social dalam kepemilikan lahan. Petambak ini bisa dikatakan petambak dengan lahan kecil dengan hanya rata- rata mengolah di bawah 0.5 hektar. Keterbatasan untuk mendapatkan lahan baru disebabkan ketidakmampuan membeli lahan. Petambak ini rata-rata ditemukan petambak yang sudah tua, dimana ia memiliki lahan dari warisan keluarga. Dengan hanya menggarap lahan garam kurang atau sama dengan 0.5 hektar mereka belum mampu mencapai titik produksi maksimum.

Luas lahan (x

1). Petambak pemilik-garap rata-rata mereka menggarap

dengan ukuran lahan 0.5 hektar. Lahan yang didapatkan dari hasil warisan menjadi sumber utama untuk digunakan usaha tambak ikan dan tambak garam. Penggunaan lahan kondisi lahan yang jauh dari irigasi dan infrastruktur jalan menyebabkan mereka merasa tidak terlalu optimal baik dalam pengadaan air laut atau pengangkutan garam. Lahan yang tidak terlalu baik posisinya dan pengelolaan yang sekedarnya menjadi menjadi faktor penentu produksi. Rata- rata dengan hasil garam sekitar 40 ton per hektar jauh dibawah petambak garam sewa dan bagi-hasil.

Jumlah hari produksi (x

2). Petambak pemilik-garap menggunakan hari

produksi sama dengan petambak lainnya dimana rata-rata pada Tahun 2011 bisa mencapai 90 hari produksi tetapi yang membedakan mereka tidak terlalu mengamati proses produksi garam baik pengaliran air ke peminihan atau ke tempat meja garam. petambak garam pemilik-garap biasanya mereka melakukan 2 atau lebih mata pencaharian pada saat musim garam. Alternatif lain mengolah lahan pertanian atau menjadi buruh bangunan atau tani pada lahan orang lain. Jadi dengan 90 hari yang ada pada tahun 2011 intensif mereka optimal 50 hari. Hal ini berpengaruh terhadap produksi, disisi lain lahan mereka kecil dan jumlah hari yang digunakan tidak terlalu optimal maka hasilnya pun jauh dibawah petambak sewa dan petambak bagi-hasil. Pengalaman kegagalan pada tahun 2010 yang tidak bisa menghasilkan produksi garam menjadi beban mereka juga usaha garam. rasa ketakutan gagal panen masih menjadi alasan untuk tidak terlalu intensive dalam usaha garam.

Jumlah tenaga kerja (x

3). Petambak pemilik-garap intensif

menggunakan tenaga kerja sendiri dan anggota keluarga. Hanya pada tahap awal jika diperlukan mereka gunakan tenaga kerja luar. Oleh karena itu jika dibandingkan dengan faktor produksi lain resepon tenaga kerja paling kecil berpengaruh terhadap peningkatan produksi.

Jumlah air laut (x

4). Pengadaan air laut pada area tambak umumnya

menggunakan bosem yang ada pada area lahan sewa atau bagi-hasil. Bergabungnya dalam pemanfaatan air menjadi kemudahan mereka dan rendahnya kebutuhan biaya pengadaan bahan bakar. Air laut yang dialirkan hanya setengah dari kebutuhan petambak sewa dan bagi-hasil sekitar 9 ribu liter per hari untuk memenuhi kebutuhan 0.5 hektar.

Tabel 18. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Pemilik-garap dengan Metode OLS

Variabel input Parameter Koefisien st-error t-rasio

Intersep β

0 11.384 3.574 3.185

Luas lahan β

1 0.699 0.117 6.003 ***

Jumlah hari produksi β

2 0.179 0.869 0.206

Jumlah tenaga kerja β

3 0.113 0.104 1.091

Jumlah air laut β

4 0.161 0.148 1.090 Sigma Squared  0.018 Log Likelihood LR 20.182 R-Square R2 0.955 Return to-Scale i 1.153 F-hitung 9.17

*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5% dan ***) Nyata taraf α 1%

7.2.1.2. Pendugaan Fungsi Produksi Metode MLE antar Kelompok