• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efficiency of Community-based Salt Production in Indramayu District

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efficiency of Community-based Salt Production in Indramayu District"

Copied!
398
0
0

Teks penuh

(1)

EFISIENSI PRODUKSI USAHA GARAM RAKYAT

DI KABUPATEN INDRAMAYU

AHSIN ALIGORI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Efisiensi Produksi Garam Rakyat di Kabupaten Indramayu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

(4)
(5)

ABSTRACT

AHSIN ALIGORI. Efficiency of Community-based Salt Production in Indramayu District. Counsellor : SUHARNO and AMZUL RIFIN

Indramayu is one of salt production center in West Java with character of having higher rainfall. Some problems faced by Indramayu, such as low farm gate price and fluctuating production level. These problems have caused farmers do not get any profit or having business inefficiency and higher business cost. The aims of the research carried out are (1) to identify the production factors that affecting the salt production, (2) to analyse the resources of efficient production techniques, (3) to analyse the economic and allocation efficency level of of salt production in Indramayu. Data was collected from 100 farmers, divided into 3 groups based on tenurial ownership (selected by multistage sampling technique and analysed using statistic inferencial) with production function Cobb-Douglas stochastic-frontier and cost function. The probability of OLS resulted RTS which salt production in increasing return to scale area where RTS of cash-rent farmers 2.670, share-rent farmers 1.350 and farmers owner-tenant 1.153. Farm size is the most responsive production factor to increase the production level. Technical and allocation inefficiency affected the salt production as described by estimation of gamma which significant in each of farmer’s type. The parameter of gamma shows 80.1%, 99% of output variances of salt business among the cash-rent farmers, share-rent and owner-tenant farmers is the difference in technical efficiency. The result of research also showed that increasing of farm size, income and access of capital loan in labour-farmer, significantly causing the efficiency increasement. The use of additives could also increase the efficiency of self-own farmers. The average of technical efficinecy is 68% in scale of 0.7 and the rest is under this scale. The allocation efficiency level is only 5% out of total samples which is dominated by farmers owner-tenant. With optimalisation test of production input through ratio of product marginal value of cost (in output price Rp. 450/kg), showed that the land and human resource factor is more than 1 which means it is needed to add farm size and human resources quality. The phenomena of high technical efficiency and low allocation and economic efficiency is the characters of agribusiness which still has problem in high price production input and low output price. By reducing the level of fuel for providing the sea water, it is able to increase the allocation efficiency of salt production. The farmers could do substitution by using the low cost technology of sea water supplier. The policy of extensification of salt-farm is one of strategies to increase the salt production and the intensification policy is improvement of infrastructures and technologies that could increase the production quantities with the available land

(6)

RINGKASAN

AHSIN ALIGORI. Efisiensi Produksi Usaha Garam Rakyat di

Kabupaten Indramayu di bawah bimbingan SUHARNO dan

AMZUL RIFIN

Sebagai salah satu produsen garam didunia, Indonesia masih memberlakukan impor garam. Impor yang dimulai pada Tahun 1998 karena neraca garam nasional mengalami devisit. Dengan terus meningkatnya jumlah industri besar dan jumlah penduduk berdampak pada permintaan garam yang terus meningkat. Disisi produksi, jumlah produksi garam sangat berfluktuasi. Hal ini karena produksi garam masih berketergantungan terhadap musim kemarau. Kabupaten Indramayu sebagai salah satu sentra produksi garam di Provinsi Jawa Barat berada pada zona III sentra garam nasional dengan ciri tingkat curah hujan paling tinggi dengan jumlah kemarau sepanjang tahun mencapai 4 bulan. Dengan kondisi ini kinerja produksi garam di Indramayu berbeda dengan zona lainnya (Zona I dan Zona II). Permasalahan agribisnis garam di tingkat lokal yaitu rendahnya farm gate price sehingga petambak kehilangan keuntungan atau sudah tidak mencapai tingkat efisiensi ekonomis lagi, disisi lain tingkat produktifitas yang berfluktuasi petambak menanggung biaya usaha yang besar. Ketidakseimbangan antara biaya dan penerimaan yang didapatkan. usaha garam tidak menarik lagi dampaknya jumlah petambak garam di Kabupaten Indramayu terus mengalami penurunan.

(7)

(farm size) merupakan faktor produksi paling responsif untuk peningkatan produksi.

Hasil analisis lain menunjukkan bahwa kehadiran inefisiensi teknis dan inefisiensi alokatif memiliki efek dalam produksi garam seperti yang digambarkan oleh estimasi koefisien gamma yang signifikan pada masing-masing petambak. Parameter estimasi gamma untuk fungsi produksi petambak sewa 0.801, petambak bagi-hasil 0.990 dan petambak pemilik-garap 0.990 yang menunjukkan bahwa sekitar 80.1 persen, 99 persen dari variasi dalam output dari usaha garam antara petambak garam adalah karena perbedaan dalam efisiensi teknis mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya ukuran lahan, pendapatan, dan adanya akses kredit pinjaman modal di tingkat petambak sewa secara nyata menyebabkan penambahan efisiensi. Pemakaian zat aditif dapat meningkatkan efisiensi pada petambak pemilik-garap.

Tingkat rata-rata efisiensi teknis 68 persen di atas 0.7 sisanya dibawah skala tersebut. Tingkat efisiensi alokatif tercapai hanya 5 persen dari total sampel petambak yang didominasi oleh petambak pemilik-garap. Dengan uji optimalisasi alokasi input produksi melaluli rasio nilai marjinal produk terhadap biaya korbanan (pada harga output Rp. 450 per kg) terlihat faktor lahan dan tenaga kerja lebih besar dari satu artinya perlu adanya peningkatan terhadap luasan lahan dan peningkatan kualitas tenaga kerja. Jika lahan ditingkatkan peluang untuk mendapatkan pendapatan petambak sewa mencapai 3 persen, 12 persen petambak bagi-hasil dan 15 persen petambak pemilik-garap. Masih rendahnya tingkat pendapatan petambak pemilik-garap sekarang disebabkan belum tercapai sekala ekonomis yang disebabkan oleh kecilnya ukuran lahan (farm size) yang rata-rata menggarap 0.5 hektar tambak garam.

Fenomena tingginya tingkat efisiensi teknis dan rendahnya efisiensi alokasi dan ekonomis sebagai ciri usaha pertanian yang masih memiliki permasalahan dalam mahalnya harga input produksi dan rendahnya harga output. Dengan menurunkan tingkat penggunaan bahan bakar untuk menyediakan air laut dapat meningkatkan tingkat efisiensi alokasi usaha garam. Petambak bisa melakukan substitusi dengan menggunakan teknologi pengalir air laut yang lebih murah.

Kebijakan ekstensifikasi lahan garam salah satu strategi kebijakan yang bisa meningkatkan produksi garam. Sedangkan kebijakan intensifikasi adalah peningkatan saran dan infrastruktur serta teknologi yang bisa meningkatkan kuantitas produksi garam dengan kondisi lahan yang sudah dimanfaatkan.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

EFISIENSI PRODUKSI USAHA GARAM RAKYAT

DI KABUPATEN INDRAMAYU

AHSIN ALIGORI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Magister Sains Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Anna Faryanti, MSi

(11)

Judul : Efisiensi Produksi Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Indramayu

Nama : Ahsin Aligori

NIM : H45110021

Program Studi/Mayor : Agribisnis

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suharno, MAdev

Ketua

Dr. Amzul Rifin, SP, MS

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agribisnis Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir Rita Nurmalina, MS Prof. Dr. Ir. Nahrowi, MSc

(12)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karen rahmat dan hidayah-Nya tesis yang berjudul ”Efisiensi Produksi Usaha Garam Rakyat

di Kabupaten Indramayu” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada :

1. Dr. Ir Suharno, MAdev selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Amzul Rifin, S.P. MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingannya, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hinga penyelesaian tesis ini. 2. Prof. Dr. Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji program studi pada

sidang tesis yang telah memberikan banyak komentar, kritik dan saran masukan dalam hasil kajian tesis ini.

3. Dr. Anna Faryanti, MSi selaku dosen penguji diluar komisi sidang tesis yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga kualitas tesis ini dapat lebih baik.

4. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen evaluator kolokium yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.

5. Seluruh staff pengajar pada Program Studi Agribisnis

6. Teman-teman seperjuangan Angkatan I pada program Studi Agribisnis (Cicin Yulianti, Nia Rosiana, Cila Apriande, Hepi Risenasari, Ratna Mega Sari, Ratna Sogian Siwang, Maria Montesori, Anisa Dwi Utami, Fitri, Evita FL, Nur Qomariah Hayati, Lila Esty Nurani, Ika Novita Sari, Puspitasari, Ratih Saridewi, Husnul Khotimah, Nuni Gusnawaty, Jemmy Rinaldi, M Ridho Syafendi, A Muis Hasibuan, Yadi Rusyadi, Arifayani Rahman, Putri Indah Nugroho Wanti, Alfath Desita Juniar, Rizma Aldillah dan Asrul Koes atas diskusi dan masukan serta keceriaan mengikuti pendidikan.

(13)

sudah memberikan keleluasaan kepada penulis dalam menjalankan pendidikan.

8. Teman-teman seperjuangan di Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa yang telah memberikan dorongan dan menjadi tim diskusi dalam pengembangan pengetahuan social business in agriculture (Mba Munif, Dessy, Achmad Syarif, Ariansyah, Livson, Slamet, Mas Dede, Mas Rudi, Mas Tisna, Mas Heri dan Soleh).

9. Penghargaan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada kedua orang tua tercinta H Abdulah dan Hj Erah Badriah serta Kakak-kakak tercinta yang sudah memberikan dorongan dan semangat untuk terus meningkatkan pendidikan kejenjang lebih tinggi

Bogor, 12 Januari 2013

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilharikan di Madapada KabupatenTasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 13 April 1981 dari ayah H. Abdullah dan Ibu Hj Erah Badriyah. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara.

Pendidikan formal penulis diawali di Madrasah Ibtidaiyah Bendungan 198-1994. Kemudian penulis melanjutkan studi di Madrasah Tsanawiyah Alkhoeriyah Cibeas Tasikmalaya dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2000 penulis lulus dari SMUN 1 Singaparna Tasikmalaya. Pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) Tahun 2000 jurusan Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Kelautan dan Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus pada tahun 2004. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister Program Studi Magister Sains Agribisnis pada tahun 2010.

Sejak tahun 2005 sampai tahun 2012 penulis bekerja di Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa Republika sebagai Non-Government Organization (NGO) yang bergerak dalam bidang social business, pengembangan masyarakat (community development) dan pengembangan Cooporate Social Responsibility (CSR). Aktifitias penulis lainnya sebagai trainer pengembangan CSR dan CD untuk meningkatkan sertifikasi ISO 26000 dan Global Report Inisiative (GRI) yang dikembangkan oleh perusahaan, lembaga-lembaga non-profit sebagai mitra perusahaan dan lembaga amil zakat (LAZ) serta cabang-cabang Dompet Dhuafa.

(15)

DAFTAR ISI

Nomor Halaman

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 5

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.2. Efisiensi produksi ... 11

2.3. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Input dan Output ... 13

2.2.1. Pengukuran Berorientasi Input (Input-Oriented Measures) ... 13

2.2.2. Pengukuran Berorientasi output (Output-Oriented Measures) ... 15

2.3. Pengukuran Efisiensi Parametrik ... 16

2.3.1. Frontier Parametrik Deterministik ... 18

2.3.2. Frontier Statistik Deterministik ... 19

2.3.3. Frontier Statistik Stokastik ... 20

2.4. Studi Efisensi pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian 22

2.5. Produksi Garam Rakyat ... 26

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 29

3.1. Konsep Produksi ... 31

3.2. Konsep Efisiensi, Efisiensi Teknis, Ekonomis dan Alokatif .... 35

IV. METODE PENELITIAN ... 37

(16)

4.2. Jenis dan Sumber Penelitian ... 37

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 37

4.4. Metode Analisis Data ... 38

4.4.1. Metode Analisis Regresi ... 38

4.4.2. Metode Analisis Faktor Produksi dan Biaya Produksi .. 40

4.4.3. Metode Analisis Efisiensi Biaya dan Efisiensi Ekonomis 41 4.4.4. Metode Analisis Efisiensi Alokatif ... 43

4.5. Pengujian Model dan Hipotesis ... 45

4.5.1. Kesesuaian Model (Goiodness of Fit) ... 46

4.5.2. Uji Statistik Regresi Berganda ... 46

4.6. Definisi Operasional ... 47

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 51

5.1. Keadaan Geografis ... 55

5.2. Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan ... 55

5.3. Kependudukan ... 57

5.4. Sarana dan Prasarana ... 57

5.5. Sentra Produksi Usaha Garam ... 59

VI. KERAGAAN USAHA GARAM RAKYAT DI DAERAH PENELITIAN 57

6.1. Deskripsi Petani Responden ... 57

6.1.1. Karekteristik Sosial-Ekonomi Petambak Garam ... 59

6.1.2. Ukuran Lahan Tambak ... 58

6.1.3. PenggunaanTenaga Kerja dalam Usaha Garam ... 59

6.2. Usaha Garam Rakyat Indramyau ... 60

6.3. Kendala dan Permasalahan ... 63

6.4. Analisis Finansial dan Ekonomi ... 63

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI ... 77

7.1. Penggunaan Faktor Produksi Usaha Garam Rakyat ... 77

7.2. Analisis Fungsi Produksi Usaha Garam Rakyat ... 79

7.2.1. Analisis Stochastic Frontier Produksi Garam ... 79

(17)

7.2.1.2. Pendugaan Fungsi Produksi Metode MLE antar

Kelompok Petambak ... 88

7.2.2. Respon antar Faktor Produksi terhadap Produksi Garam 92 VIII. ANALISIS EFISIENSI TEKNIS, ALOKASI DAN EKONOMIS ... 97

8.1. Analisis Efisiensi Teknis Usaha Garam Rakyat ... 97

8.1.1. Sebaran Efisiensi Teknis ... 97

8.1.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis ... 103

8.2. Analisis Efisiensi Alokasi ... 128

8.2.1. Pendugaan Fungsi Dual Cost Frontier ... 128

8.2.2. Sumber Efisiensi Alokatif ... 131

8.2.3. Sebaran Efisiensi Alokatif ... 134

8.3. Analisis Efisiensi Ekonomis (Economic Efficiency) ... 135

IX. SIMPULAN DAN SARAN ... 139

9.1. Simpulan ... 139

9.2. Saran ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 141

(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penggunaan Garam Impor untuk Industri Tahun 2005-2010 ... 1

2. Daerah dan Produksi Garam di Indonesia Tahun 2007-2011 ... 4

3. Perkembangan Kualitas Garam Rakyat Tahun 2004-2009 (dalam persen) ... 5

4. Luas Lahan Produksi dan Potensi di Indonesia Pada Tahun 2011 .. 6

5. Jumlah Petambak Garam di Kabupaten Indramayu Tahun 2011 ... 7

6. Pengelolaan lahan dan Penyebaran Populasi Petambak Garam di Kabupaten Indramayu ... 38

7. Penduduk Kabupaten Indran mayu Tahun 2005 – 2010 ... 57

8. Luas Wilayah, Jumlah Desa/ Kel, Rata-rata Jiwa/ KK dan KepadataPenduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Indramayu Tahun 2010 ... 58

9. Potensi Lahan Garam Kabupaten Indramayu Tahun 2012 ... 60

10. Karakteristik Sosial Responden Petambak Garam ... 64

11. Sebaran Luasan Lahan Usaha Garam ... 65

12. PenggunaanTenaga Kerja dengan Ukuran Lahan 0.5-1.5 Hektar .... 66

13. Jumlah Hari Pengerukan dan Rata-rata Produksi Garam ... 71

14. Analisis Usaha Garam ... 74

15. Ringkasan Data Produksi ... 78

16. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Sewa dengan Metode OLS 82

17. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Bagi-hasil dengan Metode OLS ... 86

18. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Pemilik-garap dengan Metode OLS ... 88

19. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Sewa dengan Metode MLE ... 89

20. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Bagi-hasil dengan Metode MLE ... 90

21. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Pemilik-garap dengan Metode MLE ... 91

(19)

23. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Petambak Bagi-hasil

(Share rent) ... 112

24. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Pemilik-Garap (Owner) ... 122

25. Sebaran Efisiensi Teknis Petambak Responden ... 128

26. Harga Rata-rata Input yang Berlaku pada Masing-masing Petambak... 129

27. Pendugaan Fungsi Dual Cost Frontier ... 132

28. Rasio Nilai Produk Marjinal-Biaya Korbanan Marjinal (harga garam Rp. 450 per kg) ... 133

29. Sebaran Efisiensi Alokatif Petambak Responden ... 134

30. Sebaran Efisiensi Ekonomis Petambak Responden ... 135

31. Sebaran Efisiensi Biaya Petambak Responden ... 136

(20)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Jumlah Produksi Garam ... 1

2 Neraca Garam Nasional, Tahun 2001-2011 ... 2

3 Tingkat produktifitas garam , Tahun 2007-2011 ... 6

4 Perkembangan harga garam tingkat petambak, Tahun 2005-2011 ... 7

5 Ukuran efisiens berorientasi input ... 14

6 Ukuran efisiensi berorientasi output ... 18

7 Fungsi produksi stochastic frontier ... 22

8 Klasifikasi efisiensi ... 32

9 Proses Pembuatan Garam yang sering dilakukan di tempat penelitian ... 70

10 Sebaran kelompok luasan lahan terhadap tingkat produksi petambak sewa ... 81

11 Respon Lahan Terhadap Produksi GaramLand) ... 93

12 Respon lahan terhadap produksi rata-rata (Average Production of land) ... 93

13 Respon lahan terhadap produksi marjinal (Marjinal Production of Land) ... 93

14 Respon Tenaga Kerja terhadap produksi ... 94

15 Respon Tenaga kerja terhadap produksi rata-rata (Average Production of Labour) ... 94

16 Respon tenaga kerja terhadap produksi marjinal (Marjinal Production of Labour) ... 95

17 Hubungan antara Produktifitas dengan Efisiensi Teknis Petambak Sewa ... 99

18 Hubungan antara Produktifitas dengan Efisiensi Teknis Petambak Bagi-hasil ... 100

19 Hubungan antara Produktifitas dengan Efisiensi Teknis Petambak Pemilik-garap ... 100

(21)

21 Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada

Petambak Bagi-hasil ... 101 22 Estimasi Sebaran Efisiensi Teknis dengan Karnel Density pada

Petambak Pemilik-garap ... 102 23 Hubungan antara Luas lahan dengan Efisiensi Teknis

Petambak Sewa ... 106 24 Hubungan antara Pendapatan dengan Efisiensi Teknis

Petambak Sewa ... 110 25 Hubungan antara Luas lahan dengan Efisiensi Teknis

Petambak Bagi- hasil ... 110 26 Hubungan antara Pendapatan dengan Efisiensi Teknis

Petambak Bagi-hasil ... 117 27 Hubungan antara Luas lahan dengan Efisiensi Teknis

Petambak Pemilik-garap ... 123 28 Hubungan antara Pendapatan dengan Efisiensi Teknis

Petambak Pemilik-garap ... 124 29 Kondisi Produksi yang Efisien Secara Teknis dan Inefisien

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Hasil Analisis Statistik ... 154 1.1. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Rata-Rata OLS

Petambak Sewa ... 154 1.2. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Rata-Rata OLS

Petambak Bagi-hasil ... 155 1.3. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Rata-Rata OLS

Petambak Pemilik-garap ... 155 1.4. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Rata-Rata OLS

Dan Fungsi Produksi Stochastic Frontier MLE Petambak Bagi-hasil ... 156 1.5. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Rata-Rata OLS

Dan Fungsi Produksi Stochastic Frontier MLE Petambak Pemilik-garap ... 160 1.6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Biaya Petambak Bagi

Hasil ... 164 1.7. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Biaya Petambak Pemilik-

(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia salah satu negara dari sebelas negara produsen garam. Pencapaian jumlah produksi pada tahun 2009 sebanyak 1.4 juta ton, jauh dibandingkan dengan Cina yang mencapai 60 juta ton, US mencapai 46 juta ton dan Jerman mencapai 18.6 juta ton (U.S. Geological Survey Mineral Commodity Summaries, 2009 dalam Alim, 2012). Indonesia berada pada posisi terakhir sebagai negara produsen garam (Gambar 1), sedangkan jika dilihat dari potensi sumberdaya alamnya Indonesia memiliki panjang garis pantai 95.181 km2 dan 70 persen teritorial adalah lautan (Dewan Kelautan Indonesia, 2008).

46 60

18.6

16 15

12.4

8.5 7 7.3 5.8

1.4 0

10 20 30 40 50 60 70

United States

China Germany India Canada Australia Mexico France Brazil United Kingdom

Indonesia

Gambar 1. Jumlah Produksi Garam Dunia

(Sumber : U.S. Geological Survey Mineral Commodity Summaries , 2009) dalamAlim (2012)

(24)

kebutuhan garam mencapai 3.400.000 ton dan produksi garam mencapai 1.100.000 ton (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia., 2012). Pemenuhan terhadap permintaan garam konsumsi rumah tangga dan industri masih belum mencukupi, sehingga untuk penanggulangan kekurangan tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan impor garam. Mulai tahun 1994 pemerintah memberlakukan importasi garam beryodium dan pelabelan garam menurut SNI. Selanjutnya pada tahun 1998 pemerintah memberlakukan tarif bea masuk jenis garam untuk garam konsumsi dan industri (Direktorat Bina Pasar dalam Negeri, 2000). Pada tahun tahun 2006 jumlah impor garam mencapai 1.7 juta ton (Gambar 2) dengan peruntukan industri 1.6 juta ton dan untuk konsumsi 0.1 juta ton sedangkan pada tahun 2011 terjadi kenaikan impor sebesar 2.3 juta ton untuk menutupi kekurangan dari produksi mencapai 1.1 juta ton sedangkan konsumsi mencapai 3.4 juta ton. Hal ini sebagai dampak dari gagalnya panen pada tahun 2010 sehingga mempengaruhi stok garam industri dan konsumsi.

Gambar 2 . Neraca Garam Nasional, Tahun 2001-2011. Sumber: Kementrian Perindustrian (2010)

(25)

mencapai 10,0 juta per tahun (Kementrian Perindustrian 2012). Dari Tabel 1 dibawah dapat dilihat kebutuhan garam impor untuk kelompok CAP mencapai angka 56 persen dari total kebutuhan nasional. Kebutuhan untuk kelompok CAP rata-rata mempunyai standar yang cukup tinggi. Sampai saat ini seluruh kebutuhan untuk industri CAP dan sebagian untuk farmasi selalu mengandalkan impor. Garam impor diminati industri terutama terkait faktor mutu dan harga yang bersaing. Pada tahun 2006 garam impor masih sekitar 8 persen untuk konsumsi dan 92 persen untuk industri, perkembangan tahun 2010 mencapai 45 persen untuk konsumsi dan 55 persen untuk industri. Sedangkan pada tahun 2011 terjadi penurunan menjadi 35 persen untuk kebutuhan konsumsi.

Perkembangan garam impor digunakan tidak hanya untuk kebutuhan industry tetapi untuk memenuhu kebutuhan konsumsi. Pada Tabel 1 total nilai impor pada tahun 2010 sejumlah 3.2. juta ton digunakan untuk kebutuhan industry dan konsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sisanya diandalkan dari produksi garam rakyat.

Tabel 1. Penggunaan Garam Impor untuk Industri Tahun 2005-2010

No Jenis Industri Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 CAP 1,483,136 1,474,529 1,563,184 1,562,7 1,535,994 1,667,70 2 Farmasi dan

Kesehatan 7,783 6,200 9,272 11,639 10,634 13,047 3 Industri Pakan

Ternak 399,807 525,490 570,209 479,927 410,652 267,367 4 Aneka Pangan 235,170 246,488 312,072 384,791 408,832 426,414 5 Nelayan,

Pengasinan dan Es Batu

444,142 394,137 411,391 451,093 370,244 695,863

6 Pengeboran

Minyak 125,000 125,000 125,000 125,000 125,000 125,000 7 Penyamakan 62,518 62,398 62.248 61,773 61,490 31,283

8 Tekstil 685 746 756 739 808 893

Jumlah 2,760,246 2,836,99 3,056,13 3,079,7 2,925,662 3,227,56

Sumber: Kementrian Perindustrian (2012)

(26)

menampung garam yang dihasilkan oleh petani garam karena kualitas yang disyaratkan (K1) dengan kadar NaCl lebih dari 96 persen tidak bisa di penuhi (Suherman, et al., 2011).

Produksi garam nasional umumnya diusahakan di tambak rakyat. Selain itu ada yang diusahakan oleh perusahaan swasta dan PT Garam sendiri. Pada tahun 2007 dan tahun 2008 produktifitas tambak garam mencapai 49 ton per hektar (Tabel 2) dengan luasan tambak garam mencapai 19.664 hektar. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan produktifitas menjadi 61 ton per hektar, sedangkan pada tahun 2010 mencapai 1,5 ton per hektar. Pada tahun 2011 masa kemarau relative lebih panjang dari pada tahun 2010, sehingga hal ini berpengaruh terhadap peningkatan produktifitas garam pada tahun tersebut meningkat mencapai 71 ton per hektar. Dengan demikian usaha garam rakyat sangat dipengaruhi oleh panjang kemarau yang terjadi tiap tahun (Upe, 2000).

Tabel 2. Daerah dan Produksi Garam di Indonesia Tahun 2007-2011

Propinsi Produksi (Juta ton)

2007 2008 2009 2010 2011

Jawa Barat 0.900 0.900 0.110 0.005 0.131

Jawa Tengah 1.500 0.150 0.170 0.005 0.198

Jawa Timur 0.570 0.600 0.470 0.007 0.850

NTB 0.450 0.420 0.470 0.005 0.069

NTT 0.500 0.480 0.540 0.003 0.067

Sulsel 0.480 0.480 0.480 0.003 0.065

Sulteng 0.140 0.130 0.160 0.001 0.020

Jumlah 0.970 9.970 1.200 0.030 1.400

Sumber: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia (2012), diolah

Teknologi yang digunakan petani garam di Indonesia umumnya banyak menggunakan teknologi tradisional madurase. Kelemahan dari teknik turun temurun ini rata-rata menghasilkan kualitas garam termasuk K2 dan K3 (Hernanto

(27)

persen dengan warna putih keruh. Mutu garam dengan karakteristik tersebut masih belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (Rachman, 2011).

Tabel 3. Perkembangan Kualitas Garam Rakyat Tahun 2004-2009 (dalam persen)

No Kualitas 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 K1 15 20 25 30 46 42

2 K2 35 40 45 50 44 50

3 K3 50 40 30 20 10 8

Sumber : (Dirjen KP3K, 2011), diolah

Besarnya potensi pengembangan industri garam serta banyaknya faktor yang menghambat perkembangan usaha garam rakyat, maka pemerintah mendorong upaya tersebut dengan berbagai program dan kebijakan (Dirjen KP3K), Pengembangan industri garam rakyat diarahkan pada peningkatan kualitas dan produktivitas garam di sentra produksi, pembangunan infrastruktur saluran-saluran primer dan lahan penampungan air laut, ektensifikasi dengan cara pembukaan lahan-lahan yang tidak produktif dan lahan baru (ekstensifikasi), dan kebijakan harga dasar garam di tingkat petambak (farm gate price). Kebijakan tersebut diharapkan mampu mendorong perkembangan industri hulu (on-farm) garam serta memberikan kontribusi terhadap program swasembada garam tahun 2014 dan kesejahteraan petambak garam yang merupakan salah satu komponen utama dalam industri garam rakyat karena 80 persen produksi garam dihasilkan oleh garam rakyat.

1.2. Permasalahan

Sebagai salah satu negara produsen garam di dunia dan potensi lahan garam yang luas, diharapkan usaha garam rakyat dapat menjadi faktor keberhasilan swasembada garam. Potensi lahan tambak di Indonesia pada tahun 2011 sebanayak 33,854.36 hektar, dengan pemanfaatan lahan produksi baru mencapai 71 persen (Tabel 4). Produktifitas garam tiap tahun cenderung berfluktuasi (Gambar 3) dengan jumlah lahan yang tidak mengalami pertumbuhan. Mulai tahun 2007 sampai tahun 2010 tingkat produktifitas terus menurun, sedangkan pada tahun 2011 terjadi peningkatan 63 persen.

(28)

produktifitas ini dipengaruhi oleh musim yang berhubungan dengan jumlah hari kemarau sebagai hari yang digunakan untuk berproduksi garam (Purbani, 2000; BMKG, 2012). Kondisi produktifitas yang berfluktuasi seperti ini dapat ditingkatkan melalui intensifikasi atau perbaikan teknologi (Kusnadi, et al., 2011) terlebih teknologi produksi garam yang digunakan masih sangat tradisional (Rochwulaningsih, 2012).

88.84

81.69

51.82

2.79

65.25

20.00 40.00 60.00 80.00 100.00

2007 2008 2009 2010 2011

Produktifitas (ton/ha)

Gambar 3 . Tingkat produktifitas garam , Tahun 2007-2011. Sumber: Kementrian Perindustrian (2010), diolah

Tabel 4. Luas Lahan Produksi dan Potensi di Indonesia Pada Tahun 2011

Propinsi Luas lahan produksi

(Ha)

Luas lahan potensial (Ha)

Produktifitas (ton/ha)

Jawa Barat 3,499.81 5,692.30 65.35

Jawa Tengah 6,138.36 2,294.72 73.28

Jawa Timur 10,313.28 7,632.15 69.43

Bali 114.06 100.00 29.28

NTB 2,247.33 5,155.85 60.42

NTT 210.97 11,113.71 28.26

Sulsel 1,513.40 1,758.36 71.45

Gorontalo 75.00 100.00 25.00

Sulteng 18.73 7.27 53.40

Jumlah 24,130.93 33,854.36 65.29

Sumber : (Dirjen KP3K, 2011), diolah

(29)

digunakan di Kabupaten Indramayu sejumlah 1,9 ribu hektar dan tingkat produktifitas 90 ton/ha (Diskanla Kab. Indramayu, 2012). Upaya ini lebih memungkinkan untuk meningkatkan produksi mengingat potensi lahan kosong masih besar, dan belum digunakan oleh usaha budidaya tambak lainnya (Dirjen KP3K, 2011).

Sub-sistem hulu agribisnis garam didominasi oleh kegiatan pengelolaan garam dengan teknologi tradisional. Produser dalam hal ini adalah kelompok-kelompok petambak yang bergerak pada sub-sistem on-farm termasuk di Kabupaten Indramayu terbagi menjadi kelompok pemilik lahan sempit kurang dari 0.5 hektar, kelompok petambak buruh/garap bagi hasil dan kelompok petambak sewa lahan (Rochwulaningsih, 2007). Petambak garam di Kabupaten Indramayu mencapai 2.8 ribu petambak (Tabel 5) yang didominasi oleh petambak sewa, bagi hasil, dan pemilik-garap yang tersebar di 3 kecamatan sentra garam (Diskanla Kab. Indramayu, 2012).

Tabel 5. Jumlah Petambak Garam di Kabupaten Indramayu Tahun 2011

No Kecamatan Sewa Bagi hasil Pemilik

1 Kandanghaur 333 167 136

2 Losarang 1093 468 223

3 Krangkeng 434 186 124

Jumlah 1,971 844 483

Sumber : (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, 2011), diolah

(30)

terhadap teknis produksi garam sedangkan usaha garam memiliki karakteristik pengeluaran biaya tenaga kerja yang besar dengan harga tenaga bisa mencapai Rp 60.000/HOK (Darmawan, 2010).

Untuk menutupi kerugian produsen pemerintah mengeluarkan kebijakan harga dasar garam. Tetapi hal tersebut belum sepenuhnya didapatkan oleh petambak garam. Kecenderungan yang ada harga jual garam di tingkat petambak selalu di bawah harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga pasar yang banyak diterima oleh petani tahun 2004-2010 dibawah Rp 200/kg untuk kualitas dua (K2) (Gambar 4). Setelah adanya kebijakan harga dasar pun pada

tahun 2011, harga dasar garam masih dibawah Rp. 300/kg. Dengan rendahnya harga dasar garam di tingkat petambak menghilangkan insentif ekonomi sehingga membuka kemungkinan petambak akan beralih ke usaha tambak lainnnya.

Gambar 4. Perkembangan harga garam tingkat petambak, Tahun 2005-2011. Sumber: Direktur Jenderal Perdagangan LN (2012), diolah

(31)

pengangkutan dan distribusi garam rakyat dari area tambak ke gudang garam. Lemahnya akses modal usaha sehingga ketergantungan terhadap pemilik modal yang sekaligus sebagai pemilik lahan berpengaruh terhadap produksi.

Peningkatan produktifitas juga dapat dicapai melalui terobosan teknologi. Terobosan terknologi berkontribusi terhadap pertumbuhan produktiitas faktor total (TFP) (Swastika, 2007). Dengan adanya tambahan teknologi zat aditif ramsol dan teknik ulir penguapan garam dapat meningkatkan produksi dan kualitas garam (Hasan, 2012). Inovasi tambahan teknologi atau cara pengolahan produksi sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan surplus pendapatan petani (Adiyoga, 1999).

Untuk itulah peningkatan produktifitas, dan efisiensi produksi garam menajadi sangat penting dikaji. Dengan berbagai program yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti program pengembangna usaha garam rakyat (PUGAR) diharapkan dapat meningkatkan produksi dan kesejahteraan melalui peningkatan kinerja efisiensi usaha tani (Weersink dan Godah, 1990).

Persoalan yang dianalisis dari permasalahan penelitian ini adalah : 1. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap produksi usaha garam rakyat

di Kabupaten Indramayu ?

2. Apakah produksi garam dilakukan secara efisien, dan faktor apa yang mempengaruhi timbulnya efek inefisiensi teknis tersebut ?

3. Faktor apa yang mempengaruhi terhadap tingkat efisiensi alokatif dan ekonomis usaha garam rakyat di Kabupaten Indramayu ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk :

1. Menganalisis faktor yang mempengaruhi terhadap produksi usaha garam rakyat

2. Menganalisis faktor penyebab terjadinya inefisiensi teknis didalam produksi garam rakyat di tingkat masing-masing petambak garam

3. Menganalisis tingkat efisiensi alokatif dan ekonomis pada petambak garam di Kabupaten Indramayu

1.4. Manfaat Penelitian

(32)

1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk mengatasi masalah penelitian.

2. Bagi dunia akademik, penelitian ini diharapkan dapat sebagai referensi awal dalam melakukan analisis faktor produksi industri garam dan kebijakan untuk meningkatkan pengembangan agribisnis garam Indonesia, karena penulis melihat belum banyak penelitian sebelumnya melakukan penelitian produksi garam di wilayah sentra garam Indonesia

3. Bagi pemerintah diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan ke araha yang lebih baik dalam pengembangan usaha garam rakyat

1.5. Batasan dan Ruang Lingkup Penelitan

Batasan dan ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Industri garam dianalisis dalam penelitian ini difokuskan pada usaha garam rakyat dengan model madurase.

2. Produk garam yang dianalisis yaitu produk garam mentah (garam krosok) yang dihasilkan oleh petani garam rakyat

3. Data yang digunakan dalam melakukan analisis usaha adalah data produksi pada tahun 2011

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Efisiensi Produksi

Isu in-efisiensi pada dasarnya timbul dari anggapan bahwa petani dan usahatani berperilaku memaksimalkan keuntungan. In-efisiensi dapat diinterpretasikan sebagai suatu titik atau tahapan dimana tujuan dari pelaku ekonomi belum secara penuh dimaksimalkan (Adiyoga, 1999). Farrell (1957) menyatakan alasan pentingnya pengukuran efisiensi karena beberapa hal : (1) Masalah pengukuran efisiensi produksi suatu industri dan usaha tani adalah penting untuk ahli teori ekonomi maupun pengambil kebijakan ekonomi; (2) Jika alasan-alasan teoritis efisiensi relatif dari berbagai sistem ekonomi harus diuji, maka penting untuk mampu membuat pengukuran efisiensi aktual hal ini sebagai pebanding antara kondisi ril dan aktual yang dialami oleh perusahaan (firm) ; (3) Jika perencanaan ekonomi sangat terkait dengan industri tertentu, adalah penting untuk meningkatkan output tanpa menyerap sumberdaya-sumberdaya tambahan atau menaikkan efisiensinya.

Dalam teori ekonomi mikro yang standar, konsep fungsi produksi membentuk dasar untuk deskripsi hubungan input-output bagi petani. Jika diasumsikan faktor produksi homogen dan informasi lengkap tentang teknologi yang ada, fungsi produksi mewakili sejumlah metode untuk menghasilkan output. Untuk situasi tertentu, fungsi produksi akan memberikan gambaran tentang teknologi produksi. Penghitungan efisiensi selanjutnya dapat dibuat relatif terhadap fungsi produksi. Secara khusus, in-efisiensi teknis akan ditentukan oleh jumlah penyimpangan dari fungsi produksi aktual. Byerlee (1987), mengemukakan bahwa dalam istilah ekonomi, inefisiensi teknis mengacu pada kegagalan untuk beroperasi pada fungsi produksi tersebut. Penyebab potensial inefisensi teknis adalah informasi tidak sempurna, kapabilitas teknis yang rendah dan motivasi yang tidak memadai (Daryanto, 2000).

(34)

lebih tinggi, dengan menggunakan faktor produksi yang sama. Sementara itu, efisiensi alokatif mengacu pada kemampuan petani merespon sinyal ekonomi dan memilih kombinasi input optimal pada harga-harga input yang berlaku. Farrell (1957) mengembangkan literatur untuk melakukan estimasi empiris untuk efisiensi teknis (tehcnical efficiency/TE), efisiensi alokatif (alocative efficiency/AE), dan efisiensi ekonomi (economic efficiency/EE). Tylor, et al., (1986), serta Ogundari dan Ojo, (2006) menggunakan penggunaannya lebih lanjut dalam analisis efisiensi usaha tani. Efisiensi teknis (TE) didefinisikan sebagai kemampuan seorang produsen atau petani untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan sejumlah input. Efisiensi teknis (TE) berhubungan dengan kemampuan petani untuk berproduksi pada kurva batas isoquan (frontier isoquan). Dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan petani untuk memproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan input minimum pada tingkat teknologi tertentu. Efisiensi alokatif (AE) adalah kemampuan seorang petani untuk menggunakan input pada proporsi yang optimal pada harga faktor dan teknologi produksi yang tetap (given). Dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan petani untuk memilih tingkat penggunaan input minimum di mana harga-harga faktor dan teknologi tetap. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa AE menjelaskan kemampuan petani dalam menghasilkan sejumlah output pada kondisi minimisasi rasio biaya input. Gabungan kedua efisiensi ini disebut efisiensi ekonomi (EE), artinya bahwa produk yang dihasilkan baik secara teknik maupun alokatif efisien. Jadi effisiensi ekonomis sebagai kemampuan yang dimiliki oleh petani dalam berproduksi untuk menghasilkan sejumlah output yang telah ditentukan sebelumnya. Secara ekonomik efisien bahwa kombinasi input-output akan berada pada fungsi produksi frontier dan jalur pengembangan usaha (expantion path).

(35)

terhadap perubahan harga, maka memanipulasi harga input dan output (skema kredit, subsidi pupuk) mungkin mempunyai pengaruh yang sama pada biaya yang lebih rendah, (c) Jika inefisiensi adalah akibat dari ketidaksempurnaan pasar, maka kinerja pasar seharusnya diperbaiki, dan (d) Jika petani secara teknis adalah inefisien maka pendidikan petani dan penyuluhan pertanian perlu ditingkatkan.

2.2. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Input dan Output

Berbagai metode telah dicoba untuk mengukur efisiensi. Coelli, et al., (1998) bahwa pengukuran efisiensi secara konseptual terdapat dua metode yaitu pengukuran berorientasi input (input-oriented measures) dan pengukuran berorientasi output (output-oriented measures). Konsep efisiensi frontier sudah sering dipakai, di mana deviasi dari frontier diasumsikan mewakili inefisiensi. Model frontier telah banyak dipakai dalam mengukur tingkat efisiensi produksi usahatani. Beberapa alasan penggunaan model frontier adalah : (1) Istilah frontier adalah konsisten dengan teori ekonomi perilaku optimisasi; (2) Deviasi dari frontier dengan tujuan efisiensi teknis dan perilaku unit ekonomi memiliki interpretasi alami sebagai pengukuran efisiensi; dan (3) Informasi tentang efisiensi relatif unit ekonomi memiliki banyak implikasi kebijakan yang dapat diimplementasikan (Bauer, 1990).

2.2.1. Pengukuran Berorientasi Input (Input-Oriented Measures)

(36)

Untuk mengilustrasikan konsep efisiensi, Farrell (1957) dan Coelli, et al., (1998) menggunakan contoh sederhana di mana petani hanya menggunakan dua input (x1 dan x2), untuk menghasilkan output tunggal (y). dimana y=f((x1, x2)

dengan asumsi constant return to scale (CRTS). Konsep efisiensi dari sisi input diilustrasikan oleh Farrell (1957) pada Gambar 5. Konsep efisiensi ini diasumsikan pada kondisi Constant Return to Scale.

Pada Gambar 5, kurva isoquant frontier SS’ menunjukkan kombinasi input per output (x

1/y dan x2/y) yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output

Y0 = 1. Titik P dan Q menggambarkan dua kondisi suatu perusahaan dalam berproduksi menggunakan kombinasi input dengan proporsi input x

1/y dan x2/y

yang sama. Keduanya berada pada garis yang sama dari titik O untuk memproduksi satu unit Y0. Titik P berada di atas kurva isoquant, sedangkan titik Q menunjukkan perusahaan beroperasi pada kondisi secara teknis efisien (karena beroperasi pada kurva isoquant frontier). Titik Q mengimplikasikan bahwa perusahaan memproduksi sejumlah output yang sama dengan perusahaan di titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Jadi, rasio OP/OQ menunjukkan efisiensi teknis (TE) perusahaan P, yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada P dapat diturunkan, rasio input per output (x

1/y : x2/y) konstan, sedangkan output tetap.

Gambar 5. Ukuran Efisiensi Berorientasi Input Sumber: Farrell (1957)

xi x1/y

x2/y

O A

R

A` S

Q’

S’

Q

(37)

Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan. Garis isocost (AA’) digambarkan menyinggung isquant SS’ di titik Q’ dan memotong garis OP di titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang meminimumkan biaya produksi pada tingkat output tertentu karena slope isquant sama dengan slope garis isocost. Titik Q secara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan di titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi dari pada di titik Q’.Jarak OR-OQ menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di titik Q’ (secara alokatif dan teknis efsien), sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di titik P adalah rasio OR/OQ. Oleh Farrell (1957), efisiensi alokatif ini juga disebut sebagai efisiensi harga (price efficiency).

Total efisiensi ekonomi (EE) adalah sama dengan perkalian efsiensi teknis dengan efisiensi alokatif, yaitu: EE = TE x AE = (OQ/OP) x (OR/OQ) = OR/OP. Dapat disimpulkan bahwa efisiensi teknis dan alokatif bisa diukur dari segi fungsi produksi frontier dan asosiasi first order condition (FOC) atau dengan menggunakan dual fungsi biaya (Taylor, et al., 1986).

Pada Gambar 3 diperlihatkan bahwa TE tidak harus berimplikasi total EE, maupun minimisasi biaya. Petani bisa mencapai TE dengan menggunakan input tanpa mempertimbangkan harga input. Terlepas dari tingkat produksi yang relative tinggi, produsen yang mengikuti strategi ini tidak akan mungkin meminimalkan biaya. Pengukuran efisiensi menurut Farrel semula sah untuk teknologi restriktif yang dicirikan oleh CRS atau homogenitas linier. Analisis Farrel tidak mempertimbangkan level produksi optimal karena skala produksi tidak terbatas pada CRS. Tetapi, pengukuran Farrel (1957) telah digeneralisir menjadi teknologi yang kurang restriktif.

2.2.2. Pengukuran Berorientasi output (Output-Oriented Measures)

Metode pengukuran berorientasi output (output-oriented measures) seperti yang diilustrasikan Gambar 6 (Coelli, et al., 1998), dijelaskan dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier/PPF)

(38)

Gambar 6. Ukuran Efisiensi Berorientasi Output Sumber: Farrell (1957)

Berkenaan dengan kondisi tersebut, pada pendekatan ini rasio efisiensi teknis didefinisikan sebagai : OB=TExOA. Dengan adanya informasi harga output yang digambarkan oleh garis isorevenue AA’ maka efisiensi alokatif dituliskan dalam bentuk : OC=AE xOB. Sehingga EE=TExAE

2.3. Pengukuran Efisiensi Parametrik

Menurut Debertin (1986) fungsi produksi menggambarkan hubungan teknis (technical relationship) antara sejumlah input yang digunakan dengan output yang dihasilkan dalam proses produksi. Coelli, et al., (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap penggunaan input. Apabila suatu kegiatan usahatani berada pada titik pada fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisien secara teknis. Jika fungsi produksi frontier diketahui maka dapat diestimasi in-efisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontier-nya.

Pendekatan parametrik mengacu pada setiap metode frontier yang dikonstruksi adalah parametrik, misalnya fungsi produksi frontier Cobb-Douglas atau translog. Pendekatan parametrik dapat dibedakan menjadi pendekatan parametrik deterministik dan frontier stokastik (Bravo-Ureta dan Pinherio,1993), sedangkan Kumbhakar dan Lovell (2000) pendekatan parametrik untuk data cross-sectional dibedakan menjadi pendekatan parametrik deterministik, frontier stokastik, dan frontier distance. Pendekatan ini memerlukan spesifikasi eksplisit teknologi produksi. Sampai akhir 1960-an sebagaian besar studi menggunakan

xi Y2/x

Y1/x

O A

R

A`

S Q’

S’

Q

(39)

metodologi least-squares tradisional untuk mengestimasi fungsi produksi. Coelli (1995) dan Coelli, et al., (1998) berpendapat bahwa mengestimasi fungsi produksi frontier memiliki dua keuntungan utama dibanding dengan mengestimasi fungsi produksi rata. Pertama, estimasi fungsi produksi rata-rata hanya memberikan fungsi teknologi rata-rata-rata-rata petani, sedangkan estimasi fungsi produksi frontier sangat dipengaruhi oleh petani yang mempunyai kinerja terbaik yang mencerminkan teknologi yang digunakan. Kedua, fungsi produksi frontier mewakili hasil estimasi metode praktek terbaik di mana efisiensi petani dalam industri tersebut bisa diukur. Misalnya, proses produksi atau teknologi dituliskan sebagai berikut :

i=1,2… n …….……...(2.1) di mana adalah tingkat produksi untuk petani contoh ke-i; adalah bentuk fungsi yang sesuai; adalah vektor input untuk petani ke-i; adalah vektor parameter tidak diketahui yang akan diukur; adalah variabel acak; dan N adalah jumlah petani. Fungsi produksi mewakili output maksimum yang mungkin tercapai pada kombinasi input tertentu. Tetapi, estimasi model di atas mengasumsikan ~N(0,σs2) menghasilkan fungsi produki rata-rata. Untuk

pengukuran efisiensi, diupayakan bisa menentukan standar atau fungsi produksi dari perilaku yang diamati bisa diukur. Dalam realita, petani mungkin tidak mencapai tingkat output maksimum, sebagai akibat terjadinya inefisiensi teknis.

(40)

2.3.1. Frontier Parametrik Deterministik

Disebut frontier parametrik deterministik karena output di batasi dari atas oleh fungsi produksi yang tidak bersifat stokastik. Di mana galad satu sisi (onesided error term) akan memaksa output (y) lebih kecil dari fungsi produksi frontier atau f(x). Hal ini berbeda dengan pendekatan non-parametrik karena teknologi yang ada diekspresikan dengan bentuk fungsi spesifik. Aigner dan Chu (1968) mengikuti pendapat Farrel (1957) menyarankan penggunaan bentuk fungsi spesifik, berbentuk fungsi produksi Cobb-Douglas homogenus. Model ini ditulis sebagai berikut :

, i=1,2… n …….……...(2.2) di mana: =output petani ke-i; = vektor input untuk petani ke-i; = bentuk fungsi Cobb-Douglas; = vektor parameter yang tidak diketahui yang akan diukur; = variabel acak non-negatif terkait dengan efisiensi teknis. adalah galat satu sisi, yang mempunyai implikasi semua observasi terletak pada atau di bawah frontier, yaitu :

, i=1,2… n …….……...(2.3) Aigner dan Chu (1968) menyarankan parameter fungsi frontier diukur dengan programasi linier atau kuadratik. Dalam aplikasi empiris, Aigner dan Chu (1968) menggunakan linier programing dimana parameter fungsi frontier diestimasi dengan meminimalkan jumlah dengan syarat > 0, untuk semua ke-i.

Efisiensi teknis dari petani ke-i dapat didefinisikan sebagai rasio aktual output terhadap output frontier terkait :

] = exp(- )...(2.4) Ukuran efisiensi teknis yang dikembangkan menggunakan pendekatan berorientasi output. Keuntungan utama pendekatan ini dibanding pendekatan non-parametrik bahwa lebih sedikit retsriksi yang di-impose dan non-constant return to scale bisa diakomodasi tetapi, salah satu kelemahan pendekatan ini adalah memiliki sensitivitas estimasi parameter terhadap pencilan (outlier) karena frontier jenis ini diestimasi berdasarkan subset data.

(41)

dilakukan dengan mengestimasi parameter model dengan secara berurutan membuang persentase pengamatan (outlier) sampai perubahan estimasi parameter cukup kecil. Kelemahan pendekatan ini adalah bersifat acak dari seleksi pengamatan untuk dihilangkan dari sampel. Kelemahan lainnya adalah tidak adanya asumsi galat, hasil estimasi parameter tidak memiliki sifat statistik dan pengujian hipotesis tidak mungkin dilakukan.

2.3.2. Frontier Statistik Deterministik

Membuat beberapa asumsi statistik tentang galat dalam persamaan (2) adalah motif pengembangan model ini. Dalam persamaan (2.8), Ui diasumsikan terdistribusi secara independen dan identik (iid) dan nilai Xi diasumsikan exogenous (independen dari Ui). Karena galat Ui adalah satu sisi, estimator OLS untuk parameter tidak bisa diterima untuk mengukur parameter di dalam model (10). Secara ringkas persamaan fungsi produksi frontier statistik deterministic dalam bentuk logaritma dapat diformulasikan sebagai berikut :

(42)

digunakan adalah eksponensial. Menurut prosedur MOLS, model tersebut pertama diestimasi menggunakan OLS dan intersepnya dikoreksi dengan estimasi untuk mean Ui, diturunkan dari momen residual OLS, dan bukan mengadopsi prosedur penyesuaian COLS (Lovell, 1993).

Keuntungan dari penggunaan pendekatan frontier statistik deterministic adalah hasil analisis untuk model menggunakan data sampel yang memadai dapat diuji kelayakan statistiknya (Aigner dan Chu, 1968; Richmond, 1974; Scmidt, 1976). Scmidt (1976) mengemukakan bahwa pendekatan frontier statistik deterministik mempunyai kelemahan yang sama dengan pendekatan non-parametrik dan pendekatan non-parametrik deterministik, yaitu terletak pada diperlukannya bentuk fungsional tertentu dan semua penyimpangan dari frontier dikategorikan sebagai inefisiensi teknis. Pendekatan ini mempunyai asumsi implisit bahwa semua variasi acak adalah karena inefisiensi teknis dan tidak diperbolehkan adanya variasi acak diluar kontrol petani.

2.3.3. Frontier Statistik Stokastik

Salah satu metode estimasi tingkat produksi dan efisiensi teknis yang banyak digunakan adalah melalui pendekatan frontier statistik stokastik atau frontier stokastik, yang dalam implementasinya menggunakan stochastic production frontier (SPF). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Aigner, et al., (1977); dan dalam saat yang bersamaan juga dilakukan oleh Meeusen dan van den Broeck (1977). Pengembangan pada tahun-tahun berikutnya banyak dilakukan seperti oleh Battese dan Coelli (1988, 1992, 1995), Coelli, et al., (1998), Kumbhakar and Lovell (2000).

Pendekatan frontier deterministik yang telah diuraikan terdahulu, ternyata belum mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bahwa kinerja usahatani dapat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang berada di luar control petani. Dalam model frontier statistik stokastik atau sering hanya disebut frontier stokastik, output diasumsikan dibatasi dari atas oleh suatu fungsi produksi stokastik. Pada kasus Cobb-Douglas, model tersebut dalat dituliskan sebagai berikut :

(43)

acak, dan (2) komponen kesalahan satu-sisi (one-sided error) dari simpangan yang menangkap pengaruhinefisiensi teknis.

Pada setiap model frontier statistik stokastik, simpangan yang mewakili gangguan statistik (statistical noise) diasumsikan independen dan identik (iid) yang terdistribusi secara normal. Asumsi distribusi yang paling sering digunakan adalah setengah normal (half normal). Jika dua simpangan ( - ) diasumsikan bersifat independen satu sama lain serta independen terhadap input produksi (xi), dan dipasang asumsi distribusi spesifik (secara berturut-turut : normal dan

setengah normal), maka fungsi likelihood (maximum likelihoodestimators) dapat dihitung. Metode estimasi lain yang dapat digunakan adalah melalui estimasi model dengan OLS (Ordinary Least Square) dan mengkoreksi konstanta dengan menambahkan suatu penduga konsisten dari E( ) berdasarkan momen yang lebih tinggi (dalam kasus setengah normal, digunakan momen ke dua dan ke tiga) dari residual kuadratik terkecil atau disebut CLOS (CorectedOrdinary Least Square). Setelah model diestimasi, nilai-ninai ( - ) juga dapat diperoleh. Pada pengukuran efisiensi, penduga untuk uj juga diperlukan. Jondrow, et al., (1982)

menyarankan kemungkinan yang paling relevan adalah E( │ - ) yang dievaluasi berdasarkan nilai-nilai ( - ) dan parameter-parameternya.

Dalam makalahnya, Jondrow, et al., (1982) mengemukakan bahwa formula E( │( - ) untuk kasus normal dan setengah normal. Struktur dasar model frontier statistik stokastik pada persamaan (11 dan 12) dapat diilustrasikan pada Gambar 7. Keunggulan pendekatan frontier stokastik adalah dimasukkannya gangguan acak (disturbance term), kesalahan pengukuran dan kejutan eksogen yang berada di luar kontrol petani. Sementara itu, beberapa keterbatasan dari pendekatan ini adalah : (1) Teknologi yang dianalisis harus diformulasikan oleh struktur yang cukup rumit, (2) Distribusi dari simpangan satu-sisi harus dispesifikasi sebelum mengestimasi model, (3) Struktur tambahan harus dikenakan terhadap distribusi inefisiensi teknis, dan (4) Sulit diterapkan untuk usahatani yang memiliki lebih dari satu output.

Komponen yang pasti dari model frontier adalah f(xi;β) digambarkan

(44)

Gambar 7. Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sumber: Coelli, et al., (1998)

Output frontier petani i adalah yi*, melampaui nilai output dari fungsi

produksi deterministik yaitu Hal ini dapat terjadi karena kegiatan produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan (misalnya : curah hujan yang cukup, sinar matahari yang memadai, tidak adanya serangan organisme pengganggu tanaman), sehingga variabel vi bernilai positif.

Sementara itu, petani j menggunakan input produksi sebesar xj dan memperoleh

output sebesar yj, akan tetapi output frontier peta ni j adalah yj* yang berada di

bawah bagian yang pasti dari fungsi produksi. Hal ini dikarenakan kegiatan produksi usahatani dipengaruhi oleh kondisi yang kurang menguntungkan (misalnya : curah hujan terlalu tinggi, kekeringan, atau serangan), yaitu vi bernilai negatif. Output frontier yang tidak dapat diobservasi ini berada di bawah output dari fungsi produksi determisnistik yaitu Pada kasus kedua, hasil produksi yang dicapai petani j berada di bawah fungsi produksi frontier .

2.4. Studi Efisensi pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian

Efisiensi merupakan salah satu studi terbaru yang mencoba untuk melihat manfaat diberbagai bidang dengan memadukan antar metode yang digunakan sebagai alat analisis (Bravo-Ureta, etal., 2007). Secara terperinci, studi tersebut

Output observasi

(yi)

xi

Output batas (yi*),

y = F(xi;β) exp(vi), jika vi>0

y = F(xi;β)

Output observasi

(yj)

Output batas (yj*),

y = F(xj;β) exp(vj), jika vj>0

(45)

mencoba mengkaji beberapa hal, yakni : (1) analisis dengan metode parametrik (baik deterministik maupun stokastik) apakah menghasilkan nilai TE yang berbeda dengan metode non parametric (DEA); (2) Apakah bentuk fungsi memiliki pengaruh atau efek pada TE; (3) Dengan model data panel apakah menghasilkan nilai rata-rata (mean) TE yang sama dengan yang dihasilkan model frontier dengan data cross section; (4) Apakah nilai TE dari pendekatan primal berbeda dengan pendekatan dual; (5) Apakah model dengan ukuran contoh besar dan jumlah variabel (banyak atau sedikit) memiliki pengaruh pada nilai TE; (6) Apakah nilai TE bervariasi antar jenis komoditas yang dianalisis; (7) Apakah lokasi geografis (negara) menghasilkan rata-rata TE yang spesifik; dan (8) Apakah tingkat pendapatan (negara) mempengaruhi nilai estimasi TE. Untuk mendapatkan atas jawaban tersebut, Bravo-Ureta, et al., (2007) mengkaji studi empiris dengan dengan menggunakan metode non parametric, baik metode parametrik deterministik atau metode frontier parametric stokastik. Analisis menyimpulkan bahwa nilai estimasi yang dihasilkan oleh model frontier parametrik stokastik lebih tinggi dibandingkan model parametrik deterministik. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa model frontier parametrik stokastik adalah metode yang banyak digunakan oleh para peneliti di bidang pertanian. Beberapa peneliti juga mengkaji efisiensi teknis beberapa komoditas pertanian di negara maju (Wilson, et al., 1998; Fogasari dan Latruffe, 2007; dan Lambarraa, et al., 2007).

(46)

membandingkan komoditas pangan dan susu dengan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA). Lambarraa, et al., (2007) menganalisis efisiensi usahatani jeruk di Spanyol dengan menggunakan pendekatan Total Factor Productivity dan Stochastic Frontier Model. Sementara itu, Bravo-Ureta, et al., (2007) melakukan analisis TE pertanian dengan analisis meta regression yang bersifat lintas negara (negara berkembang dan negara maju) dan lintas komoditas.

Kajian efisiensi di Indonesia berkembang dengan aplikasi model frontier khsusnya usahatani padi. Beberapa studi oleh Tabor (1992), Erwidodo (1990), Erwidodo (1992a), Erwidodo (1992b) dan Trewin, et al., (1995), Daryanto (2000), Sumaryanto (2001) dan Sumaryanto, et al., (2003), serta Wahida (2005) menggunakan frontier stokastik untuk analisis efisiensi untuk usahatani padi, Sukiyono (2004) menganalisis efisiensi komoditas cabai, Fauziyah (2010) menggunakan model fungsi produksi frontier stokastik yang memfokuskan pada pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi terhadap alokasi input usahatani tembakau.

Studi produksi frontier stokastik umumnya mengasumsikan produksi Cobb-Douglas (CD) atau Translog adalah model yang memadai dalam analisis data tingkat petani padi. TE usahatani padi sangat bervariasi dari 50 persen di India (Kalirajan, 1981), 76-85 persen untuk padi konvensional dan 87-94 persen untuk padi hibrida di Jiangsu China (Xu dan Jeffrey, 1998), 71,30 persen (Sumaryanto, et al., 2003) dan 76,00 persen (Wahida, 2005) di DAS Brantas, Jawa Timur, serta 91,86 persen untuk usahatani padi di lima daerah sentra produksi padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan (Kusnadi, et al., 2011) pada input dan teknologi yang digunakan. Sementara itu, untuk komoditas non padi, seperti komoditas kentang di Inggris 0,90 (Wilson, et al., 1998), cabai merah di Rejang Lebong Bengkulu nilai TE 0.65-0.99 (Sukiyono, 2005), tembakau di Pamekasan, Jawa Timur 0.89 (Fauziyah, 2010).

(47)

variabel-variabel sosio-ekonomi. Keputusan manajerial menentukan kemampuan seorang petani sebagai manajer untuk memilih kombinasi input produksi dan pola output usahatani yang dipandang tepat, seperti penggunaan varietas dan jumlah benih, dosis dan jenis pupuk, waktu aplikasi pemupukan dan pestisida, teknik berproduksi, sistem tanam, serta teknik panen dan pasca panen.

Variabel sosio-ekonomi bukan bagian dari proses produksi fisik, tetapi mempunyai efek terhadap variabel keputusan manajemen. Variabel sosio-ekonomi paling banyak digunakan untuk menerangkan variasi tingkat usahatani baik padi maupun non padi dalam hal TE, yaitu ukuran lahan usahatani, pendidikan, umur dan pengalaman petani, kontak petani dengan petugas penyuluhan, pendapatan, ketersediaan dan aksessibilitas air irigasi, aksessibilitas terhadap kelembagaan koperasi, rotasi tanaman dan lain sebagainya.

(48)

keorganisasian (kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi), aksessibilitas terhadap sumber-sumber kredit, aksessibilitas terhadap pasar input, aksessibilitas terhadap pasar output, pendapatan non usahatani.

2.5. Produksi Garam Rakyat

Garam adalah suatu senyawa kimia sederhana yang terdiri dari atom-atom yang membawa ion positif maupun ion negatif, dengan rumus kimia NaCl; untuk setiap gram garam hampir 40 persen terdiri dari natrium (Na) dan 60 persen lebih klor (Cl). Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang memiliki toksisitas rendah yang tidak dapat terbakar, Garam biasa ditambahkan pada makanan sebagai penguat rasa (garam meja). Garam digunakan sebagai bahan baku klor dan soda caustic untuk pembuatan polyvinyl chloride (PVC), plastik berbahan baku klor, kertas, di negara beriklim sub tropis, garam juga digunakan untuk menghilangkan lapisan es di jalan (USGS, 2007).

Usaha industri garam rakyat di Indonesia turun temurun menggunakan teknologi kristalisasi air laut. Pengelolaan garam pada masa kolonial Belanda (1700-1870) disewakan kepada orang Cina oleh raja-raja di Madura. Penduduk di sekitar lahan garam hanya berperan sebagai tenaga kerja rodi (Rochwulaningsih, 2012). Nasionalisasi pengelolaan garam dilakukan pada periode kemerdekaan (1945-1961) dengan berubahnya jawatan Regie Tjandu dan garam dari badan usaha milik Pemerintah Belanda menjadi milik negara Republik Indonesia.

(49)
(50)
(51)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Konsep Produksi

Kegiatan produksi dalam kegiatan ekonomi tidak lepas dalam peranan factor-faktor dalam perekonomian dengan factor-faktor produksi.Produksi menerangkan hubungan teknis (technical relationship) antara sejumlah input yang digunakan dengan output dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi digunakan untuk menentukan output maksimum yang dapat dihasilkan dari penggunaan sejumlah input. Konsep fungsi produksi berguna untuk mengetahui keragaan proses produksi. Fungsi produksi yang efisien secara teknis dalam arti menggunakan sejumlah bahan mentah yang minimal, tenaga kerja minimal, dan barang-barang lain yang minimal (Debertin,1986).

(52)

Dalam teori ekonomi mikro yang standar, konsep fungsi produksi membentuk dasar untuk mendeskripsikan hubungan input-output bagi perusahaan atau produsen. Jika diasumsikan bahwa faktor produksi adalah homogen dan informasi tersedia lengkap (sempurna) tentang teknologi yang ada, maka fungsi produksi mewakili sejumlah metode untuk menghasilkan output. Lebih jelas lagi, fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang bisa dicapai dengan mengkombinasikan berbagai jumlah input. Coelli, et al., (1998), menjelaskan bahwa fungsi produksi frontier (frontier production function) memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dengan definisi fungsi produksi dan banyak digunakan saat menjelaskan konsep pengukuran efisiensi. Frontier digunakan untuk lebih menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi.

Debertin (1986) menjelaskan tiga tahap proses produksi yaitu : tahap pertama, kondisi di mana produk rata-rata atau avarage product (AP) meningkat, daerah ini dikatakan sebagai daerah yang irasional atau daerah tidak atau belum efisien; tahap kedua, kondisi yang ditandai memuncaknya kurva produk rata-rata (AP), kemudian menurun dan dibarengi dengan menurunnya produk marginal atau Marginal Product (MP) tetapi masih positif, daerah ini disebut daerah yang rasional atau efisien; dan tahap ketiga, kondisi yang ditandai menurunnya produk marginal (MP negatif), daerah ini disebut sebagai daerah yang tidak rasional atau sudah tidak efisien. Petani yang bertujuan memaksimumkan keuntungannya akan bekerja pada tahap kedua.

Penjumlahan elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi sekaligus menunjukkan tingkat besaran skala ekonomi usaha (return to scale). Skala ekonomi usaha merupakan respon dari perubahan output yang dihasilkan karena perubahan proporsional dan seluruh inputnya. Fungsi produksi Linier Berganda, Cobb-Douglas dan Translog dapat digunakan untuk menguji fase pergerakan skala ekonomi usaha (return to scale) atas perubahan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam suatu proses produksi yaitu dengan menjumlahkan elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi. Berdasarkan penjumlahan elastisitas produksi dari faktor- faktor produksi ke-i. 1. Kenaikan hasil yang meningkat (increasing return to scale), berarti proporsi

Gambar

Gambar 1. Jumlah Produksi Garam Dunia
Gambar 2 . Neraca Garam Nasional, Tahun 2001-2011.
Gambar 5. Ukuran Efisiensi Berorientasi Input
Gambar 6. Ukuran Efisiensi Berorientasi  Output
+7

Referensi

Dokumen terkait

QSPM Analysis indicates that the most suitable and perfect program to increase the production of community- based salt in Palu Bay is the 2 nd program which

Ikan karang koralivora (Suku Chaetodontidae) sebagai jenis indikator, ditemukan di perairan terumbu karang Desa Poopoh Kecamatan Tombariri, terdiri dari 3 (tiga)

Setelah didiskusikan dengan mitra, untuk lebih meningkatkan efisiensi dan kapasitas pemanggangan, baking oven pada program peningkatan kapasitas produksi ini menggunakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dari aspek pikiran, berdasarkan keterangan dari kepala desa diketahui bahwa pada prinsipnya masyarakat adalah pemilik

Salah satu prinsip ekowisata yang paling penting dalam pengembangan ekowisata adalah pelestarian atau konservasi, dari hasil penelitian melalui wawancara secara

Kondisi tersebut didukung oleh perhitungan Livelihood Vulnerability Index (LVI) menunjukkan petani di Desa Taunbaen Timur lebih rentan dari pada petani Kelurahan Boronubaen

Nilai NPMxi/Pxi variabel pupuk phonska pada petani dengan status tanam ratoon 3 lebih dari satu (1,18) yang berarti penggunaannya belum efisien sehingga untuk

Pada tahap ini tiga tools yang kami gunakan yakni: 1 Apreciative Inquiry, dengan melakukan wawancara dengan tokoh kunci dari masyarakat yang padanya melekat pengetahuan mendalam atas