• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Relevan

Kajian pragmatik tentang ketidaksantunan dalam berbahasa merupakan fenomena pragmatik baru dan belum banyak dikaji secara mendalam oleh peneliti bahasa. Maka itu, penelitian pragmatik yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa ini belum banyak ditemukan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa sebagai penelitian yang relevan. Penelitian-penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa yang ditemukan oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013), Ceacilia Petra Gading May Widyawari (2013), Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), dan Olivia Melissa Puspitarini (2013).

Penelitian tentang kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh Galuh Eka Noviyanti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa

Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Jenis

penilitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif komunikatif. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa pedoman atau panduan wawancara, pancingan, dan daftar kasus. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan.

Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2)

tekanan, (3) intonasi, dan (4) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks tersebut meliputi (1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tindak verbal, dan (4) tindak perlokusi. Ketiga, makna penanda ketidaksantunan dari masing-masing jenis ketidaksantunan meliputi (1) makna penanda ketidaksantunan melecehkan muka adalah penutur menyindir, menghina, dan mengejek mitra tutur sehingga dapat melukai hati mitra tutur, (2) makna penanda ketidaksantunan memainkan muka adalah penutur membuat kesal dan jengkel mitra tutur dengan tingkah laku penutur yang tidak seperti biasanya, (3) makna penanda ketidaksantunan kesembronoan yang disengaja adalah penutur bermaksud untuk bercanda sehingga membuat mitra tutur terhibur, tetapi tidak

menutup kemungkinan bahwa candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) makna penanda ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur membuat mitra tutur benar-benar malu di hadapan banyak orang, dan (5) makna penanda ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak memberikan pilihan bagi mitra tutur.

Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan

Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID

Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian dari

penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Peneliti menggunakan dua mtode dalam penelitan ini, pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap,

kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik

lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari penelitian ini tidak jauh berbeda dengan simpulan hasil penelitian yang dilakukan oleh Galuh Eka Noviyanti (2013). Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud

ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur). Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur. Ketiga, makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: (1) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, (2) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, (3) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, (4) menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan (5) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa lainnya dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan

Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta

Tahun Ajaran 2012/2013. Pengumpulan data pada penelitian ini serupa dengan

penelitian ketidaksantunan sebelumnya, yakni dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa

pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan

yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka, memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda

ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1) melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang.

Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan oleh Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang mengangkat judul Ketidaksantunan

Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program

Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian yang menjadikan

dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh ketiga peneliti di atas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumny, yakni pertama, wujud

ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi (1) melecehkan muka yakni penutur menyindir atau mengejek mitra tutur, (2) memainkan muka yakni penutur membuat jengkel dan bingung mitra tutur, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara berlebihan, (4) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan (5) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.

Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji mengenai ketidaksantunan berbahasa, khususnya ketidaksantunan berbahasa dalam ranah pendidikan. Keempat penelitian tersebut menemukan tiga hal penting mengenai masalah ketidaksantunan, yakni wujud, penanda, dan makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa dalam ranah pendidikan. Dengan mengacu pada keempat penelitian di atas, peneliti akan mengkaji lebih dalam mengenai ketidaksantunan berbahasa, khususnya dalam ranah keluarga nelayan.

2.2 Pragmatik

Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia, karena dengan bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka dengan cara berkomunikasi dengan manusia lainnya. Sebagai anggota masyarakat yang mempunyai jiwa sosial tinggi, masyarakat merupakan orang yang sangat bergantung pada penggunaan bahasa. Terjadinya komunikasi tidak pernah lepas dari suasana dan konteks. Salah satu cara untuk mengetahui tentang hal tersebut adalah melalui sudut pandang pragmatik.

Pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari tentang penggunaan bahasa dan selalu terikat dengan konteks (siapa yang diajak berbicara, kapan, di mana, apa, dan dalam keadaan yang bagaimana). Dalam kehidupan bersosial atau bermasyarakat pasti terjadi komunikasi. Komunikasi yang terjadi di masyarakat memiliki maksud dan tujuan. Studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis mengenai apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya (Yule, 2006:3).

Yule (2006:3) menyebutkan 4 definsi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, dan (4) bidang yang mengkaji tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Huang (2007:2) memaparkan bahwa “pragmatics is the systematic study of meaning by virtue of, or dependent on, the use of language”. Huang menjelaskan definisi pragmatik sebagai studi sistematis tentang makna yang berdasarkan atau tergantung pada penggunaan bahasa. Definisi lain dijelaskan oleh Levinson

(1983:9) via Nadar (2009:4) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik &

Penelitian Pragmatik, yang mendefinisikan pragmatik sebagai berikut:

Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of language”. Maksud dari definisi Levinson adalah pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.

Dari definisi beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan ilmu kebahasaan yang mengkaji mengenai maksud sebuah tuturan yang berdasar pada penggunaan bahasa dan selalu terikat dengan konteks situasi di mana tuturan itu terjadi. Dengan demikian, pragmatik adalah ilmu yang mengkaji antara hubungan bahasa dan konteks.