• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1Deskripsi Data

5) Maksud Penutur

4.3.3 Kategori Melecehkan Muka

4.3.3.4 Subkategori Menegur Cuplikan tuturan 30 (C17) Cuplikan tuturan 30 (C17)

P : “Mripatmu ki ndokke sikel?”

MT : (Diam).

P : “Anake nangis neng andinge yo mung meneng wae!”

Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menegur dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik dari tuturan C17 adalah penutur berbicara dengan kata-kata kasar kepada istrinya dan penyampaiannya dengan cara keras.

Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C17 menggunakan intonasi seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk menyerukan tuturannya. Penutur dalam keadaan emosi dengan tingkah mitra tutur. Penutur menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada tinggi penutur karena penutur emosi dengan mitra tutur yang tidak peduli apapun. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa Mripatmu. Tekanan keras yang ditekankan pada frasa tersebut memperlihatkan betapa tidak santunnya penutur. Kata mripatmu termasuk dalam kata-kata kasar dalam bahasa Jawa. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.

Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 30 adalah penutur merupakan laki-laki berusia 30 tahun, sedangkan mitra tutur perempuan berusia 26 tahun. Penutur merupakan suami dari mitra tutur. Penutur memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan penutur hanya sebagai ibu rumah tangga. Hubungan keakraban mereka sangat dekat, karena mereka adalah suami istri.

Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 30 adalah penutur melihat anaknya yang belum genap berusia 1 tahun rewel atau menangis. Mitra tutur hanya diam saja, padahal ia tahu bahwa anaknya sedang menangis. Penutur marah melihat mitra tutur yang tidak melakukan tindakan terhadap anaknya.

Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur C17 adalah penutur memarahi mitra tutur karena tidak tanggap dengan keadaan anaknya yang menangis.

Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 30 terjadi di ruang keluarga tepatnya di depan televisi karena mitra tutur sedang menonton televisi.

Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur C17 adalah tindak verbal ekspresif. Tuturan penutur dikatakan tindak verbal ekspresif karena ia marah dengan perilaku mitra tutur. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur diam saja karena mitra tutur merupakan orang yang sabar menghadapi penutur dan mitra tutur langsung berusaha menenangkan anaknya yang masih bayi daripada menambah keributan.

Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menegur. Tuturan ini masuk ke dalam kategori melecehkan muka karena tindak perlokusi mitra tutur yang langsung tanggap dengan maksud penutur. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian

tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C17 memiliki maksud kesal dalam tuturannya.

4.3.3.5 Subkategori Menolak Cuplikan tuturan 17 (C4)

MT : “Ayo... belajar.”

P : “Emoh!”

MT : “Kalo gak belajar gak tak kasih uang jajan!”

Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menolak dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik dari tuturan C4 adalah penutur berbicara dengan cara penyampaian tuturan keras kepada mitra tutur yang usianya lebih tua daripada penutur.

Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C4 menggunakan intonasi seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk menyerukan penolakannya terhadap suruhan mitra tutur. Penutur menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada tinggi penutur karena penutur memang susah untuk disuruh belajar. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada kata Emoh. Tekanan keras yang ditekankan pada kata tersebut memperlihatkan betapa tidak santunnya penutur kepada orang tua. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.

Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai

bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 17 adalah penutur merupakan laki-laki berusia 6 tahun, sedangkan mitra tutur laki-laki berusia 32 tahun. Penutur merupakan anak dari mitra tutur. Penutur masih bersekolah pada tingkat SD, sedangkan penutur berkerja sebagai nalayan di pantai Trisik. Hubungan keakraban mereka sangat dekat, karena mereka adalah keluarga.

Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 17 adalah bahwa penutur sulit untuk disuruh belajar. Mitra tutur menyuruh penutur untuk belajar.

Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur C4 adalah penutur menolak ajakan mitra tutur untuk segera belajar.

Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 17 terjadi di ruang keluarga tepatnya di depan televisi karena mitra tutur sedang menonton televisi. Waktu terjadinya tuturan pada saat jam belajar tiba, yakni setelah maghrib.

Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur C4 adalah tindak verbal komisif. Tuturan penutur dikatakan tindak verbal komisif karena menolak ajakan atau suruhan mitra tutur untuk belajar. Tindak perlokusi mitra tutur adalah langsung mengancam penutur untuk segera belajar, karena dengan begitu penutur akan menurut dengan mitra tutur.

Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menolak. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C4 memiliki maksud malas dalam tuturannya. Penutur menjelaskan alasan mengapa ia menolak suruhan mitra tutur karena penutur malas untuk belajar.

4.3.3.6 Subkategori Memperingatkan Cuplikan tuturan 33 (C20)

MT : “Sesok nek ono seng neng kono meneh, aku tak nang...”

P : “Sesok, nek ngomongke sesok, ndag lali!”

Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori memperingatkan dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik dari tuturan C20 adalah penutur berbicara dengan cara penyampaian tuturan ketus kepada mitra tutur yang merupakan tuan rumah. Penutur memotong pembicaraan mitra tutur.

Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C20 menggunakan intonasi seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk menyerukan ketidaksatujuannya dengan tuturan mitra tutur. Penutur menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada tinggi penutur karena memang ciri khas dari penutur. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa nek

ngomongke sesok. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni

bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.

Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech (1983). Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 33 adalah penutur merupakan laki-laki berusia 41 tahun, sedangkan mitra tutur laki-laki berusia 42 tahun. Penutur dan mitra tutur merupakan nelayan. Penutur adalah nelayan pantai Glagah, sedangkan mitra tutur adalah nelayan pantai Congot. Mitra tutur memiliki kedudukan tertinggi di dalam kelompok nelayan pantai Congot. Mereka berdua merupakan teman dekat, sehingga tingkat keakraban mereka sangat tinggi.

Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech (1983) adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 33 adalah mitra tutur menerima 3 tamu yang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Mitra tutur sedang berbicara atau menyampaikan sesuatu kepada salah satu tamunya (penutur). Penutur langsung menanggapi tuturan mitra tutur, padahal mitra tutur belum selesai berbicara.

Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur C20 adalah penutur menanggapi tuturan mitra tutur karena ia tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh mitra tutur.

Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 33 terjadi di teras rumah mitra tutur. Waktu tuturan tersebut terjadi pada tanggal 20 April 2013, sekitar pukul 4 sore.

Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur C20 adalah tindak verbal direktif. Tuturan penutur dikatakan tindak verbal direktif karena penutur sebenarnya memberi saran kepada mitra tutur. Tindak perlokusi mitra tutur adalah diam saja, karena ia sadar akan kalah bila berdebat dengan penutur.

Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori memperingatkan. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C20 memiliki maksud kesal dalam tuturannya. Kekesalan penutur adalah karena urusan besok justru dibicarakan sekarang.

4.3.3.7 Subkategori Mengancam