• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Tanggungjawab Sosial Perusahaan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Halaman 1 Karakteristik saluran komunikasi

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Organisas

2.2. Aktivitas Tanggungjawab Sosial Perusahaan 1 Saluran Komunikas

2.3.7. Penerapan Tanggungjawab Sosial Perusahaan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Praktik TSP oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menarik untuk dikaji disebabkan oleh faktor pembeda yang secara normatif mendukung kegiatan kedermawanan sosial BUMN ini seharusnya dapat berkembang, Pertama, karena sifat dan statusnya sebagai perusahaan milik negara, BUMN tidak terkendala oleh

motif pengurangan pajak (tax deduction) sebagaimana menjadi pengharapan

perusahaan-perusahaan swasta. Kendati pajak tetap merupakan kewajiban bagi BUMN, kewajiban ini tidak serta merta mempengaruhi kelancaran kegiatan atau operasi BUMN. Kedua, terdapat instrumen ”pemaksa” berupa kebijakan pemerintah; dimana melalui Kepmen BUMN Nomor: Kep-236/MBU/2003, perusahaan BUMN menjalankan Program Bina Lingkungan (PKBL), sehingga dengan praktik derma yang imperatif tersebut dimungkinkan bahwa potensi rata- rata sumbangan sosial perusahaan-perusahaan BUMN lebih besar dari perusahaan-perusahaan swasta (Nursahid, 2006).

Badan Usaha Milik Negara merupakan salah satu elemen utama kebijakan ekonomi strategis negara-negara berkembang. Keberadaan BUMN mempunyai pengaruh utama dalam pembangunan negara-negara dunia ketiga. Setidaknya,

BUMN diperlukan dalam pengaturan infrastruktur dan public utilities, dan

menempatkan dirinya untuk berperan pada hampir seluruh sektor aktivitas ekonomi (Nursahid, 2006).

Pasal 11, ayat 3, huruf p Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi mengamanatkan bahwa setiap perusahaan minyak dan gas bumi pemegang kontrak kerjasama pengusahaan minyak dan gas bumi di suatu wilayah wajib melakukan pengembangan masyarakat sekitarnya dan menjamin hak-hak masyarakat adat. Pada pasal 42, huruf k menyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan atas dasar wewenang dan tanggung jawab dari instansi terkait meliputi pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat.

Berdasarkan UU No 22 tahun 2001 tersebut perusahan-perusahaan minyak dan gas bumi yang beroperasi di Indonesia melaksanakan kegiatan TSP, baik

berjalan secara terencana dan terpadu dalam suatu program yang berkelanjutan. Hal ini sangat bergantung pada visi, misi dan budaya korporat dari suatu perusahaan. Hal ini diperkuat pendapat Susanto (2007b) undang-undang perseroan terbatas mewajibkan perusahaan yang berbasis sumberdaya alam menyisihkan anggaran untuk TSP dan lingkungan. Maksud munculnya ketentuan ini tentu dilandasi oleh keinginan yang mulia. Tetapi antara niat, aturan dan pelaksanaan di lapangan acap berbeda. Perdebatan banyak terjadi di seputar kegiatan TSP yang seharusnya berlandaskan kerelaan, tetapi menjadi kewajiban. Karena sudah menjadi UU, yang bisa dilakukan adalah justru bagaimana merumuskan dalam peraturan pemerintah yang akan menjadi juklaknya.

PT Pertamina merupakan salah satu industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Industri minyak dan gas bumi selalu dihubungkan dengan kegiatan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terbarukan. Eksploitasi sumberdaya alam tidak terbarukan yang berlangsung pada suatu generasi guna mengejar kemakmuran akan menghilangkan kesempatan bagi generasi yang akan datang untuk mengejar kemakmuran yang sama. Oleh karena itu dalam mengelolah sumberdaya alam migas hendaknya tetap memberdayakan dan memajukan masyarakat pada daerah yang dikelolah sumberdaya alamnya sebagai efek ganda dari adanya eksploitasi dan pengelolahan migas di daerah Balongan.

Dalam konteks ini pengelola yaitu PT Pertamina Balongan mempunyai TSP kepada masyarakat setempat. Kegiatan TSP yang diperuntukkan sebagai komitmen bisnis perusahaan dan berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan cara memberdayakan serta memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan guna memberdayakan masyarakat serta meningkatkan kemandirian bagi masyarakat Balongan.

2.3.8. Pedoman Umum Community Development

Sektor Energi Sumber Daya Mineral

Sementara itu pedoman umum pengembangan masyarakat (community

development) sektor energi dan sumberdaya mineral menurut badan pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas sebagai regulator migas di sektor hulu dijelaskan: “tujuan dari community development adalah pemberdayaan masyarakat

(empowerment), sehingga anggota masyarakat/komuniti dapat mengaktualisasikan dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri tanpa ketergantungan dengan pihak– pihak perusahaan maupun pemerintah.”

Ruang lingkup program community development.

1. Community Services

Pelayanan korporat untuk memenuhi kepentingan masyarakat ataupun kepentingan umum (misalnya: sarana jalan, sekolah, kesehatan, ibadah, kelestarian lingkungan).

2. Community Empowering

Program–program community development yang memberikan akses yang

lebih luas kepada komuniti untuk menunjang kemandiriannya, seperti: peningkatan kapasitas usaha masyarakat yang berbasis sumberdaya alam setempat.

3. Community Relation

Kegiatan yang terkait dengan pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait.

2.4.Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat sering kali dikaitkan dengan kegiatan pembangunan dalam masyarakat. Keberhasilan pembangunan nasional sangat ditentukan oleh peran serta dan partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan peran serta individu atau sekelompok masyarakat dalam suatu kegiatan. Menurut Rogers (2003) pembangunan itu sendiri adalah partisipasi. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Slamet (2003) yang mengemukakan bahwa indikator keberhasilan pembangunan bisa diukur dari ada tidaknya partisipasi masyarakat.

Bryant dan White (Ndara, 1990) membagi partisipasi atas dua macam yaitu: (1) Partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, dinamakan partisipasi “horizontal,” (2) Partisipasi oleh bawahan dan atasan antara klien dan patron atau antara masyarakat dengan pemerintah diberi nama partisipasi “vertikal.” Pada sisi lain, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik seperti pemberian suara dalam pemilihan, kampanye dan sebagaimana

dikenal sebagai partisipasi dalam proses politik. Keterlibatan dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan disebut partisipasi dalam proses administrasi.

Slamet (2003) mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari penduduk pada tingkatan yang berbeda: (1) Dalam proses pembentukkan keputusan untuk menentukan tujuan dan pengalokasian sumberdaya untuk mencapai tujuan tersebut, (2) Pelaksanaan program secara sukarela, dan (3) Pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program.

Menurut Asngari (2008) berdasarkan area-area pembangunan maka partisipasi dapat dikelompokkan dalam dua pilihan yaitu: (1) Partisipasi sebagai alat, dimasukkan untuk menciptakan teknik atau metoda untuk mengimplementasikan partisipasi dalam praktek pembangunan, dan (2) Partisipasi sebagai tujuan, dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat sesuai kemampuan mereka, untuk secara bersama mengambil bagian dan bertanggungjawab atas pembangunan mereka sendiri.

Asngari (2003) juga menjelaskan makna partisipasi atas enam di antaranya: (1) Partisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) Partisipasi dalam pengawasan, (3) Partisipasi mendapatkan manfaat dan penghargaan, (4)

Partisipasi sebagai proses pemberdayaan (empowerment), (5) Partisipasi

bermakna kerja kemitraan (partnership), dan (6) Partisipasi akibat pengaruh

stakeholder dalam pengambilan keputusan, pengawasan dan penggunaan ”resource” yang bermanfaat.

Agar partisipasi bisa tumbuh, menurut Slamet (2003) paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Adanya kesempatan untuk membangun kesempatan dalam pembangunan, (2) Adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu, dan (3) Adanya kemauan untuk berpartisipasi.

Sastropoetro (1988) menyebutkan beberapa unsur partisipasi sebagai berikut: (1) Kepercayaan diri masyarakat, (2) Adanya solidaritas dan integritas sosial dari masyarakat, (3) Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat, (4) Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan membangun atas dasar kekuatan sendiri, (5) Peranan dari pemimpin formal

maupun pemimpin non formal dalam menggerakkan masyarakat, (6) Prakarsa masyarakat atau perorangan dijadikan milik bersama, dan (7) Adanya kepekaan dan tanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan dan kepentingan bersama, adanya musyawarah mufakat dan menolong diri sendiri (self help).

Tjokroamidjojo (1984) mengungkapkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam rangka partisipasi masyarakat, yaitu: (1) Masalah kepemimpinan, (2) Komunikasi, dan (3) Pendidikan. Untuk masalah kepemimpinan sangat menentukan karena dalam pembangunan membutuhkan pemimpin yang memiliki serta mampu menerima gagasan pembaharuan. Selain itu juga seorang pemimpin harus mampu berkomunikasi secara aktif dan mampu menterjemahkan proses yang berlangsung. Untuk menggerakkan partisipasi masyarakat diperlukan pemimpin formal yang mempunyai legalitas dan pemimpin yang informal memiliki legitimitas. Komunikasi merupakan sarana yang memungkinkan gagasan, kebijakan dan rencana mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Komunikasi dimaksudkan untuk menumbuhkan berbagai perubahan nilai dan sikap dalam proses pembaharuan. Selain berbagi kepercayaan budaya dan mempunyai fungsi pada masyarakat sebagai satu kesatuan.

Koentjaraningrat (1992) menyatakan bahwa partisipasi dalam pembangunan sebenarnya menyangkut dua tipe pada prinsipnya berbeda, yaitu: 1. Partisipasi dalam aktivitas bersama dalam proyek pembangunan khusus. 2. Partisipasi sebagai individu di luar aktivitas bersama dalam pembangunan.

Pada tipe yang pertama masyarakat diajak, dipersuasi, diperintahkan atau dipaksa oleh penguasa untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tenaga dan hartanya kepada proyek pembangunan yang khusus, biasanya bersifat fisik. Bila masyarakat berdasarkan keyakinannya bahwa proyek tersebut akan bermanfaat baginya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan spontanitas yang besar tanpa mengharap upah yang tinggi. Sebaliknya jika masyarakat diperintah atau dipaksa oleh penguasa untuk ikut menyumbangkan tenaga dan harta maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat kerja rodi. Tipe partisipasi yang kedua tidak ada proyek aktivitas bersama yang khusus, tetapi terdapat proyek

pembangunan biasanya yang tidak bersifat fisik dan memerlukan partisipasi tidak atas perintah atau paksaan orang lain, tetapi atas dasar kemauan mereka sendiri. 2.4.1.Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap tahap pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Masyarakat tidak lagi menjadi obyek dari pembangunan tetapi menjadi subyek aspirasi, menentukan pilihan, memanfaatkan peluang dan menyelesaikan masalahnya. Melalui pendekatan partisipatif ini masyarakat dapat memiliki pengaruh dan kontrol terhadap berbagai inisiatif pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya yang akan mempengaruhi kehidupannya maupun lingkungannya. Partisipasi sepadan dengan arti peran serta, ikut serta, keterlibatan atau proses belajar bersama saling memahami menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.

Partisipasi masyarakat merupakan proses yang melibatkan masyarakat umum dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah, pembinaan masyarakat dan pembangunan. Masyarakat harus memiliki kesempatan ikut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang ada, mulai pemeriksaan awal masalah, daftar pemecahan yang mungkin diambil, pemilihan satu kemungkinan tindakan, mengorganisasi pelaksanaan, evaluasi dalam tahap pelaksanaan, hingga memperdebatkan mutu dari mobilisasi atau organisasi lebih lanjut (Goulet, 1990). Pemrakarsa partisipasi dapat berasal dari atas (penguasa atau para ahli), bawah (masyarakat) atau pihak ketiga dari luar. Jika berasal dari atas, maka biasanya disertai oleh kontrol sosial tertentu atas proses dan pelaku-pelaku partisipasi. Pembangunan dalam sebuah sistem yang non demokratis biasanya masih memperbolehkan partisipasi di tingkat mikro (pemecahan masalah) asalkan tidak mengganggu ketentuan atau aturan di tingkat makro (Goulet, 1990). Partisipasi ideal yang sulit ditemukan dalam tataran praktis adalah partisipasi yang dimulai dari tingkat bawah dan berkembang ke tingkat atas menuju bidang-bidang yang semakin meluas dalam pembuatan keputusan. Bentuk partisipasi ideal diprakarsai, atau sekurang-

kurangnya disetujui, oleh masyarakat non elit yang berkepentingan pada tingkat awal dalam urutan keputusan-keputusan (Goulet, 1990).

Pemberdayaan pada dasarnya adalah pemberian kekuatan kepada pihak yang kurang atau tidak berdaya (powerless) agar dapat memiliki kekuatan yang menjadi modal dasar aktualisasi diri. Aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia. Pemberdayaan yang dimaksud tidak hanya mengarah pada individu semata, tetapi juga kolektif (Hikmat, 2001). Pengertian ini kurang-lebih sama dengan pendapat Payne dan Shardlow (Adi, 2002) mengenai tujuan utama pemberdayaan adalah membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan, yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Pemberdayaan menyangkut permasalahan bagaimana individu, kelompok ataupun masyarakat berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pembangunan merupakan proses peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pembangunan dan masyarakat perlu berperan serta. Peran serta masyarakat dalam pembanguan harus melibatkan masyarakat secara keseluruhan dalam pembangunan tersebut. Dalam artian masyarakat harus berperan serta mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi.

Menumbuhkan partisipasi dalam masyarakat desa pada awalnya memang bukan pekerjaan yang mudah, karena menyangkut perubahan sikap mental dan budaya yang mungkin sudah melembaga dalam masyarakat bersangkutan. Menurut Ife (1995) agar masyarakat terdorong untuk berpartisipasi perlu diperhatikan dan dipertimbangkan beberapa prasyarat (condition), di antaranya: (1) Anggota-anggota masyarakat akan berpartisipasi apabila isu atau kegiatan yang ditawarkan dianggap penting oleh mereka, (2) Kegiatan yang ditawarkan kepada masyarakat, oleh setiap masyarakat dirasakan akan memberikan perbedaan yang nyata bagi perubahan yang lebih baik, (3) Apapun bentuk partisipasi dari setiap anggota masyarakat harus dihargai dan diberi nilai tinggi,

(4) Tersedia peluang atau kesempatan bagi setiap anggota masyarakat untuk berpatisipasi dan apapun bentuk partisipasi tersebut harus didukung, dan (5) Struktur dan proses kegiatan bukan merupakan sesuatu yang asing bagi anggota- anggota masyarakat, artinya harus kompabiliti dengan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Dalam hal pendekatan pembangunan, tuntutan akan partisipasi ini telah mengubah paradigma mengenai posisi masyarakat dalam proses pembangunan. Masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai obyek, tetapi ikut terlibat mulai dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga pertanggungjawabannya. Pendekatan ini menyadari betapa pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan internalnya atas segala sumberdaya yang dimilikinya. Model semacam ini sangat menekankan pentingnya pemberdayaan (empowerment) dan inisiatif rakyat sebagai inti dari sumberdaya pembangunan.

Tjokroamidjojo (1981) menegaskan bahwa pembangunan meliputi segala aspek kehidupan, politik, ekonomi, dan sosial budaya itu akan berhasil apabila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi dari seluruh rakyat di dalam suatu negara. Untuk menerapkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Mikkelsen (2001) mengatakan, bahwa perlu adanya paradigma baru yang disebut sebagai pembangunan partisipatoris yang mengindikasikan dua perspektif. Pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan dan pelaksanaan program atau proyek yang akan mewarnai hidup mereka, sehingga dengan demikian dapatlah dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap, dan pola pikir serta nilai-nilai dan pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh. Kedua, membuat umpan balik yang pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan pembangunan.

Pretty (1995) mengemukakan tipologi partisipasi, yaitu bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam program dan proyek pembangunan. Partisipasi dapat dibagi menjadi tujuh tipe, di antaranya:

1. Partisipasi pasif (passive participation)

Masyarakat berpartisipasi secara ikut-ikutan, pemberitahuan sepihak dari pengelolah proyek tanpa mendengarkan tanggapan masyarakat.

2. Partisipasi dalam pemberian informasi (participation in information giving) Masyarakat berpartisipasi dengan menjawab atau memberi informasi. Masyarakat tidak mempunyai pilihan untuk mempengaruhi cara kerja.

3. Partisipasi dengan konsultasi (participation by consultation)

Masyarakat berpartisipasi dengan konsultasi, sedangkan agen luar menetapkan masalah dan jalan keluarnya serta memodifikasinya. Pengambilan keputusan oleh professional.

4. Partisipasi untuk memperoleh inserntif material (participation for material incentive)

Masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja untuk memperoleh insentif material.

5. Partisipasi fungsional (functional participation)

Masyarakat berpartisipasi dengan pembentukan kelompok-kelompok yang dikaitkan dengan tujuan proyek. Masyarakat tidak dilibatkan pada tahap awal atau perencanaan, pengarahan dilakukan oleh pihak luar.

6. Partisipasi interaktif (interactive participation)

Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, membuat rencana aksi dan pembentukan masyarakat lokal baru atau penguatan yang lain. Masyarakat menentukan keputusan dan mempunyai tanggung jawab dalam pemeliharaan struktur dan praktik.

7. Pengembangan diri (self mobilization)

Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil kebebasan inisiatif dari lembaga eksternal untuk mengubah sistem. Masyarakat membangun dengan hubungan lembaga eksternal untuk sumberdaya dan bantuan teknis yang diperlukan tetapi tetap menguasai sumberdaya yang digunakan.

Oakkey et al., (1991) dalam Kumar 2002 mengemukakan bahwa keuntungan utama partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu:

1. Efisiensi: partisipasi dapat menjamin penggunaaan secara efektif sumberdaya yang tersedia. Masyarakat lokal mengambil tanggungjawab dalam berbagai aktivitas sehingga meningkatkan efisiensi.

2. Efektivitas: Partisipasi masyarakat dapat membuat proyek-proyek lebih efektif melalui pengambilan keputusan mengenai tujuan dan strategi, partisipasi dalam pelaksanaan sehingga memastikan penggunaan sumberdaya secara efektif.

3. Kemandirian: Melalui partisipasi aktif masyarakat lokal tidak hanya dapat

mengatasi mentalitas ketergantungan tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran, kepercayaan diri dan pengawasan atas proses pembangunan.

4. Jaminan: Partisipasi masyarakat dapat menjadi sebuah usaha keras sebagai

jaminan atas manfaat yang diperoleh kelompok sasaran.

5. Keberlanjutan: partisipasi masyarakat dianggap sebagai sebuah prasyarat bagi keberlanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan.

Stephens et al., dalam Sutrisno (2000) membedakan tahap partisipasi

dalam proses pembangunan atas: (1) Partisipasi pada tahap perencanaan; (2) Partisipasi pada tahap pelaksanaan; (3) Partisipasi pada tahap pemanfaatan, dan (4) Partisipasi pada tahap penilaian pembangunan. Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, pemanfaatan hasil pembangunan dan dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan pembangunan.

Dari uraian di atas, partisipasi masyarakat dalam penelitian ini dikategorikan dalam empat indikator, yaitu: (1) Partisipasi dalam merencanakan, (2) Partisipasi dalam melaksanakan, (3) Partisipasi dalam memanfaatkan, dan (4) Partisipasi dalam mengevaluasi.