• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Karakteristik saluran komunikasi

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Organisas

2.6. Persepsi Individu

Manusia sebagai makhluk sosial yang sekaligus sebagai makhluk individual, terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Adanya perbedaan inilah yang menyebabkan mengapa seseorang menyenangi suatu obyek, sedangkan orang lain tidak senang bahkan membenci obyek tersebut. Hal ini sangat tergantung bagaimana individu menanggapi dan menilai obyek dengan persepsinya. Pada kenyataannya sebagian besar sikap, tingkah laku dan penyesuaian ditentukan oleh persepsinya. Persepsi pada hakikatnya merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu.

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan (Walgito, 2003). Proses penginderaan terjadi setiap saat diri indvidu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera. Stimulus tersebut kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya. Stimulus dapat berupa obyek yang besifat konkrit maupun abstrak. Obyek konkrit berupa benda dapat mengenai semua jenis indera manusia, sedangkan obyek yang abstrak dapat diindera setelah melalui proses audial dan atau proses visual.

Rakhmat (2007) menjelaskan bahwa persepsi yaitu pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli

inderawi (sensory stimuli). Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektuasi, motivasi dan memori. Menurut Rakhmat, persepsi ditentukan oleh faktor personal dan situasional. Krech dan Crutchfield (Rakhmat, 2007) menyebutnya faktor fungsional dan faktor struktural. Dengan demikian, ada beberapa aspek yang turut menentukan terjadinya persepsi, yaitu: aspek perhatian, aspek motivasi, aspek pengetahuan, aspek personal, dan aspek situasi.

Ketika individu menangkap sebuah informasi maka terjadilah pembentukan persepsi dengan menggunakan panca indera manusia. Persepsi terhadap sesuatu akan menjadi semakin kuat jika individu memiliki banyak informasi. Persepsi individu terjadi jika ada obyek (peristiwa yang sedang diamati atau sedang dialami), ada situasi atau lingkungan yang mendukung serta ada pengamat atau yang diamati. Di mana proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan, sebaliknya alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Dalam hal persepsi mengenai orang lain dan untuk memahami orang lain, persepsi itu dinamakan persepsi sosial dan kognisi dinamakan sebagai kognisi sosial. Persepsi individu terhadap lingkungan merupakan faktor penting dalam menentukan tindakan.

Persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindera (hal ini dinamakan sensasi), kemudian stimulus diantar ke otak yang diartikan dan selanjutkan mengakibatkan pengalaman yang disadari. Ada yang mengatakan bahwa persepsi merupakan stimulus yang ditangkap oleh pancaindera individu, lalu diorganisasikan dan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti sesuatu yang diindera itu. Ada yang dengan singkat mengatakan: persepsi adalah memberikan makna pada stimulus yang ditangkap oleh inderawi. Persepsi merupakan proses pengertian dan penafsiran makna informasi yang diterima peralatan pancaindera manusia, dalam proses pemberian makna dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor personal dan faktor situsional.

Proses terbentuknya persepsi menurut Krench dan Crutchfield (Rakhmat, 2007) ditentukan oleh faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa

lalu dan hal yang termasuk hal-hal apa yang kita sebut sebagai faktor personal. Menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Faktor yang mempengaruhi persepsi lazim disebut kerangka rujukan (frame of reference). Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Artinya obyek yang mendapat perhatian khusus yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya adalah obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Faktur struktural yang menentukan persepsi, berasal dari semata-mata dari sifat stimuli dan efek-efek yang ditimbulkan pada sistem saraf individu.

Para psikolog Gestalt seperti Kohler, Wartheimer dan Koffa (Rakhmat, 2007) merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat struktural. Prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt. Menurut teori ini bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan.

Pembentukan persepsi, menurut Litterer, terdiri dari: selectivity, closure and interpretation (Asngari, 1984). Secara skematis, ditunjukkan Gambar 4.

Gambar 4. Pembentukkan Persepsi (Sumber: Asngari, 1984) MEKANISME PEMBENTUKAN PERSEPSI INFORMASI SAMPAI INDIVIDU SELEKTIVITY PERSEPSI PENGALAMAN MASA SILAM CLOSURE PERILAKU INTERPRETASI PEMBENTUKAN PERSEPSI

Informasi yang disampaikan kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi itu. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam dan dahulu memegang peranan yang penting.

Litterer (Asngari, 1984), menekankan bahwa persepsi seseorang terhadap sesuatu yang dianggap berarti atau bermakna, tidak akan mempengaruhi perilakunya. Sebaliknya, bila ia beranggapan bahwa hal tersebut di pandang nyata, walau kenyataannya tidak benar atau tidak ada, akan mempengaruhi perilakunya atau tindakannya. Di dalam proses persepsi individu dituntut untuk memberikan penilaian terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positif maupun negatif, senang atau tidak senang dan sebagainya. Dengan adanya persepsi, maka akan terbentuk sebuah sikap, yaitu suatu kecenderungan yang stabil untuk berlaku atau bertindak secara tertentu di dalam situasi yang tertentu pula.

Menurut Anwar (2002), dalam diri setiap individu manusia, persepsi memiliki sifat-sifat, yaitu:

1. Persepsi adalah sebuah pengalaman. Untuk mengartikan makna dari sesuatu

obyek kita harus memiliki dasar untuk melakukan interpretasi tersebut seperti pengalaman dan pengetahuan.

2. Persepsi adalah selektif. Ketika mempersepsikan sesuatu kita cenderung untuk memperhatikan bagian-bagian tertentu dari suatu obyek. Dengan kata lain kita melakukan seleksi hanya pada karakteristik tertentu dari obyek persepsi kita serta mengabaikan yang lain. Dalam hal ini kita mempersepsikan sesuatu didasari atas dasar sikap, nilai dan keyakinan yang terdapat dalam diri kita, dan mengabaikan karakteristik yang tidak relevan atau berlawanan dengan nilai dan keyakinan tersebut.

3. Persepsi adalah penyimpulan. Proses psikologi dari persepsi mencakup

penarikan kesimpulan melalui suatu proses induksi secara logis. Karena Adanya suatu keterbatasan maka interpretasi yang dihasilkan pada dasarnya adalah suatu penyimpulan informasi yang tidak lengkap.

4. Persepsi tidak akurat. Setiap persepsi yang dilakukan akan mengandung kesalahan dalam kadar tertentu. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh pengaruh yang berasal dari masa lalu, selektivitas dan penyimpulan yang terlalu mudah atau penyamarataan.

5. Persepsi adalah evaluatif. Persepsi tidak akan pernah obyektif, karena kita melakukan interpretasi berdasarkan pengalaman dan merefleksikan sikap, nilai-nilai dan keyakinan pribadi yang digunakan untuk memberikan makna pada obyek persepsi. Persepsi merupakan proses kognitif psikologis yang ada pada dalam diri kita maka bersifat subyektif.

Bila dikaitkan dengan masalah dalam penelitian ini, persepsi terhadap kegiatan TSP merupakan berbagai program kegiatan TSP yang diterima oleh individu melalui panca indera untuk memberikan pandangan dan penilaian kepada perusahaan yakni PT Pertamina Balongan. Persepsi masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan TSP yang dilakukan oleh PT Pertamina di bidang ekonomi, sosial, dan pengelolaan lingkungan hidup. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan TSP dikategorikan dalam tiga indikator, di antaranya: (1) Persepsi terhadap manfaat di bidang ekonomi, (2) Persepsi terhadap manfaat di bidang sosial, dan (3) Persepsi terhadap manfaat di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

2.7. Pemberdayaan Masyarakat

Istilah pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata “power” yang berarti kemampuan, tenaga, atau kekuasaan. Dengan demikian, secara harfiah pemberdayaan dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan, tenaga, kekuatan, atau kekuasaan.

Kata “empower” menurut Maerriam Webster dan Oxford English

Dictionary (Prijono & Pranarka, 1996) mengandung dua pengertian, yaitu :

1. To give ability to or enable, yakni upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan, agar kondisi kehidupan masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan.

2. To give power or authority to, yang berarti memberi kekuasaan mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada masyarakat, agar masyarakat memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri.

Dengan demikian, upaya pemberdayaan masyarakat berarti memampukan dan memandirikan masyarakat.

Ife (1995) mengemukakan bahwa: “Pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti membantu komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas komunitas sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas.”

Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahannya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri.

Menurut Prijiono dan Pranarka (1996), konsep pemberdayaan perlu disesuaikan dengan alam pikiran dan budaya Indonesia. Perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat diawali dengan proses penghilangan harkat dan martabat manusia (dehumanisasi). Proses penghilangan harkat dan martabat manusia ini salah satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang nantinya dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power).

Empowerment hanya akan mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dari fungsi kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi

manusia dan bukan sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan aktualisasi eksistensi manusia.

Suharto (2005) menyatakan bahwa pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam:

1. Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan, dalam

arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan.

2. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat

meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.

3. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang

mempengaruhi mereka.

Menurut McArdle (1989) pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan, orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pertolongan dari hubungan eksternal. Namun, bukan hanya untuk mencapai tujuannya yang penting, akan tetapi lebih pada makna pentingnya proses dalam pengambilan keputusan.

Tujuan dari Pemberdayaan untuk meningkatkan kekuatan orang-orang yang lemah (Ife, 1995), Pada dasarnya pemberdayaan dapat dimaknai sebagai segala usaha untuk membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena kemiskinan yang terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai macam faktor yang menyangkut kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan juga harus melibatkan kedua faktor kekuasaan dan kebijakan dari perusahaan.

Keberdayaan bermakna sebagai keadaaan sudah berdaya, sedangkan pemberdayaan berarti proses atau usaha untuk membuat sesuatu menjadi berdaya. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan (Sumaryadi, 2005). Masyarakat yang memiliki sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat memiliki kemampuan bertahan dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan.

Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya. Konsep pemberdayaan merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep top-down dan bottom-up, antara growth strategy dan people centered strategy. Di tingkat praktis, proses interaksi terjadi melalui pertarungan antar ruang otonomi. Konsep pemberdayaan mencakup

pengertian pembangunan masyarakat (community development

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses di mana masyarakat khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumberdaya pembangunan didorong untuk makin mandiri dalam mengembangkan kehidupan mereka. Dalam proses ini, masyarakat dibantu untuk mengkaji kebutuhan, masalah dan peluang ) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development).

Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan pada intinya bertujuan membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.

Pemberdayaan masyarakat menurut Prijono dan Pranarka (1996) adalah: “Bagaimana rakyat dibantu agar lebih berdaya sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya, tetapi sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional”.

pembangunan dan perikehidupan mereka sendiri. Selain itu mereka juga menemukenali solusi yang tepat dan mengakses sumberdaya yang diperlukan, baik sumberdaya eksternal maupun sumberdaya milik masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan suatu proses mengajak atau membawa masyarakat agar mampu melakukan sesuatu (enabling people to do something).

Selanjutnya Prijono dan Pranarka (1996), menjelaskan bahwa proses pemberdayaan masyarakat mengandung dua kecenderungan, pertama: sebagai kecenderungan primer dari pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya, sedangkan kecenderungan kedua sebagai kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Pemberdayaan masyarakat juga dapat diartikan sebagai upaya mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan melalui pengalihan pengambilan keputusan kepada masyarakat agar mereka terbiasa dan mampu bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang dipilihnya (Najiyati et al., 2005).

Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa beberapa hal yang perlu

dilakukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat adalah harus terarah dalam arti ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya, mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu, dan penting adanya pendampingan. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada program- program pemberian (charity). Tujuan akhir pemberdayaan masyarakat adalah memandirikan masyarakat, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Nurcahyo (2008) bahwa tujuan dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi lebih mandiri, yang meliputi

kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut

Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat lebih berdaya, berkekuatan dan berkemampuan. Kaitannya dengan

.

Menurut Chambers (1995), salah satu upaya penting dalam strategi pemberdayaan adalah pendidikan, baik yang bersifat formal maupun non formal. Jadi pada masa mendatang, upaya pemberdayaan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Dengan kata lain, konsep pemberdayaan masyarakat harus mencerminkan paradigma baru pembangunan, dari konsep need atau production oriented kepada konsep people centered, participatory, empowering, and sustainable.

Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa proses memberdayakan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu: (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, apabila masyarakat tidak memiliki daya, maka dia akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya, (2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan

menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke

dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini, dan (3) Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyatakan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan, yakni dapat mengantisipasi kondisi perubahan ke depan, (2) Mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3) Memiliki kekuatan untuk berunding, (4)

Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang

saling menguntungkan, dan (5) Bertanggungjawab atas tindakannya.

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

Berdasarkan kajian terhadap berbagai pustaka tentang konsep pemberdayaan pada hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan terhadap individu atau komunitas lokal yang kurang mampu agar mereka memiliki kemampuan, kekuatan, pengaruh, kontrol, penguasaan dan akses yang lebih besar terhadap sumberdaya sehingga bisa memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupannya secara mandiri. Kemampuan mengandung makna individu, atau komunitas lokal menjadi lebih berdaya, memiliki pengetahuan, mempunyai motivasi, melihat adanya peluang dan bisa memanfaatkannya serta mampu mengambil keputusan dan bertindak secara tepat sesuai dengan situasi yang

dihadapi. Pemberdayaan menunjukkan dimensi proses dan dimensi hasil pada

subyek yang diberdayakan. Dimensi proses dari pemberdayaan merupakan berbagai upaya yang dilakukan terhadap subyek yang diberdayakan. Dimensi hasil menunjukkan sejauhmana tingkat keberdayaan yang terjadi dari subyek tersebut.

2.8.Pemberdayaan Masyarakat melalui