• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Masing-Masing Indikator Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Ekspor Indonesia

PENGARUH KUALITAS INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DAN KELEMBAGAAN TERHADAP PERDAGANGAN

7.1. Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Ekspor Indonesia

7.1.2. Pengaruh Masing-Masing Indikator Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan Terhadap Biaya dan Volume Ekspor Indonesia

Pembahasan pada sub bab sebelumnya lebih menekankan pada kualitas infrastruktur dan kelembagaan secara keseluruhan. Pada sub bab ini pembahasan akan lebih difokuskan pada indikator kualitas infrastruktur transportasi dan kelembagaan terkait korupsi, kejahatan terorganisir dan hambatan peraturan/ birokrasi. Hasil estimasi sejauh mana pengaruh masing-masing indikator tersebut terhadap biaya dan volume ekspor Indonesia dapat dilihat pada Tabel Tabel 34 dan Tabel 35.

Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi

Berdasarkan Tabel 34 terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) pengaruh masing-masing indikator kualitas infrastruktur transportasi adalah sebesar 0.7494 (model 3), 0.8936 (model 1) dan 0.9036 (model 2). Artinya, sekitar 74.94 persen sampai 90.36 persen keragaman biaya ekspor Indonesia ke 72 negara tujuan ekspor dapat dijelaskan oleh model, sisanya sekitar 0.0964 sampai 0.2506 persen dijelaskan oleh faktor di luar model. Hasil estimasi model model 1 menunjukkan bahwa indikator kualitas infrastruktur transportasi yang paling berpengaruh signifikan terhadap biaya ekspor adalah kualitas pelabuhan (port quality) Indonesia sebagai negara pengekspor sebesar -0.3187. Artinya, semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia sebagai negara pengekspor akan menurunkan biaya ekspor Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor. Demikian halnya dengan hasil estimasi pada model 2 yaitu berdasarkan moda transportasi laut menunjukkan bahwa kualitas pelabuhan merupakan indikator kualitas infrastruktur yang paling besar pengaruhnya terhadap biaya ekspor Indonesia dengan koefisienya yaitu sebesar -0.2792.

Sementara hasil estimasi pengaruh masing-masing indikator kualitas infrastruktur transportasi terhadap volume ekspor Indonesia ke negara tujuan dapat dilihat pada Tabel 35. Berdasarkan Tabel 35 terlihat nilai koefisien determinasi (R2) adalah 0.9598 (model 3), 0.9927 (model 2) dan 0.9929 (model 1). Artinya, sekitar 95.98 persen sampai 99.29 persen keragaman volume ekspor Indonesia ke 72 negara tujuan ekspor dapat dijelaskan oleh model, sisanya sekitar 0.0071 sampai 0.0402 persen dijelaskan oleh faktor di luar model. Hasil estimasi dari Tabel 35 menunjukkan bahwa dari empat indikator kualitas infrastruktur transportasi yang digunakan dalam model terlihat bahwa indikator kualitas pelabuhan (port quality) yang paling berpengaruh signifikan positif terhadap volume ekspor Indonesia baik pada model total maupun model berdasarkan moda transportasi laut, masing-masing sebesar 0.6994 (model 1) dan 0.5821 (model 2). Artinya, semakin baik kualitas pelabuhan Indonesia sebagai negara pengekspor akan meningkatkan volume ekspor Indonesia, baik secara total maupun volume ekspor yang melalui moda transportasi laut. Dengan kata lain, kualitas infrastruktur pelabuhan akan menentukan daya saing ekspor Indonesia di pasaran

internasional melalui biaya yang pada akhirnya akan memengaruhi volume yang diekspornya.

Tabel 34. Hasil Estimasi Indikator Kualitas Infrastruktur Transportasi Terhadap Biaya Ekspor Indonesia

Variabel Total Laut Udara

Konstanta (C) -1.4707*** -1.8074*** 1.2490*** Ln_H 0.0380 0.0228 -0.1840*** Ln_BBKR -0.2341*** -0.1931*** 1.6002*** INSTi 0.1460*** 0.1502*** INSTj PORTi PORTj LSCIi LSCIj AIRPORTi AIRPORTj ROADi ROADj 0.0142 -0.3187*** 0.0297 0.0856*** -0.0016*** 0.0887*** 0.1289*** 0.1044** 0.0437 -0.2792*** 0.0079 0.0843*** -0.0014* 0.1175*** 0.1091** -0.2752*** -0.0943*** 0.0578 Adjusted R2 0.8936 0.9036 0.7494 S.E of Regresion 0.2916 0.3089 0.42869 F-stat 45.7257 50.8968 17.741 Prob (F-stat) 0.0000 0.0000 0.0000

Sum square resid 29.7616 33.4606 65.0577

Durbin Watson Stat Fixed Effect (Intersept) Maksimum Minimum 1.6589 1.2959 (Kamboja) -0.7633 (Jerman) 1.7455 1.3673 (Kamboja) -0.7712 (Jerman) 1.7670 1.5290 (Oman) -0.6984 (Turki)

Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf 10%

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa indikator kualitas infrastruktur transportasi yang lebih memengaruhi biaya maupun volume ekspor Indonesia adalah kualitas pelabuhan (port quality). Komponen-komponen yang menentukan kualitas/efisiensi pelabuhan diantaranya terkait sarana prasarana fisik pelabuhan itu sendiri maupun terkait non fisik pelabuhan seperti kelembagaan yang terkait dengan aktivitas di pelabuhan. Terkait sarana dan prasarana fisik diantaranya kondisi perairan/kedalaman pelabuhan untuk pergerakan lalu lintas kapal, penjangkaran dan penambatan, fasilitas untuk bongkar muat, pengurusan hewan,

gudang, lapangan penumpukkan peti kemas, terminal konvensional, peti kemas dan curah, dan terminal penumpang.

Tabel 35. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Infrastruktur Terhadap Volume Ekspor Indonesia

Variabel Total Laut Udara

Konstanta (C) 6.4617*** 6.0769*** 2.6695* Ln_GDPcapi -2.0791*** -2.1733*** -3.4861*** Ln_GDPcapj 1.9218*** 2.0409*** 1.8255* Ln_Trdopnnsi 0.6649*** 0.8399*** 2.0719** Ln_Trdopnnsj -1.3709*** -1.5214*** -2.6175*** INSTi 0.0832*** 0.1369** -6.9974*** INSTj 0.0339 0.2395** JLNi -0.2396*** -0.1993*** -0.3373*** JLNj 0.0939** 0.0275 PORTi 0.6994*** 0.5821*** PORTj 0.0024 AIRPORTi 0.0964* 7.9258*** AIRPORTj -0.0621 LSCIi 0.0201*** 0.0217*** LSCIj 0.0003 Adjusted R2 0.9929 0.9927 0.9598 S.E of Regresion 0.2160 0.2154 0.4344 F-stat 762.2818 716.4575 128.0856 Prob (F-stat) 0.000000 0.000000 0.000000

Sum square resid 16.3828 16.1543 66.0679

Durbin Watson Stat 1.6789 1.7167 1.8481

Fixed Effect (Intersep)

Maksimum 4.1495 (India) 4.5199 (India) 7.6221 (Cina) Minimum -2.776 (Qatar) -2.8873 (Qatar) -4.2455 (Finlandia) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf

10%

Kedalaman pelabuhan tampaknya menjadi masalah besar di hampir setiap pelabuhan di Indonesia. Indonesia memiliki pelabuhan-pelabuhan perairan dalam alami yang relatif sedikit dan sistem sungai yang rentan terhadap pendangkalan yang membatasi kedalaman pelabuhan. Apabila pengerukan tidak segera dilakukan, kapal seringkali harus menunggu sampai air pasang sebelum memasuki pelabuhan, yang menyebabkan lebih banyak waktu non aktif bagi kapal. Demikian juga dengan kapal-kapal yang berkapasitas besar yang seringkali tidak

bisa berlabuh. Seringkali kapal-kapal besar berlabuh di pelabuhan Singapura dan Malaysia. Hal tersebut pada akhirnya seringkali memerlukan kapal kecil sebagai feeder. Kesemuanya ini pada akhirnya menyebabkan tambahan biaya yang harus dikeluarkan eksportir sehingga biaya transportasi perdagangan menjadi tinggi. Faktor lainnya yang menentukan kualitas dan efisiensi pelabuhan adalah struktur pasar penyedia jasa pelabuhan, penanganan kargo, gudang penyimpanan, fasilitas perbaikan, kepabeanan dan lain sebagainya.

Banyak pelabuhan regional Indonesia kekurangan sarana peti kemas, yang mengharuskan perusahaan-perusahaan pelayaran untuk menggunakan peralatan sendiri. Masalah lainnya adalah kekuarangan tempat untuk penyimpanan dan pengisian peti kemas, belum semua pelabuhan memiliki fasilitas terpisah untuk kapal barang dan kapal penumpang. Selain itu hampir sebagian besar pelabuhan besar Indonesia berlokasi dekat dengan daerah perkotaan besar yang aksesnya melalui jalan-jalan raya kota yang padat, yang pada akhirnya menyebabkan kemacetan, sehingga lebih banyak menyebabkan keterlambatan yang berarti menimbulkan biaya.

Hal lainnya yang memengaruhi kualitas pelabuhan adalah terkait dengan tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan yang belum efisien, seperti tenaga kerja yang tidak tersedia 24 jam. Umumnya mereka beristirahat dalam waktu yang bersamaan, padahal aktifitas di pelabuhan terus berlangsung (Ray 2008).

Semua penjelasan di atas menyebabkan buruknya infrastruktur pelabuhan yang pada akhirnya seringkali mengganggu aktifitas di pelabuhan atau tidak produktifnya kegiatan di pelabuhan, sehingga menyebabkan keterlambatan waktu, seperti yang seringkali terjadi di Pelabuhan Jakarta. Pada tahun 2002, waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan peti kemas sekitar 30-40 peti kemas/jam. Pada tahun 2007 kemudian mengalami peningkatan menjadi 60 peti kemas/jam. Akan tetapi dengan semakin meningkatknya lalu lintas peti kemas dan kemacetan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok serta keterlambatan Pabean menyebabkan penurunan kembali produktivitas menjadi 40-45 peti kemas pada tahun 2008. Produktivitas tersebut hanya setengah dari tingkat produktivitas pelabuhan di Singapura dan pelabuhan-pelabuhan pemindahmuatan (trans-shipment) utama di Malaysia, yang memiliki produktivitas sekitar 100-110 peti kemas per jam.

Akibat dari keterlambatakan penanganan kargo tersebut, perusahaan-perusahaan angkutan laut yang besar seringkali harus meninggalkan Pelabuhan Jakarta sebelum kapal selesai dimuati karena harus menepati jadwal yang telah dibuat. Hal ini berimplikasi terhadap berbagai biaya pemulihan di samping biaya untuk memperoleh tempat pada feeder pihak ketiga serta kerugian karena tempat yang tidak dimanfaatkan pada feeder mereka sendiri. Para pengusaha jasa angkutan laut internasional Indonesia menikmati pelayanan pemindahmuatan (trans-shipment) yang sangat bersaing di Singapura dan Malaysia, namun harus membayar jasa bongkar muat yang tinggi karena tingginya biaya pelabuhan di Indonesia (Ray 2008).

Selain terkait sarana prasarana fisik, kualitas pelabuhan juga ditentukan oleh kelembagaan terkait efisiensi kepabeanan. Dalam tatalaksana perdagangan internasional, birokrasi/efisiensi kepabeanan memiliki peran yang sangat vital dalam menciptakan efektifitas dan efisiensi lalulintas perdagangan.

Hasil estimasi indikator infrastruktur transportasi lainnya adalah tingkat konektivitas pelayaran dengan jaringan pelayaran global (LSCI) Indonesia sebagai negara pengekspor, baik pada model 1 maupun model 2 menunjukkan pengaruh yang signifikan positif terhadap biaya ekspor, masing-masing sebesar 0.0856 (model 1) dan 0.0843 (model 2). Artinya, semakin terkoneksi dengan baik pelayaran nasional justru akan meningkatkan biaya ekspornya. Hal ini diduga selain terkait dengan komponen pembentuk LSCI seperti jumlah kapal, teknologi kapal, kapasitas kapal yang belum efisien. Untuk pangsa pasar luar negeri yang dalam hal ini ekspor, masih banyak yang menggunakan jasa angkutan (armada) asing. Berbeda halnya dengan LSCI negara pengimpor (negara tujuan ekspor Indonesia) yang relatif jauh lebih baik. Hal ini diindikasikan dengan koefisien LSCI negara pengimpor yang berpengaruh signifikan negatif yaitu sebesar - 0.0016 (model 1) dan -0.0014 (model 2). Sementara dampak LSCI terhadap volume ekspor berpengaruh signifikan positif baik untuk total maupun untuk moda transportasi laut, masing-masing sebesar 0.0201 dan 0.0217. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik tingkat konektivitas pelayaran Indonesia terhadap jaringan pelayaran internasional akan meningkatkan volume ekspor Indonesia.

Indeks konektivitas pelayaran laut (LSCI) Indonesia dengan jaringan pelayaran internasional dari tahun 2004-2009 cenderung menurun sebesar 1.3 persen. Sementara LSCI negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina menunjukkan peningkatan. Vietnam menunjukkan kecenderungan peningkatan yang terbesar yaitu sebesar 13.9 persen (Tabel 36). Tabel 36. Indeks Konektivitas Pelayaran Laut (LSCI), Tahun 2004-2009

Negara 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Trend Indonesia 25.9 28.8 25.8 26.3 24.9 25.7 -1.3 Malaysia 62.8 65.0 69.2 81.6 77.6 81.2 5.8 Thailand 31.0 31.9 33.9 35.3 36.5 36.8 3.8 Vietnam 12.9 14.3 15.1 17.6 18.7 26.4 13.9 Philipina 15.5 15.9 16.5 18.4 30.3 15.9 6.5 Sumber : UNCTAD, 2012

Hampir semua perdagangan non curah (seperti peti kemas) dipindahmuatkan melalui Singapura dan Tanjung Pelepas dan Port Klang (Malaysia). Hal ini dikarenakan Indonesia belum memiliki pelabuhan muat (trans-shipment) yang mampu mengakomodasi kebutuhan kapal-kapal besar antar benua (large trans-ocenic vessels). Bahkan sebagian besar perdagangan antar Asia di Indonesia harus dipindahmuatkan melalui pelabuhan di tingkat daerah. Pelabuhan Tanjung Perak di Subaraya misalnya, dijadikan sebagai pelabuhan penghubung utama untuk Kawasan Timur Indonesia.

Hasil estimasi indikator kualitas infrastruktur transportasi lainnya yaitu kualitas bandara menunjukkan bahwa walaupun sampai saat ini peran moda transportasi udara masih relatif kecil dibandingkan moda transportasi laut dalam angkutan barang, kecenderungan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa peranan moda transportasi udara semakin meningkat terutama di negara berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan hasil estimasi dari Tabel 34 yang berpengaruh signifikan negatif sebesar -0.2752. Artinya, semakin baik kualitas bandara akan menurunkan biaya ekspor Indonesia melalui moda transportasi udara. Sementara

hasil estimasi terhadap volume ekspor pada Tabel 35 menunjukkan berpengaruh signifikan positif sebesar 0.0964 (total) dan sebesar 7.9258 (moda transportasi udara). Dengan demikian, kualitas bandara juga menentukan volume ekspor Indonesia.

Hal-hal yang masih menjadi kendala dalam moda transportasi udara adalah terkait dengan belum tersedianya informasi angkutan kargo udara yang lengkap. Akibatnya biaya angkutan menjadi tinggi karena angkutan umumnya hanya satu arah yaitu berangkat, sedangkan kembalinya kosong, sehingga menurunkan daya saing produk. Demikian halnya dengan kapasitas kargo yang sudah tidak mencukupi lagi, terlebih dengan semakin berkembangnya angkutan barang melalui moda transportasi udara akhir-akhir ini, sehingga timbul penumpukkan barang, masalah keamanan dan ketidaknyamanan. Misalnya saja seringkali terjadi penumpukkan barang di gudang lini 1 Soekarno Hatta, terutama untuk penerbangan dini hari. Kapasitas pergudangan lini 1 sudah tidak memadai dengan kapasitas sekitar 300,000 ton per tahun, sementara volume kargo Bandara Soekarno Hatta tahun 2010 mencapai 510.442 ton. Pergerakan kargo di bandara Soekarno Hatta memberikan kontribusi sebesar 85 persen terhadap total pergerakan kargo di bandara-bandara Angkasa Pura 2. Apabila dibandingkan dengan Cina, pasar kargo internasional Indonesia masih kalah. Cina memegang 40 persen dari pasar kargo udara di Asia Pasifik, sementara Indonesia kurang dari 2 persen 8.

Untuk kualitas jalan, hasil estimasi menunjukkan pengaruh yang signifikan positif terhadap biaya ekspor untuk negara pengekspor baik untuk model 1 dan model 2, masing-masing sebesar 0.1289 dan 0.1175, sementara untuk moda transportasi udara menunjukkan pengaruh signifikan negatif sebesar -0.0943. Artinya, bagi model 1 dan model 2, semakin baik kualitas jalan justru akan meningkatkan biaya ekspor Indonesia. Hal ini diduga terkait dengan masih terjadinya selain kemacetan menuju pelabuhan, juga karena masih ditemukannya berbagai pungutan baik yang resmi (retribusi) maupun pungutan-pungutan yang sifatnya tidak resmi, sepanjang perjalanan menuju pelabuhan, maupun selama berada di pelabuhan (inland), dari satu tempat ke tempat lainnya di sekitar

8

pelabuhan, yang akan meningkatkan biaya keseluruhan yang memberatkan eksportir. Hal tersebut pada akhirnya membuat biaya ekonomi tinggi yang akan menurunkan daya saing harga produk Indonesia dipasaran internasional maupun dibandingkan produk-produk impor.

Untuk kualitas jalan, walaupun secara umum sudah relatif baik, namun terkait pemeliharaan masih perlu ditingkatkan. Demikian halnya dengan kemacetan yang akhir-akhir ini seringkali terjadi menuju bandara maupun di dalam bandara membuat waktu menjadi tidak efisien sehingga menambah biaya, harus segera dibenahi. Peranan infrastruktur jalan ini tetap penting karena proses perjalanan barang dari produsen/pengekspor sampai ke pelabuhan muat maupun ke bandara seluruhnya menggunakan moda transportasi darat berupa jalan, karena moda transportasi kereta api masih sangat terbatas.

Tabel 37. Kondisi Jalan Nasional, Tahun 2005-2009 Kondisi Jalan 2005 2006 2007 2008 2009 % % % % % Baik 49.2 30.9 30.8 49.7 48.2 Sedang 31.4 49.9 51.4 33.6 37.8 Rusak Ringan 8.3 11.1 13.1 13.3 11.6 Rusak Berat 11.1 8.1 4.7 3.4 0.9 Tidak Tembus 1.5

Sumber :Direktorat Jenderal Bina Marga, 2012

Prasarana jalan di Indonesia mempunyai peran yang vital dalam transportasi nasional dengan melayani sekitar 92 persen angkutan penumpang 90 persen angkutan barang pada jaringan jalan yang ada (Direktorat Jenderal Bina Marga, 2010). Kualitas jalan yang baik akan sangat membantu kelancaran distribusi barang dan jasa dari pelabuhan sampai ke konsumen (barang impor), maupun distribusi barang dari produsen ke pelabuhan (barang ekspor).

Menurut World Bank (2011), untuk perdagangan lintas perbatasan posisi Indonesia berada pada peringkat 47, relatif jauh dibanding Singapura, Thailand, dan Malaysia yang berada pada peringkat 1, 13 dan 37. Perdagangan lintas batas ini mengkompilasi persyaratan prosedural dalam kegiatan ekspor-impor melalui moda transportasi laut, yang meliputi jumlah dokumen, waktu dan biaya (Tabel 38). Berdasarkan Tabel 38, jumlah dokumen yang diperlukan dalam kegiatan ekspor pada tahun 2011 adalah 5, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor 20 hari, sedangkan biaya ekspor per kontainer mencapai US$ 704. Dibandingkan tahun 2006, berdasarkan jumlah dokumen dan waktu, sudah menunjukkan peningkatan menjadi relatif lebih sedikit dari 7 menjadi 5, dan dari 25 hari menjadi 20 hari, namun dilihat berdasarkan hari maupun biaya ekspor kontainer, Indonesia masih relatif jauh dibanding Negara ASEAN lainnya. Dari jumlah hari Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Vietnam, namun dari sisi biaya, biaya ekspor Indonesia paling mahal, sementara paling murah adalah Malaysia dan Singapura.

Tabel 38. Prosedural Ekspor Negara-negara ASEAN, Tahun 2010-2011

Negara 2010 2011 Dokumen (jumlah) Waktu (hari) Biaya (US$/container) Dokumen (jumlah) Waktu (hari) Biaya (US$/container) Indonesia 5 21 704 5 20 704 Singapura 4 5 456 4 5 456 Thailand 4 14 625 4 14 625 Malaysia 7 18 450 7 18 450 Philipina 8 16 816 8 15 675 Vietnam 6 22 756 6 22 555

Sumber : World Bank, 2010-2011

Apabila kita bandingkan dari setiap kualitas infrastruktur transportasi yang digunakan, hasil estimasi dari sisi biaya maupun volume secara total tanpa membedakan moda transportasi menunjukkan bahwa koefisien kualitas pelabuhan relatif lebih tinggi dibandingkan variabel kualitas infrastruktur lainnya yaitu bandara, jalan dan LSCI. Hal ini menunjukkan bahwa peranan kualitas pelabuhan relatif lebih penting dalam perdagangan antar negara mengingat moda transportasi laut merupakan moda transportasi yang dominan (> 95%) dalam perdagangan antar negara baik ekspor maupun impor. Sementara infrastruktur yang sangat

penting dalam moda transportasi laut selain kapalnya sendiri adalah pelabuhan. Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan dalam penelitian Nordas dan Piermartini (2004) bahwa dari semua kualitas infrastruktur yang dianalisis ternyata kualitas infrastruktur pelabuhan (port infrastructure) yang memiliki dampak paling besar terhadap perdagangan.

Dari indikator variabel kualitas infrastruktur, peringkat kualitas infrastruktur transportasi Indonesia pada tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 22, dimana kualitas infrastruktur pelabuhan yang menempati ranking terendah yaitu 103 dari 142 negara yang dianalisis, dengan nilai indeks 3.6 dari skala 1-7. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pelabuhan perlu mendapatkan prioritas utama untuk diperbaiki sesuai dengan hasil analisis ekonometrika yang menghasilkan koefisien terbesar.

Sumber : Global Competitiveness Report, 2011

Gambar 22. Kualitas Infrastruktur Transportasi Indonesia, Tahun 2011 Hasil estimasi lainnya dari Tabel 35 menunjukkan bahwa variabel penjelas lainnya selain kualitas infrastruktur transportasi yang diduga memengaruhi volume ekspor Indonesia adalah pendapatan per kapita dan keterbukaan perdagangan (trade openness) dari kedua negara yang terlibat perdagangan. Dari ketiga model yang digunakan, pendapatan per kapita dari negara-negara yang terlibat perdagangan berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor Indonesia. Pendapatan per kapita Indonesia sebagai negara pengekspor berpengaruh

signifikan negatif dan nyata (α = 1%) memengaruhi perdagangan. Sementara bagi

negara pengimpor (negara tujuan ekspor) berpengaruh signifikan positif.

Demikian halnya dengan variabel keterbukaan (trade openness) negara yang melakukan perdagangan baik pengekspor maupun pengimpor berpengaruh signifikan. Variabel keterbukaan negara pengekspor berpengaruh signifikan positif, sementara bagi negara pengimpor berpengaruh signifikan negatif. Variabel keterbukaan ini merupakan indikator umum yang biasa digunakan untuk melihat seberapa baik suatu negara terintegrasi dalam pasar internasional.

Indikator Kualitas Kelembagaan

Hasil analisis sebelumnya (Tabel 32) menunjukkan bahwa kualitas kelembagaan keseluruhan Indonesia sebagai negara pengekspor berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya ekspor. Untuk mengetahui indikator kualitas kelembagaan mana yang paling memengaruhi biaya dan volume ekspor Indonesia, hasil estimasinya dapat dilihat pada Tabel 39 dan Tabel 40. Berdasarkan Tabel 39 terlihat bahwa hasil estimasi ketiga model menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) antara 0.7489 (moda udara) sampai 0.9130 (moda laut), yang berarti sekitar 74.89 persen sampai 91.30 persen keragaman biaya ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor dapat dijelaskan oleh model, sisanya sekitar 6.50 persen sampai 24.09 persen dijelaskan oleh variabel di luar model.

Hasil estimasi ketiga model menunjukkan bahwa dari ketiga indikator kualitas kelembagaan yang digunakan dalam model, yang konsisten (ketiga model) berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya ekspor adalah indikator efisiensi peraturan pemerintah (burden of government regulatory) Indonesia sebagai negara pengekspor. Artinya, semakin baik kualitas kelembagaan Indonesia yang diindikasikan dengan semakin semakin baik/efisien peraturan atau birokrasi yang ditetapkan pemerintah Indonesia sehingga tidak membebani para eksportir, akan semakin menurunkan biaya ekspor Indonesia ke negara tujuan ekspor, sehingga akan meningkatkan daya saing harga produk Indonesia di pasar internasional. Besarnya koefisien indikator tersebut adalah -0.0431 (model 1), - 0.0599 (model 2), dan -0.2124 (model 3).

Tabel 39. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Biaya Ekspor Indonesia

Variabel Total Laut Udara

Konstanta (C) 0.8462*** 0.7477 2.3074*** Ln_H 0.0028 0.0560 -0.1455** Ln_BBKR 0.1476*** 0.1575** 1.2370*** INFRAi -0.0110 -0.0070 -0.0318 INFRAj -0.0457* -0.0175 -0.1217*** CORRUPi -0.0081*** -0.0084* -0.0030 CORRUPj -0.0012 -0.0016 -0.0002 BURDENi -0.0431** -0.0599* - 0.2124*** BURDENj CRIMEi 0.0266 0.0361 -0.0244 CRIMEj Adjusted R2 0.9111 0.9130 0.7489 S.E of Regresion 0.2930 0.3111 0.4153 F-stat 56.9369 58.3154 17.2776 Prob (F-stat) 0.0000 0.0000 0.0000

Sum square resid 30.2251 34.0743 60.7395

Durbin Watson Stat Fixed Effect (Intersept) Maksimum Minimum 1.5962 1.1116 (Kamboja) -0.6134 (Brazil) 1.6903 1.1782 (Kamboja) -0.6220 (Brazil) 1.8065 1.1681 (Thailand) -0.6568 (Saudi Arab) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf

10%

Memang prosedur kepabeanan untuk ekspor tidak serumit impor. Untuk kegiatan ekspor meliputi, (1) eksportir wajib memberitahukan barang yang akan diekspor ke kantor pabean pemuatan dengan menggunakan PEB disertai Dokumen Pelengkap Pabean, (2) PEB disampaikan paling cepat 7 hari sebelum tanggal perkiraan ekspor dan paling lambat sebelum barang ekspor masuk Kawasan Pabean, (3) Dokumen PelengkapPabean terdiri dari invoice dan Packing List, Bukti Bayar PNBP, Bukti Bayar Bea Keluar (dalam hal barang ekspor dikenai Bea Keluar), dan dokumen dari intansi teknis terkait (dalam hal barang ekspor terkena ketentuan larangan dan/atau pembatasan). Penyampaian PEB dapat dilakukan oleh eksportir atau dikuasakan kepada Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK). Pada Kantor Pabean yang sudah menerapkan sistem PDE

(Pertukaran Data Elektronik) kepabeanan, eksportir/PPJK wajib menyampaikan PEB dengan menggunakan sistem PDE Kepabeanan

Demikian halnya dengan hasil estimasi indikator indikasi korupsi yang juga berpengaruh signifikan negatif untuk model 1 dan model 2 masing-masing dengan koefisen sebesar -0.0081 dan -0.0084. Artinya, semakin tidak ada indikasi korupsi yang ditunjukkan dengan indeks korupsi yang semakin besar akan menurunkan biaya ekspor Indonesia. Hal ini sejalan dengan apa yang ditemukan dalam penelitiannya Pomfret dan Patricia (2009).

Tabel 40. Hasil Estimasi Pengaruh Indikator Kualitas Kelembagaan Terhadap Volume Ekspor Indonesia

Variabel Total Laut Udara

Konstanta (C) 8.4641*** 8.4096*** 9.1109*** Ln_GDPcapi -1.5314*** -1.5749*** -1.1832 Ln_GDPcapj 1.5192*** 1.5663*** 0.9096 Ln_Trdopnnsi 0.3524 0.3804 1.4479 Ln_Trdopnnsj -1.0160** -1.0448** -2.0310* INFRAi INFRAj 0.1012** 0.0883*** 0.1094** 0.0890*** 0.1241* CORRUPTi -0.0052 -0.0060 -0.0707*** CORRUPTj BURDENi -0.0128 -0.0104 0.0627 BURDEN j 0.0699* 0.0600 -0.1342** CRIMEi -1.0064 -0.0037 -0.0296 CRIMEj Adjusted R2 0.9937 0.9940 0.9684 S.E of Regresion 0.2152 0.2145 0.4312 F-stat 846.1145 886.6160 166.1544 Prob (F-stat) 0.0000 0.0000 0.0000

Sum square resid 16.1678 16.0590 65.1067

Durbin Watson Stat 1.7018 1.7084 1.8280

Fixed Effect (Intersep)

Maksimum 3.614 (India) 3.6829 (India) 6.3632 (Cina) Minimum -2.3710 (Qatar) -2.4100 (Qatar) -3.1472 (Finlandia) Keterangan : *** nyata pada taraf 1%, ** nyata pada taraf 5%, * nyata pada taraf

10%

Walaupun koefisien korupsi relatif kecil, hasil penelitian LPEM FE-UI (2005) menunjukkan masih ditemukannya pungutan liar untuk mengurangi waktu antri karena kurangnya sarana infrastruktur utama seperti derek jembatan dan

ruang penyimpanan. Demikian juga dalam alokasi tambatan. Hasil estimasi indikator kualitas kelembagaan terhadap volume ekspor menunjukkan indikator kualitas kelembagaan yang digunakan dalam penelitian tidak terlalu mempengaruhi volume ekspor.

7.2. Kualitas Infrastruktur dan Kelembagaan terhadap Biaya dan Volume