• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Modal Sosial terhadap Pola Hubungan Juragan dan Buruh

Perusahaan Batik Kelas Besar (Large)

Pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas besar (large), tidak memiliki pengaruh yang signifikan (Lampiran 11). Hal ini dikarenakan omnibus test of model coefficients tidak muncul. Sementara untuk modal sosial yang terdiri dari jaringan sosial, nilai dan norma, dan kepercayaan dijelaskan secara rinci pada Tabel 11.

Tabel 11 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas besar (large)

No. Indikator Klasifkasi Frekuensi Persentase (%)

1. Tingkat jaringan sosial Rendah 28 93,3

Tinggi 2 6,7

Total 30 100

2. Tingkat nilai dan norma Rendah 0 0

Tinggi 30 100

Total 30 100

3. Tingkat kepercayaan Rendah 13 43,3

Tinggi 17 56,67

Total 30 100

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa tingkat jaringan sosial dan tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh buruh yang bekerja diperusahaan batik kelas besar (large) berada pada klasifikasi rendah, sementara untuk tingkat nilai dan norma berad pada klasfikasi tinggi. Tingkat jaringan sosial berada pada klasifikasi rendah dikarenakan tidak adanya rasa kedekatan antara juragan dan buruh karena sistemnya hanya sebatas hubungan pekerjaan, untuk diluar pekerjaan pun tidak adanya rasa kerja sama dengan juragan, selain itu juga buruh tidak mengenal siapa ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, serta ketidaktahuan buruh terhadap sumber bahan pemasok batik diperusahaan batik tempat ia bekerja.

“... Oh saya gak tau mbak, siapa ketuane forum, kalau tentang pemasok bahan itu sudah ada bagiannya masing-masing mbak, kalau saya di sini tugasnya cuman mbatik, kalau yang pemasok bahan itu ada lagi bagiannya mbak, disini menjalakan tugas masing-masing, jadi saya tidak tahu siapa pemasok bahan disini ...”. (S, Perempuan, 42 Tahun)

Sementara untuk tingkat kepercayaan, terdapat 13 buruh yang berada pada klasifikasi rendah. Hal ini disebabkan oleh buruh tidak mendapatkan pinjaman berupa barang dari juragannya apabila membutuhkan, sehingga buruh pun tidak bersedia memberikan pinjaman kepada juragan.

“... Kalau saya di sini belum pernah pinjem kok mbak, jadi ya gak ada itu. Rumongso juragane itu gak pernah minjem mbak, yo juragan kan sudah punya pastilah mbak, ngapain minjem ke buruhnya, karena sudah lebih kaya ...”. (K, Perempuan, 66 Tahun)

Tingkat nilai dan norma yang dimiliki oleh perusahaan batik kelas besar (large) berada pada klasifikasi tinggi, hal ini dikarenakan semua buruh mengetahui tata aturan kerja yang berlaku yaitu mulai bekerja pada pukul 08.00-16.00 WIB, dan apabila dilanggar maka akan diberikan sanksi.

“... Kalau soal perekrutan pegawai itu saya serahkan ke anak saya, anak saya yang mewawancarai, dari awal emang sudah ada perjanjian-perjanian dan kalau dilanggar ada pemberian surat peringatan, di sini itu sudah menerapkan aturan-aturan formal mbak, jadi harus ada sanksi ...”. (B, Laki- laki, 62 Tahun)

Perusahaan Batik Kelas Menengah (Medium)

Pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan pada perusahaan batik kelas menengah (medium), tidak memiliki pengaruh yang signifikan (Lampiran 12). Hal ini dikarenakan nilai

omnibus test of model coefficients menunjukkan bahwa nilai X2 2,892 < X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau dengan signifikansi sebesar 0,089 (> 0,05) sehingga menerima H0, yang menunjukkan bahwa penambahan variabel independen tidak dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model dinyatakan tidak fit. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 7,667 maka orang yang memiliki modal sosial memiliki peluang terhadap pola hubungan atara juragan dan buruh pada klasifikasi tinggi sebanyak 7,667 kali lipat dibanding yang berada pada klasifikasi rendah. Sementara itu, modal sosial terdiri dari jaringan sosial, nilai dan norma, dan kepercayaan. Penjelasan modal sosial dirinci pada Tabel 12.

Tabel 12 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas menengah (medium) No. Indikator Klasifkasi Frekuensi Persentase (%) 1. Tingkat jaringan sosial Rendah 27 90

Tinggi 3 10

Total 30 100

2. Tingkat nilai dan norma Rendah 0 0

Tinggi 30 100

Total 30 100

3. Tingkat kepercayaan Rendah 3 10

Tinggi 27 90

Total 30 100

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa, tingkat jaringan sosial yang dimiliki oleh buruh yang bekerja pada perusahaan batik kelas menengah (medium) berada pada klasifikasi rendah, sementara untuk tingkat nilai dan norma serta tingkat kepercayaan berada pada klasifikasi tinggi. Tingkat jaringan sosial berada pada klasifikasi rendah disebabkan oleh ketidakdekatan dengan juragan, rasa percaya terhadap juragan yang rendah, selain itu juga ketidaktahuan buruh terhadap ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, serta ketidaktahuan buruh terhadap pemasok barang produksi batik di tempat ia bekerja.

“... Di sini ini itu anu kok mbak, antara juragan sama buruhnya itu gak terlalu dekat, karena jurage jarang ketemu, palingan pak Heri yang ngecek pekerjaan yang dilakukan sama buruhnya, pak Heri itu sudah ditugaskan oleh pak Bambang untuk memantau pekerjaan, jadi ya gimana ya mbak, sama juragan iku gak dekat ...”. (M, Perempuan, 65 Tahun)

Sementara untuk tingkat nilai dan norma, semua buruh berada pada klasifkasi tinggi, karena buruh sudah mengetahui secara jelas aturan kerjanya, namun pada perusahaan batik kelas menengah ini tidak memberikan sanksi kepada buruhnya. Sedangkan untuk tingkat kepercayaan, terdapat tiga buruh yang berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh selama bekerja, buruh belum pernah meminjam berupa barang kepada juragan, sehingga buruh tidak mengetahui apakah juragan berkenan untuk memberikan pinjaman atau tidak.

“... Selama bekerja, saya itu anu kok mbak, belum pernah pinjem ke juragan, ndak berani mbak. Jadi, saya gak tahu boleh apa enggak kalau pinjem dengan juragan ...”. (R, Perempuan, 35 Tahun)

Perusahaan batik kelas kecil (small)

Pengaruh modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik laweyan tidak berpengaruh secara signifikan (Lampiran 13).

Omnibus test of model coefficients menunjukkan nilai X2 0,395 < X2 tabel pada DF 1 yaitu 3,841 atau dengan signifikasi sebesar 0,530 (> 0,05) sehingga menerima H0, yang menunjukkan bahwa penambahan variabel independen tidak dapat memberikan pengaruh nyata terhadap model, atau dengan kata lain model dinyatakan tidak fit. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR). Variabel modal sosial dengan OR 1,900 maka buruh yang memiliki modal sosial memiliki peluang terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh pada klasifikasi tinggi sebanyak 1,900 kali lipat dibanding yang berada pada klasifikasi rendah. Selain itu, modal sosial terdiri dari jaringan sosial, nilai dan norma, dan kepercayaan. Berikut penjelasan mengenai modal sosial yang dirinci pada Tabel 13.

Tabel 13 Frekuensi modal sosial pada perusahaan batik kelas kecil (small) No. Indikator Klasifkasi Frekuensi Persentase (%)

1. Tingkat jaringan sosial Rendah 18 60

Tinggi 12 40

Total 30 100

2. Tingkat nilai dan norma Rendah 0 0

Tinggi 30 100

Total 30 100

3. Tingkat kepercayaan Rendah 2 6,7

Tinggi 28 93,3

Total 30 100

Berdasarkan Tabel 13, dapat diketahui bahwa tingkat jaringan sosial yang dimiliki oleh buruh yang bekerja di perusahaan batik kelas kecil (small) berada pada klasifikasi rendah, hal ini disebabkan oleh tidak adanya hubungan kekerabatan dengan juragan, ketidaktahuan buruh terhadap ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, dan ketidaktahuan terhadap pemasok bahan produksi. Sementara, tingkat nilai dan norma yang dimiliki perusahaan batik kelas kecil (small) ini berada pada klasifikasi tinggi, hal ini dikarenakan bahwa semua buruh telah mengerti aturan kerjanya yaitu dimulai pada pukul 08.00-16.00 WIB, namun pada perusahaan ini memiliki kekhasan yaitu juragan tidak memberikan sanksi kepada buruhnya, hal ini diserahkan kepada individu buruhnya yang bekerja. Sementara untuk tingkat kepercayaan, berada pada klasifikasi tinggi, hal ini disebabkan oleh antara juragan dan buruh memiliki rasa saling percaya, karena hubungannya yang sudah lama terjalin. Hal ini diperkuat dengan hasil kutipan wawancara.

“... Wah saya dengan Ibu Pur itu sudah percaya sekali mbak, saya bekerja di sini sudah 40 tahun, sudah lama saya disini, dan juragannya juga baik, kalau pas lebaran juga dikasih batik, THR, dan biasanya kalau juragan punya keuntungan yang besar dari hasil penjualan batik, biasanya kita dicicipi mbak, kadang dikasih beras, ya sudah percaya sekali mbak ...”. (S, Laki-laki, 61 Tahun)

Hal ini sejalan dengan penelitian Putri (2011) menyatakan hubungan buruh majikan sebagai keutuhan dan kesatuan, anggota dari masing-masing perusahaan dianggap sebagai teman baik dan anggota keluarga.Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan regresi logistik, diperoleh hasil bahwa tidak ada pengaruh signifikan modal sosial terhadap pola hubungan antara juragan dan buruh baik pada perusahaan batik kelas besar (large), menengah (medium), maupun kecil (small). Di perusahaan batik kelas besar (large) menerapkan sistem personal

kepada para buruhnya. Berikut hasil wawancara dengan Bapak H dari perusahaan Batik Merak Manis.

“... Di sini humanisnya lebih ditonjolkan, kita hubungannya personal ketika saya tidak suka, ketika saya suka, ketika saya tidak empati, ketika saya empati, akan berbeda hasil akhirnya, anda dengan saya hubungannya dekat, anda atasan saya, pak saya mau pinjem uang dulu pak misalnya dua ratus ribu ya silahkan, tapi di satu sisi ada teman saya, karena anda mungkin satu kurang dekat, mungkin ada catatan-catatan khussu, catatan yang sifatnya dibawah standar norma suatu hubungan mungkin agak berbeda hasilnya, tapi kita tetap mengajrkan pola pikir mereka itu lebih personal, itu pun masih disaring lagi karena dsini ini begini seorang yang dalam istilah perjuraganan uang seratus sampai lima ratus ribu kan kalau didalam kebutuhan rumah tangga dinancial seperti itu tidak begitu penting dibandingkan dengan nilai harta yang diberikan, nah mbak saya pinjam 200 ribu misalnya, tapi ketika ada hari H nya ketika kita mengembalikan, gak usah gak usah pak de udah di pakek, berarti disinikan menanamkan rasa utang budi, bohoso jawo

pakewuh11 dalam tanda kutip saya kedepannya akan memetik hasil dari dari etos kerja, saya minjam anda tapi tidak mau dikembalikan, mosok saya tidak enaknya sendiri, dari sana mengajarkan utang budi...”. (H, Laki-laki, 53 Tahun)

Namun di zaman dahulu, masih terdapat istilah ngemping antara juragan dan buruh.

“... Malah enak dulu ada ngemping, ngemping itu artinya gini, pak heri ya dalam satu minggu, itu kalau normal tapi nilai dikatakan sehari lima puluh ribu ya, kalau seminggu kan berarti tiga ratus ribu, hari rabu saya harus harus uang sekolah anak saya, misalnya dua ratus ribu, pak saya ngemping berarti saya motong gaji dulu, saya ngambil gaji setengah dulu atau seperempatnya tapi kalau penuh gak boleh, lah ngemping berapa, ooh dua ratus ribu berarti

11

hari sabtu nanti hanya mendapatkan uang seratus ribu ...”. (H, Laki-laki, 53 Tahun)

Saat ini, tidak ada istilah meminjam uang kepada juragan untuk di perusahaan batik kelas besar, khususnya Batik Merak Manis. Hal ini dikarenakan, di perusahan Batik Merak Manis ini menerapkan hubungan personal kepada buruhnya, sehingga tidak ada istilah meminjam uang kepada juragan. Sementara pada perusahaan kelas menengah (medium) disebabkan oleh kebanyakan buruh tidak mengetahui siapa ketua forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan(FPKLB), serta tidak adanya hubungan kekerabatan yang terjalin antara juragan dan buruh. Sementara untuk tingkat nilai dan norma berada pada klasifikasi tinggi, namun ada kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh perusahaan batik kelas menengah (medium) yaitu juragan tidak memberikan sanksi terhadap buruh yang melakukan pelanggaran atas aturan-aturan tersebut. Aturan kerjanya yaitu masuk kerja pada pukul 08.00 WIB dan pulang pada pukul 16.00 WIB. Juragan tidak memberikan sanksi yang berat, hanya berupa teguran dan menanyakan mengapa tidak masuk. Hal ini jika dihubungkan dengan pitutur leluhur Budaya Jawa yaitu rasa toleransi. Selain itu juga keistimewaan orang jawa adalah cita-cita luhur tentang budaya damai. Kedamaian adalah nomor satu. Kedamaian akan menyebabkan suasana tenang dan aman tenteram. Prinsip suka damai tidak hanya sekedar falsafah sosial Jawa, melainkan merupakan manifestasi batin yang luar biasa. Prinsip yang dianut dalam mencapai kedamaian ada konsep

rukun. Rukun adalah kondisi dimana keseimbangan sosial tercapai (Endraswara 2006). Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing pesona terjalin saling menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa kekeluargaan, gotong royong, dan konsep tepo seliro selalu dikedepankan dalam kehidupannya, dengan cara ini diantara anggota masyarakat Jawa jarang terjadi pertikaian yang berarti.

Hubungan antara juragan dan buruh di perusahaan batik kelas menengah (medium) menunjuk kearah kedamaian dan tenggang rasa. Ungkapan damai yang paling populer bagi orang Jawa adalah ketika tontonan wayang kulit sampai pada janturan ki dalang (Endraswara 2006). Ungakapan tersebut adalah sebagai berikut. “... Negara ingkang panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tata tur raharja ...”. Artinya negara yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi, martabatnya,

luhur budinya, dan amat berwibawa. Sementara pada pola hubungan antara juragan dan buruh Kampoeng Batik Laweyan, untuk perusahaan batik kelas menengah (medium), untuk tingkat ketimpangan, tidak adanya pertukaran barang dan jasa antara juragan dan buruh, juragan dan buruh mengenal secara pribadi hal ini dikarenakan tingkat intensitas pertemuan antara juragan dan buruh yang cukup intens. Hubungan yang terjadi antara juragan dan buruh tidak hanya sebatas pekerjaan, namun juga sebagai hubungan tetangga yang harus saling tolong menolong, hal ini ditandai dari adanya bantuan yang diberikan oleh juragan maupun buruh pada saat masing-masing membutuhkan, dan setiap buruh memiliki kekuasaan, status, wewenang, dan pengaruh dalam proses aktivitas batik, dan juragan pun memiliki peranan yang lebih besar daripada buruh, hal ini disebabkan si juragan sebagai pemilik perusahaan batik, sedangkan untuk tingkat resiprositas untuk perusahaan batik kelas menengah (medium) tidak terdapat rasa memberi dan menerima berupa barang maupun jasa antara juragan dan buruh, hal ini

dikarenakan hubungannya hanya sebatas pekerjaan, yang sewaktu-waktu dapat pindah tempat kerja. Sementara untuk tingkat keuntungan pada pola hubungan antara juragan dan buruh, buruh tidak mendapatkan pekerjaan sampingan selain pekerjaan utama sebagai buruh. Sementara, pada perusahaan batik kelas kecil (small) dikarenakan pada tidak memiliki aturan-aturan khas yang harus ditaati oleh seluruh buruhnya. Berikut hasil kutipan wawancaranya.

“... Masuknya dari jam 8-16 , cuma lembur dua kali gaji, sama hari libur, kalau terlambat tidak ada teguran, ya makanya sekarang sistemnya juragan dan buruh itu sebagai partner, saling menghargai ...”. (Y, Laki-laki, 42 Tahun)

Berdasarkan hal tersebut, buruh pun memiliki rasa pakewuh untuk datang terlambat pada saat bekerja.

“... Ngerasa gak enak kalau terlambat, tapi ndak ada sanksinya, tapi kan jangan sampai terlambat kadang cuma ditegur kalau telat ada apa, ditanyaain, biar ada alasanya kalau sudah tau ya sudah ...”. (S, Perempuan, 53 Tahun)

Selain itu, pada perusahaan batik kelas kecil (small) masih sangat menjunjung tinggi nilai toleransi dan bagi buruhnya sendiri pun masih menerapkan nilai-nilai psikologi Jawa berupa local genius Jawa yaitu rasa rumangsa. Rasa rumangsa adalah inti wawasan psikologi Jawa. Endraswara (2006) dalam bukunya yang berjudul “Falsafah Hidup Jawa” mengatakan bahwa melalui rasa rumangsa, orang Jawa akan mengukur diri. Rasa rumangsa merupakan endapan rasa, yang mencoba melihat diri sendiri dan orang lain. Keduanya menjadi bagian mawas diri, yang dialami dari dengan sikap mulat salira (mengaca diri) dan angrasa wani artinya berani merasakan jerih payah yang dialami orang lain, berdasarkan local genius Jawa tersebut sehingga memberikan pengertian bagi buruh di perusahaan tersebut untuk secara sadar diri menghargai juragannya yang tidak memberikan aturan-aturan khas yang harus dipatuhi, dengan tidak adanya aturan khas ini menjadikan suasana kerja menjadi luwes, dan masing-masing pihak baik juragan maupun buruh melahirkan rasa toleransi yang tinggi untuk saling menghargai. Juragan sudah mempercayai buruhnya dan tidak membuat aturan-aturan tertentu, sehingga buruhnya pun secara sadar diri memiliki rasa rumangsa tersebut.

Selain rasa rumangsa, kehebatan orang Jawa antara lain karena memiliki falsafah hidup yang luhur. Orang Jawa memiliki falsafah hidup yang kompleks. Kehebatan dan ketangguhan orang Jawa lebih tampak pada falsafah hidup madya. (Endraswara 1998). Falsafah hidup madya yang luhur itu, tergambar melalui

unen-unen yang dalam istilah folklor Jawa, sering dinamakan ungkapan tradisional. Didalamnya memuat beraneka ragam ajaran yang menghendaki agar kehidupan orang Jawa lebih selaras dan seimbang. Falsafah ini anti konflik. Unen- unen filosofi itu adalah pertama, ngono ya ngono ning aja ngono. Falsafah tersebut menunjukkan bahwa orang Jawa itu lebih suka bertindak secara wajar. Bersikap dan bertindak dengan menggunakan ukuran umum atau etika yang telah disepakati, bahkan etika humanistis dalam pergaulan. Falsafah madya ngono ya

ngono ning aja ngono mengarahkan hidup orang Jawa, agar bisa menyesuaikan diri.

Di masyarakat Laweyan, terdapat istilah “Pakewuh”, yang berasal dari

bahasa Jawa yang artinya enggan atau segan, dalam pola hubungan antara juragan dan buruh pun istilah ini masih sangat dipegang teguh oleh juragan dan buruh. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak A, sebagai pengusaha batik.

“... Nilai-nilai di masyarakat kalo sekarang, sudah gak seperti dulu, kalau dulu benar-benar ada jarak antara juragan dan buruh, kalo sekarang enggak , juragan dan buruh sekarang partner, soalnya kalau kita menganggap buruh terus kita susah, dan ada istilah pakewuh , yang artinya itu segan, dulu kalau juragan baru santai atau tidur si buruhnya tidak masu bangunin, kalau ada tamu ya tunggu sampai bangun, kalau repot tunggu dulu sampai kerjaannyaberes , ya gak mau nyela, juragan kalau sekarang sudah partner, kalau pakweuh orang jawa itu masih punya , orang jowo misalnya njenengan

bertemu padahal laper, itu pakweuh namanya basa-basi ...”. (A, Laki-laki, 43

tahun)

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketiga kelas perusahaan batik di Kampoeng Batik Laweyan, baik kecil (small), menengah (medium), maupun besar (large) masih sangat mengedepankan norma tepo seliro, rasa pakewuh, rasa rumangsa, jiwa kekeluargaan, dan gotong royong, pada saat bekerja sebagai cara untuk menjaga hidup agar tetap rukun.

Pengaruh Pola Hubungan Juragan dan Buruh